Kasus: Tipikor

  • KPK Perpanjang Masa Penahanan Eks Wamenaker Noel

    KPK Perpanjang Masa Penahanan Eks Wamenaker Noel

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi memperpanjang masa penahanan mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel selama 40 hari kedepan.

    Diketahui Noel ditahan di Rutan KPK selama 20 hari ke depan sejak 22 Agustus hingga 10 September. Setelahnya, masa penahanan diperpanjang 40 hari.

    “Jika memang sudah habis masa penahanan untuk 20 hari pertama, tentu penyidik akan melakukan perpanjangan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Kamis (11/9/2025)

    Penambahan masa tahanan juga berlaku untuk 10 tersangka lainnya. Budi mengatakan alasan perpanjangan masa tahanan karena penyidik KPK masih mendalami informasi dari para tersangka, saksi, maupun pihak lainnya.

    “Memang penyidikannya masih berproses, masih dibutuhkan pemeriksaan-pemeriksaan terhadap para tersangka yang sudah ditetapkan maupun para saksi ataupun pihak lain yang terkait,” ujar Budi.

    Sebagai informasi, Immanuel Ebenezel dan 10 tersangka lainnya merupakan tersangka terkait dugaan pemerasaan penerbitan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

    Mereka melakukan penggelembungan penerbitan sertifikat K3 dari sebesar Rp275.000 menjadi Rp6 juta.

    “Para tersangka dengan cara memperlambat, mempersulit, dan tidak memproses permohonan sertifikat,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam keterangan tertulis, Jumat (23/8/2025).

    Adapun 10 tersangka lainnya, yaitu:

    1. Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 tahun 2022-2025

    2. Gerry Aditya Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022-sekarang

    3. Subhan selaku Subkoordinator Keselamatan Kerja Dit Bina K3 tahun 2020-2025

    4. Anitasari Kusumawati selaku Subkoordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020 sampai sekarang

    5. Fahrurozi selaku Dirjen Binwasnaker dan K3 pada Maret 2025 sampai sekarang

    6. Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021 sampai Februari 2025

    7. Sekarsari Kartika Putri selaku Subkoordinator

    8. Supriadi selaku Koordinator

    9. Temurila selaku pihak PT KEM Indonesia

    10. Miki Mahfud selaku pihak PT KEM Indonesia.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO Nasional 11 September 2025

    Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, membantah uang puluhan miliar yang tersimpan di brankas di rumahnya merupakan uang yang berkaitan dengan perkara
    crude palm oil
    (CPO) atau kasus minyak goreng (migor).
    Hal ini disampaikan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
    Dalam sidang, jaksa memperlihatkan sebuah foto tumpukan uang di dalam brankas.
    “Saya akan tunjukkan gambar-gambar terkait uang-uang yang disimpan dalam bentuk USD dalam brankas yang nilainya bisa puluhan miliar. Pertanyaannya, uang apa ini? Dan dari mana asal uang ini, dan untuk kebutuhan apa?” tanya salah satu jaksa saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Marcella mengatakan, uang yang ditunjukkan dalam foto adalah uang kas perusahaannya.
    Ia mengaku, perusahaannya selalu punya uang kas dalam bentuk mata uang asing.
    “Itu uang saya, Pak. Saya selalu punya kas dalam bentuk USD,” jawab Marcella.
    Ia pun merujuk pada berita acara pemeriksaan (BAP).
    Marcella menyebutkan, uang-uang itu berasal dari
    success fee
    dari beberapa perkara.
    Salah satu yang paling besar nilainya mencapai Rp 50 miliar.
    “Saya sudah sampaikan di BAP, salah satu dari sumber yang paling besar itu adalah
    success fee
    dari klien saya, nilainya sekitar lebih dari Rp 50 miliar,” jelas Marcella.
    Marcella menjelaskan, uang
    success fee
    ini terkadang ditarik oleh suaminya, Ariyanto, yang juga pengacara di law firm yang sama.
    “(Uang di foto brankas) ini
    success fee
    termasuk perkara migor?” tanya jaksa lagi.
    Marcella menegaskan, uang dalam brankas bukan uang terkait kasus migor.
    “Ini campuran, ini tidak ada
    success fee
    perkara migor, Pak. Saya belum menagih
    success fee
    dan saya tidak ada
    success fee,
    ini tidak ada kaitannya,” kata Marcella.
    Jaksa kembali mencecar Marcella terkait keberadaan mata uang asing dalam jumlah banyak ini.
    Atas pertanyaan jaksa, Marcella menjelaskan bahwa suaminya terbiasa menarik uang hasil pendapatan mereka dari bank.
    Kemudian, uang ini ditukar ke dalam Dolar Amerika Serikat dan disimpan sampai dibutuhkan nanti.
    “Pak Ari, karena dia suka menarik dari bank, kemudian dia belikan dollar, karena dollar menurut dia harganya lebih stabil,” jelas Marcella.
    Pada kasus ini, Marcella merupakan pengacara dari tiga korporasi CPO.
    Ia juga telah menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap hakim.
    Namun, berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terungkap di Sidang Suap Vonis Lepas Migor soal Tawaran Sejuta Dolar AS

