KPK Panggil Iwan Chandra Pengantar Uang Suap Rp 3 M untuk Ketua Kadin Kaltim Dayang Dona
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil pihak swasta Iwan Chandra terkait kasus dugaan suap pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur periode 2013-2018 pada Senin (8/9/2025).
Selain Iwan, KPK juga memanggil Chandra Setiawan selaku pihak swasta dalam perkara yang sama.
“Bertempat di Gedung KPK Merah Putih, pada hari Senin, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Sdr. CS alias IC, selaku swasta,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Senin.
Meski demikian, KPK tak mengungkapkan materi yang akan didalami dari pemeriksaan tersebut.
Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan pengusaha tambang Rudy Ong Chandra sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur periode 2013-2018, pada Senin (25/8/2025).
“KPK sebelumnya telah menetapkan 3 tersangka yaitu AFI, DDW, ROC (Rudy Ong),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin.
KPK menduga Rudy memberikan suap Rp 3,5 miliar dalam bentuk Dollar Singapura untuk mengurus 6 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur.
Uang tersebut diberikan Rudy kepada putri dari Gubernur Kalimantan Timur 2008-2018 Awang Faroek sekaligus Ketua Kadin, Dayang Donna Walfiaries Tania melalui perantara Iwan Chandra dan Sugeng di Hotel Samarinda.
Kasus korupsi yang menjerat Rudy Ong ini merupakan pengembangan penyidikan dari kasus dugaan suap IUP di Kalimantan Timur yang dilakukan KPK sejak September 2024.
KPK sebelumnya turut menetapkan Gubernur Kalimantan Timur 2008-2018 Awang Faroek Ishak (AFI) dan putri dari Awang Faroek sekaligus Ketua Kadin, Dayang Donna Walfiaries Tania sebagai tersangka dalam perkara ini.
Dalam proses penyidikan perkara ini, Rudy Ong pernah mengajukan praperadilan pada Oktober 2024 di PN Jakarta Selatan, namun gugatannya tidak diterima.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Rudy ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 22 Agustus sampai dengan 10 September 2025.
“Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK,” ujar Asep.
Atas perbuatannya, Rudy Ong Chandra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2025/07/01/68636c9140045.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Panggil Iwan Chandra Pengantar Uang Suap Rp 3 M untuk Ketua Kadin Kaltim Dayang Dona Nasional 8 September 2025
-
/data/photo/2025/09/04/68b973c2c728c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Meski Tak Terima Uang, Nadiem Makarim Dinilai Tetap Bisa Dijerat dalam Kasus Laptop Chromebook Nasional
Meski Tak Terima Uang, Nadiem Makarim Dinilai Tetap Bisa Dijerat dalam Kasus Laptop Chromebook
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Albert Aries, mengatakan, tidak adanya aliran dana kepada mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam kasus laptop Chromebook tidak serta-merta menghapus unsur pidana.
“Persoalan tidak adanya aliran dana kepada tersangka yang dalam konteks Pasal 2 UU Tipikor berupa memperkaya diri sendiri dan dalam Pasal 3 UU Tipikor berupa menguntungkan diri sendiri, hanyalah merupakan salah satu unsur alternatif di samping unsur memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain,” kata Albert kepada Kompas.com, Senin (8/9/2025).
Albert menyebut ada tiga hal penting yang harus dibuktikan dalam kasus ini.
Pertama, jika benar tidak ada aliran dana ke Nadiem selaku tersangka, perlu diuji apakah Nadiem memiliki mens rea berupa kesengajaan, bukan kelalaian, untuk memperkaya pihak lain dalam pengadaan Chromebook tersebut.
“Kedua, pasca Putusan MK No 25/PUU-XIV/2016, delik korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bukan lagi delik formal, melainkan merupakan delik materiil yang menitikberatkan pada timbulnya akibat,” jelas Albert.
Ia menambahkan, unsur kerugian negara yang saat ini masih dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) belum final.
Menurut dia, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, yang berwenang secara konstitusional untuk menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara,” ujarnya.
