Kasus: Tipikor

  • Usai Divonis 10 Tahun Penjara, KPK Panggil Kosasih Terkait Kasus Taspen

    Usai Divonis 10 Tahun Penjara, KPK Panggil Kosasih Terkait Kasus Taspen

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Direktur PT Taspen (Persero) Antonius N.S Kosasih usai divonis 10 tahun penjara dalam kasus investasi fiktif.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menuturkan bahwa kapasitas pemeriksaan Kosasih sebagai saksi dan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

    “Hari ini (23/10), KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi terkait dugaan TPK dalam pengelolaan investasi pada PT Taspen,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Kamis (23/10/2025).

    Meski begitu, Budi belum dapat menyampaikan terkait hal apa yang akan didalami oleh penyidik kepada Kosasih. Materi penyidikan dapat disampaikan usai pemeriksaan selesai.

    Sekadar informasi, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis kurungan penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Kosasih. 

    Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Kosasih untuk membayar uang pengganti sebesar Rp29,152 miliar, 127.057 dolar Amerika Serikat (AS), 283.002 dolar Singapura, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 30 Poundsterling, 128 ribu yen Jepang, 500 dolar Hong Kong, dan 1.262 juta won Korea, dan Rp2.877.000.

    Apabila Kosasih tidak dapat membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan. Namun dia mengajukan banding atas vonis tersebut.

    Sementara itu, terdakwa kedua mantan Direktur Utama PT Insight Investments Management Ekiawan Heri Primaryanto divonis 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider 6 bulan penjara, serta membayar uang pengganti USD 253,660.

    Berbeda dengan Kosasih, Ekiawan tidak mengajukan banding sehingga JPU KPK melimpahkan berkas status hukum tetap.

    Pada 15 Oktober 2025, Kepala Satuan Tugas Jaksa Penuntut Umum KPK Greafik Loserte menjelaskan timnya telah melimpahkan berkas status hukum tetap terhadap Ekiawan.

    “Sementara Pak Ekiawan tidak mengajukan banding dan karenanya putusan perkara Pak Ekiawan menjadi berkekuatan hukum tetap dan bisa dieksekusi,” ujar Greafik.

  • Mobil Alphard dan Rumah Jadi Barang Bukti Kasus KUR Fiktif, Kejari Bondowoso Serahkan ke BRI

    Mobil Alphard dan Rumah Jadi Barang Bukti Kasus KUR Fiktif, Kejari Bondowoso Serahkan ke BRI

    Bondowoso (beritajatim.com) — Kejaksaan Negeri (Kejari) Bondowoso resmi mengeksekusi barang bukti perkara korupsi penyimpangan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Tapen.

    Eksekusi dilakukan setelah Mahkamah Agung menolak kasasi terpidana utama, Raditya Ardi Nugraha (RAN), dan kawan-kawan, sehingga putusan Pengadilan Tipikor dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah).

    Kepala Kejari Bondowoso, Dzakiyul Fikri, menjelaskan bahwa pihaknya telah menyerahkan dua aset rampasan negara kepada BRI Bondowoso, yakni satu unit mobil Toyota Alphard dengan nomor polisi W 1056 TV beserta STNK dan BPKB, serta satu bidang tanah berikut rumah di Kelurahan Nangkaan lengkap dengan sertifikat hak milik.

    “Kami Kejaksaan Negeri Bondowoso selaku jaksa eksekutor telah melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung. Barang bukti berupa mobil dan rumah kami rampas untuk negara cq BRI Bondowoso,” ujar Fikri, Rabu (22/10/2025).

    Ia menambahkan, nilai dua aset tersebut diperkirakan mencapai lebih dari Rp500 juta, terdiri dari rumah senilai sekitar Rp300 juta dan mobil sekitar Rp200 juta lebih.

    “Kasus ini sudah cukup lama, dan kini kami nyatakan selesai. Amar pidana badan terhadap terpidana juga sudah dilaksanakan,” tambahnya.

    Sementara itu, Kepala Cabang BRI Bondowoso, Muhammad Rasyid Hudaya, menyampaikan terima kasih atas dukungan dan pendampingan Kejari Bondowoso sejak awal kasus bergulir hingga tuntas di tingkat kasasi.