    Terungkap di Sidang Suap Vonis Lepas Migor soal Tawaran Sejuta Dolar AS

    Jakarta

    Kasus suap hakim terkait vonis lepas terdakwa korporasi minyak goreng (migor) tengah bergulir. Tawaran suap senilai USD 1 juta terungkap dalam sidang.

    Hal itu disampaikan oleh mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Rudi Suparmono. Dia mengungkap tawaran itu disampaikan oleh seseorang bernama Agusrin Maryono.

    Rudi Suparmono diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/9/2025). Duduk sebagai terdakwa ialah hakim Muhammad Arif Nuryanta, panitera Wahyu Gunawan, hakim Djuyamto, hakim Agam Syarief Baharudin, dan hakim Ali Muhtarom.

    Rudi mengatakan Agusrin meminta bantuan terkait perkara minyak goreng. Rudi mengklaim Agusrin tak menjelaskan detail bantuan yang diminta.

    “Sepemahaman saudara kata atau makna mohon dibantu itu seperti apa?” tanya jaksa.

    “Saat itu saya nggak nanya secara langsung keinginannya apa, karena memang beliau juga nggak lama di ruangan, hanya itu saja. Dan kemudian saya tidak mencermati itu sebagai sesuatu yang kemudian harus A, harus B, harus C. Saya hanya tahu itu mohon dibantu saja,” jawab Rudi.

    Rudi mengatakan Agusrin datang lagi menemuinya dan memberikan tawaran. Dia menyebutkan Agusrin menawarkan USD 1 juta atau setara Rp 16,3 miliar berdasarkan kurs saat ini untuk membantu perkara minyak goreng.

    “Saat itu beliau menawarkan ke saya uang 1 juta dolar (USD),” jawab Rudi.

    “Apa permintaannya pak?” tanya jaksa.

    “Bantuan tadi,” jawab Rudi.

    Jaksa mendalami permintaan bantuan yang diinginkan Agusrin dengan tawaran USD 1 juta tersebut. Rudi mengaku tak berkomentar apapun saat itu.

    “Konteks dibantunya apa? Diputus bebas misalkan?” tanya jaksa.

    “Ndak ada sama sekali, nggak bicara soal itu,” jawab Rudi.

    “Jadi kalau dibantu itu 1 juta USD pemahaman saudara masak tidak bertanya pak?” tanya jaksa.

    “Saat itu saya tidak kejar untuk bertanya, saya hanya mendengar saja apa yang disampaikan,” jawab Rudi.

    “1 juta USD kan cukup besar pak,” ujar jaksa.

    “Betul, cukup besar, dan saat itu saya tidak komentar apa pun,” jawab Rudi.

    Nyesal Tak Lapor soal Tawaran Suap

    Rudi mengaku mendapat tawaran USD 1 juta itu dari seseorang bernama Agusrin Maryono. Dia mengatakan Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta (MAN) lalu menyerahkan kepadanya untuk menyikapi tawaran tersebut. Saat kasus itu terjadi Rudi merupakan Ketua PN Jakpus dan Arif Wakil Ketua PN Jakpus.

