Kasus: Tipikor

  • Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto, dan Legal Korporasi Syafei Didakwa TPPU Rp 52,53 M
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Oktober 2025

    Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto, dan Legal Korporasi Syafei Didakwa TPPU Rp 52,53 M Nasional 22 Oktober 2025

    Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto, dan Legal Korporasi Syafei Didakwa TPPU Rp 52,53 M
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto Bakri, dan Social Security License Wilmar Group Muhammad Syafei didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai total Rp 52,53 miliar.
    Uang TPPU ini diduga berasal dua sumber, yaitu dari proses suap kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas kepada tiga korporasi
    crude palm oil
    (CPO), serta dari
    fee lawyer
    penanganan perkara CPO.
    “Terdakwa Marcella Santoso telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Ariyanto, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang, surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan, yaitu yang diketahuinya atau patut diduga hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) berupa uang dalam bentuk USD (senilai) Rp 28 miliar yang dikuasai oleh Marcella Santoso, Ariyanto, M Syafei,” ujar Jaksa Andi Setyawan, saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
    Selain menyamarkan uang yang terkait dari proses suap, para terdakwa juga menyamarkan uang senilai Rp 24,5 miliar yang merupakan
    legal fee
    atau pendapatan sebagai penasehat hukum terdakwa korporasi.
    “Dan,
    legal fee
    sebesar Rp 24.537.610.150,9 yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam perkara memberi, menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi supaya perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut diputus dengan putusan onslag dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan,” ujar jaksa.
    Marcella, Ariyanto, dan Syafei didakwa melakukan TPPU dan menyamarkan kepemilikan aset dengan menggunakan nama perusahaan.
    “(Para terdakwa) menggunakan nama perusahaan dalam kepemilikan aset dan mencampurkan uang hasil kejahatan dengan uang yang diperoleh secara sah,” kata jaksa.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam dengan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Selain didakwa melakukan TPPU, keempat terdakwa juga diduga telah memberikan uang suap senilai Rp 40 miliar kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas atau ontslag dalam kasus pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi CPO.
    Uang suap senilai Rp 40 miliar ini kemudian dibagikan ke lima orang dari kluster pengadilan, sudah lebih dahulu didakwa dalam berkas perkara lain.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses nego dengan Ariyanto yang merupakan perwakilan dari perusahaan.
    Arif dan Wahyu juga berkomunikasi dan mempengaruhi majelis hakim untuk memutus perkara sesuai permintaan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Muhammad Syafei.
    Pemberian uang suap Rp 40 miliar ini dilakukan beberapa kali. Ariyanto disebutkan berulang kali menemui Wahyu Gunawan dan Muhammad Arif Nuryanta untuk membahas soal pengurusan kasus.
    Sementara, Marcella, Junaedi, dan Syafei mengatur dari sisi korporasi. Mulai dari menyusun rencana untuk mencapai vonis lepas hingga menyiapkan uang suap untuk para hakim.
    Dalam kasus ini, Marcella Santoso dkk didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 13 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Ngawur dan Nyari Enaknya Sendiri

    KPK Ngawur dan Nyari Enaknya Sendiri

    GELORA.CO – Dugaan korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh hingga kini masih menjadi pertanyaan publik dan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusutnya. Namun sayangnya KPK masih belum melakukan penyelidikan.

    Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai KPK sudah sangat ngawur dan semakin mempertanyakan peran KPK.

    “Jadi KPK ini betul-betul ngawur dan nyari enaknya sendiri gitu. (Sudah) Ditugasi, dibayar, digaji negara untuk menangani korupsi lho kok duduk di belakang meja nunggu laporan, itu namanya bukan KPK lagi yang super body,” ujar Boyamin kepada Inilah.com, Rabu (22/10/2025).

    Dirinya mengakui mungkin saja benar adanya dugaan mark-up dalam proyek Whoosh tersebut, bagaimana dahulu proyek ini akan diambil oleh Jepang namun malah justru jatuh ke tangan China.

