Kasus: Tipikor

  • Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK Heri Gunawan dan Satori Kembali Dipanggil KPK

    Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK Heri Gunawan dan Satori Kembali Dipanggil KPK

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Heri Gunawan dan Satori, tersangka kasus dugaan korupsi CSR BI di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

    Sebelumnya mereka dipanggil pada Senin, 1 September 2025. Selain itu, pada hari ini Senin, (15/9/2025) KPK juga memanggil Dolfie Onthniel Frederic Palit, Anggota DPR-RI Komisi XI.

    “KPK menjadwalkan pemeriksaan pihak-pihak terkait dan saksi dalam dugaan TPK terkait program sosial atau CSR di Bank Indonesia dan OJK,” jelas Budi dalam keterangan tertulis, Senin (15/9/2025).

    Budi menuturkan belum dapat merincikan secara detail materi yang ditanyakan kepada mereka. Materi baru dapat dijelaskan usai mereka menjalani pemeriksaan.

    Heri Gunawan dan Satori merupakan Anggota Komisi XI DPR RI tahun 2019-2023. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyelewengkan dana program bantuan sosial yang diselenggarakan BI dan OJK.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan KPK, Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan Heri Gunawan diduga melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer. 

    Heri Gunawan kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru, yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.

    “HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, diantaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya, Kamis (7/8/2025).

    Lalu, Satori menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Sama seperti Heri Gunawan, Satori menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset lainnya.

    Adapun, Satori melakukan rekayasa perbankan dengan cara meminta salah satu bank menyamarkan penempatan deposito sehingga pencairan tidak teridentifikasi di rekening koran.

    Atas perbuatannya, tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Kasus CSR BI-OJK, Dua Tersangka Belum Ditahan KPK, Ini Alasannya

    Kasus CSR BI-OJK, Dua Tersangka Belum Ditahan KPK, Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Satori dan Heri Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi program Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    Keduanya juga diperiksa sebanyak dua kali oleh penyidik KPK. Namun Satori [ST]-Heri Gunawan [HG] belum ditahan lembaga antirasuah tersebut. Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, alasan belum ditahannya kedua tersangka itu karena penyidik masih mendalami informasi.

    “Jadi memang pemanggilan hari ini masih dibutuhkan untuk dilakukan pemeriksaan masih dibutuhkan juga keterangan-keterangan dari yang bersangkutan sebagai tersangka dalam perkara ini sehingga untuk melengkapi dalam proses penyidikan ini,” kata Budi kepada wartawan, Senin (15/9/2025).

    Budi menjelaskan penyidik mendalami peran Satori dan Heri Gunawan dalam kasus ini untuk melengkapi konstruksi perkara. Tak hanya itu, pemeriksaan pada Senin (15/9/2025) juga mengulik bagaimana proses penekanan kontrak dilakukan.

    “Bagaimana proses-proses pengesahan program sosial Bank Indonesia atau PSBI atau CSR Bank Indonesia dan juga di OJK. Kemudian didalami juga bagaimana pelaksanaannya di lapangan mengapa kemudian program sosial itu anggarannya menyasar ke pihak-pihak yang diduga terkait oleh saudara HG dan saudara ST,” jelas Budi.

    Sebab, Satori dan Geri Gunawan terpilih menjadi pihak yang mendapatkan kucuran dana program sosial tersebut karena keduanya merupakan anggota Komisi XI DPR RI tahun 2019-2023, di mana BI-OJK berada di bawah naungan komisi itu.

    Diketahui, berdasarkan hasil pemeriksaan KPK, Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan Heri Gunawan diduga melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer. 

    Heri Gunawan kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru, yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.

    “HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, diantaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya, Kamis (7/8/2025).

    Lalu, Satori menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Sama seperti Heri Gunawan, Satori menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset lainnya.

    Satori melakukan rekayasa perbankan dengan cara meminta salah satu bank menyamarkan penempatan deposito sehingga pencairan tidak teridentifikasi di rekening koran.