Hal ketiga yang menurut Albert harus diperhatikan adalah konteks kebijakan negara.
Ia menilai, dalam pengadaan barang, bisa saja sifat melawan hukum materiil tidak terpenuhi jika ternyata kebijakan itu justru bermanfaat bagi publik.
“Jika dalam pengadaan Chromebook itu negara sebenarnya tidak dirugikan, misalnya bisa dibuktikan bahwa sistem operasi Chromebook justru lebih menghemat anggaran karena tidak perlu ada tambahan lisensi, dan puluhan ribu sekolah penerima telah terlayani serta merasakan manfaatnya, maka sekali pun seluruh rumusan delik tipikor terpenuhi, yang bersangkutan tidak dapat dipidana,” kata Albert.
Oleh karena itu, penanganan kasus ini harus dilakukan secara hati-hati. Albert mengatakan, Kejagung harus cemat dalam membuktikan dugaan korupsi itu.
Sampai adanya vonis pengadilan, publik pun diingatkan untuk menghormati proses hukum yang masih berjalan.
“Kita perlu untuk menghormati proses penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung atas kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek 2019-2024 dengan tetap mengedepankan praduga tak bersalah atau presumption of innocence,” kata Albert.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung resmi menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook pada program digitalisasi pendidikan.
Pengumuman itu disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Nurcahyo Jungkung Madyo, pada Kamis (4/9/2025).
Menurut Kejaksaan, Nadiem sejak awal terlibat dalam pertemuan dengan Google Indonesia terkait penggunaan sistem operasi Chrome OS dalam perangkat TIK yang diadakan pemerintah.
Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 bahkan disebut mengunci penggunaan sistem operasi tersebut.
Dari hasil penyelidikan, Kejaksaan menaksir kerugian negara mencapai Rp 1,98 triliun, meski jumlah pasti masih menunggu perhitungan resmi BPKP.
Atas dugaan itu, Nadiem dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Ia kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selama 20 hari.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/28/6836956d65268.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang? Nasional 8 September 2025
RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang?
Pengamat hukum pidana dan kebijakan publik
“
PECUNIA non olet
”, demikian postulat yang artinya uang itu tidak ada baunya (
the money doesn’t smell
“).
Postulat itu berasal dari perkataan Kaisar Romawi Vespansianus saat menanggapi kritik dari anaknya atas pengenaan pajak urine di toilet-toilet umum Romawi pada masa itu.
Vespansianus menunjukkan koin hasil pungutan pajak itu kepada anaknya sambil mengatakan bahwa sekalipun uang itu berasal dari pungutan pajak urine, uang itu tidak bau.
Kemudian ungkapan tersebut terkenal dan sering dikaitkan dengan uang-uang hasil kejahatan yang tidak menebarkan bau kejahatan, karena selalu disimpan dan disembunyikan.
Salah satu dari 17 tuntutan yang terangkum dalam ”17+8, Tuntutan Rakyat” adalah “sahkan dan tegakkan UU perampasan aset koruptor”.
Tuntutan ini tentu tidak keliru, tapi tidak sepenuhnya tepat, karena RUU Perampasan Aset bukan hanya dimaksudkan untuk tindak pidana korupsi saja, melainkan untuk merespons tindak pidana bermotif ekonomi (
economic crimes
) yang umumnya bersifat
transnational organized crime.
Dalam
economic crimes
, penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan memang bukan lagi merupakan primadona.
Pasalnya, memutus rantai aset sebagai “aliran darah” untuk kejahatan, dianggap sebagai langkah yang lebih efektif, baik terhadap aset yang berbentuk benda bergerak, benda tidak bergerak, berwujud, tidak berwujud sepanjang mempunyai nilai ekonomis.
Paling tidak, anggapan ini menjadi hipotesis realita dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana substitusi dari pembayaran uang pengganti dengan penjara yang tidak melebihi ancaman hukuman maksimal pidana pokoknya dapat dituding sebagai “peluang” bagi koruptor untuk memilih opsi tersebut ketimbang harus membayarnya.
