Kasus: Tipikor

  • 2
                    
                        Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid
                        Nasional

    2 Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid Nasional

    Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, menceritakan awal perkenalan dengan Mohamad Riza Chalid, pengusaha minyak sekaligus salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Persero.
    Hal ini disampaikan Karen saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dan kawan-kawan yang duduk di kursi terdakwa.
    “Saya baru pulang dari rapat (di) Natuna, di lobi dengan Pak Ari (Soemarno) dan bertemu dengan Mohamad Riza Chalid, dan saya diperkenalkan,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Karen mengatakan, saat berkenalan dengan Riza Chalid, ia masih menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina, yaitu sekitar tahun 2008.
    Saat itu, Karen diperkenalkan kepada Riza Chalid oleh Ari Soemarno, Direktur Utama PT Pertamina periode tahun 2006-2009.
    Perkenalan ini terjadi di lobi Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam kesempatan yang berbeda, Karen mengaku juga dikenalkan dengan seseorang bernama Irawan Prakoso.
    Karen tidak menyebutkan secara jelas kapan ia dikenalkan dengan Irawan Prakoso.
    Namun, saat itu, Karen sudah menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina dan tengah berada di Jepang.
    Saat berkenalan dengan Irawan Prakoso, nama Riza Chalid sudah disinggung.
    “Pada saat itu, hanya disampaikan (Irawan Prakoso) sebagai anak buahnya Pak Mohamad Riza,” lanjut Karen.
    Meski sudah lama mengenal Riza Chalid, Karen mengaku tidak tahu bahwa ada peran ayah Kerry Adrianto ini di balik pengadaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak, termasuk soal keterlibatan PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi Riza Chalid.
    Dalam sidang sebelumnya, saksi sekaligus tersangka kasus ini, Hanung Budya Yuktyanta, mengaku didatangi Irawan Prakoso selaku utusan Riza Chalid untuk segera meneken kerja sama antara PT Oiltanking Merak dengan PT Pertamina.
    Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan jaksa, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014 ini mengaku merasa ditekan bakal dicopot jika tidak memenuhi keinginan Riza Chalid.
    “Apabila saya tidak menandatangani persetujuan OE atau HTS, penunjukkan pemenang langsung yaitu PT Oiltanking Merak dan penandatanganan perjanjian jasa penerimaan penyimpanan dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak, saya akan dicopot karena tekanan dari Mohamad Riza Chalid,” ujar jaksa Triyana Setia Putra dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
    Dalam BAP yang sama, Hanung mengaku tekanan dari Riza Chalid ini ia rasakan dari kedatangan Irawan Prakoso.
    Hanung mengatakan, Irawan merupakan orang kepercayaan Riza.
    “Tekanan tersebut saya rasakan saat itu, dan salah satunya, sinyalnya adalah kedatangan Irawan Prakoso sebagai orang kepercayaan Mohamad Riza Chalid yang menyampaikan kekecewaan Mohamad Riza Chalid terkait proses rencana sewa storage Oiltanking Merak yang diajukan oleh saudara Gading Ramadhan Joedo selaku Dirut PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi dan salah satu kepercayaan dari Mohamad Riza Chalid,” lanjut jaksa Triyana melanjutkan BAP.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (di kemudian hari berganti nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid.
    Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan;
    Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
    Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid
                        Nasional