    “Ujungnya lebih mahal dari volume nilai proyeknya, terus pinjamannya juga lebih mahal dari Jepang. Kenapa diambil kan bisa saat pengambilan keputusan bekerja sama dari perusahaan China itu saja, kan bisa ada dugaan penyimpangan itu,” katanya.

    Belum lagi, lanjutnya, ada pula dugaan penyimpangan bila timbunan digunakan di sepanjang jalur Jakarta-Bandung bagian penopang rel, diduga juga terdapat kekurangan spesifikasi.

    “Misalnya harus betul-betul terpilih, harus pasir dan batu, tapi ada dugaan tanahnya misalnya atau yang lain-lain. Jadi bukan sekadar perencanaan dan dugaan mark-up, tapi juga bisa jadi pengurangan spesifikasi, itu kan ada dugaan penyimpangan,” jelasnya.

    Menurutnya, KPK ‘super ngawur’ bila dalam menangani temuan perkara korupsi seperti ini saja, harus menunggu laporan. Padahal KPK bisa saja seperti Polri yang menangani perkara dengan laporan model A.

    “Artinya yang ditemukan oleh polisi sendiri. Kalau KPK juga mensyaratkan ada pelapor itu ngawurnya bukan main. Di UU Pemberantasan Korupsi atau UU KPK enggak ada syarat itu,” ungkap Boyamin.

    Ia menekankan tak ada keharusan menunggu laporan terkait dugaan mark-up ini. Jika KPK tak kunjung menyelidiki kasus ini, maka MAKI menyebut siap untuk menggugat lembaga antirasuah tersebut ke praperadilan.

    “Karena kewajiban dia (KPK) harus menangani, bahkan kalau ditangani pihak lain saja ada halangan diambil-alih gitu, artinya itu KPK harus aktif itu. Dan kalau mensyaratkan kan Pak Mahfud untuk lapor itu ya lebih salah lagi,” tandasnya.

    Sebelumnya, Mahfud MD dalam video yang diunggah di kanal YouTube pribadinya pada 14 Oktober 2025, yakni Mahfud MD Official, mengungkapkan ada dugaan tindak pidana korupsi dalam bentuk penggelembungan anggaran atau mark up di proyek Whoosh.

    “Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu 52 juta dolar Amerika Serikat. Akan tetapi, di China sendiri, hitungannya 17-18 juta dolar AS. Naik tiga kali lipat,” katanya.

    “Ini siapa yang menaikkan? Uangnya ke mana? Naik tiga kali lipat. 17 juta dolar AS ya, dolar Amerika nih, bukan rupiah, per kilometernya menjadi 52 juta dolar AS di Indonesia. Nah itu mark up. Harus diteliti siapa yang dulu melakukan ini?”

    Selanjutnya KPK mengimbau Mahfud MD untuk membuat laporan mengenai dugaan korupsi dalam proyek Whoosh.

    “Terima kasih informasi awalnya, dan jika memang Prof. Mahfud ada data yang nanti bisa menjadi pengayaan bagi KPK, maka kami akan sangat terbuka untuk kemudian mempelajari dan menganalisisnya,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (20/10).

  • Kejati Jakarta Tetapkan 3 Tersangka Kasus LPEI, Kerugian Negara Rp919 Miliar

    Kejati Jakarta Tetapkan 3 Tersangka Kasus LPEI, Kerugian Negara Rp919 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta telah menetapkan tiga tersangka terkait kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor oleh LPEI periode 2011-2023.

    Aspidsus Kejati Jakarta Haryoko Ari Prabowo mengatakan pihaknya telah memiliki alat bukti yang cukup untuk menetapkan tiga orang tersangka tersebut.

    Tiga orang tersangka tersebut, yakni LR (selaku Direktur PT Tebo Indah), DW (selaku Direktur Pelaksana 1 membawahi Unit Bisnis LPEI 2009-2018), dan RW (Relationship Manager pembiayaan Syariah 1 LPEI).

    “Penyidik Kejati Jakarta telah menetapkan 3 tersangka dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor Nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia [LPEI],” ujar Bowo di kantornya, Rabu (22/10/2025).

    Bowo menjelaskan ketiga tersangka ini diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam penyelenggaraan program ekspor nasional.