    “Kami dari manajemen BRI Cabang Bondowoso mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kejari Bondowoso beserta tim. Prosesnya panjang, tapi akhirnya tuntas dan barang bukti sudah diserahkan. Nantinya aset ini akan kami lelang sesuai prosedur untuk menutup kerugian BRI,” terang Rasyid.

    Terkait upaya pencegahan agar kasus serupa tidak terulang, pihak BRI memperketat pengawasan internal dan pembinaan pegawai.

    “Kami terus memberikan edukasi, pembinaan, hingga penindakan kepada karyawan. Untuk yang masih aktif, kami tekankan pentingnya kehati-hatian dalam analisis kredit agar sesuai regulasi dan prinsip perbankan yang sehat,” ujarnya. (awi/ted)

  • Aset Terdakwa Korupsi Dana BOS SMK PGRI 2 Ponorogo Dirampas Negara untuk Tutupi Kerugian Rp25 M

    Aset Terdakwa Korupsi Dana BOS SMK PGRI 2 Ponorogo Dirampas Negara untuk Tutupi Kerugian Rp25 M

    Ponorogo (beritajatim.com) – Sejumlah aset bernilai miliaran rupiah milik terdakwa kasus penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) SMK PGRI 2 Ponorogo, Syamhudi Arifin, resmi dirampas untuk negara dan akan dilelang. Langkah tersebut diambil Kejaksaan Negeri Ponorogo guna menutupi kerugian keuangan negara yang mencapai lebih dari Rp25 miliar.

    Barang bukti yang akan dilelang antara lain 11 unit bus, 3 unit mobil Avanza, 1 unit mobil Pajero, dan uang tunai sebesar Rp3,175 miliar. Seluruh aset tersebut ditetapkan menjadi milik negara dan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti atas kerugian negara akibat penyalahgunaan dana BOS di sekolah tersebut.

    Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Ponorogo, Agung Riyadi, menegaskan bahwa perampasan aset ini merupakan bagian dari upaya pemulihan kerugian negara sebagaimana amanat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    “Aset-aset tersebut dirampas untuk negara dan akan dilelang. Jika nilainya belum mencukupi, maka harta benda lain milik terdakwa akan disita dan dilelang kembali hingga seluruh kerugian negara tertutupi,” kata Agung, Kamis (23/10/2025).

    Dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdakwa Syamhudi diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp25,83 miliar. Dari jumlah tersebut, terdakwa baru mengembalikan Rp3,175 miliar, sehingga masih tersisa Rp22,65 miliar yang wajib dibayar.

    Apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap terdakwa belum melunasi uang pengganti, jaksa akan mengeksekusi seluruh aset milik terdakwa untuk dilelang. Jika hasil lelang tetap tidak mencukupi, Syamhudi akan dijatuhi pidana tambahan 7 tahun 3 bulan penjara sebagai pengganti uang yang belum dibayar.

    Agung menegaskan bahwa langkah tegas ini bukan sekadar penegakan hukum, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral agar uang publik yang diselewengkan dapat kembali ke kas negara.

    “Negara tidak boleh dirugikan. Proses hukum tidak berhenti di vonis penjara, tapi juga memastikan aset hasil korupsi dikembalikan,” pungkasnya. [end/beq]

  • Tak Hanya Suap, Advokat Marcella Santoso Juga Didakwa Cuci Uang Rp 52,5 Miliar Terkait Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO

    Tak Hanya Suap, Advokat Marcella Santoso Juga Didakwa Cuci Uang Rp 52,5 Miliar Terkait Vonis Lepas Korupsi Ekspor CPO

    GELORA.CO  – Advokat Marcella Santoso didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terkait kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada periode Januari hingga April 2022.

    Tindakan pencucian uang itu disebut dilakukan bersama-sama dengan pengacara Ariyanto dan pejabat Social Security License Wilmar Group, Muhammad Syafei.