    “Setelah Saudara bertemu Agusrin dan ada tawaran 1 juta USD untuk membantu perkara migor ya, Pak, apakah saudara pada saat itu berkoordinasi atau memanggil Waka PN, Pak? Pada saat itu Terdakwa MAN,” tanya jaksa.

    “Sejatinya kan saya dari awal udah ngomong nggak tahu persis itu perkara, makanya saya harus tahu kejelasan itu perkara apa. Saya bertemu dengan Pak Arif waktu itu saya ke ruangan beliau kalau nggak salah,” jawab Rudi.

    “Bapak ke ruangan Pak Arif?” tanya jaksa.

    “Kalau nggak salah saya ke ruangan beliau, untuk memastikan tadi itu dan saat saya bertanya beliau posisinya dalam kondisi biasa, artinya nggak menerangkan apapun tentang itu, diserahkan ke saya,” jawab Rudi.

    Rudi mengatakan tidak menyampaikan ke Arif terkait nominal tawaran USD 1 juta tersebut. Dia mengatakan hanya menyampaikan ke Arif bila Agusrin datang menemuinya dan meminta agar perkara minyak goreng ‘dibantu’.

    Rudi mengaku memilih untuk tidak menindaklanjuti tawaran Agusrin tersebut. Dia memahami jika tindakannya saat mencari tahu soal perkara tersebut ke Arif adalah salah.

    “Nah, ini kan jawaban-jawaban yang bias ya, Pak ya, monggo, silakan, Pak, pemahaman Saudara pada saat Pak MAN menyampaikan itu apa, Pak? Artinya tawaran itu boleh Bapak tindak lanjuti atau seperti apa?” tanya jaksa.

    “Intinya diserahkan ke saya untuk memilih, saya tidak diarahkan untuk milih A atau B. Maka kemudian saya sikapi itu dengan pilihan saya, untuk tidak menindaklanjuti,” jawab Rudi.

    “Saudara kan saat itu ya sebagai pejabat, mohon maaf, di lingkungan peradilan harusnya kan tahu itu, Pak, itu hal yang bernuansa negatif ya, Pak. Kenapa saudara tidak menolak tegas pada saat itu? Untuk mengingatkan misalkan Pak MAN saat itu untuk tidak bermain-main dengan perkara yang ditangani?” tanya jaksa.

    “Saya akui saat itu memang saya ingin kejelasan lalu bertanya, tidak lebih dari itu, hanya untuk bertanya dulu posisinya seperti apa. Itu memang secara jabatan tidak dibenarkan, paham,” jawab Rudi.

    Jaksa mendalami apakah Rudi tidak membuat laporan terkait upaya suap melalui tawaran yang diberikan Agusrin. Rudi mengaku tidak melapor dan hanya menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri.

    “Saudara tidak mencoba membuat laporan misalkan upaya penyuapan seperti itu?” tanya jaksa.

    “Saya keep untuk saya saja,” jawab Rudi.

    “Kemudian, pada masa jabatan saudara, ini kan perkara migor bergulir, Pak, ya. Kemudian pada akhirnya perkara migor itu putus pada saat saudara masih menjabat atau setelah saudara tidak menjabat lagi?” tanya jaksa.

    “Saya sudah meninggalkan PN Pusat,” jawab Rudi.

    Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi migor diketuai hakim Djuyamto dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

    Total suap yang diterima para terdakwa diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut. Mereka juga sudah menjadi tersangka.

    Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

    Rudi sendiri merupakan terdakwa kasus suap terkait vonis bebas Ronald Tannur dalam kasus tewasnya Dini Sera yang diadili di PN Surabaya. Saat suap vonis bebas Ronald terjadi, Rudi merupakan Ketua PN Surabaya. Kini, Rudi juga telah divonis 7 tahun penjara.

    Halaman 2 dari 3

    (ygs/ygs)

  • Pengakuan Noel soal Setoran Lain Diungkap KPK

    Pengakuan Noel soal Setoran Lain Diungkap KPK

    Jakarta

    Temuan baru mencuat terkait kasus pemerasan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang melibatkan mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel. Kini, Noel mengaku mendapatkan setoran lain.

    “Nah memang secara garis besar sudah ada informasi dari yang bersangkutan bahwa memang ada (penerimaan) dari yang lain,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, kepada wartawan, Selasa (9/9/2025).