    Dia memberi contoh dalam proses pemberian kredit ada manipulasi kondisi keuangan dari KJPP atas aset. Tujuannya agar bisa menutupi nilai pinjaman yang diajukan kepada LPEI.

    Meski dalam kajian analis PT Tebo Indah telah dinyatakan default atau gagal bayar, namun dia mengatakan kredit dari LPEI tetap dicairkan ke PT Tebo Indah.

    “Selain itu, tentunya LPEl tidak menerapkan prinsip kehati-hatian atau antisipasi,” imbuh Bowo.

    Atas perbuatannya itu, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Jo. Pasal 18 ayat (1) UU RI No.31/1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Di samping itu, Bowo mengemukakan bahwa atas perbuatan melawan hukum dalam pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI ini, negara telah dirugikan sebesar Rp919 miliar.

    “Yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.919.035.000.000 [Rp919 miliar],” pungkasnya.

  • Bikin Ketar-ketir Koruptor, Natalius Pigai Usul Korupsi Dimasukkan sebagai Pelanggaran HAM

    Bikin Ketar-ketir Koruptor, Natalius Pigai Usul Korupsi Dimasukkan sebagai Pelanggaran HAM

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, kembali membuat terobosan hukum yang dianggap bakal jadi perhatian dunia.

    Ia mengusulkan agar tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

    Dikatakan Natalius, rancangan usulan tersebut telah rampung dan siap diserahkan ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut.

    “Pasalnya sudah ada, tinggal kami serahkan ke DPR. Mudah-mudahan ada doa supaya DPR mengesahkan,” ujar Natalius di kantor Kementerian HAM, Jakarta.

    Natalius menilai, langkah ini bisa menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang secara tegas menghubungkan korupsi dengan pelanggaran HAM.

    “Kami kan di seluruh dunia tidak ada loh, dalam induk undang-undang hak asasi manusia itu ada korupsi dan HAM,” Natalius menuturkan.

    “Induk undang-undangnya ya, instrumen undang-undang sebuah negara itu belum ada. Kami baru pertama yang mengkaitkan antara korupsi dan HAM,” tambahnya.

    Dijelaskan mantan Komisioner Komnas HAM itu, korupsi dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM apabila dilakukan dalam situasi darurat dan berdampak langsung terhadap keselamatan warga negara.

    “Misalnya dalam suasana COVID atau satu pulau kena dan dia dinyatakan oleh para ahli bahwa kalau dalam satu minggu tidak ditangani pemerintah, tidak dikasih makan, maka orang mati semua,” imbuhnya.

    “Ini contoh ya, orang mati semua. Lalu ada pemerintah punya anggaran besar, wajib ngasih, kan gitu,” sambung dia.

    Ia menggambarkan bila tiba-tiba anggaran diembat oknum sehingga suplai makanannya terhenti.

  • Eks Ketua PN Jaksel Arif Nuryanta hingga Djuyamto Bakal Dituntut Rabu Depan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Oktober 2025

    Eks Ketua PN Jaksel Arif Nuryanta hingga Djuyamto Bakal Dituntut Rabu Depan Nasional 22 Oktober 2025

    Eks Ketua PN Jaksel Arif Nuryanta hingga Djuyamto Bakal Dituntut Rabu Depan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, Hakim nonaktif Djuyamto, dan tiga terdakwa lainnya akan menghadapi tuntutan dalam kasus suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) pada Rabu (29/10/2025).
    “Pemeriksaan dinyatakan selesai. Tuntutan satu minggu. Kami berikan kesempatan kepada JPU untuk mempersiapkan,” kata Hakim Ketua Effendi, dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
    Sebelum palu hakim diketuk, salah satu pengacara dari kubu terdakwa sempat menyela.
    Ia meminta agar majelis hakim mempertegas kapan dan pukul berapa sidang tuntutan akan dimulai.
    Namun, majelis hakim berpendapat bahwa sidang kasus suap CPO ini sudah mulai memasuki babak akhir.
    Untuk itu, sidang akan dimulai sekitar pukul 10.00 WIB pada hari yang ditentukan.
    “Insya Allah besok (sidang selanjutnya) sudah pembacaan tuntutan. Sidang kita buka kembali 1 minggu ke depan, Rabu tanggal 29 Oktober 2025,” kata Hakim Effendi, saat menutup persidangan.
    Jaksa mendakwa lima orang hakim dan pegawai pengadilan ini menerima suap dengan total nilai mencapai Rp 40 miliar.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara itu, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses negosiasi dengan pengacara dan proses untuk mempengaruhi majelis hakim agar memutus perkara sesuai permintaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sekjen MPR ingatkan jajaran jauhi korupsi dan gratifikasi