    Pencucian uang ini terjadi setelah Marcella bersama Ariyanto dan Muhammad Syafei diduga memberikan suap Rp 40 miliar kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

    Ketiga hakim itu menangani perkara korupsi terkait tiga perusahaan, yakni Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group. suap diberikan agar perusahaan itu divonis lepas atau ontslag.

    Tiga hakim yang menangani perkara ekspor CPO tersebut, yakni Djuyamto (Ketua Majelis Hakim) menerima Rp 9,5 miliar, Agam Syarif Baharudin (Hakim Anggota) dan Ali Muhtarom (Hakim Ad Hoc) masing-masing mendapat Rp 6,5 miliar.

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung), menjelaskan Marcella Santoso dkk terlibat dalam pencucian uang senilai Rp 52,5 miliar.

    Ia diduga memanfaatkan nama perusahaan untuk menguasai aset dan mencampurkan uang yang diduga hasil korupsi dengan dana yang sah.

    “Uang yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tersebut mencakup dolar Amerika senilai Rp 28 miliar yang dikuasai oleh terdakwa Marcella, Ariyanto, dan M. Syafei. Serta biaya legal fee sebesar Rp 24,5 miliar yang terkait dengan pemberian atau janji kepada hakim,” kata Jaksa membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu (22/10) malam.

    Jaksa menyebut tujuan dari pencucian uang itu adalah untuk mempengaruhi keputusan kasus korupsi terkait perusahaan minyak goreng, agar dijatuhkan putusan lepas.

    Selain itu, uang yang diduga hasil kejahatan itu dicampurkan dengan uang yang diperoleh secara sah, untuk menyembunyikan asal-usul kekayaan mereka.

    Sementara, Muhammad Syafei selaku Social Security License Wilmar Group, diduga melakukan pencucian uang sebesar Rp 28 miliar, termasuk uang operasional sebesar Rp 411 juta

    Uang ini, termasuk dalam bentuk dolar Amerika senilai Rp 28 miliar, dikuasai bersama dengan Ariyanto dan Marcella Santoso, serta uang operasional Rp 411, yang juga berasal dari tindak pidana pemberian atau janji kepada hakim,” imbuh Jaksa.

    Dalam perkara ini, Marcella dan Ariyanto dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Serta Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

    Sedangkan, Muhammad Syafei Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 56 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

  • 6
                    
                        Temuan Tambang Emas Ilegal Dekat Mandalika: Sehari Produksi 3 Kg, Pekerja Tak Bisa Bahasa Indonesia
                        Nasional

