Keluh Kesah Sinur Memikul Kopi Keliling di Bahunya, Tak Pernah Cukup untuk Biaya Hidup Megapolitan 22 Januari 2025

Keluh Kesah Sinur Memikul Kopi Keliling di Bahunya, Tak Pernah Cukup untuk Biaya Hidup
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        22 Januari 2025

Keluh Kesah Sinur Memikul Kopi Keliling di Bahunya, Tak Pernah Cukup untuk Biaya Hidup
Tim Redaksi
DEPOK, KOMPAS.com –
Dalam hidup yang seolah terkurung dalam masalah ekonomi, Sinur (52) merasakan perasaan terjepit yang terus menghantui hari-harinya.
Pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini telah merantau di Depok sejak 1997. Kini berusaha mencari cara untuk mendapatkan nafkah dengan menjadi tukang kopi keliling.
Dengan senyum getir yang menjadi daya tarik bagi pembeli, Sinur menjajakan berbagai varian kopi instan yang dipikulnya di bahu.
Setiap hari, ia berkeliling dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB, berhenti di beberapa titik.
Namun, ia paling banyak menghabiskan waktu di bawah jembatan penyeberangan orang (JPO) depan Balai Kota Depok.
Di sinilah ia berinteraksi dengan para pembeli yang kebanyakan adalah pengendara ojek
online
.
“Meskipun hanya Rp 80.000 (kotor) per hari, hasil jualan ini jauh dari mencukupi,” kata Sinur saat ditemui di tepi Jalan Margonda Raya.
Dengan harga satu gelas kopi hanya Rp 4.000 dan modal belanja antara Rp 40.000 hingga Rp 60.000, ia hanya bisa menjual sekitar 10 gelas setiap hari. Bisa mencapai 20 gelas saat suasana ramai.
Setiap harinya, pendapatan yang ia dapat hanya cukup untuk membeli beras dan telur.
Namun, itu belum termasuk biaya untuk token listrik atau lauk pauk yang seringkali perlu dibeli.
“Makanan juga jadinya beli matang, karena kalau masak di rumah justru pengeluaran jadi gede,” ungkapnya.
Walaupun ia tinggal berdua dengan istri di rumah kontrakan, Sinur merasa terbelenggu dalam kondisi finansial yang sulit.
Ia mengungkapkan bahwa biaya sewa kontrakan sebesar Rp 500.000 per bulan ditanggung oleh istrinya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga.
“Saya malu karena setahunan ini enggak bisa bantu istri untuk bayar sewa kontrakan. Ya soalnya gimana, hasil jualan saya cuma Rp 40.000,” tambah Sinur dengan nada pilu.
Kedua anaknya yang hidup berjauhan pun tidak bisa dimintai pertolongan, karena mereka juga mengalami kesulitan yang sama.
“Menantu saya kuli bangunan, anak saya di kampung (Pekalongan) jualan pempek. Anak saja masih suka minta tolong istri saya,” jelasnya.
Tak hanya berjualan kopi, Sinur juga melakukan berbagai pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.
Ia beberapa kali menjadi kuli bangunan dengan bayaran sekitar Rp 100.000 hingga Rp 125.000 per hari.
“Bayarannya lumayan, tapi kalau pekerjaan ini tergantung proyek. Saya juga tunggu diajak kenalan,” terangnya.
Sinur pun tak ragu untuk menjadi tukang potong rumput jika ada teman dekat yang memintanya.
Meskipun pekerjaan-pekerjaan ini tidak bisa dilakukannya secara rutin, ia mengaku bahwa penghasilan dari sana cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
“Ya, saya asal tunggu panggilan saja. Kalau ada, jualan kopi saya lepas dulu,” ungkapnya.
Dari hasil sampingan ini, ia berharap bisa menyisihkan sedikit untuk tabungan.
Ia berharap suatu saat dapat modal untuk berjualan sayur gerobak, pekerjaan yang telah ia geluti selama 20 tahun.
“Pas 2023 terpaksa saya harus enggak jualan sayur lagi, karena kalah saing sama
online
, terus juga modalnya enggak sedikit,” ujar Sinur.
Harapan untuk kembali memulai usaha sayur mayur masih menyala, meski modal yang dibutuhkan terbilang cukup besar.
Di tengah kesulitan yang dialami, Sinur tetap pasrah dengan pendapatannya yang tidak seberapa.
“Jadinya, gajinya cuma segini, istilahnya ya mau keluar dari kesulitan itu susah. Jadi apa adanya, kita jalanin dulu begini,” tuturnya.
Dalam situasi yang begitu sulit, Sinur adalah sosok yang tetap berjuang meskipun terbatas, berharap ada secercah harapan yang akan mengubah nasibnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.