Cuplikan pandangan dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di media sosial yang menyatakan bahwa akar masalah di Indonesia adalah korupsi sehingga Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset atau menerbitkan Peraturan Pemerintah dari UU No 7/2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC, 2003) nyatanya tidak semudah itu untuk diwujudkan.
Berdasarkan konstitusi, meskipun Perppu bisa serta-merta berlaku ketika ditetapkan oleh presiden, tapi suatu Perppu haruslah mendapatkan persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya.
Sedangkan untuk usulan PP dari UU No 7/2006 secara hukum bukan merupakan
self executing treaty
, sehingga karena materi muatanya adalah hukum acara yang erat dengan hak asasi manuia, maka pelaksanaannya harus dengan peraturan setingkat UU.
Namun, persoalan sebenarnya juga bukan terletak pada formalitas pengaturannya di Perppu, UU, atau di PP, melainkan pada pergeseran dari paradigma pemidanaan.
Saat ini, paradigma lama yang masih digunakan adalah “in personam”, yang fokusnya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. Misalnya, korupsi dengan “hukuman” pidana yang seberat-beratnya, bahkan kalau perlu sampai pidana mati (Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor).
Sedangkan dalam RUU Perampasan Aset, paradigma barunya adalah “in rem”, yang fokusnya pada pemulihan asset (
upon the thing
), yaitu melalui rezim penyitaan dan perampasan aset tindak pidana dengan permohonan kuasi perdata (
Civil Forfeiture
).
Sekurang-kurangnya ada 4 (empat) jenis aset yang dapat dirampas melalui mekanisme ini.
Pertama, segala aset yang diduga merupakan hasil pidana dan aset lain yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dikonversikan menjadi harta kekayaan lain.
Kedua, aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Ketiga, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti. Keempat, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana sejak berlakunya RUU tersebut.
Adapun pertimbangan dilakukannya perampasan aset secara “in rem” adalah:
Dalam draft RUU Perampasan Aset yang beredar, prosesnya dimulai dari penelusuran untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal usul, keberadaan, dan kepemilikan aset tindak pidana yang dapat dilakukan oleh penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, BNN dan Penyidik PNS.
Selanjutnya, dilakukan pemblokiran dan penyitaan, yaitu serangkaian tindakan pembekuan sementara aset yang diduga merupakan aset tindak pidana yang kemudian diikuti tindakan untuk mengambil alih sementara penguasaan atas aset yang diduga merupakan aset tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan perkara di pengadilan.
Sesudah pemberkasan aset selesai dilakukan, maka penyidik atau penuntut umum akan menyerahkan hasil pemberkasan itu kepada jaksa pengacara negara pada kejaksaan negeri setempat untuk diajukan permohonannya ke pengadilan.
Setelah permohonan diajukan ke pengadilan negeri, majelis hakim yang ditunjuk akan memerintahkan panitera untuk mengumumkan permohonan perampasan aset sehingga membuka kemungkinan adanya keberatan atau perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan haknya atas permohonan perampasan aset bahwa itu bukan merupakan aset tindak pidana.
Sebagai mekanisme kuasi perdata, putusan majelis hakim akan menyatakan permohonan perampasan aset diterima jika jaksa pengacara negara dalam pemeriksaan di sidang pengadilan dapat membuktikan bahwa aset yang dimintakan untuk dirampas itu merupakan aset tindak pidana.
Sebaliknya, jika pihak yang mengajukan keberatan dan/atau perlawanan dapat membuktikan bahwa aset yang diblokir, disita, dan/atau aset yang dimintakan untuk dirampas merupakan miliknya yang sah dan/atau bukan merupakan aset tindak pidana, maka putusan majelis hakim menyatakan bahwa permohonan perampasan aset yang diajukan jaksa pengacara negara ditolak.
Mencermati RUU Perampasan Aset yang dirancang ibarat sapu jagat, maka harapannya Pemerintah dan DPR bukan hanya fokus pada pengesahan kilat dari RUU Perampasan Aset sebagai suatu substansi hukum (
legal substance
).