    Atas perbuatannya, tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Jaksa Tahan 2 Tersangka korupsi Proyek Irigasi di Manggarai Barat

    Jaksa Tahan 2 Tersangka korupsi Proyek Irigasi di Manggarai Barat

    Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) menetapkan dua tersangka tindak pidana korupsi paket pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi Wae Kaca di Desa Watu Rambung, Kecamatan Lembor Selatan, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Proyek itu dikerjakan pada tahun anggaran 2021.

    Kedua tersangka itu berinisial FS, Direktur CV Duta Teknik Mandiri sebagai kontraktor pelaksana, dan IA selaku Direktur PT Dwipa Mitra Konsultan sebagai konsultan pengawas. FS dan IA ditahan pada Senin (15/9/2025) malam. Kedua tersangka dijerat dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  • Alasan KPK Belum Tahan 2 Anggota DPR Tersangka Korupsi CSR BI-OJK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 September 2025

    Alasan KPK Belum Tahan 2 Anggota DPR Tersangka Korupsi CSR BI-OJK Nasional 16 September 2025

    Alasan KPK Belum Tahan 2 Anggota DPR Tersangka Korupsi CSR BI-OJK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menahan dua anggota DPR legislator, Satori dan Heri Gunawan, yang merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan penahanan belum dilakukan karena penyidik masih membutuhkan keterangan dari kedua legislator tersebut.
    “Jadi memang pemanggilan hari ini masih dibutuhkan untuk dilakukan pemeriksaan, masih dibutuhkan juga keterangan-keterangan dari yang bersangkutan sebagai tersangka dalam perkara ini,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/9/2025).
    Budi menjelaskan bahwa keterangan kedua tersangka masih dibutuhkan untuk mendalami perbuatan-perbuatan tindak pidana korupsi.
    “Sehingga untuk melengkapi dalam proses penyidikan ini, ya didalami lagi terkait dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh saudara HG dan saudara ST,” ujarnya.
    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua legislator, yakni Satori dari Fraksi Nasdem dan Heri Gunawan dari Fraksi Gerindra, sebagai tersangka pada Senin (15/9/2025).
    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Senin.
    Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua Anggota DPR RI, Heri Gunawan dan Satori, sebagai tersangka terkait kasus dana CSR BI-OJK Tahun 2020-2023, pada Kamis (7/8/2025).
    KPK menduga yayasan yang dikelola Heri Gunawan dan Satori telah menerima uang dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Namun, keduanya diduga tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana dipersyaratkan dalam proposal permohonan bantuan dana sosial tersebut.
    Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
    Tak hanya itu, keduanya juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bukan Sebagai Jamaah atau Pendamping, KPK Tegaskan Khalid Basalamah Diperiksa terkait Kepemilikan Uhud Tour

    Bukan Sebagai Jamaah atau Pendamping, KPK Tegaskan Khalid Basalamah Diperiksa terkait Kepemilikan Uhud Tour

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan pendakwah Khalid Zeed Abdullah atau Khalid Basalamah dipanggil bukan sebagai jamaah. Dia ditanya soal kepemilikan Uhud Tour yang memberangkatkan jamaah haji ke Tanah Suci pada tahun 2024.

    “Jadi pemeriksaan kepada saksi saudara KB ya, terkait dengan kepemilikannya atas biro perjalanan haji, ya, yang artinya juga mengelola perjalanan ibadah haji bagi para calon jemaah,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 15 September.

    Budi menjelaskan penyidik saat ini sedang fokus mendalami jual beli kuota haji yang berawal penambahan sebesar 20.000 dari pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia.

    “Di mana dalam proses jual beli itu juga KPK mendalami terkait dengan apakah kuota ini diperjualbelikan kepada jemaah-jemaah yang kemudian langsung bisa berangkat tanpa antrean atau seperti apa,” tegasnya.

    “Karena dalam kuota haji khusus ini kan sebetulnya juga ada antreannya. Nah, itu juga didalami terkait hal itu. Termasuk penjualannya berapa, terus ongkos yang sebetulnya dibutuhkan untuk penyelenggaran ibadah haji itu berapa. Nah, itu termasuk yang didalami,” sambung Budi.