    2 Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid Nasional

    Eks Dirut BUMN Karen Agustiawan Ceritakan Awal Mengenal Riza Chalid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, menceritakan awal perkenalan dengan Mohamad Riza Chalid, pengusaha minyak sekaligus salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Persero.
    Hal ini disampaikan Karen saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dan kawan-kawan yang duduk di kursi terdakwa.
    “Saya baru pulang dari rapat (di) Natuna, di lobi dengan Pak Ari (Soemarno) dan bertemu dengan Mohamad Riza Chalid, dan saya diperkenalkan,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Karen mengatakan, saat berkenalan dengan Riza Chalid, ia masih menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina, yaitu sekitar tahun 2008.
    Saat itu, Karen diperkenalkan kepada Riza Chalid oleh Ari Soemarno, Direktur Utama PT Pertamina periode tahun 2006-2009.
    Perkenalan ini terjadi di lobi Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam kesempatan yang berbeda, Karen mengaku juga dikenalkan dengan seseorang bernama Irawan Prakoso.
    Karen tidak menyebutkan secara jelas kapan ia dikenalkan dengan Irawan Prakoso.
    Namun, saat itu, Karen sudah menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina dan tengah berada di Jepang.
    Saat berkenalan dengan Irawan Prakoso, nama Riza Chalid sudah disinggung.
    “Pada saat itu, hanya disampaikan (Irawan Prakoso) sebagai anak buahnya Pak Mohamad Riza,” lanjut Karen.
    Meski sudah lama mengenal Riza Chalid, Karen mengaku tidak tahu bahwa ada peran ayah Kerry Adrianto ini di balik pengadaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak, termasuk soal keterlibatan PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi Riza Chalid.
    Dalam sidang sebelumnya, saksi sekaligus tersangka kasus ini, Hanung Budya Yuktyanta, mengaku didatangi Irawan Prakoso selaku utusan Riza Chalid untuk segera meneken kerja sama antara PT Oiltanking Merak dengan PT Pertamina.
    Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan jaksa, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014 ini mengaku merasa ditekan bakal dicopot jika tidak memenuhi keinginan Riza Chalid.
    “Apabila saya tidak menandatangani persetujuan OE atau HTS, penunjukkan pemenang langsung yaitu PT Oiltanking Merak dan penandatanganan perjanjian jasa penerimaan penyimpanan dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak, saya akan dicopot karena tekanan dari Mohamad Riza Chalid,” ujar jaksa Triyana Setia Putra dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
    Dalam BAP yang sama, Hanung mengaku tekanan dari Riza Chalid ini ia rasakan dari kedatangan Irawan Prakoso.
    Hanung mengatakan, Irawan merupakan orang kepercayaan Riza.
    “Tekanan tersebut saya rasakan saat itu, dan salah satunya, sinyalnya adalah kedatangan Irawan Prakoso sebagai orang kepercayaan Mohamad Riza Chalid yang menyampaikan kekecewaan Mohamad Riza Chalid terkait proses rencana sewa storage Oiltanking Merak yang diajukan oleh saudara Gading Ramadhan Joedo selaku Dirut PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi dan salah satu kepercayaan dari Mohamad Riza Chalid,” lanjut jaksa Triyana melanjutkan BAP.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (di kemudian hari berganti nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid.
    Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan;
    Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
    Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Rampung Sidangkan Perkara Uji Materi Pasal Obstruction of Justice yang Digugat Hasto

    MK Rampung Sidangkan Perkara Uji Materi Pasal Obstruction of Justice yang Digugat Hasto