    Asep menyebut pada awalnya yang diketahui diterima Noel adalah uang Rp 3 miliar untuk merenovasi rumah. Selain itu, ada 1 motor merek Ducati yang diterima Noel.

    “Nah itu sedang di… apa namanya, sedang kita telusuri (dugaan penerimaan lain). Kenapa? Karena awalnya kalau yang terkait dengan sertifikasi K3 itu ada uang Rp 3 miliar dengan 1 motor. Kan itu ya, Ducati,” sebutnya.

    Asep mengatakan penerimaan lain yang didapat Noel saat ini tengah didalami. Untuk itu, Noel juga dikenai Pasal 12B UU Tipikor tentang gratifikasi.

    “Maka kami selain menggunakan Pasal 12e (pasal pemerasan) kami juga menggunakan Pasal 12B, gratifikasi, untuk menjaring penerimaan-penerimaan lain,” jelasnya.

    Dalam kasus ini, Noel diduga menerima jatah pemerasan Rp 3 miliar saat aktif menjadi Wamenaker. Selain duit Rp 3 miliar, Noel diduga mendapatkan satu motor Ducati.

    Kasus pemerasan pengurusan sertifikasi K3 di Kemnaker diduga telah berlangsung sejak 2019. Uang pengurusan yang seharusnya cuma Rp 275 ribu melonjak menjadi Rp 6 juta.

    KPK mengatakan, dari selisih biaya yang dibayarkan oleh para pihak pengurus sertifikat K3 dengan biaya yang seharusnya, uang tersebut mengalir ke beberapa pihak. Total duit terkumpul Rp 81 miliar. Duit itu yang kemudian dibagi-bagi.

    Berikut ini daftar tersangka dalam kasus ini:

    1. Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 tahun 2022-2025
    2. Gerry Aditya Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022-sekarang
    3. Subhan selaku Subkoordinator Keselamatan Kerja Dit Bina K3 tahun 2020-2025
    4. Anitasari Kusumawati selaku Subkoordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020 sampai sekarang
    5. Immanuel Ebenezer Gerungan selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI
    6. Fahrurozi selaku Dirjen Binwasnaker dan K3 pada Maret 2025 sampai sekarang
    7. Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021 sampai Februari 2025
    8. Sekarsari Kartika Putri selaku Subkoordinator
    9. Supriadi selaku Koordinator
    10. Temurila selaku pihak PT KEM Indonesia
    11. Miki Mahfud selaku pihak PT KEM Indonesia.

    Halaman 2 dari 2

    (wnv/whn)

  • Punya Puluhan Miliar di Brankas, Marcella Santoso Bantah Itu Hasil Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    Marcella Bantah Beri Tas dan Sepatu ke Istri Wahyu Gunawan Si Panitera Nasional 11 September 2025

    Marcella Bantah Beri Tas dan Sepatu ke Istri Wahyu Gunawan Si Panitera
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, membantah pernah memberikan oleh-oleh berupa tas dan sepatu kepada istri dari Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
    Hal ini diungkapkan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi crude palm oil (CPO).
    “Saya enggak pernah beri oleh-oleh, yang mulia. Saya enggak tahu kenapa istri Wahyu bilang saya. Apakah nama saya digunakan atau bagaimana, saya enggak tahu,” ujar Marcella dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Hakim Ketua, Effendi, menyebutkan bahwa dalam sidang sebelumnya, istri Wahyu mengaku menerima oleh-oleh ini dari Marcella saat ia berkunjung ke rumah Wahyu.
    Kunjungan ini terjadi saat istri Wahyu baru saja melahirkan.
    Marcella dan suaminya, Ariyanto Bakri, disebutkan berkunjung untuk menengok istri Wahyu.
    Kunjungan ini terjadi saat istri Wahyu baru saja melahirkan. Marcella dan suaminya, Ariyanto disebutkan berkunjung untuk menengok istri Wahyu.
    “Istri Wahyu bilang dia habis melahirkan?” tanya hakim.
    “Saya enggak tahu kapan dia melahirkan,” jawab Marcella.
    Saat dicecar hakim, Marcella mengaku pernah ke rumah Wahyu untuk menagih utang.
    “Pernah (ke rumah Wahyu) karena klien saya diutangin 5 juta Dolar dan katanya (Wahyu) sudah enggak punya aset dan segala macem, enggak bisa bayar, rumahnya ngontrak,” jelas Marcella.
    Pernyataan Marcella ini dibantah Wahyu di ujung sidang. Ia menegaskan, Marcella dan Ariyanto datang ke rumahnya untuk menengok istrinya.
    “Itu enggak benar, Yang Mulia, yang datang ke rumah nagih utang. Padahal, ke rumah ini nengok istri saya baru lahiran,” tegas Wahyu.
    Ia membenarkan kalau pernah diberikan oleh-oleh berupa tas dan sepatu dari Marcella.
    “Itu oleh-oleh (berupa tas dan sepatu). Ada, saya akui itu ada, betul, walaupun saya tidak pakai juga,” kata Wahyu lagi.
    Pada kasus ini, Marcella merupakan pengacara dari tiga korporasi CPO. Ia juga telah menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap hakim. Namun, berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 September 2025

    Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera Nasional 10 September 2025

    Sidang Vonis Lepas CPO, Marcella Bersaksi soal Rp60 M dan Ancaman Panitera
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, mengaku baru mendengar soal uang Rp60 miliar saat suaminya, Ariyanto Bakri atau Ary Bakri, sedang melakukan
    video call
    dengan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
    Hal ini diungkapkan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
    “Ari lagi nyetir, ada telepon masuk, saya di samping Ari. Awalnya saya enggak catat. Tapi, kemudian… Di situ saya pertama kali dengar bahwa ada 20×3,” ujar Marcella saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Baik Marcella maupun JPU tidak menyebutkan secara spesifik kapan
    video call
    ini dilakukan.
    Namun, berdasarkan keterangan para saksi dalam persidangan, video call ini terjadi saat berkas perkara CPO korporasi ini sudah masuk ke dalam Pengadilan Tipikor di PN Jakpus, tetapi belum diputus.
    Dalam
    video call
    yang sama, Marcella mengaku mendengar ancaman dari Wahyu kepada Ari.
    Ancaman ini ditujukan pada klien Marcella yang merupakan korporasi yang menjual minyak goreng.
    “Terus muncul, (dalam
    video call
    dengan Wahyu) jangan harap klien bisa juga jual minyak lagi,” jelas Marcella.
    Rangkaian video call ini pernah disinggung juga oleh Ariyanto saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang pada Rabu (27/8/2025).
    Pada sidang itu, Ariyanto mengaku tidak mengurus langsung perkara ini.
    Pihak yang tercatat menjadi kuasa hukum pihak korporasi adalah Marcella Santoso, istri Ariyanto.
    Dalam video call itu, Wahyu menegaskan bisa membereskan perkara yang tengah berjalan ini.
    “Kemudian, dia (Wahyu) bilang, ‘Lebih baik, lo kasih gue saja kerjaan ini karena kerjaan ini, pasti gue pegang bisa beres,’” ujar Ariyanto menirukan ucapan Wahyu.
    Uang Rp 60 miliar itu merupakan permintaan dari Wahyu Gunawan.
    Awalnya, korporasi CPO hanya menyiapkan Rp 20 miliar.
    Namun, Arif Nuryanta melalui Wahyu Gunawan meminta agar uang suap ini ditambah agar bisa dibagikan kepada tiga majelis hakim yang memutus perkara.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, didakwa menerima Rp 15,7 miliar; Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Marcella Klaim Sempat Dengar Eks Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta Jaga Kasus CPO
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 September 2025

    Marcella Klaim Sempat Dengar Eks Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta Jaga Kasus CPO Nasional 10 September 2025