DPR dan pemerintah perlu mendorong perbaikan dari sisi profesionalisme dan integritas dari aparat penegak hukum (
legal structure
).
Selain partisipasi yang bermakna (
meaningful participation
), harus dipastikan bahwa RUU Perampasan Aset ini tidak jadi bumerang, dijadikan instrumen
political engineering
yang hanya melayani kepentingan kekuasaan.
Pengesahan RUU tersebut harus berfungsi sebagai rekayasa keadilan sosial (
social justice engineering
), yakni memulihkan kembali aset hasil tindak pidana sesuai prinsip-prinsip kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Tantangan dari penerapan RUU Perampasan Aset ini bukanlah semata-mata untuk menjustifikasi tindakan sewenang-wenang dari Negara terhadap warga negaranya, dan harus dapat diuji objektifitasnya di pengadilan oleh pihak ketiga yang beriktikad baik, sebagaimana postulat “ex turpi causa non oritur actio”, yang artinya penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum jika hal itu berkaitan dengan perbuatan gelapnya sendiri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/04/68b973c282be8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Hotman Paris Tantang Adu Fakta Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo, Ini Kata Istana dan Kejagung Nasional
Hotman Paris Tantang Adu Fakta Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo, Ini Kata Istana dan Kejagung
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di tengah sorotan publik terhadap kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), pengacara kondang Hotman Paris Hutapea muncul dengan langkah tak biasa.
Ia menantang untuk membuktikan langsung di hadapan Presiden Prabowo Subianto bahwa kliennya, mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim, tidak bersalah.
“Nadiem Makarim tidak menerima uang 1 sen pun, tidak ada
mark-up
, dan tidak ada yang diperkaya. Saya hanya butuh 10 menit untuk membuktikan itu di depan Presiden Prabowo,” kata Hotman, dikutip dari akun Instagram pribadinya, Jumat (5/9/2025).
Hotman bahkan meminta agar perkara ini digelar secara terbuka di Istana Negara agar publik bisa menyaksikan langsung fakta sebenarnya.
Menurutnya, tudingan yang dialamatkan kepada Nadiem tidak berdasar karena hasil penyelidikan justru menunjukkan bahwa tidak ada aliran dana yang menguntungkan mantan menteri tersebut.
Menyikapi langkah Hotman Paris yang siap “berduel fakta” di hadapan Presiden Prabowo, pihak Istana mengambil posisi hati-hati.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan, pemerintah tidak akan masuk terlalu jauh dalam perkara hukum yang sedang berjalan.
“Kita serahkan kepada proses hukum saja,” kata Hasan kepada
Kompas.com
, Minggu (7/9/2025).
Ia menekankan bahwa pemerintah tidak memiliki niat untuk mengintervensi jalannya proses hukum terhadap Nadiem.
“Pemerintah tidak intervensi proses hukum,” ujar Hasan.
Sementara itu, Kejaksaan Agung memilih merespons dingin pernyataan Hotman Paris.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, mengatakan, pihaknya tidak dapat berkomentar banyak lantaran kasus masih berada dalam tahap penyidikan.
“Mohon maaf saya belum bisa berkomentar terlalu banyak karena perkara ini sedang dalam tahap penyidikan,” kata Anang kepada
Kompas.com
, Sabtu (6/9/2025).
Meski begitu, ia menegaskan bahwa Kejaksaan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah terhadap Nadiem.
“Biarkan saja berjalan sesuai ketentuan dan kita menghormati asas praduga tak bersalah terhadap Pak NM,” lanjut Anang.
Ia juga memastikan penyidik akan bekerja untuk membuka semua fakta.
“Biar penyidik mendalami untuk mengungkap semua fakta hukum dan pihak-pihak yang terlibat nantinya,” ujar Anang.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung resmi menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook pada program digitalisasi pendidikan.
Pengumuman itu disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Nurcahyo Jungkung Madyo, pada Kamis (4/9/2025).