    MK Rampung Sidangkan Perkara Uji Materi Pasal Obstruction of Justice yang Digugat Hasto
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) telah merampungkan sidang uji materi pasal perintangan penyidikan atau
    obstruction of justice
    (OOJ) dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang dimohonkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
    “Hari ini adalah sidang terakhir untuk perkara ini. Oleh karena itu, kepada pemohon, DPR, dan kuasa Presiden juga akan mengajukan kesimpulan diberi waktu tujuh hari sejak sidang terakhir hari ini,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo di Jakarta, Senin (27/10/2025), melansir
    Antara
    .
    MK lantas meminta pemohon dan para termohon menyerahkan kesimpulan tertulis berisi pandangan akhir mengenai perkara itu.
    Setelah itu, para hakim konstitusi akan menggelar rapat permusyawaratan hakim guna memutus permohonan Hasto sebelum nantinya putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
    Adapun pada Senin ini, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang dengan agenda mendengar keterangan ahli yang dihadirkan pemerintah, yakni Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji dan pengajar Ilmu Hukum Universitas Borobudur Ahmad Redi.
    Kedua ahli tersebut sama-sama sepakat bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang mengatur perihal OOJ tidaklah bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana yang didalilkan Hasto dalam permohonannya.
    “Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah sebuah norma yang tidak bertentangan dengan nilai konstitusi, khususnya kepastian hukum,” kata Suparji.
    Dia menjelaskan ketentuan pasal tersebut telah memiliki batasan dan perintah yang jelas. Dalam perspektif hukum pidana, kata dia, pasal dimaksud telah memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
    Suparji juga mengatakan pasal itu tidak perlu penafsiran baru dengan menambahkan unsur “melawan hukum”, seperti yang dimintakan Hasto.
    “Karena sudah jelas perbuatan-perbuatan apa sebetulnya yang dilarang, sudah jelas bagaimana struktur normanya,” katanya.
    Sementara itu, Redi menyebut pasal yang diuji Hasto telah memenuhi unsur proprosionalitas.
    Menurut dia, ancaman pidana yang diatur dalam pasal tersebut tidak perlu diubah, sebagaimana yang diminta Hasto dalam perkara ini.
    “Ancaman penjara 3–12 tahun dan denda Rp 150–600 juta adalah proporsional dengan keseriusan perbuatan. Tindakan yang menggagalkan proses hukum dalam perkara korupsi dapat mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana,” ucapnya.
    Sebelumnya, Hasto mempersoalkan Pasal 21 Undang-Undang Tipikor yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara 3–12 tahun dan/atau denda Rp 150 juta–Rp600 juta.
    Menurut Hasto, dalam praktiknya, pasal tersebut ditafsirkan secara tidak proporsional dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
    Ia ingin norma pasal diperjelas. Dalam petitum, dia meminta MK menambahkan frasa “secara melawan hukum” dan “melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya”ke dalam pasal dimaksud.
    Selain itu, dia juga mendalilkan bahwa ancaman pidana dalam Pasal 21 Undang-Undang Tipikor tidak proporsional. Untuk itu, ia meminta ancaman pidana perintangan penyidikan dikurangi menjadi paling lama 3 tahun.
    Turut dimintakan Hasto, kata “dan” dalam frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” dimaknai memiliki arti kumulatif. Dalam kata lain, dia meminta, seseorang hanya bisa dihukum jika melakukan tindakan mencegah, merintangi, atau menggagalkan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
    Hasto sempat menjadi terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan dan gratifikasi terkait penggantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
    Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan, tetapi terbukti terlibat dalam pemberian suap sehingga divonis 3 tahun dan 6 bulan penjara serta denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.
    Kendati demikian, Hasto tidak menjalani masa pemidanaan lantaran telah mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Proyek RSUD Kolaka Timur, KPK Limpahkan Berkas ke PN Kendari

    Kasus Proyek RSUD Kolaka Timur, KPK Limpahkan Berkas ke PN Kendari

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan surat dakwaan dan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor pada PN Kendari, terkait kasus suap proyek pembangunan RSUD di Kolaka Timur (Koltim)

    Pelimpahan berkas menandakan perkara siap disidangkan. Dua orang yang disidang adalah Arif Rahman dan Deddy Karnady yang telah dipindahkan ke Rutan Kelas IIA Kendari. Mereka diduga memberikan suap kepada Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis.

    “Karena proses pelimpahan surat dakwaan dan berkas perkara Terdakwa Arif Rahman dkk ke Pengadilan Tipikor pada PN Kendari rampung, hari ini (27/10), telah selesai dilaksanakan proses pemindahan tempat penahanan dari kedua Terdakwa tersebut ke Rutan Kelas IIA Kendari,” kata Jaksa KPK Muhammad Albar Hanafi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Albar menyampaikan, berdasarkan informasi SIPP PN Kendari, sidang perdana pembacaan surat dakwaan dilakukan pada Rabu (29/10/2025) di Pengadilan Tipikor pada PN Kendari pukul 09.00 Wita dan para Terdakwa akan dihadirkan langsung di ruang sidang. 