    Sementara itu, Khalid Basalamah mengaku diperiksa KPK sebagai saksi karena berangkat sebagai jamaah bersama ratusan orang lainnya. Dia diketahui dimintai keterangan pada Selasa, 9 September.

    Pendakwah itu bersama ratusan orang lainnya awalnya akan berangkat menggunakan visa haji furoda. Tapi, ia menggeser menjadi haji khusus yang kuotanya ternyata bermasalah karena dapat tawaran dari Ibnu Masud yang merupakan Komisaris PT Muhibbah Mulia Wisata.

    Pendakwah tersebut juga mengaku tak tahu bahwa kuota haji khusus ini kemudian bermasalah dan kasusnya ditangani KPK. Ia juga mengklaim Uhud Tour tak bisa memberangkatkan jamaah karena bukan agen perjalanan atau travel agent penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK).

    “Bahasanya Ibnu Masud kepada kami, PT Muhibbah (dapat, red) kuota tambahan 20.000 dari Kemenag. Karena dibahasakan resmi dari Kemenag kami terima gitu dan saya terdaftar sebagai jemaah di PT Muhibbah,” katanya kepada wartawan usai menjalani pemeriksaan. 

    Diberitakan sebelumnya, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum dugaan korupsi penambahan kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024. Lembaga ini beralasan penerbitan itu dilakukan supaya mereka bisa melakukan upaya paksa.

    Sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.

    Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah ini tapi masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

    Kasus ini berawal dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus.

    Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

    Belakangan, pembagian bermasalah itu disinyalir karena adanya uang dari pihak travel haji dan umrah maupun asosiasi yang menaungi ke Kementerian Agama. Setelah dapat jatah, mereka menjual kuota tambahan tersebut kepada calon jamaah haji.

  • Kasus Korupsi Kuota Haji, Sekretaris LP PBNU Mangkir dari Panggilan KPK

    Kasus Korupsi Kuota Haji, Sekretaris LP PBNU Mangkir dari Panggilan KPK

    GELORA.CO – Sekretaris Lembaga Perekonomian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LP PBNU) Zainal Abidin mangkir dari pemeriksaan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (4/9/2025). Komisaris Independen PT Sucofindo itu, sedianya bakal diperiksa terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi (TPK) kuota haji untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag).

    “Kalau saya tidak salah ingat, yang bersangkutan tidak hadir ya dalam pemeriksaan itu,” kata Jubir Budi Prasetyo kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (15/9/2025).

    Budi belum bisa memastikan apakah pemanggilan Zainal terkait dengan jabatannya sebagai Sekretaris Lembaga Perekonomian PBNU 2021–2026. Pasalnya, materi pemeriksaan baru bisa diumumkan setelah Zainal memenuhi panggilan penyidik dan pemeriksaan rampung.

    “Pemeriksaannya kan belum jadi dilakukan, sehingga kan materinya belum bisa disampaikan,” ucap Budi.

    Sebelumnya, penyidik KPK menjadwalkan pemanggilan delapan orang saksi dalam kasus dugaan TPK kuota haji untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023–2024 di Kemenag.

    Saksi yang dipanggil antara lain Komisaris Independen PT Sucofindo, Zainal Abidin, dan Ketua Asosiasi Travel Haji Sarikat Penyelenggara Umroh & Haji Indonesia (Sapuhi), Syam Resfiadi.

    “Hari ini Kamis (4/9), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait kuota haji untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023–2024,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (4/9/2025).

    Selain keduanya, KPK juga memanggil: Rizky Fisa Abadi, Kasubdit Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggaraan Haji Khusus Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus periode Oktober 2022–November 2023; Muhammad Al Fatih, Sekretaris Eksekutif Kesthuri; Juahir, Divisi Visa Kesthuri; Firda Alhamdi, Karyawan PT Raudah Eksati Utama; Syarif Hamzah Asyathry, Wiraswasta sekaligus Wasekjen GP Ansor; dan M. Agus Syafi’, Kasubdit Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggaraan Haji Khusus periode 2023–2024.