Menurut Kejaksaan, Nadiem sejak awal terlibat dalam pertemuan dengan Google Indonesia terkait penggunaan sistem operasi Chrome OS dalam perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang diadakan pemerintah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 5 Tahun 2021 bahkan disebut mengunci penggunaan sistem operasi tersebut.
Dari hasil penyelidikan, Kejaksaan menaksir kerugian negara mencapai Rp 1,98 triliun, meski jumlah pasti masih menunggu perhitungan resmi BPKP.
Atas dugaan itu, Nadiem dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3
juncto
Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001,
juncto
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Ia pun ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selama 20 hari pertama sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/07/68bd7a104a557.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor Regional
Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor
Tim Redaksi
BUTON TENGAH, KOMPAS.com –
Seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, berinisial LMJ (53) ditangkap polisi.
Ia kedapatan mengambil uang fee sebesar Rp 59 juta dari anggaran kegiatan Paskibra 2025.
LMJ yang menjabat sebagai kepala bidang ini ditangkap oleh tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Buton Tengah di jalan raya pada Rabu (3/9/2025).
“Hasil tangkap tangan tim menemukan uang tunai pecahan seratus dan pecahan lima puluh senilai Rp 59 juta,” kata Kepala Satreskrim Polres Buton Tengah, AKP Busrol Kamal, melalui pesan singkat, Minggu (7/9/2025).
Uang tersebut disembunyikan pelaku dalam kantong plastik hitam dan disimpan di balik sadel motornya.
Polisi kemudian menyita uang tersebut dan juga telepon genggam milik pelaku LMJ sebagai barang bukti.
LMJ kemudian diarahkan naik mobil milik polisi dan selanjutnya dibawa ke Mapolres Buton Tengah.
“(Penangkapan) ini berdasarkan informasi dari masyarakat ada permintaan dana dari penyedia oleh salah seorang ASN yang bertugas pada Kesbangpol Buton Tengah,” ujarnya.
Busrol menjelaskan, anggaran untuk Paskibraka mencapai sekitar Rp 700 juta, salah satu item anggaran yakni makan minum sebesar Rp 180 juta, pelaku LMJ meminta fee Rp 59 juta.
“Kegiatan ini tangkap tangan salah satu item kegiatan Paskibra yakni makan dan minum. Setelah melalui proses penyidikan dan dilakukan penetapan tersangka,” ucap Busrol.
Saat ini pelaku diamankan di ruang tahanan Mapolres Buton Tengah, ia dijerat Pasal 12 huruf E Undang-Undangan Nomor 31 tentang Pemberantasan Korupsi dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/07/68bd7a104a557.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibraka dalam Jok Motor Regional 7 September 2025
Tangkap Tangan, Kabid Kesbangpol Buton Tengah Simpan Uang Korupsi Paskibra dalam Jok Motor
Tim Redaksi
BUTON TENGAH, KOMPAS.com –
Seorang aparatur sipil negara (ASN) dari Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, berinisial LMJ (53) ditangkap polisi.
Ia kedapatan mengambil uang fee sebesar Rp 59 juta dari anggaran kegiatan Paskibraka 2025.
LMJ yang menjabat sebagai kepala bidang ini ditangkap oleh tim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Buton Tengah di jalan raya pada Rabu (3/9/2025).
“Hasil tangkap tangan tim menemukan uang tunai pecahan seratus dan pecahan lima puluh senilai Rp 59 juta,” kata Kepala Satreskrim Polres Buton Tengah, AKP Busrol Kamal, melalui pesan singkat, Minggu (7/9/2025).
Uang tersebut disembunyikan pelaku dalam kantong plastik hitam dan disimpan di balik sadel motornya.
Polisi kemudian menyita uang tersebut dan juga telepon genggam milik pelaku LMJ sebagai barang bukti.
LMJ kemudian diarahkan naik mobil milik polisi dan selanjutnya dibawa ke Mapolres Buton Tengah.