    Selama proses pemindahan dari Jakarta ke Kendari, terdakwa dikawal ketat oleh Tim Jaksa dan pengawal internal KPK. Setibanya di Kendari, terdakwa dijemput menggunakan mobil tahanan milik Kejaksaan Negeri Kendari sekaligus pengawalan dari personil Kejari dan Brimob Polda Sulawesi Tenggara. 

    “Koordinasi intensif dengan pihak Kejari Kendari maupun Polda Sulawesi Tenggara turut dilaksanakan untuk mendukung kelancaran selama proses persidangan,” ucapnya. 

    Kasus Suap di Kolaka Timur

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu menjelaskan Kolaka Timur mendapatkan nilai proyek sebesar Rp126,3 miliar dari total anggaran alokasi Kemenkes atau Dana Alokasi Khusus (DAK) 2025 senilai Rp4,5 triliun untuk program peningkatan kualitas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tipe D menjadi tipe C.

    KPK mendeteksi adanya tindak pidana korupsi dan menggelar OTT di tiga wilayah yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Jakarta.

    Di Sulawesi Tenggara tepatnya di Kendari menangkap 4 orang yaitu Ageng Dermanto selaku PPK Proyek Pembangunan RSUD di Kolaka Timur, Harry Ilmar pejabat PPTK proyek pembangunan RSUD di Kolaka Timur, Nova Ashtreea pihak swasta dari staf PT PCP, dan Danny Adirekson Kasubbag TU Pemkab Kolaka Timur.

    Sedangkan di Jakarta, KPK menangkap Andi Lukman Hakim PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD, Deddy Karnady pihak PT PCP, Nugoroho Budiharto pihak swasta PT PA, Arif Rahman-Aswin-Cahyana selaku KSO PT PCP.

    “Saudara ABZ [Abdul Azis] bersama GPA [Gusti Putu Artana] selaku Kepala Bagian PBJ Pemkab Koltim, DA, dan selaku Kepala Dinas Kesehatan Koltim, menuju ke Jakarta, diduga untuk melakukan pengkondisian agar PT. PCP memenangkan lelang Pembangunan RSUD Kelas C Kab. Koltim, yang telah diumumkan pada website LPSE Koltim,” kata Asep saat konferensi pers, Sabtu (9/8/2025).

    Asep menceritakan pada bulan Maret 2025, Ageng Dermanto menandatangani kontrak kerja pembangunan RSUD dengan PT PCP sebesar Rp126,3 miliar.

    Di bulan April 2025, Ageng Dermanto memberikan Rp30 juta kepada Andi Lukman di Bogor. Di sisi lain, sepanjang bulan Mei-Juni, Dedy Karnady menarik sekitar Rp2,09 miliar yang kemudian menyerahkan Rp500 juta kepada Ageng Demanto di lokasi pembangunan RSUD Kolaka Timur.

    Asep menjelaskan pada pertemuan itu, Deddy menyampaikan permintaan Ageng kepada PT PCP terkait komitmen fee sebesar 8%.

    Lalu, Deddy menarik cek Rp1,6 miliar pada bulan Agustus untuk diserahkan kepada Ageng dan Ageng menyerahkan kepada Yasin selaku staf dari Abdul AzAzis.

    Tak hanya itu, Deddy kembali memberikan Rp200 juta kepada Ageng. Sedangkan PT PCP juga melakukan pencarian cek Rp3,3 miliar.

    “Tim KPK kemudian menangkap Sdr. AGD [Ageng Dermanto] dengan barang bukti uang tunai sejumlah Rp200 juta, yang diterimanya sebagai kompensasi atau bagian dari komitmen fee sebesar 8% atau sekitar Rp9 miliar, dari nilai proyek pembangunan RSUD Kab. Koltim sebesar Rp126,3 miliar,” terang Asep.