    Sekjen MPR ingatkan jajaran jauhi korupsi dan gratifikasi

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Jenderal MPR RI Siti Fauziah meminta jajarannya untuk melaksanakan tugas dengan baik, jujur dan tidak menyalahgunakan jabatan yang dimiliki sehingga tidak ada satu pun ASN di lingkungan MPR yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tindak pidana korupsi.

    “Kadang-kadang hal yang kita anggap biasa, ternyata itu termasuk dalam ranahnya korupsi gratifikasi. Misalnya, memberi kenangan-kenangan kepada pegawai yang melangsungkan pernikahan. Kita bisa menganggapnya biasa, tetapi ada nilai-nilai tertentu yang harus perhatikan, sampai berapa batasan nilainya. Lalu, apakah pemberian kenangan itu termasuk gratifikasi atau tidak,” kata Siti Fauziah dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Pernyataan itu disampaikan Siti Fauziah saat menyampaikan sambutan dan membuka sosialisasi pencegahan korupsi di Gedung Nusantara V Komplek MPR/DPR RI.

    Acara tersebut menghadirkan Novel Baswedan sebagai narasumber tunggal dan sosialisasi pencegahan korupsi tersebut mengusung tema “Integritas Bukan Lips Service, Gratifikasi Bukan Tradisi”.

    Titik, sapaan Siti Fauziah, mengatakan kehati-hatian pegawai MPR sangat diperlukan mengingat dalam melaksanakan tugas sehari-hari, terkadang tanpa disadari terdapat kebijakan atau tindakan yang diambil berhimpitan dengan tindak pidana korupsi.

    Karena itu, Sekretariat Jenderal MPR menganggap kegiatan sosialisasi pencegahan korupsi ini sangat penting.

    Harapannya setiap individu di lingkungan MPR dapat memperdalam pengetahuan tentang integritas dan gratifikasi sehingga bisa terhindar dari tindakan korupsi.

    “Pencegahan tidak bisa hanya mengandalkan oleh institusi, saya dan deputi, hingga para kepala biro serta kepala bagian, tidak bisa mendeteksi tindakan aparatur di lingkungan Setjen MPR satu persatu. Karena itu, dibutuhkan kesadaran dan pengetahuan masing-masing. Itulah arti penting dari kita mengadakan sosialisasi ini,” ujarnya.

    Karena itu, menurut Titik, pihaknya sangat mewanti-wanti kejujuran seluruh pegawai MPR. Apalagi, seringkali bertemu, Ketua MPR Ahmad Muzani selalu mengingatkan jangan sampai ada tindakan-tindakan mark up atau proyek fiktif.

    “Itu jadi beban tersendiri buat saya. Saya berharap semua pegawai di Sekretariat Jenderal MPR lebih waspada. Saya tidak bisa bilang kita semua bersih, tapi tolong diperbaiki, dan setelah hari ini tidak ada lagi yang bermain-main dengan masalah korupsi dan gratifikasi,” ujarnya.

    Siti berharap materi yang disampaikan nara sumber tidak hanya didengarkan, tetapi dipahami dan diimplementasikan dalam setiap kegiatan, termasuk dalam kehidupan sehari-hari semua pegawai.

    “Yang sudah berbuat baik dari awal, alhamdulillah. Tapi, saya sangat berharap, kita semua bisa mendengarkan, mengikuti, memahami, dan melaksanakan materi yang nanti akan disampaikan,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ada Suap Audit BPK, Jual Beli Jabatan, hingga Proyek Fiktif BUMD!