    Dari hasil pemeriksaan terungkap, penyidik KPK mengecar Wiraswasta sekaligus Wasekjen GP Ansor, Syarif Hamzah Asyathry, terkait dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) yang disita dari rumah mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (YCQ), yang juga pernah menjabat sebagai Ketua GP Ansor.

    “(Syarif Hamzah) dikonfirmasi terkait dokumen dan BBE yang ditemukan saat penggeledahan di rumah Saudara YCQ,” kata Budi Prasetyo melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (8/9/2025).

    Syarif Hamzah menjalani pemeriksaan pada Kamis (4/9/2025) dalam kapasitas sebagai saksi kasus dugaan TPK kuota haji tahun 2023–2024.

    Rumah Yaqut Digeledah

    KPK sebelumnya menyita sejumlah dokumen dan BBE dari penggeledahan di rumah Yaqut di Jakarta Timur pada Jumat (15/8/2025), termasuk ponsel milik Yaqut yang kini tengah dianalisis secara forensik digital. Walaupun kuasa hukum Yaqut membantah ponsel tersebut milik kliennya, KPK tetap membongkar isi BBE.

    “Handphone begitu. Nah nanti itu nanti akan diekstraksi ya, akan dibuka isinya,” ujar Budi kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (15/8/2025).

    Menurut Budi, analisis forensik digital dilakukan untuk menelusuri aktivitas komunikasi Yaqut yang diduga berkaitan dengan perkara dugaan korupsi kuota haji.

    “Kita akan lihat informasi-informasi yang ada di dalam BBE tersebut. Tentu informasi yang ada di BBE sangat berguna ya bagi penyidik untuk menelusuri informasi-informasi yang dicari ya terkait dengan perkara ini,” ujarnya.

    Kasus dugaan korupsi kuota haji 2023–2024 di Kemenag telah naik ke tahap penyidikan sejak Jumat (8/8/2025) berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum tanpa penetapan tersangka. Kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp1 triliun.

    KPK menjelaskan konstruksi perkara secara umum. Kasus ini bermula ketika asosiasi travel mendapat kabar adanya tambahan kuota 20.000 jemaah haji dari Pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia, diperoleh setelah pertemuan Presiden RI ke-7 Joko Widodo dengan otoritas Saudi pada 2023.

    Para pengusaha travel melalui asosiasi kemudian melobi oknum pejabat Kemenag. Lobi itu membuahkan SK Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tertanggal 15 Januari 2024. Dalam SK tersebut, tambahan kuota dibagi rata: 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Dari kuota khusus, 9.222 diperuntukkan bagi jemaah dan 778 untuk petugas, dengan pengelolaan diserahkan kepada biro travel swasta.

    Sementara itu, 10.000 kuota reguler didistribusikan ke 34 provinsi. Jawa Timur memperoleh porsi terbanyak dengan 2.118 jemaah, disusul Jawa Tengah 1.682 orang, dan Jawa Barat 1.478 orang. Pemberangkatan jemaah reguler dikelola langsung oleh Kemenag.

    Namun, pembagian tersebut diduga menyalahi Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur komposisi kuota 92 persen reguler dan 8 persen khusus.

    Setelah itu, muncul praktik jual beli kuota haji khusus yang melibatkan oknum Kemenag dan sejumlah biro travel. Setoran perusahaan travel kepada pejabat Kemenag disebut berkisar antara 2.600–7.000 dolar AS per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta hingga Rp113 juta dengan kurs Rp16.144,45. Transaksi dilakukan melalui asosiasi travel sebelum sampai ke pejabat Kemenag.

    Uang setoran tersebut berasal dari penjualan tiket haji kepada calon jemaah dengan harga tinggi, dengan janji bisa berangkat di tahun yang sama, 2024. Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah reguler yang sudah menunggu bertahun-tahun gagal berangkat karena kuotanya terpotong.

    Dari hasil korupsi kuota tersebut, oknum Kemenag diduga membeli sejumlah aset, termasuk dua rumah mewah di Jakarta Selatan yang disita KPK pada Senin (8/9/2025) senilai Rp6,5 miliar. Rumah itu diduga dibeli oleh salah satu pegawai Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag menggunakan uang setoran pengusaha travel sebagai komitmen bagi-bagi kuota tambahan haji yang menyalahi aturan.