    Setelah melakukan pemeriksaan dan mengumpulkan dua alat bukti yang cukup, KPK menetapkan Abdul Azis, Andi Lukman, Ageng Dermanto, Deddy Karnady, dan Arif Rahman.

  • Mahfud MD Ogah Lapor KPK soal Whoosh: Bukan Kewajiban, Buang-buang Waktu

    Mahfud MD Ogah Lapor KPK soal Whoosh: Bukan Kewajiban, Buang-buang Waktu

    JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan menolak melaporkan secara resmi kasus dugaan korupsi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh ke KPK.

    Namun demikian, ia mengaku siap jika dipanggil KPK untuk memberikan keterangan terkait dugaan korupsi proyek kereta cepat tersebut.

    “Saya siap dipanggil. Kalau dipanggil, saya akan datang. Kalau saya disuruh lapor, ngapain, buang-buang waktu juga,” kata Mahfud di Yogyakarta pada Minggu 26 Oktober.

    Demikian hal tersebut disampaikan Mahfud menanggapi pernyataan KPK yang mendorongnya untuk melaporkan secara resmi dugaan tindak pidana korupsi proyek kereta cepat.

    Menurut Mahfud, tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk membuat laporan kepada KPK. Sebaliknya, lembaga antirasuah juga tidak berhak mendesaknya untuk melapor.

    “Enggak berhak dia (KPK) mendorong. Laporan itu, enggak ada kewajiban orang melapor,” tuturnya.

    Mahfud membeberkan, KPK sebenarnya sudah tahu informasi soal dugaan korupsi proyek kereta cepat Whoosh. Bahkan, kata dia, KPK tahu lebih dulu sebelum dirinya mengungkapkan hal itu ke publik.

    “Wong yang saya laporkan itu, KPK sudah tahu. Karena sebelum saya ngomong, sudah ramai duluan, kan? Saya cuma ngomong karena sudah ramai saja,” ucapnya dilansir ANTARA.

    Adapun pihak yang seharusnya dipanggil KPK, kata dia, adalah orang-orang yang lebih dulu berbicara dan memiliki data terkait proyek kereta cepat itu.

    “Mestinya KPK manggil orang yang ngomong sebelumnya, itu kan banyak banget, yang punya data, dan pelaku. Kalau saya tuh kan pencatat saja,” tutur Mahfud.

    Sebelumnya, Mahfud MD mengungkapkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penggelembungan anggaran atau mark up dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

    Hal itu disampaikan Mahfud dalam video yang diunggah di kanal YouTube Mahfud MD Official pada 14 Oktober 2025.

    Mahfud menuturkan biaya pembangunan per kilometer di Indonesia mencapai 52 juta dolar AS, sedangkan di China hanya sekitar 17 juta dolar AS hingga 18 juta dolar AS.

    Atas pernyataan itu, KPK meminta Mahfud MD melaporkan dugaan tersebut secara resmi. Jubir KPK Budi Prasetyo menyebut pihaknya terbuka menerima data tambahan dari Mahfud untuk dipelajari dan dianalisis lebih lanjut.

    “Terima kasih informasi awalnya, dan jika memang Prof. Mahfud ada data yang nanti bisa menjadi pengayaan bagi KPK, maka kami akan sangat terbuka untuk mempelajari dan menganalisisnya,” kata Budi, Senin lalu

  • Korupsi Kredit Bank BUMN, Tersangka di Sulsel Bertambah

    Korupsi Kredit Bank BUMN, Tersangka di Sulsel Bertambah

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan menetapkan dan menahan seorang tersangka baru yakni perempuan dengan inisial KK atas kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pemberian kredit atau pinjaman pada salah satu bank BUMN di Kabupaten Bulukumba periode 2021-2023.

    “Penyidik telah melakukan penahanan terhadap Tersangka KK selama 20 hari, terhitung 25 Oktober sampai 13 November 2025 di Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Kota Makassar,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel Soetarmi dikutip dari Antara, Senin (27/10/2025).

