Perbesar
ESPOS.ID – Ilustrasi obat. (Freepik.com)
Esposin, JAKARTA — Kementerian Kesehatan mengungkap sebanyak 41% dari masyarakat yang menggunakan antibiotik oral mendapatkan obat itu tanpa resep dan hal tersebut merupakan tantangan dalam pencegahan resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR).
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lucia Rizka Andalusia mengatakan di Jakarta, Kamis (21/11/2024), data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan 22,1% masyarakat menggunakan antibiotik oral, seperti tablet dan sirup.
Promosi
Terus Dorong Pelaku UMKM Naik Kelas, BRI Telah Salurkan KUR Rp158,6 Triliun
Dari jumlah tersebut, 41% mendapatkannya secara mudah, bukan dari sarana pelayanan kesehatan penunjang resmi seperti apotek atau toko obat.
“Ada yang mendapatkan dari warung, juga mendapatkan dari tempat-tempat peredaran online dan atau tempat-tempat yang tidak sesuai dalam mendistribusikan antimikroba ini,” kata Rizka sebagaimana dilansir Antara.
“Di samping itu, juga kita melihat bahwa dalam data sebaran sebanyak 18 provinsi di Indonesia memiliki proporsi perolehan antibiotik oral tanpa resep ini yang masih di atas rata-rata nasional atau di atas 41%,” ujarnya menambahkan.
Penggunaan antibiotik tanpa resep dapat menyebabkan AMR, yang dapat berujung pada kematian. Dia memperkirakan bahwa kematian akibat AMR dapat menyentuh angka 10 juta pada 2050.
Dia menjelaskan, penggunaan antibiotik begitu masif pada saat pandemi, karena saat itu masih ada semangat untuk menanggulangi Covid-19. Apapun pengobatannya, kata Rizka, selama tidak fatal, diterima demi keselamatan pasien. Sehingga, para pakar pun mencoba menggabungkan antimikroba dan antivirus dan membagikannya secara massal.
“Tapi akibatnya setelah itu kita harus menanggung masalah yang besar terkait dengan resistensi tersebut, karena penggunaan antimikroba yang begitu masif, begitu banyaknya,” katanya.
Dia mencontohkan, azithromycin yang sangat dibatasi pemakaiannya saat pandemi, kini dapat mudah dibeli hanya untuk menangani flu ringan.
AMR pun menjadi perhatian global, katanya, seperti yang tertuang dalam target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), di mana terdapat target untuk menurunkan prevalensi antimikroba. Di tingkat nasional, dia melanjutkan, penanggulangan AMR dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba 2020-2024.
Pihaknya pun membangun SATU SEHAT sebagai upaya untuk mendata pembelian dan penggunaan antimikroba guna kontrol yang lebih baik. Apabila fasilitas-fasilitas kesehatan terintegrasi, maka semakin mudah untuk melakukan pendataan itu.
Selain itu, Kemenkes juga membuat regulasi terkait pembatasan konsumsi antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan, tata cara pendistribusian antimikroba, serta pembatasan jenis juga penggunaan antimikroba dalam Formularium Nasional.
Dia juga menyebut pentingnya edukasi bagi tenaga kesehatan, tenaga medis, dan publik tentang penggunaan antimikroba. Oleh karena itu, kata Rizka, kolaborasi menjadi kunci dalam penanganan isu tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram “Solopos.com Berita Terkini” Klik link ini.