“(Penangkapan) ini berdasarkan informasi dari masyarakat ada permintaan dana dari penyedia oleh salah seorang ASN yang bertugas pada Kesbangpol Buton Tengah,” ujarnya.
Busrol menjelaskan, anggaran untuk Paskibraka mencapai sekitar Rp 700 juta, salah satu item anggaran yakni makan minum sebesar Rp 180 juta, pelaku LMJ meminta fee Rp 59 juta.
“Kegiatan ini tangkap tangan salah satu item kegiatan Paskibraka yakni makan dan minum. Setelah melalui proses penyidikan dan dilakukan penetapan tersangka,” ucap Busrol.
Saat ini pelaku diamankan di ruang tahanan Mapolres Buton Tengah, ia dijerat Pasal 12 huruf E Undang-Undangan Nomor 31 tentang Pemberantasan Korupsi dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/14/689d855eb0482.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo Nasional
Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi angkat bicara, perihal pengacara kondang Hotman Paris yang mau membuktikan di hadapan Presiden Prabowo Subianto bahwa kliennya, Nadiem Makarim tidak bersalah di kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook.
Hasan menyebut, pemerintah menyerahkan kasus Nadiem Makarim kepada penegak hukum.
“Kita serahkan kepada proses hukum saja,” ujar Hasan kepada Kompas.com, Minggu (7/9/2025).
Hasan menekankan, pemerintah tidak akan mengintervensi proses hukum.
“Pemerintah tidak intervensi proses hukum,” ujar Hasan Nasbi
Sebelumnya, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada program digitalisasi pendidikan.
Penetapan tersangka diumumkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Nurcahyo Jungkung Madyo, pada Kamis (4/9/2025).
Menurut Kejaksaan, dugaan tindak pidana korupsi ini menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 1,98 triliun.
Kuasa hukum Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea menilai penetapan tersangka ini janggal.
Menurutnya, hasil penyelidikan justru membuktikan bahwa Nadiem tidak menerima uang suap dan tidak melakukan
mark-up
harga laptop.
“Nadiem Makarim tidak menerima uang 1 sen pun, tidak ada
mark-up
, dan tidak ada yang diperkaya. Saya hanya butuh 10 menit untuk membuktikan itu di depan Presiden Prabowo,” kata Hotman Paris, dikutip akun Instagram-nya, Jumat (5/9/2025).
Dia bahkan meminta agar perkara ini digelar terbuka di Istana agar publik bisa melihat langsung fakta sebenarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/04/68b973c282be8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim Nasional
Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim
Seorang ASN di lingkungan Mahkamah Agung RI yang bertugas di Pengadilan Agama Dumai. Lulusan Ilmu Hukum Universitas Riau ini aktif menulis isu-isu hukum, pelayanan publik, serta pengembangan teknologi informasi di sektor peradilan.
ADA
rasa getir ketika mendengar kabar seorang mantan menteri muda, yang dulu dielu-elukan sebagai wajah baru pendidikan Indonesia, kini harus berhadapan dengan jerat hukum.
Nadiem Makarim, sosok yang identik dengan kata inovasi dan modernisasi birokrasi, justru disebut merugikan negara hingga hampir Rp 2 triliun lewat proyek pengadaan Chromebook.
Sebagian orang bertanya-tanya, apakah ini benar-benar korupsi, ataukah hanya kebijakan yang keliru? Apakah niat membangun ekosistem digital pendidikan bisa begitu saja berubah menjadi jerat pidana?
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul, sebab dalam praktik hukum, membedakan antara kebijakan yang salah arah dengan tindakan korupsi memang kerap tipis batasnya.
Namun, hukum memiliki rambu yang jelas. Dalam UU Tipikor (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), seseorang dapat dijerat bila terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta merugikan keuangan negara.
Maka ketika pengadaan laptop ini dituding penuh
mark up
harga, tidak sesuai spesifikasi, bahkan menyalahi aturan tata kelola pengadaan barang dan jasa, maka pertanyaan utama bukan lagi soal niat, melainkan soal dampak: apakah negara benar-benar dirugikan dan siapa yang diuntungkan?