    Soetarmi mengatakan baha dalam kasus ini, KK diduga kuat terlibat bersama tersangka R yang sudah ditahan pada 24 Oktober 2025 serta tersangka HA diduga selaku pemrakasa kasus tersebut juga telah ditahan pada 2 September 2025.

    “Untuk modus operandi dilakukan tersangka dengan sengaja menggunakan identitas (nama dan usaha nasabah). Hasil pencairan kreditnya kemudian digunakan sebagian atau seluruhnya oleh ketiga tersangka ini KK, R, dan HA,” tutur Soetarmi

    Selain itu, para tersangka tidak melakukan penyetoran atas pelunasan dan atau angsuran pembayaran nasabah ke bank BUMN Bulukumba, sehingga pembayaran tersebut tidak masuk ke dalam sistem bank. Uang itu digunakan dan dinikmati para tersangka untuk kepentingan pribadi.

    Dari perbuatan para tersangka ini telah menyalahgunakan pembayaran uang angsuran kredit, pelunasan kredit, maupun hasil pencairan kredit nasabah di bank BUMN di Kabupaten Bulukumba sejak 2021-2023.

    “Akibat perbuatan para tersangka, bank BUMN di Kabupaten Bulukumba mengalami kerugian sebesar Rp3,86 miliar lebih,” ucap Soetarmi menyebutkan.

    Para tersangka melanggar ketentuan pidana primair dan subsidair pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Jo. pasal 18 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Jo. pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.

    Soetarmi menegaskan, tim penyidik akan terus mendalami dan mengembangkan kemungkinan adanya tersangka lain. Ia menghimbau kepada para saksi untuk kooperatif hadir menjalani pemeriksaan serta tidak melakukan upaya merintangi, menghilangkan, atau merusak alat bukti.

    “Tim Penyidik segera melakukan tindakan penyidikan berupa penyitaan, penggeledahan, pemblokiran dan penelusuran uang dan aset guna percepatan pemberkasan dan pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” paparnya menekankan.  

  • Kejari Bondowoso Mulai Sidik Penyelewengan Dana Hibah untuk Seragam Ormas

    Kejari Bondowoso Mulai Sidik Penyelewengan Dana Hibah untuk Seragam Ormas

    Bondowoso (beritajatim.com) — Penanganan dugaan tindak pidana korupsi dana hibah yang diterima Lembaga GP Ansor Kabupaten Bondowoso dari APBD Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2024 resmi memasuki babak baru.

    Kejaksaan Negeri (Kejari) Bondowoso memastikan perkara tersebut telah naik ke tahap penyidikan setelah melalui proses penyelidikan intensif oleh bidang pidana khusus (Pidsus).

    Kasi Intel Kejari Bondowoso, Adi Harsanto, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan serangkaian pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) sejak menerima laporan dari masyarakat.

    Dari hasil Pulbaket itu, ditemukan indikasi awal yang cukup kuat terkait dugaan penyimpangan dalam penggunaan dana hibah tersebut.

    “Pulbaket ini menjadi langkah awal kami menindaklanjuti laporan masyarakat. Hasilnya kami serahkan ke Pidsus untuk ditindaklanjuti dalam tahap penyidikan,” ujar Adi pada Beritajatim.com.

    Dana hibah senilai Rp1,36 miliar itu sejatinya dialokasikan untuk pengadaan seragam anggota GP Ansor Bondowoso.

    Namun, hasil penelusuran tim Kejari menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara laporan penggunaan dana dan realisasi di lapangan.

    “Dugaan sementara, kerugian keuangan negara mencapai sekitar Rp1 miliar,” tegasnya.

    Dalam laporan keuangan, dana hibah tersebut dibagi ke beberapa tingkatan organisasi, mulai dari Pimpinan Cabang (PC) GP Ansor Bondowoso sebesar Rp350 juta, PAC GP Ansor Wringin Rp110 juta, hingga sembilan Pimpinan Ranting di tingkat desa.

    Masing-masing seharusnya menerima antara Rp100 juta hingga Rp110 juta. Namun, hasil pemeriksaan awal menunjukkan bahwa ranting hanya menerima sekitar Rp1,5 juta.

