Keluarga di Bekasi Tinggal di Rumah Ambles, Hidup dalam Ancaman Roboh dan Banjir Megapolitan 4 Agustus 2025

Keluarga di Bekasi Tinggal di Rumah Ambles, Hidup dalam Ancaman Roboh dan Banjir
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Agustus 2025

Keluarga di Bekasi Tinggal di Rumah Ambles, Hidup dalam Ancaman Roboh dan Banjir
Tim Redaksi
BEKASI, KOMPAS.com –
Kecemasan dan rasa takut terus menghantui keluarga Maryani yang menempati sebuah
rumah kontrakan
di RT 01 RW 08, Kampung Sawah, Kelurahan Bintara Jaya, Kecamatan
Bekasi
Barat, Kota Bekasi.
Rasa waswas itu muncul karena kondisi rumah kontrakan yang mereka huni mengalami penurunan tanah hingga satu meter dalam beberapa tahun terakhir.
Akibatnya, struktur bangunan menjadi rapuh dan membahayakan keselamatan penghuni.
“Khawatirnya kalau hujan gede campur angin, takutnya pas tidur tiba-tiba roboh,” ujar Maryani, atau akrab disapa Yani, saat ditemui di rumah kontrakannya, Senin (4/8/2025).
Rumah berukuran 10 x 60 meter itu terbagi menjadi dua pintu kamar kontrakan. Satu pintu lainnya disewa oleh keluarga lain.
Salah satu pintunya ditempati keluarga Yani yang tinggal bersama suaminya, Wismo (45), serta dua putrinya, Siska Setiangingsih (13) dan Mutia Azahra Salsabila (11). Mereka telah menempati rumah tersebut sejak 2007.
Menurut Yani, saat pertama menempati rumah itu, posisi bangunan masih berada sekitar dua meter di atas permukaan tanah.
Namun seiring waktu, tanah perlahan turun dan membuat jarak antara atap rumah dengan tanah semakin sempit. Saat ini, tinggi plafon rumah hanya sekitar 180 sentimeter dari permukaan tanah.
Penurunan itu membuat rumah tampak seperti amblas ke dalam tanah bak ditelan bumi.
Keluarga Yani bahkan harus menundukkan kepala setiap kali hendak masuk ke halaman rumah, agar tidak terbentur plafon halaman yang terlalu rendah.
Kondisi rumah yang rendah juga membuat mereka rentan terdampak banjir. Hampir setiap bulan rumah mereka tergenang air, terlebih saat hujan deras mengguyur kawasan tersebut.
“Bisa sebulan sekali (
kebanjiran
), tapi paling parah yang dulu sampai tiang enggak kelihatan, itu kami ngungsi,” kata Yani.
Meski hidup dalam kondisi yang membahayakan, keluarga Yani tetap bertahan.
Alasannya, biaya sewa rumah kontrakan yang tergolong murah, yakni hanya Rp 200.000 per bulan. Pendapatan suaminya sebagai kuli bangunan pun tidak mencukupi untuk menyewa rumah di tempat lain.
“Kalau harapan ada dari dulu, kalau seandainya kami dapat bantuan, ibaratnya pindah kontrakan yang layak. Paling itu, tapi sampai sekarang belum ada,” imbuh dia.
 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.