    6 Temuan Tambang Emas Ilegal Dekat Mandalika: Sehari Produksi 3 Kg, Pekerja Tak Bisa Bahasa Indonesia Nasional

    Temuan Tambang Emas Ilegal Dekat Mandalika: Sehari Produksi 3 Kg, Pekerja Tak Bisa Bahasa Indonesia
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, terdapat tambang emas ilegal yang tak jauh dari Sirkuit Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
    KPK juga menemukan bahwa tambang emas tersebut bisa menghasilkan 3 kg emas dalam sehari.
    “Dan itu luar biasa, ternyata bisa 3 kg emas satu hari. Hanya satu jam dari Mandalika,” kata Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi KPK Wilayah V, Dian Patria, di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025).
    KPK belum bisa menyatakan adanya tindak pidana korupsi pada sejumlah tambang emas ilegal tersebut.
    Namun, lembaga antirasuah mendorong agar aturan terkait kehutanan dan lingkungan ditegakkan.
    “Kemudian kita koordinasi segala macam, kita dampingi. Jadi kita ke lapangan, ya, kita mengajak. Jadi kalau kami di Korsup (atau) koordinasi supervisi, pencegahan bisa lebih luas lagi,” ujar dia.
    Dian mengaku kaget mendapat informasi ada tambang emas tak jauh dari Mandalika.
    “Saya juga baru tahu. Saya enggak pernah nyangka di Pulau Lombok, satu jam dari Mandalika ada tambang emas besar, baru tahu saya,” tutur dia.
    Dian mengatakan, KPK sudah menerjunkan tim untuk melakukan pengecekan ke lapangan dan menemukan beberapa pekerja di tambang emas ilegal itu tidak bisa berbahasa Indonesia.
    Oleh karena itu, ia bingung jika ada anggapan bahwa tambang di sekitar Mandalika disebut sebagai pertambangan rakyat.
    “Kalau beberapa yang saya ketemu kok rakyatnya enggak bisa bahasa Indonesia, ya? Jadi enggak tahu rakyatnya yang mana ini maksudnya,” kata dia.
    Salah satu tambang emas yang berjarak sekitar satu jam dari Sirkuit Mandalika yang dimaksud KPK adalah tambang emas di Sekotong, Lombok Barat.
    Narasi yang hendak dibangun bahwa tambang emas ilegal adalah pertambangan rakyat juga dijumpainya di tambang ilegal kawasan Lantung, Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
    “Dan pelakunya mungkin sama dengan yang di Lombok Barat, ya. Makanya di sana narasi yang dibangun kemudian menjadi dijadikan wilayah pertambangan rakyat,” ujar Dian.
    KPK menemukan tambang emas setelah mendapatkan laporan bahwa terjadi pembakaran tempat perkemahan (
    basecamp
    ) tambang emas yang diisi orang-orang dari China, laporan sejak Agustus 2024.
    Pada 4 Oktober 2024, tim KPK pergi ke Sekotong, Lombok Barat, Provinsi NTB.
    Di Sekotong, tambang itu bisa menghasilkan 3 kg emas dalam sehari.
    “Kita dorong yang punya kewenangan, tegakkan aturan. Kalau dia tidak tegakkan, ya tidak tegakkan, bisa jadi dia bagian dari masalah. Sengaja,” kata Dian Patria.
    Dia merasa aparat setempat tidak berani menindak tambang itu, yang berlokasi di Sekotong, Lombok Barat.
    “Mereka tidak berani menagih karena itu mungkin ada
    backing-backing
    -nya, atau mereka memang menikmati, ya,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Junaedi Saibih Cs Didakwa Rintangani 3 Perkara Korupsi CPO hingga Gula

    Junaedi Saibih Cs Didakwa Rintangani 3 Perkara Korupsi CPO hingga Gula

    Bisnis.com, JAKARTA — Advokat Junaedi Saibih, eks Direktur Pemberitaan JAKTV Tian Bahtiar, serta Ketua Tim Cyber Army atau buzzer Adhiya Muzakki didakwa rintangi tiga perkara korupsi.

    Sidang dakwaan ketiganya berlangsung di PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Rabu (22/10/2025) malam.

    Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa tiga orang melakukan perintangan pengusutan perkara melalui program atau pembuatan yang mendiskreditkan penanganan kasus oleh penyidik.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan Marcella Santoso, Tian Bahtiar dan M. Adhiya Muzzaki, sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi,” ujar jaksa.

    Tiga perkara diduga dirintangi oleh Junaedi dkk ini mulai dari kasus korupsi pemberian fasilitas crude palm oil (CPO); korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di IUP di PT Timah Tbk (TINS) 2015-2022; dan korupsi importasi gulai di Kemendag periode 2015-2016.

    Adapun, jaksa mengemukakan penyebaran konten maupun hasil diskusi yang menyudutkan kinerja penyidik disebarluaskan di media sosial maupun media massa.

    Di lain sisi, Junaedi, Marcella, Tian dan Adhiya juga disebut telah menghilangkan barang bukti dengan menghapus pesan WA dan membuang ponsel yang berisi informasi terkait kasus CPO, Timah dan Impor Gula.

    “Terdakwa Junaedi Saibih dan Marcella Santoso, Tian Bahtiar dan M. Adhiya Muzzaki menghilangkan barang bukti dengan menghapus chat whatsapp dan membuang handphone yang isinya terkait dengan tindak pidana korupsi,” pungkas jaksa.