    Marcella Klaim Sempat Dengar Eks Ketua PN Jakpus Arif Nuryanta Jaga Kasus CPO
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara sekaligus tersangka kasus suap hakim, Marcella Santoso, mengaku pernah mendengar bahwa Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan menjaga kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) atau bahan bakar minyak goreng (migor).
    Hal ini disampaikan Marcella saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap majelis hakim yang memberikan vonis onslag atau vonis lepas untuk tiga korporasi CPO.
    “Disampaikan, Pak Arif ini orangnya sangat
    respectful
    . Dia sangat materi hukum sekali, berwibawa sekali dan dia akan menjaga,” ujar Marcella saat sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
    Marcella mengaku memahami kata “menjaga” ini dalam konteks yang berbeda dari jaksa.
    “Menjaga dalam pemahaman saya, ini bukan pakai duit. Tapi menjaga katanya orangnya sangat materi hukum sekali,” katanya.
    Marcella mengaku tidak mengenal Arif secara pribadi. Pernyataan-pernyataan dari atau tentang Arif didengar Marcella dari suaminya, Ariyanto Bakri atau Ary Bakri.
    Ariyanto, yang juga pengacara, mengenal pejabat pengadilan, salah satunya M Arif Nuryanta.
    Di hadapan majelis hakim, Marcella mengaku sudah berulang kali mengingatkan Ariyanto untuk tidak melakukan suap dalam kasus CPO korporasi yang tengah ditangani Marcella dan rekan-rekannya.
    “Saya pun tanya ke Pak Ari, lu pakai duit ya atau apa. Dia enggak pernah jawab jelas,” kata Marcella lagi.
    Dalam perkara ini, jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan menerima suap dari kuasa hukum tiga korporasi sawit untuk menjatuhkan vonis bebas dalam kasus korupsi terkait ekspor CPO.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
    Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
    Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
    Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis lepas terhadap tiga korporasi tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Lakukan Korupsi, Kepala Desa dan Bendahara Desa di Tulungagung Ditetapkan Tersangka

    Lakukan Korupsi, Kepala Desa dan Bendahara Desa di Tulungagung Ditetapkan Tersangka

    Tulungagung (beritajatim.com) – Kepala Desa dan Bendahara Desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh Kejaksaan Negeri setempat. Tersangka diketahui bernama Suyahman (60) sebagai Kepala Desa Tanggung dan Joko Endarto (54) sebagai bendahara desa.

    Mereka terbukti melakukan korupsi dan penyalahgunaan Dana Desa, Anggaran Dana Desa dan hasil pajak tahun 2019-2019 untuk keperluan pribadi. Akibat perbuatannya kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,5 miliar.

    Kepala Kejaksaan Negeri Tulungagung, Tri Sutrisno mengatakan kasus korupsi ini terungkap setelah pihaknya menerima pengaduan warga. Mereka langsung melakukan proses penyelidikan. Sebanyak 40 saksi diminta keterangan terkait kasus tersebut. Setelah semua barang bukti dan alat bukti terpenuhi, mereka lalu menetapkan keduanya sebagai tersangka.

    Keduanya kini dititipkan ke Lapas Tulungagung sambil menunggu proses persidangan. “Saat ini keduanya sudah kita tahan dan dititipkan di Lapas Tulungagung,” ujarnya, Rabu (10/9/2025).

    Meskipun keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka, namun mereka tidak mengakui perbuatannya ini. Pihak Kejaksaan sendiri telah mengantongi barang bukti dan alat bukti yang kuat untuk menetapkan sebagai tersangka. Keduanya bekerja sama melakukan korupsi selama 3 tahun.

    Laporan penggunaan dana tersebut tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. “Mereka mengelola dana desa, dana ADD, bagi hasil pajak untuk keperluan pribadi,” terangnya.

    Dari hasil penghitungan yang dilakukan, kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp1,5 miliar. Keduanya dikenakan pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.

    Hingga saat ini belum ada pengembalian kerugian negera yang dilakukan oleh kedua tersangka. “Meski mereka belum mengakui perbuatannya namun kami mendapat bukti bahwa laporan keuangan tidak singkron selama 3 tahun tersebut,” pungkasnya. [nm/ian]

  • Lagi, KPK Bakal Panggil Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta

    Lagi, KPK Bakal Panggil Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanggil Deputi Gubernur Bank Indonesia Filianingsih Hendarta, sebagai saksi untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan korupsi Program Sosial Bank Indonesia atau CSR BI.

    “Ya [ada pemeriksaan Filianingsih] terkait dengan korelasinya bagaimana peristiwa sehingga adanya PSBI,” kata Asep kepada wartawan, Rabu (10/9/2025).