    Ada Suap Audit BPK, Jual Beli Jabatan, hingga Proyek Fiktif BUMD!

    GELORA.CO – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa kembali menyoroti maraknya praktik korupsi di daerah yang dinilai menghambat pembangunan nasional. 

    Ia menegaskan, masih banyak kepala daerah dan pejabat publik yang terjebak dalam praktik suap audit, jual beli jabatan, hingga proyek fiktif di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

    Purbaya menyebut sederet kasus tersebut sebagai bukti nyata bahwa reformasi tata kelola pemerintahan belum sepenuhnya berjalan optimal.

    “Data KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga mengingatkan kita dalam tiga tahun terakhir masih banyak kasus daerah, audit BPK di Sorong dan Meranti, jual beli jabatan di Bekasi sampai proyek fiktif BUMD di Sumatera Selatan. Artinya reformasi tata kelola ini belum selesai,” ungkap Purbaya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10/2025).

    Purbaya menekankan, praktik korupsi di daerah menjadi penyebab utama kebocoran anggaran dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ia juga menyinggung berbagai kasus yang sebelumnya telah diusut KPK sebagai bukti lemahnya tata kelola di tingkat daerah.

    Kasus Suap Audit BPK di Meranti

    Salah satu yang disorot Purbaya adalah kasus suap audit BPK di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Kasus ini menjerat Bupati Kepulauan Meranti kala itu, Muhammad Adil, yang ditangkap tangan oleh KPK pada 7 April 2023.

    Dalam kasus tersebut, Adil diduga menyuap auditor BPK agar laporan keuangan Pemkab Meranti mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

    Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan bahwa Adil bersama Kepala BPKAD Fitri memberikan uang senilai sekitar Rp1,1 miliar kepada Ketua Tim Pemeriksa BPK Riau, M. Fahmi Aressa. 

    Dalam putusan pengadilan, Adil dijatuhi hukuman 9 tahun penjara, denda Rp600 juta, serta diwajibkan mengembalikan uang pengganti sebesar Rp17 miliar. Sementara itu, Fahmi divonis 4 tahun 3 bulan penjara.

    Kasus Suap Audit BPK di Sorong

    Selain di Meranti, Purbaya juga menyoroti kasus serupa yang terjadi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Kasus ini melibatkan mantan Penjabat (Pj) Bupati Sorong, Yan Piet Moso, bersama Kepala BPKAD Efer Segidifat dan stafnya, Maniel Syafle.

     

    Ketiganya didakwa memberikan uang sebesar Rp450 juta kepada tim BPK Papua Barat untuk menghilangkan temuan dalam hasil pemeriksaan keuangan tahun 2022–2023. 

    Pihak BPK yang diduga terlibat, termasuk Kepala BPK Perwakilan Papua Barat Daya Patrice Lumumba Sihombing, disebut menerima uang melalui perantara bernama Abu dan David. 

    Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Manokwari pada April 2024, Yan Piet Moso dijatuhi hukuman 1 tahun 10 bulan penjara, sedangkan Efer dan Maniel masing-masing divonis 2 tahun penjara.

    Proyek Fiktif di BUMD Sumatera Selatan 

    Purbaya juga menyoroti praktik korupsi di BUMD Sumatera Selatan. Dugaan kasus ini menimpa PT Sriwijaya Mandiri Sumsel (PT SMS), perusahaan daerah yang mengelola Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api. Mantan Direktur Utama PT SMS, Sarimuda, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK pada September 2023. 

    Kasus ini berawal dari kerja sama PT SMS dengan PT KAI dalam pengangkutan batubara. Dalam periode 2020–2021, Sarimuda diduga membuat dokumen invoice fiktif untuk mencairkan dana perusahaan. Uang yang dikeluarkan atas dasar dokumen palsu itu sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi dan ditransfer ke rekening keluarganya.

    Perbuatan tersebut menyebabkan kerugian negara sekitar Rp18 miliar. KPK menduga pelanggaran ini melibatkan pelanggaran berbagai peraturan, termasuk UU Keuangan Negara, UU Perseroan Terbatas, PP BUMD, serta UU Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini masih dalam tahap penyidikan lanjutan.

    Sorotan terhadap Reformasi Tata Kelola 

    Purbaya menilai, sederet kasus korupsi di daerah mencerminkan bahwa reformasi birokrasi dan tata kelola anggaran belum sepenuhnya berjalan efektif di tingkat pemerintahan daerah. Ia menyoroti masih adanya pejabat yang menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi.

    Dalam pernyataannya, Purbaya menekankan pentingnya memperkuat transparansi dan pengawasan keuangan daerah agar pembangunan berjalan efektif. Ia juga mendorong perbaikan sistem akuntabilitas publik agar praktik korupsi serupa tidak terus berulang.

  • Analis UNJ Menduga Jokowi Sengaja Merawat Kasus Ijazah untuk Pemilu 2029

    Analis UNJ Menduga Jokowi Sengaja Merawat Kasus Ijazah untuk Pemilu 2029

    GELORA.CO – Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun memiliki pandangan mengenai kasus ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belum menemui titik terang. Dia menduga Jokowi sengaja “merawat” kasus ijazah demi Pemilu 2029.

    “Instrumen ini yang sedang dimainkan Jokowi. Asumsinya, dia membiarkan perkara tidak selesai. Padahal, masalah ini sangat pelik,” ujar Ubedilah dalam Podcast To The Point Aja di YouTube Sindonews dikutip, Rabu (22/10/2025).

    Menjelang Pemilu 2029 barulah Jokowi menunjukkan ijazahnya ke publik. Tujuannya agar masyarakat berempati kepada mantan orang nomor satu di Indonesia itu. “Kalau benar terjadi, artinya pola ini sangat berbahaya,” katanya.

    Menurut dia, “merawat” kasus ijazah selama ini telah menimbulkan konflik di masyarakat dan hanya untuk kepentingan popularitas semata. “Juga kepentingan kekuasaan,” ucapnya.

    Ubedilah dengan tegas menyatakan kasus ijazah Jokowi harus dituntaskan sekarang juga. Sebab, “merawat” yang ujungnya menjelang Pemilu 2029 apalagi dibumbui keputusan hukum mengenai ijazah tersebut dapat mempengaruhi Jokowi dan keluarganya yang notabene putra sulungnya yakni Gibran Rakabuming Raka menjabat Wapres.

    “Jangan sampai persoalan sederhana ini dijadikan instrumen untuk kepentingan kekuasaan. Seharusnya politik ke depan menampilkan ide atau gagasan,” ujarnya.

    Dia juga mencurigai ada orang di Istana, di sekitar Presiden Prabowo Subianto ingin terus berkuasa. Orang tersebut telah ada sejak era Orde Baru (Orba) dan rezim presiden sebelumnya.

    Tak heran, dalam sebuah kesempatan Presiden Prabowo Subianto pernah menyampaikan negara tak takut jika ada orang kuat yang melakukan perbuatan melawan hukum. Itulah narasi yang diungkapkan Prabowo terhadap kekuasaan yang sedang dipimpinnya.

    “Kenapa orang itu ingin terus berkuasa? Mungkin dia takut kena perkara hukum atau takut kehilangan pengaruh,” ujar Ubedilah.

    Menurut dia, sebetulnya banyak yang ingin terus berkuasa, tak hanya satu orang. Hal inilah yang dinamakan penyakit kekuasaan.

    “Orang Orde Baru, mantan Panglima, Wantimpres, menteri zaman dari Gus Dur sampai sekarang yang kemarin jadi menteri segala urusan. Ada mantan presiden yang kemarin mau tiga periode. Jadi ada tafsir selalu berkuasa itu sebetulnya banyak di lapisan elite,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Prabowo memberikan sinyal bahwa negara tak takut jika ada orang kuat yang melakukan perbuatan melawan hukum.

    “Yang kuat, dia akan kuat. Tapi, yang kuat, kalau melanggar hukum, kita adu kekuatan. Kuat negara atau kuat mereka? Jangan mereka kira Indonesia lemah,” ujar Prabowo saat menghadiri penyerahan barang bukti sitaan Rp13 triliun dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Senin (20/10/2025).