Saya masih ingat, ketika pandemi Covid-19 datang, dunia pendidikan mendadak gagap. Sekolah tutup, guru dan murid dipaksa akrab dengan layar.
Maka program digitalisasi sekolah terasa masuk akal. Chromebook dipilih, karena ringan, murah, berbasis
cloud.
Namun, anggaran yang digelontorkan negara begitu besar, yaitu hampir Rp 10 triliun. Angka yang mestinya menjadi investasi masa depan, kini justru tercatat sebagai kerugian negara. Bagaimana bisa?
Kejaksaan menemukan harga yang jauh di atas wajar, ditambah software tak relevan yang menguras ratusan miliar rupiah.
Di sinilah kata
mark-up
bergema, istilah yang di Indonesia nyaris selalu sinonim dengan korupsi. Bukan lagi sekadar selisih angka, tetapi simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Hukum sebenarnya memberi pagar yang jelas. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, siapapun yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan akibatnya merugikan keuangan negara, dapat dijatuhi hukuman pidana.
Maka, pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab bukan hanya berapa besar kerugian, melainkan siapa yang menikmati keuntungan dari transaksi yang cacat ini.
Di titik ini, mimpi digitalisasi berubah jadi luka. Bayangkan, jika laptop yang seharusnya membantu anak-anak di daerah, malah tersimpan di gudang karena rusak atau tak sesuai kebutuhan.
Anggaran yang seharusnya jadi jembatan menuju masa depan, justru terkubur dalam laporan kerugian negara.
Ironisnya, program yang awalnya dikampanyekan sebagai wajah baru pendidikan digital, kini identik dengan praktik lama yang sudah terlalu sering kita dengar, yaitu korupsi.
Kita kembali diingatkan bahwa niat baik sekalipun, bila dijalankan tanpa transparansi, akuntabilitas, dan integritas, bisa bermuara pada kehancuran kepercayaan publik.
Dalam hukum, korupsi bukan sekadar “uang negara habis,” tapi ada unsur yang lebih jelas dan tegas, yakni perbuatan melawan hukum, kerugian negara, keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain.
Tiga hal ini adalah “roh” yang membedakan apakah suatu tindakan bisa disebut tindak pidana korupsi atau sekadar kegagalan kebijakan.
Artinya, kebijakan yang salah arah belum tentu korupsi. Bisa saja itu hanya
policy failure
, yaitu niat baik yang tak sampai pada hasil.
Banyak contoh dalam sejarah birokrasi, di mana program dengan visi mulia akhirnya tidak efektif karena lemahnya perencanaan, keterbatasan sumber daya, atau miskomunikasi antara pusat dan daerah. Itu gagal, iya, tapi bukan korupsi.
Namun, hukum memandang berbeda ketika kebijakan disusun bukan untuk kepentingan publik, melainkan mengunci pasar, mengarahkan keuntungan, atau bahkan memperkaya kelompok tertentu.
Jika spesifikasi teknis dibuat sedemikian rupa agar hanya cocok dengan vendor tertentu, jika harga didongkrak jauh di atas nilai pasar, dan jika kemudian ada pihak, baik individu maupun korporasi yang menikmati hasilnya, maka di situlah
policy corruption
lahir.
Inilah yang kini dituduhkan pada Nadiem. Kasus yang membuat publik bertanya-tanya, apakah ia murni korban salah kelola, ataukah benar-benar arsitek kebijakan yang secara sistematis membuka ruang bagi keuntungan segelintir pihak?
Perbedaan ini penting, sebab menyangkut keadilan. Menyebut
policy failure
sebagai korupsi bisa membuat pejabat takut berinovasi. Namun, membiarkan
policy corruption
lolos dari jerat hukum justru merusak sendi-sendi negara hukum.
Di sinilah kita ditantang untuk jujur, apakah kegagalan ini lahir dari niat baik yang tak terwujud, atau dari rekayasa kebijakan yang sejak awal memang diarahkan untuk “menyetir” keuntungan ke pihak tertentu?