  • Khalid Basalamah Kembalikan Uang ke KPK Terkait Dugaan Korupsi Kuota Haji

    Khalid Basalamah Kembalikan Uang ke KPK Terkait Dugaan Korupsi Kuota Haji

    GELORA.CO –  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan pernyataan pendakwah sekaligus pemilik perjalanan haji umroh PT Zahra Oto Mandiri alias Uhud Tour, Khalid Zeed Basalamah terkait adanya pengembalian uang. Namun, KPK tidak membeberkan nilai uang yang dikembalikan Khalid Basalamah.

    “Benar,” kata Ketua KPK, Setyo Budiyanto dikonfirmasi, Senin (15/9).

    Pimpinan KPK berlatar belakang Kepolisian itu tidak mengungkap secara rinci besaran uang yang dikembalikan Khalid Basalamah. Menurutnya, saat ini tim penyidik masih dalam tahap penghitungan.

    “Untuk jumlahnya belum terverifikasi,” ujar Setyo.

    Dalam sebuah siniar Youtube, Khalid Basalamah mengungkap adanya dugaan pungutan biaya visa haji khusus yang dialami jemaahnya pada musim haji 2024. Sebab, izin Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) milik Uhud Tour baru terbit pada akhir 2023. Karena itu, para jamaah diarahkan untuk mendaftar melalui PIHK lain, yakni PT Muhibbah asal Pekanbaru.

    Dalam proses tersebut, setiap jemaah diminta membayar biaya visa sebesar USD 4.500 atau sekitar Rp 73 juta, di luar biaya paket haji. Selain itu, ada tambahan pembayaran untuk fasilitas maktab VIP.

    “Kita terdaftar semua jamaah diminta bayar visa 4.500 USD. Kita juga dijanjikan maktab VIP yang kami bayar. Jadi, kami ada pembayaran visa, kami ada pembayaran maktab,” ujar Khalid.

    Total jemaah Uhud Tour yang berangkat berjumlah 122 orang, termasuk enam petugas. Dari 118 jemaah, masing-masing dikenakan biaya USD 4.500. Bahkan, menurut Khalid, ada 37 jemaah yang diminta menambah USD 1.000 agar visa mereka segera diproses.

    Belakangan, Khalid baru mengetahui bahwa visa kuota haji seharusnya tidak dikenakan biaya. Fakta tersebut disampaikan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat memintanya memberi keterangan.

    “Saya ditanya, ‘Ustaz tahu tidak kalau visa kuota ini gratis?’ Saya jawab, ‘Saya tidak tahu’. Karena selama ini visa umrah berbayar, furoda berbayar, jadi saya kira kuota haji khusus juga sama,” ungkap Khalid.

    Khalid Basalamah telah menjalani pemeriksaan di KPK, sebanyak dua kali. Terakhir, Khalid diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi tambahan kuota haji, pada Selasa (9/9). Usai menjalani pemeriksaan, Khalid mengklaim dirinya bukan pelaku dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji, melainkan korban dari ulah pemilik PT Muhibbah asal Pekanbaru, Ibnu Masud.

    Dalam pengusutan kasus ini, KPK sendiri telah mencegah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas bersama eks staf khusus (stafsus) Menag, Ishfah Abdul Aziz (IAA) dan pihak travel Fuad Hasan Masyhur (FHM) ke luar negeri.

    Pencegahan dilakukan demi memastikan ketiga pihak tersebut tetap berada di wilayah Indonesia selama proses penyidikan berlangsung.

    Pencegahan dilakukan setelah KPK secara resmi mengumumkan perkara dugaan korupsi terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama (Kemenag) 2023–2024 naik ke tahap penyidikan, pada Sabtu (9/8) dini hari.

    Meski telah masuk tahap penyidikan, hingga kini KPK belum mengumumkan secara terbuka siapa saja pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka. 

    Penyidikan itu dilakukan dengan menerbitkan sprindik umum melalui jeratan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2021 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

  • Yana Mulyana Bebas Bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Tetapi Masih Wajib Lapor

    Yana Mulyana Bebas Bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Tetapi Masih Wajib Lapor

    Proses bebas bersyarat Yana tak banyak diketahui publik. Namun sempat beredar video yang merekaam penampakan Yana saat berkumpul bersama sejumlah mantan camat di Kota Bandung. Kegiatan itu diunggah akun Instagram Didi Ruswandi. Dalam unggahan tersebut, Yana tampak menggunakan kaos berkerah putih.

    Sebelumnya, dalam persidangan pada tahun 2023, Yana divonis dengan hukuman empat tahun penjara dan denda senilai Rp200 juta subsider tiga bulan penjara. Dalam kasus ini, Yana terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek Bandung Smart City. Dia dianggap secara sah melakukan kourupsi bersama-sama.

    Berdasarkan keputusan hakim tersebut, Yana Mulyana baru bisa bebas pada tahun 2027 mendatang. Namun, karena dianggap bersikap baik di dalam lapas, Yana pun mendapatkan pembebasan bersyarat.

  • KPK Panggil Wasekjen PDIP, Saksi Kasus Suap Proyek Kereta Api di DJKA Jatim

    KPK Panggil Wasekjen PDIP, Saksi Kasus Suap Proyek Kereta Api di DJKA Jatim

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Yoseph Aryo Adhi Dharmo, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP Perjuangan.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan Yosep diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) wilayah Jawa Timur.

    “Hari ini KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi dugaan tindak pidana korupsi (TPK) terkait pembangunan jalur kereta api di lingkungan DJKA Wilayah Jawa Timur,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (15/9/2025).

    Selain Yoseph, KPK juga memanggil dua saksi lainnya yakni Linawati Staf di Koordinator Pengadaan Transportasi darat dan Kereta Api Kementerian Perhubungan, dan Zulfikar Tantowi Kepala Bagian Pengadaan Barang Dan Jasa pada Biro LPPBMN.

    Budi belum dapat merincikan materi pemeriksaan kepada para saksi.

    Dalam perkara ini, KPK menemukan adanya rekayasa menentukan perusahaan untuk memenangkan tender guna menggarap proyek pembangunan kereta api. 

    Adapun beberapa penyelenggara yang diduga terlibat kasus ini yaitu DJKA dan Kemenhub yang menerima suap dari pengusaha. KPK memperkirakan komitmen fee yang diberikan sekitar 5% sampai 10% dari nilai proyek.

    Diketahui, kasus tersebut naik kepermukaan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 11 April 2023 di Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah DJKA Kemenhub.

    KPK telah menjerat 10 orang tersangka yang langsung ditahan terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur rel kereta api di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. 

  • Mantan Wali Kota Bandung Yana Sudah Bebas Bersyarat: Sejak 13 Juni 2025 – Page 3

    Mantan Wali Kota Bandung Yana Sudah Bebas Bersyarat: Sejak 13 Juni 2025 – Page 3

    Adapun, mengenai perkaranya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Rabu, 13 Desember 2023, menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Yana Mulyana dalam perkara suap pengadaan CCTV Bandung Smart City.

    Selain hukuman pidana, hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Bandung, juga menghukum Yana Mulyana membayar denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan penjara.

    Hakim Ketua, Hera Kartiningsih, dalam amar putusannya menyatakan Yana Mulyana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi menerima gratifikasi dalam kasus proyek pengadaan CCTV pada Dinas Perhubungan Kota Bandung.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sejumlah Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti pidana hukuman tiga bulan,” kata Kartiningsih.

    Majelis hakim menyatakan Yana Mulyana terbukti menerima gratifikasi berupa uang dan fasilitas ke Thailand dari Benny selaku Direktur PT Sarana Mitra Adiguna (SMA), Andreas Guntoro selaku Vertical Slution Manager PT SMA, dan Sony Setiadi selaku Direktur PT Citra Jelajah Informatika (CIFO).