    Modus yang digunakan diduga melalui program pengadaan seragam anggota. Namun, hasil penelusuran di lapangan menunjukkan jumlah seragam yang disalurkan sangat minim, hanya berkisar 10 hingga 25 stel di setiap ranting.

    “Dari nilai pengadaan yang dilaporkan, seharusnya jumlah seragam jauh lebih banyak. Ini yang sedang kami dalami,” terang Adi.

    Dari hasil pantauan sementara, realisasi belanja seragam yang benar-benar terealisasi diperkirakan hanya sekitar Rp350 juta atau kurang dari sepertiga total anggaran hibah.

    Selisih anggaran hampir Rp1 miliar itu kini menjadi fokus utama penyidikan oleh tim Pidsus Kejari Bondowoso.

    Adi menegaskan, meskipun kasus ini telah naik ke tahap penyidikan, pihaknya belum menetapkan tersangka.

    “Kami masih menunggu hasil penyidikan dari tim Pidsus. Setelah alat bukti dan keterangan saksi dianggap cukup, tentu akan ada pihak yang kami tetapkan sebagai tersangka,” pungkasnya. (awi/ted)

  • Kejagung Tegaskan Gugatan Sandra Dewi Tak Tunda Proses Lelang Aset Kasus Korupsi Timah

    Kejagung Tegaskan Gugatan Sandra Dewi Tak Tunda Proses Lelang Aset Kasus Korupsi Timah

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan gugatan keberatan Sandra Dewi atas sitaan aset dalam kasus megakorupsi tata niaga timah tak menunda proses lelang.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna menegaskan bahwa jalannya sidang keberatan oleh pihak ke-3 itu akan jalan beriringan dengan proses pelelangan.

    “Keberatan itu tidak menunda [proses lelang],” ujarnya di Kejagung, Jumat (24/10/2025).

    Dia menambahkan proses lelang ini sudah ada mekanismenya. Pada intinya, seluruh hasil lelang bakal masuk ke kas negara untuk memulihkan kerugian negara atas korupsi yang ada.

    “Ya nanti setelah dieksekusi kalau memang itu untuk dilakukan lelang, lelang, pastinya, dilelang pun nanti akan ketentuan ada mekanismenya dan nanti semua akan kembali untuk negara,” imbuhnya.

    Namun yang pasti, kata Anang, pihaknya tidak terlalu mengambil pusing terkait dengan keberatan dari istri terpidana Harvey Moeis itu. Di samping itu, jaksa sendiri siap menyampaikan argumen serta barang bukti untuk merespons gugatan dari Sandra Dewi tersebut.

    “Silakan saja dan ini diatur dalam UU Tipikor pasal 19 di situ ada syarat dan mekanisme ketentuannya seperti apa. Kita tunggu hasilnya yang penting apapun keputusannya kita menghormati,” pungkasnya.

    Sebelumnya, gugatan terkait harta perampasan dalam korupsi Timah digugat Sandra Dewi dalam register perkara nomor 7/PID.SUS/KEBERATAN/TPK/2025/PN.Jkt.Pst

    Barang rampasan yang digugat oleh Sandra Dewi itu yakni sejumlah perhiasan, tas mewah, dua rumah yang berlokasi di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan serta dua unit kondominium di Perumahan Gading Serpong.

  • KPK Berencana Lagi Panggil Anak Menas Erwin Terkait Kasus Pengurusan Perkara di MA

    KPK Berencana Lagi Panggil Anak Menas Erwin Terkait Kasus Pengurusan Perkara di MA

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana kembali memanggil anak Menas Erwin Djohansyah yang merupakan tersangka kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA), Valentino Matthew. Langkah ini diambil penyidik karena ia tak memenuhi pemanggilan sebagai saksi pada Kamis, 23 Oktober.

    “Yang bersangkutan tidak hadir, penyidik akan berkoordinasi dan akan melakukan penjadwalan ulang untuk pemeriksaan yang bersangkutan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi, Jumat, 24 Oktober.