Secara teknis, seorang menteri tidak pernah menandatangani kontrak pengadaan per laptop. Itu adalah domain pejabat pembuat komitmen (PPK), panitia lelang, dan pejabat pelaksana teknis kegiatan.
Namun, sebagai pucuk pimpinan, menteri tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri. Ia bertanggung jawab atas arah kebijakan, atas filosofi yang melatari program, dan atas integritas sistem yang ia bangun.
Pertanyaan pun menggantung, apakah Nadiem sadar ada
mark-up
dalam pengadaan ini? Apakah ia menutup mata ketika spesifikasi produk didesain sedemikian rupa sehingga hanya vendor tertentu yang bisa masuk?
Ataukah ia murni mendorong inovasi digitalisasi pendidikan, lalu kelemahan sistem pengadaan yang rapuh dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang oportunis?
Hukum pidana korupsi tidak hanya bicara soal tindakan langsung, tapi juga soal penyalahgunaan wewenang dan pembiaran.
Pasal 3 UU Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan, sehingga merugikan keuangan negara, dapat dipidana.
Artinya, bahkan kelalaian yang disengaja, membiarkan sistem dikeruk oleh kepentingan, dapat dilihat sebagai bentuk kesalahan.
Inilah yang kini diuji. Apakah kasus Chromebook adalah tragedi seorang inovator, yakni seorang menteri muda yang terperangkap dalam jaring birokrasi korup yang sudah mengakar?
Ataukah ini justru potret nyata dari penyalahgunaan wewenang, di mana idealisme hanya menjadi bungkus retorika, sementara praktiknya tetap melanggengkan pola lama, yaitu proyek besar, vendor tertentu, dan rakyat yang menanggung rugi?
Kini, panggung berpindah. Dari ruang diskusi publik yang penuh spekulasi, ke ruang pengadilan yang dingin dan formal.
Di sana, bukti berbicara, bukan sekadar persepsi. Dan jawaban akhirnya akan menentukan bukan hanya nasib seorang menteri, tetapi juga arah kepercayaan publik pada reformasi birokrasi, apakah benar kita sedang melahirkan pemimpin baru, atau hanya mengganti wajah lama dengan wajah yang lebih muda.
Kasus ini menyisakan luka kolektif. Betapa mahal harga dari kebijakan yang tergelincir. Pendidikan yang mestinya menjadi jalan menuju masa depan bangsa, justru tercoreng oleh praktik lama, yaitu
mark-up
, kolusi, dan kepentingan tersembunyi.
Luka itu bukan hanya soal angka triliunan rupiah yang lenyap, melainkan juga tentang hilangnya kepercayaan publik.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak, lalu bertanya dengan jujur: Bagaimana seharusnya inovasi dibangun tanpa kehilangan akuntabilitas?
Sebab inovasi tanpa integritas hanyalah mimpi kosong. Betapapun briliannya gagasan, jika tidak ditopang dengan sistem yang transparan dan pengawasan kuat, ia mudah berubah menjadi jebakan.
Bagaimana caranya kebijakan tidak hanya brilian di atas kertas, tapi juga bersih di lapangan? Di sinilah pentingnya
check and balance
. Peraturan bukanlah musuh inovasi, melainkan pagar agar ide besar tidak tergelincir menjadi penyalahgunaan.
Pada akhirnya, kasus ini bukan sekadar tentang Nadiem, bukan pula hanya tentang Chromebook. Ini tentang wajah birokrasi kita, tentang tipisnya garis pemisah antara mimpi dan manipulasi.
Tentang betapa mudahnya jargon perubahan tereduksi menjadi proyek yang menumbuhkan kecurigaan.
Dan lebih dari itu, ini tentang kita semua, rakyat yang menaruh harapan, tetapi juga sering lengah untuk mengawasi.
Bukankah keadilan sejati lahir bukan hanya dari hakim di pengadilan, melainkan juga dari kesadaran kolektif bahwa amanah publik adalah sesuatu yang suci, yang tidak boleh dipermainkan?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