    Atas perbuatannya itu, Junaedi Cs didakwa melanggar Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

  • 10
                    
                        Marcella Santoso Ungkap Bujet Suap Hakim Awalnya Rp 20 M, Akhirnya Keluar Rp 40 M
                        Nasional

    10 Marcella Santoso Ungkap Bujet Suap Hakim Awalnya Rp 20 M, Akhirnya Keluar Rp 40 M Nasional

    Marcella Santoso Ungkap Bujet Suap Hakim Awalnya Rp 20 M, Akhirnya Keluar Rp 40 M
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pengacara Marcella Santoso sempat menyampaikan bahwa pihak korporasi
    crude palm oil
    (CPO) telah menyiapkan bujet senilai Rp 20 miliar untuk menyuap majelis hakim yang saat itu mengadili perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor.
    Hal ini terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara yang melibatkan Marcella Santoso, Ariyanto Bakri, Junaedi Saibih, dan M Syafei.
    “Kemudian Marcella Santoso menyampaikan hal tersebut kepada Ariyanto bahwa ada bujet dari pihak korporasi sebesar Rp 20 miliar, permintaannya putusan bebas,” ujar jaksa Andi Setyawan saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
    Bujet Rp 20 miliar ini lebih dahulu disebutkan oleh M Syafei selaku Social Security License Wilmar Group.
    Jaksa mengungkapkan, pada medio Juni hingga Juli 2024, Marcella sempat bertemu dengan Syafei di sebuah restoran dan menyampaikan bahwa kasus korupsi korporasi CPO ini harus ‘diurus’.
    “Dalam pertemuan tersebut, Marcella Santoso mengatakan kepada terdakwa M. Syafei bahwa perkara ini harus diurus. Kemudian, M. Syafei menyampaikan untuk putusan bebas, korporasi sudah menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar,” imbuh jaksa.
    Sebelum uang suap Rp 20 miliar ini masuk dalam pembahasan, pihak korporasi sudah lebih dahulu memberikan uang suap tahap pertama kepada majelis hakim.
    Pemberian pertama ini terjadi sekitar bulan Mei 2024.
    Saat itu, Ariyanto selaku pengacara korporasi menyerahkan uang senilai Rp 8 miliar untuk dibagikan kepada majelis hakim sebagai ‘uang baca berkas’.
    Uang ini pun dibagikan kepada tiga majelis hakim yang mengadili perkara dan dua pegawai di lingkungan pengadilan.
    Kemudian, untuk uang suap tahap kedua, bujet Rp 20 miliar dinilai tidak cukup.
    Saat itu, Muhammad Arif Nuryanta selaku Wakil Ketua PN Jakpus meminta uang suap senilai 3 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 60 miliar kepada Ariyanto.
    Awalnya, Ariyanto menyanggupi, tetapi pada saat uang suap tahap kedua diserahkan, total yang diberikan adalah 2 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 32 miliar.
    Penyerahan tahap dua ini dilakukan pada Oktober 2024.
    Dari dua kali penyerahan uang suap ini, majelis hakim yang menangani perkara tersebut serta pejabat pengadilan menerima uang suap senilai Rp 40 miliar yang membuat mereka kini berstatus terdakwa.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; sedangkan panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, yaitu Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Di sisi lain, Marcella Santoso, Ariyanto, Junaedi Saibih, dan Muhammad Syafei didakwa bersama-sama memberikan suap senilai Rp 40 miliar kepada majelis hakim untuk menjatuhkan vonis lepas atau
    ontslag
    kepada tiga korporasi CPO.
    Dalam kasus ini, Marcella Santoso dkk didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 13 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Marcella Cs Didakwa Terlibat TPPU dan Suap Hakim Vonis Lepas Rp40 Miliar

    Marcella Cs Didakwa Terlibat TPPU dan Suap Hakim Vonis Lepas Rp40 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA — Marcella Santoso telah didakwa memberikan suap Rp40 miliar untuk vonis lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) korporasi.

    Sidang dakwaan ini digelar di PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025). Jaksa penuntut umum (JPU) juga turut mendakwa Advokat Ariyanto dan Junaedi Saibih serta M Syafei selaku perwakilan dari Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Ariyanto, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pihak yang mewakili kepentingan korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim,” ujar JPU.

    Dalam sidang itu terungkap bahwa puluhan miliar itu diberikan kepada hakim melalui Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Arif Nuryanta dan Panitera Muda PN Jakarta Utara.

    Uang tersebut kemudian diberikan kepada majelis hakim sidang kasus CPO korporasi yakni hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.