  • Kejari Ponorogo Tuntut 14,5 Tahun Penjara untuk Terdakwa Korupsi Dana BOS SMK PGRI 2

    Kejari Ponorogo Tuntut 14,5 Tahun Penjara untuk Terdakwa Korupsi Dana BOS SMK PGRI 2

    Ponorogo (beritajatim.com) – Kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SMK PGRI 2 Ponorogo memasuki babak baru. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo resmi membacakan tuntutan terhadap Syamhudi Arifin, terdakwa kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan dana BOS di sekolah tersebut. Tuntutan itu, dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Selasa (21/10/2025) kemarin.

    Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo menuntut hukuman berat terhadap Syamhudi Arifin. Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana 14 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Selain hukuman pokok, jaksa juga menuntut terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp25,83 miliar. Jumlah itu dikurangi dengan nilai pengembalian sebagian kerugian negara sebesar Rp3,175 miliar, sehingga masih tersisa kewajiban pembayaran sebesar Rp22,65 miliar.

    “Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kerugian negara. Apabila tidak mencukupi, diganti pidana penjara selama 7 tahun 3 bulan,” terang Kasi Intel Kejari Ponorogo, Agung Riyadi, Rabu (22/10/2025).

    Agung menjelasakan barang bukti berupa uang tunai Rp3,175 miliar, 11 unit bus, tiga unit mobil Avanza, dan satu unit Pajero dirampas untuk negara serta diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti.

    “Tuntutan ini menjadi bagian dari komitmen Kejaksaan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, khususnya yang merugikan dunia pendidikan dan keuangan negara,” tegasnya.

    Sidang pembacaan tuntutan berlangsung aman dan tertib di ruang Candra, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya. Agenda persidangan berikutnya dijadwalkan pada 4 November 2025, dengan agenda pledoi atau nota pembelaan dari penasihat hukum terdakwa.

    Agung menyebut, kasus ini bermula dari penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana BOS pada tahun anggaran 2019 hingga 2024 di SMK PGRI 2 Ponorogo. Berdasarkan hasil penyidikan, perbuatan terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

    “Penegakan hukum ini diharapkan memberi efek jera dan menjadi pembelajaran bagi seluruh pengelola dana pendidikan agar lebih transparan dan akuntabel,” pungkas Agung. (end/but)

  • KPK Tak Perlu Tunggu Laporan untuk Usut Dugaan Korupsi Whoosh

    KPK Tak Perlu Tunggu Laporan untuk Usut Dugaan Korupsi Whoosh

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu menunggu laporan untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh.

    Hal itu disampaikan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi merespons pernyataan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyebutkan bahwa KPK tidak perlu menunggu laporan masyarakat untuk mengusut dugaan korupsi, melainkan dapat segera melakukan penelusuran jika sudah ada informasi awal.

    “Dalam proyek Whoosh ini saya sependapat dengan Bang Mahfud MD, KPK tidak perlu tunggu laporan lagi,” kata Muslim kepada RMOL, Rabu, 22 Oktober 2025.

    Pernyataan Mahfud MD yang mendesak KPK agar proaktif ini muncul setelah ia mengungkapkan adanya dugaan ‘mark up’ (penggelembungan biaya) pada proyek Whoosh. Menurut Mahfud, ada selisih biaya yang signifikan antara perhitungan pihak Indonesia dan versi Tiongkok.

    Muslim Arbi menambahkan, KPK seharusnya langsung bertindak karena proyek Whoosh ini sudah menjadi perhatian publik yang luas dan bahkan diakui bermasalah oleh pejabat tinggi.

    Apalagi kata Muslim, mantan anak buah Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan sudah mengungkapkan kondisi Whoosh sejak awal.

    “Wong Luhut sendiri bilang Whoosh itu barang busuk. Karena beban dan kerugian negaranya sudah jelas, KPK tunggu apa lagi. Jangan sampai KPK kaya orang linglung yang nggak ngerti tugasnya sendiri. Kan aneh KPK seperti itu,” pungkas Muslim