Kehidupan Perias Jenazah yang Memberi Keindahan Terakhir bagi yang Pergi
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Profesi perias jenazah jarang terlihat di tengah kota, namun keberadaannya menjadi bagian penting dalam penghormatan terakhir bagi orang yang telah meninggal.
Gloria Elsa Hutasoit
(42) adalah salah satu sosok yang memilih jalan ini sebagai bentuk
pelayanan kemanusiaan
.
“Saya terjun ke dunia
perias jenazah
dari muda suka sekali makeup, dan kebetulan mama adalah perawat di RS dan pelayanan di gereja untuk memandikan jenazah,” kata Gloria, Jumat (5/12/2025).
Pengalaman pertamanya merias jenazah terjadi pada 2001, saat menyiapkan jenazah bibinya yang bekerja sebagai pemulung.
“Di situ saya tergerak bahwa pengantin Tuhan berhak dipersiapkan dengan layak di hari terakhirnya,” ucap Gloria.
Dari saat itu, ia mulai mendalami teknik pemulasaraan jenazah, memandikan, dan merias jenazah hingga kini.
Bekerja mandiri dari rumah ke rumah, Gloria melayani jenazah di wilayah DKI Jakarta dan terkadang luar kota.
Jadwal tidak menentu, satu hari bisa merias satu hingga tiga jenazah, dan kadang sama sekali tidak ada pekerjaan.
“Kalau saya bisa bantu, saya bantu. Saya ingat tante saya, dan banyak orang yang butuh dipersiapkan dengan layak,” kata Gloria.
Merias jenazah berbeda dengan merias orang hidup.
Kulit jenazah cenderung keras dan kering, dan beberapa jenazah memerlukan rekonstruksi akibat luka, lebam, atau operasi.
“Paling menantang itu ketika harus menutup luka-luka, lebam, atau ketika kulit mengalami perubahan warna seperti menghitam dan menguning,” tutur Gloria.
Selain keterampilan teknis, pekerjaan ini menuntut pengendalian emosi. Ia menekankan profesionalitas.
“Kami boleh simpati, tapi tidak boleh empati. Kami harus tetap fokus mempersiapkan jenazah, bukan terbawa suasana di sekitar,” ucap Gloria.
Cerita dari pengguna jasa menegaskan nilai profesi ini. Cristiene Maria (38) menggunakan jasa perias jenazah untuk ibunya yang meninggal.
“Mereka membersihkan wajah Ibu, merapikan rambut, lalu makeup tipis untuk menutup pucat dan lebam. Hasilnya natural,” katanya.
Biaya sekitar Rp 1,5 juta dianggap sepadan dengan pelayanan dan perhatian yang diberikan.
“Wajah Ibu terlihat damai, seperti sedang tidur. Itu sangat membantu kami menerima keadaan,” ujar Cristiene.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menyoroti dimensi sosial profesi ini.
Bagi Rahmat, perias jenazah bukan hanya profesi, melainkan panggilan hati.
“Semakin langka sebuah pekerjaan, semakin itu menjadi sebuah calling,” ujarnya.
Profesi perias jenazah, seperti dijalani Gloria, menampilkan lapisan kemanusiaan yang jarang terlihat.
Gloria menjaga martabat mereka yang telah berpulang, sekaligus memberi ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan.
(Reporter: Lidia Pratama Febrian | Editor: Faieq Hidayat)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kehidupan Perias Jenazah yang Memberi Keindahan Terakhir bagi yang Pergi Megapolitan 8 Desember 2025
/data/photo/2025/12/08/693689608d0da.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)