    Dia menjelaskan dari pemeriksaan tersebut penyidik berupaya mengetahui bagaimana proses kong kalikong penyaluran dana PBSI ke yayasan milik Satori [S] dan Heri Gunawan [HG] yang merupakan tersangka atas kasus tersebut. Pemeriksaan akan dilakukan Kamis (11/9/2025) di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

    “Nah itu. Kita menyusurinya dari itu. Kita menyusuri pertanyaan besarnya adalah mengapa sampai PSBI itu diberikan kepada anggota-anggota Komisi 11 ini.
    Dalam hal ini Pak S dengan Pak HG. Dan yang lainnya. Kenapa diberikan seperti itu? Apa alasannya? Itu yang akan kita gali dari yang bersangkutan,” jelasnya

    Diketahui, Satori dan Heri Gunawan merupakan anggota Komisi XI periode 2019-2024. Yayasan yang dimiliki keduanya menang tender sehingga mendapatkan suntikan dana program sosial dari. 

    Selain itu, mereka juga mendapatkan dana CSR dari OJK karena pada mulanya BI dan OJK memiliki program bantuan sosial yang kemudian dibahas bersama Komisi XI. KPK mendeteksi adanya dugaan penyelewengan dana PBSI dan OJK.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Asep menyampaikan Heri Gunawan diduga melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer. 

    Heri Gunawan kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru, yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.

    “HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, diantaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya, Kamis (7/8/2025).

    Lalu, Satori menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Sama seperti Heri Gunawan, Satori menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset lainnya.

    Satori melakukan rekayasa perbankan dengan cara meminta salah satu bank menyamarkan penempatan deposito sehingga pencairan tidak teridentifikasi di rekening koran.

    Atas perbuatannya, tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Kasus Suap Penerbitan IUP, KPK Tahan Ketua Kadin Kaltim

    Kasus Suap Penerbitan IUP, KPK Tahan Ketua Kadin Kaltim

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kalimantan Timur, Dayang Donna Walfiares Tania, Rabu (10/9/2025), di cabang rumah tahanan negara kelas 2A, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

    Dayang ditahan karena diduga menerima komitmen fee Rp3,5 miliar untuk mengkondisikan penerbitan 6 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur tahun 2013-2018.

    “KPK kembali menyampaikan terkait upaya paksa penahanan terhadap Saudara DDW [Dayang Donna Walfiares], selaku Ketua Kadin Kalimantan Timur, dan juga anak saudara AFI [Awang Faroek Ishak],” katanya dalam konferensi pers, Rabu (10/9/2025).

    Dayang ditahan untuk 20 hari ke depan terhitung sejak tanggal 9 Desember 2025 sampai dengan 28 September 2025. Sebagai informasi, Awang Faroek Ishak merupakan mantan Gubernur Kalimantan Timur yang telah wafat.

    Dia menjelaskan dalam konstruksi perkara, pada bulan Juni 2014 diawali Rudy Ong Chandra [ROC] pengusaha tersohor di Kalimantan Timur ingin mengurus perpanjangan 6 izin Usaha Pertambangan karena ingin melakukan eksplorasi pertambangan di Kaltim.

    Melalui makelarnya, Sugeng, melakukan proses perpanjangan IUP. Kemudian dibantu oleh Dayang dengan menghubungi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM Kaltim. Kemudian Dayang meminta kepada pihak-pihak terkait untuk memproses dokumen perpanjangan 6 IUP.

    “Jadi karena hubungannya anak dengan bapak, di mana saudara AFI waktu itu adalah gubernur, jadi hubungan kedekatan secara kekeluargaan dia yang bersangkutan minta lebih dahulu sejumlah fee sebelum disetujui oleh orang tuanya atau oleh gubernur. Dalam proses selanjutnya Saudari DDW kemudian menyetujui dan mengatur pertemuan dengan Saudara ROC,” jelas Asep.

    Dayang bertemu dengan Rudy di salah satu hotel di Samarinda. Rudy menyerahkan uang kepada Dayang sejumlah Rp3 miliar dalam pecahan Singapura dollar kemudian 500 juta dalam pecahan juga Singapura dollar.

    Tersangka Dayang dipersangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana.