Kasus: Tipikor

  • Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK Nasional 2 Oktober 2025

    Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sidang uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau pasal perintangan penyidikan bergulir dengan agenda mendengar keterangan Presiden atau Pemerintah, dan DPR.
    Sidang ketiga perkara 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto itu digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    Keterangan pertama yang didengarkan adalah dari DPR yang saat itu diwakili oleh Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta.
    Wayan Sudirta hadir secara daring, membacakan alasan DPR bernada dukungan atas gugatan Hasto yang meminta agar ancaman hukuman penjara pelaku perintangan penyidikan kasus korupsi lebih ringan daripada yang diatur saat ini.
    Dalam Pasal 21 UU Tipikor dijelaskan, ancaman hukuman maksimal pelaku
    obstruction of justice
    kasus korupsi adalah 12 tahun.
    Hal ini dinilai kontradiktif dengan ancaman hukuman pidana pokok yang bisa lebih ringan, seperti kasus suap misalnya.
    Sudirta menilai, akan terjadi disparitas antara ancaman hukuman perintangan penyidikan dengan pidana pokok.
    Kader PDI-P ini kemudian merujuk beberapa negara lain, di mana ancaman pidana perintangan penyidikan harus lebih kecil dari pidana pokoknya.
    “Dengan merujuk Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ancaman hukuman
    obstruction of justice
    secara spesifik merujuk pada dan kurang dari bahkan hingga seperempat ancaman pidana tindak pidana awal atau pokok,” kata dia.
     
    Alasan lain, politikus PDI-P ini mengatakan Pasal 21 ini harus dimaknai bukan merupakan bagian tindak pidana korupsi.
    Karena itu, dia khawatir pasal tersebut justru digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
    “Pasal ini akan digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Sudirta.
    Setelah memperkuat argumennya, Sudirta tiba pada permohonan agar Mahkamah Konstitusi menuruti keinginan Hasto agar ancaman maksimal pidana perintangan kasus korupsi dikurangi jadi tiga tahun.
    “Menyatakan bahwa Pasal 21 UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi,” kata Sudirta.
    “Dan atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta, dan paling banyak Rp 600 juta,” sambung dia.
    Tak seperti DPR, pemerintah sebagai pembentuk undang-undang mempertahankan argumennya atas pembuatan Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
    Mereka tetap bertahan dan meminta agar permohonan Hasto ditolak, bukan hanya dari sisi permohonan, tetapi juga kedudukan hukumnya.
    Sikap pemerintah ini disampaikan Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
    “Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
    legal standing
    ,” kata Leonard.
    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
    Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
    “Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” kata dia.
     
    Mendengar sikap dua lembaga pembentuk undang-undang yang berbeda yakni antara pemerintah dan DPR, Hakim Konstitusi Saldi Isra angkat bicara.
    Dia menyebut, tak biasanya DPR yang dikenal galak mempertahankan produk legislasi mereka tiba-tiba menyetujui revisi undang-undang lewat jalur gugatan di MK.
    Karena pembentuk undang-undang seyogianya memiliki kewenangan merevisi kapan pun undang-undang yang dianggap tidak sesuai.
    Tapi kali ini berbeda, DPR menyetujui permintaan Hasto agar Pasal 21 UU Tipikor direvisi normanya untuk mengurangi ancaman pidana pelaku kejahatan perintangan penyidikan kasus korupsi.
    “Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan (dari DPR-RI) yang setuju dengan permohonan pemohon,” kata Saldi Isra.
    Dia juga langsung menyindir kuasa hukum Hasto yang hadir dalam sidang tersebut, jika cerdas maka tak perlu ada lagi sidang lanjutan uji materi Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
    Karena, DPR sudah menyatakan dukungan untuk mengubah Pasal 21 UU Tipikor sesuai keinginan Hasto.
    Pihak Hasto seharusnya langsung tancap gas ke Senayan, membawa proposal revisi UU Tipikor.
    “Sebetulnya kalau kuasa hukum pemohon cerdas, sudah saatnya ini datang ke DPR, biar DPR saja yang mengubahnya, tidak perlu melalui Mahkamah Konstitusi, biar komprehensif sekalian,” ucap Saldi.
    Di akhir kata, Saldi meminta agar DPR segera mengirimkan pernyataan tertulis agar menjadi pertimbangan hakim dalam uji materi UU Tipikor tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Pertamina Segera Diadili, Jaksa Limpahkan Riva Siahaan Cs ke PN Tipikor

    Kasus Pertamina Segera Diadili, Jaksa Limpahkan Riva Siahaan Cs ke PN Tipikor

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa penuntut umum (JPU) telah melimpahkan sembilan tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023 ke PN Tipikor Jakarta Pusat.

    Kepala Kejari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat Putra menyampaikan sembilan tersangka lainnya masih dalam proses pemberkasan sebelum dilimpahkan.

    “JPU pada Kejari Jakarta Pusat telah melakukan pelimpahan berkas perkara terhadap sembilan terdakwa pada Rabu 1 Oktober 2025 ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (1/10/2025).

    Dia mengemukakan bahwa sembilan tersangka itu yakni Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga periode 2023; Sani Dinar Saifudin selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional periode 2022-2025.

    Selanjutnya, Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping periode 2022-2025; Agus Purwono selaku VP Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional periode 2023-2024; Maya Kusuma selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga periode 2023.

    Adapun, Edward Corne selaku VP Trading Produk Pertamina Niaga periode 2023-2025; Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim; Gading Ramadhan Joedo selaku Direktur PT Orbit Terminal Merak dan Komisaris PT Jenggala Maritim turut dilimpahkan ke PN Tipikor.

    Pada intinya, perbuatan para tersangka ini diduga melakukan penyimpangan mulai dari hulu sampai hilir. Penyimpangan itu terdiri atas kegiatan ekspor minyak mentah, impor minyak mentah, impor BBM, pengapalan minyak mentah/BBM, sewa terminal BBM, pemberian kompensasi BBM dan penjualan solar subsidi di bawah harga bottom price yang dilakukan oleh para terdakwa.

    “Oleh karena perbuatan terdakwa dan tersangka tersebut telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp285.185.919.576.620 [Rp285,18 triliun],” pungkasnya.

    Adapun, pasal yang disangkakan terhadap Riva Cs yakni Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

  • Warga Sragen Pasang Spanduk Protes, Tuding Tanah Warisan Diserobot Developer
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        1 Oktober 2025

    Warga Sragen Pasang Spanduk Protes, Tuding Tanah Warisan Diserobot Developer Regional 1 Oktober 2025

    Warga Sragen Pasang Spanduk Protes, Tuding Tanah Warisan Diserobot Developer
    Tim Redaksi
    SRAGEN, KOMPAS.com –
    Warga Bulak Asri, Pelem Gadung, Karangmalang, Sragen, Jawa Tengah (Jateng) memasang spanduk protes dekat perumahan swasta, Rabu (1/10/2025). Protes tersebut dilakukan karena adanya dugaan penyerobotan tanah oleh pihak developer.
    Pantauan Kompas.com di lokasi, spanduk protes tersebut bertuliskan 4 poin dan dipasang di depan Perumahan Griya Khalisa 2.
    Ada pun 4 poin yang ada dalam spanduk tersebut yakni :
    Protes ini dilakukan oleh Aris Parwanto, pemilik lahan kosong yang berada di sebelah perumahan.
    Menurutnya, tanah yang merupakan warisan orangtuanya itu diserobot oleh developer.
    “Tanah kami diserobot oleh pihak PT. Putra Bhina Karya,” katanya saat ditemui.
    Penyerobotan tanah diketahui saat proses awal pembangunan sekitar setahun lalu.
    Aris menjelaskan, saat itu dirinya telah melaporkan adanya penyerobotan tanah ke pihak desa.
    Proses pengaduan kemudian dilanjutkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada Mei 2024. Hasilnya diketahui bahwa ada tanahnya yang berkurang seluas 151 meter persegi.
    “Setelah itu kami melakukan pengaduan ke Dinas Perkim dan dilakukan mediasi. Di situ disampaikan bahwa tanah ini ditumpangi pihak pengembang,” kata Aris.
    Aris menuturkan, pihaknya melanjutkan proses tersebut ke kepolisian dan telah dilakukan sejumlah pemanggilan untuk BAP. Tak lama pihak Kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan (SP3).
    “Karena saya tidak puas saya mengajukan banding melalui WA dan ditanggapi. Tanggal 29 September 2025 kemarin dilakukan mediasi. Setelah itu diambil kesimpulan yang merugikan kami,” kata dia.
    “Kami menginginkan keadilan karena tidak puas dengan keputusan pihak kepolisian,” tutupnya.
    Terpisah, Kanit Tipikor Ipda Hari Purwanto menegaskan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan membuktikan bahwa tidak ada unsur pidana dalam kasus tersebut.
    Kasus tersebut diterima Polres Sragen pada 26 Mei 2024. Setelahnya dilakukan sejumlah langkah seperti klarifikasi kepada pihak pengguna, tergugat, pejabat desa dan BPN ditambah dengan ukur ulang sebanyak 2 kali.
    Berdasarkan nasil ukur ulang diketahui adanya kekurangan luas tanah baik dari sertifikat milik pengadu dan teradu.
    “Sertifikat atas nama orang tua pak aris berkurang 151 meter persegi 3570 meter persegi. Untuk pihak teradu juga berkurang 68 meter persegi dari 3550 meter persegi,” jelasnya.
    Hari memaparkan, ditemukannya permasalahan serupa yakni luasan tanah yang berkurang, pihak kepolisian meminta pertimbangan ahli pidana. Hasilnya ahli pidana memutuskan bahwa belum ditemukan adanya unsur pidana oleh teradu.
    “Kemudian kami melakukan gelar perkara yang mana melibatkan Propam, Sikum, Siwas, Kanit Reskrim dan disimpulkan aduan belum terdapat unsur pidana. Peserta gelar kemudian menyarankan ke kami agar memberi kepastian hukum penghentian penyelidikan. Apabila ditemukan bukti baru penyelidikan bisa dibuka kembali,” tutup dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Alasan KPK Tak Pakai Pasal Suap dalam Kasus Kuota Haji 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 Oktober 2025

    Alasan KPK Tak Pakai Pasal Suap dalam Kasus Kuota Haji Nasional 1 Oktober 2025

    Alasan KPK Tak Pakai Pasal Suap dalam Kasus Kuota Haji
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan alasan tidak menggunakan pasal suap dalam kasus dugaan korupsi kuota haji 2024.
    Dalam perkara ini, KPK menggunakan pasal kerugian keuangan negara.
    Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, penggunaan pasal suap akan lebih mudah karena proses hukum akan berhenti pada pemberi suap dan penerima suap.
    “Misalkan si A ingin mendapatkan kuota, si B lalu memberikan kuota yang seharusnya bukan untuk si A. Nah, kemudian si A memberikan sesuatu, sejumlah uang kepada si B sebagai kompensasi atas diberikannya kuota yang bukan miliknya. Hanya sampai di situ,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
    “Selesai kita membuktikan sebuah tindak pidana, si A kemudian kita bawa dan si B kita ajukan ke pengadilan untuk diadili. Hanya selesai di situ,” sambungnya.
    Sementara itu, Asep mengatakan, penggunaan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur tentang kerugian keuangan negara, KPK tidak hanya memproses hukum mereka yang melanggar aturan, tetapi juga bisa memperbaiki sistem sehingga ada upaya untuk menutup celah terjadinya korupsi.
    “Jadi berarti ada sistem yang memang harus diperbaiki. Seperti itu keuntungannya menggunakan Pasal 2, Pasal 3,” ujarnya.
    Diketahui, KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
    Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
    Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu harusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
    Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama.
    “Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.
    “Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
    KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
    KPK pun sudah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tetapkan Eks Dirut PT PGN Tersangka Dugaan Korupsi Jual-Beli Gas

    KPK Tetapkan Eks Dirut PT PGN Tersangka Dugaan Korupsi Jual-Beli Gas

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sebagai tersangka sekaligus menahan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Hendi Prio Santoso (HPS) terkait dugaan korupsi jual-beli gas antara PT PGN dengan PT IAE.

    “KPK mengumumkan penahanan terhadap satu orang Tersangka, yakni HPS selaku Direktur Utama PT PGN periode 2008 – 2017, terkait dugaan tindak pidana korupsi perjanjian jual-beli gas antara PT PGN dan PT IAE,” Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers, Rabu (1/10/2025).

    Sebelumnya, pada 11 April 2025 KPK juga telah menahan dua tersangka, yaitu Komisaris PT IAE periode 2006-2023, Iswan Ibrahim (ISW); Direktur Komersial PT PGN periode 2016-2019, Danny Praditya.

    Hendi ditahan selama 20 hari terhitung sejak tanggal 1 sampai dengan 20 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK Merah Putih. Dalam konstruksi perkaranya, kasus ini bermula ketika PT IAE mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan kucuran dana.

    ISW meminta Arso Sudewo (AS) selaku Komisaris Utama dan Pemilik saham mayoritas PT IAE melakukan kerja sama jual-beli gas dengan PT PGN melalui opsi akuisisi menggunakan metode pembayaran advance payment sebesar USD 15 juta.

    Padahal pembelian tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2017 serta tidak melalui prosedur tata kelola yang semestinya.

    Yugi Prayanto (YG) selaku kerabat dekat HPS memperkenalkan kepada AS. Alhasil, HPS menyetujui pembelian gas bumi oleh PT PGN dari PT IAE.

    Setelah kesepakatan tersebut, AS memberikan commitment fee sebesar 500.000 dolar Singapura kepada HPS di kantornya yang berlokasi di Jakarta.

    Bahwa kemudian, atas komitmen fee tersebut, HPS memberikan sebagian uang, sejumlah 10.000 dolar Singapura, kepada YG sebagai imbalan karena telah diperkenalkan kepada AS.

    Atas perbuatannya, Tersangka HPS disangkakan melanggar pasal Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

  • Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    10 Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor Nasional

    Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilayangkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
    Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, memohon agar MK menolak gugatan tersebut secara keseluruhan.
    “Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
    legal standing
    ,” kata Leonard dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
    Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
    “Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” katanya.
    Permintaan pemerintah ini berseberangan dengan DPR RI yang menilai permohonan tersebut perlu dikabulkan oleh MK.
    Dalam persidangan yang sama, I Wayan Sudirta sebagai perwakilan DPR RI menyatakan permohonan Hasto terkait ancaman maksimal pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor yang dikurangi dari 12 tahun menjadi 3 tahun harus dikabulkan oleh MK.
    Alasannya senada, karena ancaman hukuman 12 tahun penjara dinilai lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan
    obstruction of justice
    ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, 13 Agustus lalu.
    Untuk diketahui,
    obstruction of justice
    mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap seperti merusak barang bukti diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 Oktober 2025

    UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi Nasional 1 Oktober 2025

    UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perwakilan DPR menyebut, Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bisa digunakan untuk mengancam pihak yang bukan merupakan pelaku korupsi.
    Hal ini disampaikan Anggota Komisi III DPR Wayan Sudirta, sebagai perwakilan DPR dalam sidang perkara nomor 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Rabu (1/10/2025).
    Sudirta mengatakan, Pasal 21 terkait perintangan penyidikan dalam kasus korupsi harus dimaknai bukan merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.
    Oleh sebab itu, dia khawatir pasal tersebut justru digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
    “Pasal ini akan digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Sudirta, dalam sidang yang ia hadiri melalui daring, Rabu.
    Hal ini diperkuat dengan ancaman pidana yang dinilai bisa lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.
    Sudirta menilai, akan terjadi disparitas antara ancaman hukuman perintangan penyidikan dengan pidana pokok.
    Dia kemudian merujuk beberapa negara lain, di mana ancaman pidana perintangan penyidikan harus lebih kecil dari pidana pokoknya.
    “Dengan merujuk Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ancaman hukuman
    obstruction of justice
    secara spesifik merujuk pada dan kurang dari bahkan hingga seperempat ancaman pidana tindak pidana awal atau pokok,” kata dia.
    DPR meminta agar MK mengabulkan gugatan Hasto agar ancaman hukuman perintangan penyidikan kasus korupsi maksimal 3 tahun dari sebelumnya maksimal 12 tahun.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut, ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan
    obstruction of justice
    ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
    Untuk diketahui,
    obstruction of justice
    mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap, seperti merusak barang bukti, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah, ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Panggil Lagi Eks Direktur Bank BUMN Jadi Saksi Kasus Mesin EDC

    KPK Panggil Lagi Eks Direktur Bank BUMN Jadi Saksi Kasus Mesin EDC

    KPK Panggil Lagi Eks Direktur Bank BUMN Jadi Saksi Kasus Mesin EDC
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil eks Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Persero) Indra Utoyo sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) pada Rabu (1/10/2025).
    Meski dipanggil sebagai saksi, Indra Utoyo juga berstatus sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu.
    Selain Indra Utoyo, KPK juga memanggil dua saksi yaitu Andre Santoso selaku Direktur Utama PT Integra Pratama dan Yogi Septiadi selaku Direktur PT Inti Cipta Solusindo.
    Meski demikian, Budi belum mengungkapkan materi yang akan didalami penyidik dari pemeriksaan saksi tersebut.
    KPK sebelumnya menetapkan lima tersangka dalam kasus ini yakni eks Direktur IT BRI Indra Utoyo, eks Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto, eks SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI Dedi Sunardi, Direktur PT Pasific Cipta Solusi Elvizar, dan petinggi PT Bringin Inti Teknologi Rudi Suprayudi Kartadidjadja.
    “Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan EDC Android yang dilakukan secara melawan hukum,” kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, (9/7/2025).
    Kasus ini bermula pada tahun 2019 ketika Elvizar beberapa kali bertemu Indra Utoyo dan Catur Budi Harto yang menyepakati agar perusahaan Elvizar akan menjadi vendor pengadaan EDC bekerja sama dengan PT Bringin Inti Teknologi.
    Asep menyebutkan, hal tersebut melanggar aturan karena proses pengadaan barang semestinya melalui vendor dilakukan dengan cara lelang.
    “Untuk pengujian ini pun juga tidak dilakukan secara luas, tidak diinformasikan secara luas. Sehingga vendor-vendor lain, merek-merek lain itu tidak bisa mengikutinya,” tutur Asep.
    KPK mengungkapkan, atas kesepakatan itu, Catur Budi menerima Rp 525 juta, sepeda, dan dua ekor kuda dari Elvizar.
    Dedi Sunardi menerima sepeda Cannondale senilai Rp 60 juta dari Elvizar.
    Sementara, Rudi menerima uang sebesar Rp 19,772 miliar sepanjang 2020-2024.
    KPK juga menaksir kerugian negara akibat kasus korupsi tersebut mencapai Rp 744 miliar.
    “Kerugian keuangan negara yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Tolak Keterangan Istri Terdakwa Kasus Vonis Lepas Migor Dibacakan

    Hakim Tolak Keterangan Istri Terdakwa Kasus Vonis Lepas Migor Dibacakan

    Jakarta

    Majelis hakim menolak permohonan jaksa penuntut umum (JPU) untuk membacakan keterangan istri dua terdakwa kasus dugaan suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor) di persidangan. Hakim memerintahkan jaksa menghadirkan saksi dan ahli lainnya.

    Dua terdakwa itu, yakni hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin. Persidangan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).

    Jaksa mengatakan istri Ali berhalangan hadir langsung di sidang hari ini karena merawat orang tua yang sakit di Jepara, Jawa Tengah. Sementara istri Agam berhalangan hadir karena sedang sakit.

    “Jadi penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum, setelah kami bermusyawarah kalau di KUHAP itu kan yang dibacakan itu kalau diambil sumpah juga ya. Nah ini kebetulan kita tanya juga tidak disumpah, setelahnya dan karena alasannya pun belum begitu,” kata ketua majelis hakim Effendi di persidangan.

    “Jadi sekarang tergantung penuntut umum ini walaupun para terdakwa tak keberatan ya, kalau akan apa ya dihadirkan tapi kalau nggak bisa dihadirkan nanti kan keterangannya juga jadi apa, jadi membuang waktu gitu. Nah ini kami pulangkan kepada penuntut umum ini,” tambahnya.

    “Dalam hal ini kami selaku penuntut umum, tetap memohon untuk dibacakan Yang Mulia, terhadap keterangan dari saksi-saksi yang dibacakan tersebut juga nantinya di persidangan ini juga akan didukung oleh bukti-bukti yang lainnya juga, Yang Mulia,” ujar jaksa.

    “Majelis tidak menerima permohonan tersebut. Kita lanjut kalau ada saksi lain, kita periksa saksi yang lain. Kalau nggak ada, atau ahli atau lain, terserah,” ujar hakim.

    Persidangan lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan ahli. Jaksa menghadirkan ahli digital forensik, Irwan Harianto di persidangan hari ini.

    Sebagai informasi, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi kasus korupsi ekspor minyak goreng diketuai hakim Djuyamto dengan hakim anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa Djuyamto, Agam, Ali menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait vonis lepas tersebut.

    Total suap yang diterima diduga sebesar Rp 40 miliar. Uang suap itu diduga diberikan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa korporasi migor tersebut.

    Uang suap Rp 40 miliar itu dibagi bersama antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.

    Dalam surat dakwaan jaksa, dari total suap Rp 40 miliar, Arif didakwa menerima bagian Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

    (mib/yld)

  • 8
                    
                        Mobil Bersejarah BJ Habibie: Dibeli Ridwan Kamil, Disita KPK, Bakal Kembali ke Keluarga
                        Nasional

    8 Mobil Bersejarah BJ Habibie: Dibeli Ridwan Kamil, Disita KPK, Bakal Kembali ke Keluarga Nasional

    Mobil Bersejarah BJ Habibie: Dibeli Ridwan Kamil, Disita KPK, Bakal Kembali ke Keluarga
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ilham Akbar Habibie, putra sulung Presiden ke-3 RI BJ Habibie, merampungkan penyerahan uang Rp 1,3 miliar yang ia terima dari eks Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Uang tersebut adalah pembayaran sebagian dari pembelian mobil Mercedes Benz 280 SL milik BJ Habibie, yang diduga bersumber dari hasil korupsi.
    “Jadi beberapa, dua minggu yang lampau saya telah serahkan uang kepada KPK yang sesuai dengan permintaan mereka,” kata Ilham di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
    Secara terpisah, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, dengan disitanya uang Rp 1,3 miliar tersebut, KPK setuju mengembalikan mobil yang berstatus barang bukti tersebut kepada keluarga Habibie.
    “Betul. Nantinya mobil itu akan dikembalikan ke saudara IH karena saudara IH sudah mengembalikan dan sudah dilakukan penyitaan yaitu uang Rp 1,3 miliar,” kata Budi.
    Budi menjelaskan, transaksi mobil tersebut antara Ridwan Kamil dan Ilham Habibie belum lunas sehingga status kepemilikan mobil itu berada pada dua orang.
    Selain itu, KPK menilai Ilham Habibie memiliki iktikad baik menyerahkan uang yang diberikan Ridwan Kamil karena mobil Mercy itu bernilai sejarah.
    “Kepemilikannya masih dua pihak. Sehingga karena saudara IH (Ilham Habibie) menyatakan bahwa kendaraan tersebut juga memiliki nilai historis, kendaraan antik,” ujarnya.
    Budi mengatakan, mobil tersebut saat ini berada di bengkel yang berlokasi di Kota Bandung, Jawa Barat.
    “Posisi mobilnya saat ini belum berada di Rupbasan, masih berlokasi di Bandung,” tuturnya.
    Adapun kehadiran Ilham Akbar Habibie di Gedung Merah Putih KPK pada hari Selasa kemarin hanya sekitar 30 menit.
    Setelah menyelesaikan urusannya, dia mengatakan, kehadirannya di KPK bukan diperiksa sebagai saksi, melainkan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai formalitas penyerahan uang dari transaksi mobil tersebut.
    “Hari ini (Selasa) saya dipanggil untuk menandatangani berita acara terkait dengan proses pengembalian mobil,” kata Ilham.
    Ilham juga menyatakan, dengan penyerahan uang tersebut, mobil antik milik sang ayah akan dikembalikan KPK pada pekan ini.
    “Minggu ini (mobil dikembalikan KPK),” ujarnya.
    Kasus yang melatarbelakangi transaksi mobil tersebut adalah kasus dugaan korupsi dugaan pengadaan iklan di Bank BJB periode 2021-2023.
    KPK mengungkapkan, modus utama dari kasus korupsi ini adalah pengalihan realisasi anggaran iklan ke pos dana non-bujeter yang tak bisa dipertanggungjawabkan sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 222 miliar.
    “Kerugian negara pada perkara ini dalam proses penyelidikan sebesar kurang lebih Rp 222 miliar,” kata Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
    KPK pun telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus ini, yakni Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi, Pimpinan Divisi Corporate Secretary Bank BJB Widi Hartoto, Pengendali Agensi Antedja Muliatama, dan Cakrawala Kreasi Mandiri Kin Asikin Dulmanan.
    Kemudian, Pengendali Agensi BSC Advertising dan PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE) Suhendrik, serta Pengendali PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB) Raden Sophan Jaya Kusuma.
    Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.