    “Memberikan uang tunai dalam bentuk mata uang dolar Amerika sejumlah USD 2.500.000 atau senilai kurang lebih Rp40 miliar kepada hakim,” imbuh jaksa.

    Adapun, jaksa mengemukakan bahwa uang tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara ekspor CPO korporasi agar divonis lepas atau onslag.

    “Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili yaitu supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutus perkara korupsi korporasi minyak goreng atas nama terdakwa Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group memberikan putusan lepas atau onslag,” tutur jaksa.

    Selain itu, Marcella, Ariyanto, dan M Syafei juga turut didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp52,23 miliar dengan dua sumber. Perinciannya, dari proses suap kepada majelis hakim dan terkait fee lawyer penanganan perkara CPO. 

    “Berupa uang dalam bentuk US$ yakni Rp28 miliar yang dikuasai oleh terdakwa Marcella, Ariyanto, M Syafei dan legal fee sebesar Rp24,53 miliar yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam perkara memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi supaya perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut diputus dengan putusan onslag,” pungkas jaksa.

  • Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto, dan Legal Korporasi Syafei Didakwa TPPU Rp 52,53 M
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Oktober 2025

    Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto, dan Legal Korporasi Syafei Didakwa TPPU Rp 52,53 M Nasional 22 Oktober 2025

    Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto, dan Legal Korporasi Syafei Didakwa TPPU Rp 52,53 M
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengacara Marcella Santoso, Ariyanto Bakri, dan Social Security License Wilmar Group Muhammad Syafei didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai total Rp 52,53 miliar.
    Uang TPPU ini diduga berasal dua sumber, yaitu dari proses suap kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas kepada tiga korporasi
    crude palm oil
    (CPO), serta dari
    fee lawyer
    penanganan perkara CPO.
    “Terdakwa Marcella Santoso telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Ariyanto, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang, surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaan, yaitu yang diketahuinya atau patut diduga hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) berupa uang dalam bentuk USD (senilai) Rp 28 miliar yang dikuasai oleh Marcella Santoso, Ariyanto, M Syafei,” ujar Jaksa Andi Setyawan, saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025).
    Selain menyamarkan uang yang terkait dari proses suap, para terdakwa juga menyamarkan uang senilai Rp 24,5 miliar yang merupakan
    legal fee
    atau pendapatan sebagai penasehat hukum terdakwa korporasi.
    “Dan,
    legal fee
    sebesar Rp 24.537.610.150,9 yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi dalam perkara memberi, menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi supaya perkara korupsi korporasi minyak goreng tersebut diputus dengan putusan onslag dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan,” ujar jaksa.
    Marcella, Ariyanto, dan Syafei didakwa melakukan TPPU dan menyamarkan kepemilikan aset dengan menggunakan nama perusahaan.
    “(Para terdakwa) menggunakan nama perusahaan dalam kepemilikan aset dan mencampurkan uang hasil kejahatan dengan uang yang diperoleh secara sah,” kata jaksa.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam dengan Pasal 3 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Selain didakwa melakukan TPPU, keempat terdakwa juga diduga telah memberikan uang suap senilai Rp 40 miliar kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas atau ontslag dalam kasus pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi CPO.
    Uang suap senilai Rp 40 miliar ini kemudian dibagikan ke lima orang dari kluster pengadilan, sudah lebih dahulu didakwa dalam berkas perkara lain.
    Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar.
    Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
    Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses nego dengan Ariyanto yang merupakan perwakilan dari perusahaan.
    Arif dan Wahyu juga berkomunikasi dan mempengaruhi majelis hakim untuk memutus perkara sesuai permintaan Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Muhammad Syafei.
    Pemberian uang suap Rp 40 miliar ini dilakukan beberapa kali. Ariyanto disebutkan berulang kali menemui Wahyu Gunawan dan Muhammad Arif Nuryanta untuk membahas soal pengurusan kasus.
    Sementara, Marcella, Junaedi, dan Syafei mengatur dari sisi korporasi. Mulai dari menyusun rencana untuk mencapai vonis lepas hingga menyiapkan uang suap untuk para hakim.
    Dalam kasus ini, Marcella Santoso dkk didakwa telah melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 13 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Ngawur dan Nyari Enaknya Sendiri

    KPK Ngawur dan Nyari Enaknya Sendiri

    GELORA.CO – Dugaan korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh hingga kini masih menjadi pertanyaan publik dan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusutnya. Namun sayangnya KPK masih belum melakukan penyelidikan.

    Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai KPK sudah sangat ngawur dan semakin mempertanyakan peran KPK.

    “Jadi KPK ini betul-betul ngawur dan nyari enaknya sendiri gitu. (Sudah) Ditugasi, dibayar, digaji negara untuk menangani korupsi lho kok duduk di belakang meja nunggu laporan, itu namanya bukan KPK lagi yang super body,” ujar Boyamin kepada Inilah.com, Rabu (22/10/2025).

    Dirinya mengakui mungkin saja benar adanya dugaan mark-up dalam proyek Whoosh tersebut, bagaimana dahulu proyek ini akan diambil oleh Jepang namun malah justru jatuh ke tangan China.

    “Ujungnya lebih mahal dari volume nilai proyeknya, terus pinjamannya juga lebih mahal dari Jepang. Kenapa diambil kan bisa saat pengambilan keputusan bekerja sama dari perusahaan China itu saja, kan bisa ada dugaan penyimpangan itu,” katanya.

    Belum lagi, lanjutnya, ada pula dugaan penyimpangan bila timbunan digunakan di sepanjang jalur Jakarta-Bandung bagian penopang rel, diduga juga terdapat kekurangan spesifikasi.

    “Misalnya harus betul-betul terpilih, harus pasir dan batu, tapi ada dugaan tanahnya misalnya atau yang lain-lain. Jadi bukan sekadar perencanaan dan dugaan mark-up, tapi juga bisa jadi pengurangan spesifikasi, itu kan ada dugaan penyimpangan,” jelasnya.

    Menurutnya, KPK ‘super ngawur’ bila dalam menangani temuan perkara korupsi seperti ini saja, harus menunggu laporan. Padahal KPK bisa saja seperti Polri yang menangani perkara dengan laporan model A.

    “Artinya yang ditemukan oleh polisi sendiri. Kalau KPK juga mensyaratkan ada pelapor itu ngawurnya bukan main. Di UU Pemberantasan Korupsi atau UU KPK enggak ada syarat itu,” ungkap Boyamin.

    Ia menekankan tak ada keharusan menunggu laporan terkait dugaan mark-up ini. Jika KPK tak kunjung menyelidiki kasus ini, maka MAKI menyebut siap untuk menggugat lembaga antirasuah tersebut ke praperadilan.

    “Karena kewajiban dia (KPK) harus menangani, bahkan kalau ditangani pihak lain saja ada halangan diambil-alih gitu, artinya itu KPK harus aktif itu. Dan kalau mensyaratkan kan Pak Mahfud untuk lapor itu ya lebih salah lagi,” tandasnya.

    Sebelumnya, Mahfud MD dalam video yang diunggah di kanal YouTube pribadinya pada 14 Oktober 2025, yakni Mahfud MD Official, mengungkapkan ada dugaan tindak pidana korupsi dalam bentuk penggelembungan anggaran atau mark up di proyek Whoosh.

    “Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu 52 juta dolar Amerika Serikat. Akan tetapi, di China sendiri, hitungannya 17-18 juta dolar AS. Naik tiga kali lipat,” katanya.

    “Ini siapa yang menaikkan? Uangnya ke mana? Naik tiga kali lipat. 17 juta dolar AS ya, dolar Amerika nih, bukan rupiah, per kilometernya menjadi 52 juta dolar AS di Indonesia. Nah itu mark up. Harus diteliti siapa yang dulu melakukan ini?”

    Selanjutnya KPK mengimbau Mahfud MD untuk membuat laporan mengenai dugaan korupsi dalam proyek Whoosh.

    “Terima kasih informasi awalnya, dan jika memang Prof. Mahfud ada data yang nanti bisa menjadi pengayaan bagi KPK, maka kami akan sangat terbuka untuk kemudian mempelajari dan menganalisisnya,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (20/10).