    “Karena keterangan saksi memang dibutuhkan untuk mengungkap perkara ini,” sambung dia.

    Adapun dalam pemeriksaan kemarin, penyidik juga memanggil saksi lainnya yakni Faryd Sungkar yang merupakan pembalap motor. Tapi, Budi belum memerinci hasil pemeriksaan yang dilakukan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

    Diberitakan sebelumnya, KPK sudah menjerat eks Sekretaris MA Hasbi Hasan karena menerima suap terkait pengurusan perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di MA bersama bersama mantan Komisaris Independen Wijaya Karya (Wika) Dadan Tri Yudianto. Kasus ini kemudian dikembangkan, selain terkait suap tapi juga tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Belum dirinci komisi antirasuah soal tersangka kasus TPPU Hasbi Hasan. Tapi, dari informasi yang didapat mereka adalah Hasbi Hasan, penyanyi Windy Idol, dan Rinaldo Septariando B selaku wiraswasta yang juga merupakan kakak kandung Windy.

    Selain itu, KPK juga sudah menahan seorang tersangka yakni Direktur PT Wahana Adyawarna, Menas Erwin Djohansyah pada Kamis, 25 September. Upaya paksa dilakukan karena dia mengurusi sejumlah perkara lewat Hasbi Hasan dengan rincian:

    1. Perkara sengketa lahan di Bali dan Jakarta Timur;

    2. Perkara sengketa lahan Depok;

    3. Perkara sengketa lahan di Sumedang;

    4. Perkara sengketa lahan di Menteng;

    5. Perkara sengketa lahan Tambang di Samarinda.

    Akibat perbuatannya, Menas disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  • Menkeu Purbaya Nyatakan Perang Terhadap Mafia Migas: Saya Enggak Bisa Disogok

    Menkeu Purbaya Nyatakan Perang Terhadap Mafia Migas: Saya Enggak Bisa Disogok

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap maraknya tindak pidana korupsi yang dinilai menghambat realisasi program pemerintah.

    Purbaya dalam berbagai kesempatan selalu mengungkapkan bahwa katakanlah yang benar walaupun itu pahit.

    Salah satunya ia menyoroti keberadaan mafia minyak yang menggerogoti negeri ini. Purbaya siap bertindak sesuai arahan presiden bahwa ia berkomitmen menindak tegas pihak-pihak yang bermain di sektor migas.

    Purbaya mengaku sempat frustasi menghadapi para mafia migas karena mereka punya banyak uang yang bisa membelokkan kebijakan demi memuluskan bisnis mereka.

    “Saya sempat frustasi melawan mafia migas, susah banget. Karena mereka uangnya besar yang bisa digunakan untuk merubah kebijakan yang tadinya A tapi terlaksananya jadi B,” kata Purbaya dalam sebuah wawancara dilansir pada Jumat (24/10).

    Purbaya menegaskan hal itu, termasuk kebocoran pajak tidak akan terjadi lagi selama dirinya menjabat menteri keuangan. Ia memberi peringatan kepada para mafia untuk mawas diri karena dipastikan dirinya tidak bisa disogok.

    “Saya tidak ingin itu terjadi lagi ke depan. Jadi mereka mesti hati-hati, orang kayak saya nggak bisa disogok,” tegasnya.

    Sikap tegas tanpa sensor seperti itu juga ditunjukkan Purbaya saat menjadi pembicara di agenda Investor Daily Summit pada 9 Oktober 2025 lalu. Blak-blakan ia menegaskan tidak takut kehilangan jabatan dalam perjuangannya menegakkan kebenaran.

    “Kalau ada mafia migas yang membayar uang segitu banyak, kenapa gak ada yang datang ke gue ya? Saya nunggu bayaran sebetulnya. Cuman gak ada. Tapi itu salah satu lawan kita yang harus kita lawan,” kata Purbaya lantang. (Pram/fajar)