Kemacetan Parah di Tanjung Priok, Potret Buruknya Tata Kelola Pelabuhan Megapolitan 19 April 2025

Kemacetan Parah di Tanjung Priok, Potret Buruknya Tata Kelola Pelabuhan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        19 April 2025

Kemacetan Parah di Tanjung Priok, Potret Buruknya Tata Kelola Pelabuhan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, kemacetan parah yang terjadi di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, merupakan imbas buruknya tata kelola kawasan pelabuhan.
Menurut dia, ada ketimpangan tata kelola di wilayah tersebut antara pengembangan sisi laut dan sisi darat.
“Pembangunan di
Pelabuhan Tanjung Priok
memperbesar terus kapasitas sisi laut, namun kapasitas sisi darat tidak dikembangkan,” ujar Djoko dalam keterangannya, Sabtu (19/4/2025).
Ia menilai, perhitungan kapasitas pelabuhan seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi laut, tetapi juga mempertimbangkan fasilitas di darat.
Kapasitas terkecil dari seluruh komponen pelabuhan seharusnya menjadi acuan utama dalam perencanaan.
Selain itu, hilangnya area penyangga atau
buffer zone
antara pelabuhan dengan lingkungan permukiman membuat kemacetan makin parah.
Menurut Djoko, idealnya, area
buffer zone
minimal memiliki jarak satu kilometer dan bebas dari bangunan.
“Kita harus ikuti
layout
asli kawasan pelabuhan zaman Hindia Belanda dengan batas pelabuhan itu Cempaka Mas dan sampai ke timur,” kata dia.
Kemacetan juga diperparah dengan minimnya penggunaan moda angkutan berbasis rel. Padahal, angkutan rel dinilai lebih efisien untuk distribusi logistik jarak menengah.
Namun, kini penggunaan jalur kereta sudah sedikit peminatnya karena biaya yang lebih mahal dibanding jalur darat.
“Menggunakan jalan rel, mahal, disebabkan menggunakan BBM no subsidi, masih dikenakan PPN 11 persen dan dikenakan
track access charge
(TAC),” jelas dia.
Di sisi lain, ia menilai tarif parkir truk sebesar Rp 17.500 sekali masuk pelabuhan sebagai beban tambahan bagi para sopir truk.
Biaya ini dinilai tidak transparan penggunaannya dan justru menambah beban logistik secara keseluruhan.
“Penarikan biaya pada ranah publik harus jelas peruntukan dan manfaatnya. Ruang publik bukan untuk sebagai ladang penghasil uang, tapi sudah ada aturannya,” kata dia.
Djoko mengatakan, jika kondisi ini tidak segera dibenahi, maka kemacetan di kawasan pelabuhan akan terus berulang dan berdampak pada kelancaran distribusi barang secara nasional.
‘Pemerintah harus mengevaluasi kebijakan itu agar tidak terulang,” ucap dia.
Kemacetan panjang terjadi di sejumlah ruas jalan Jakarta Utara sejak Rabu (16/4/2025) malam hingga Jumat (18/4/2025) pagi.
Kepadatan lalu lintas hingga lumpuh total ini terpusat di wilayah Tanjung Priok akibat aktivitas bongkar muat di sejumlah terminal pelabuhan.
Meningkatnya aktivitas bongkar muat di NPCT One disebabkan oleh keterlambatan tiga kapal asal luar negeri yang bersandar.
Pelindo tidak memprediksi bahwa keterlambatan tiga kapal ini juga berimbas pada peningkatan volume bongkar muatan.
Belum lagi bertepatan dengan konsumen yang mengejar waktu sebelum libur panjang yang jatuh pada Jumat hingga Minggu (20/4/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.