Kasus: Tipikor

  • Mantan Bupati Pesawaran jadi Tersangka Korupsi Proyek Air Minum, Negara Rugi Rp 8,2 Miliar

    Mantan Bupati Pesawaran jadi Tersangka Korupsi Proyek Air Minum, Negara Rugi Rp 8,2 Miliar

    Kasus itu berawal dari usulan DAK Fisik Bidang Air Minum yang diajukan Pemerintah Kabupaten Pesawaran kepada Kementerian PUPR pada 2021 dengan nilai total Rp10 miliar.

    “Dari proposal itu, Kementerian menyetujui proyek senilai Rp8,2 miliar untuk tahun anggaran 2022,” jelas dia.

    Namun, disampaikan Armen, pelaksanaan proyek tidak dilakukan oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) sebagaimana perencanaan awal, melainkan dialihkan ke Dinas PUPR Pesawaran setelah terjadi perubahan struktur organisasi.

    Pergantian pelaksana itu disertai pembuatan rencana baru oleh Dinas PUPR, yang belakangan diduga menyimpang dari proposal awal yang disetujui Kementerian PUPR.

    “Perubahan itu membuat hasil pekerjaan di lapangan tidak sesuai dengan tujuan pemberian dana DAK. Akibatnya, kegiatan proyek yang seharusnya memperluas akses air bersih bagi warga justru menimbulkan indikasi kerugian negara,” ungkap dia.

    Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

    Armen bilang, penyidik tidak menutup kemungkinan akan menambahkan pasal lain jika ditemukan bukti tambahan.

    “Untuk kepentingan penyidikan, Dendi Ramadhona dan empat tersangka lain ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Way Hui serta Rutan Polresta Bandar Lampung,” tutupnya.

  • Mantan Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona Jadi Tersangka Korupsi Rp 8,2 M Proyek Air Minum
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        28 Oktober 2025

    Mantan Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona Jadi Tersangka Korupsi Rp 8,2 M Proyek Air Minum Regional 28 Oktober 2025

    Mantan Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona Jadi Tersangka Korupsi Rp 8,2 M Proyek Air Minum
    Editor
    KOMPAS.com –
    Kejaksaan Tinggi ( Kejati ) Lampung menetapkan mantan Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona dan empat orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Air Minum dan Perluasan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Pesawaran Tahun Anggaran 2022 senilai Rp 8,2 miliar.
    Selain Dendi, empat orang lainnya yang jadi tersangka yaitu Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Pesawaran ZF, dan tiga orang pihak swasta yang meminjam bendera perusahaan untuk mengerjakan proyek DAK tersebut.
    “Penetapan status tersangka diumumkan usai penyidik Bidang Pidana Khusus Kejati Lampung menemukan alat bukti yang cukup dalam penyelidikan kasus tersebut,” kata Asisten Pidana Khusus Kejati Lampung, Armen Wijaya, di Bandarlampung, Selasa (28/10/2025), dikutip dari
    Antara
    .
    Armen menjelaskan, kasus ini bermula pada Tahun 2021 saat Pemerintah Kabupaten Pesawaran melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Pesawaran mengajukan usulan DAK Fisik Bidang Air Minum senilai Rp 10 miliar kepada Kementerian PUPR.
    Kementerian menyetujui Rp 8,2 miliar untuk pelaksanaan anggaran Tahun 2022.
    Namun, proyek tersebut justru dilaksanakan oleh Dinas PUPR Pesawaran dengan alasan perubahan struktur organisasi.
    Dalam praktiknya, Dinas PUPR membuat perencanaan baru yang berbeda dari rencana awal yang sudah disetujui Kementerian PUPR.
    Akibat perubahan itu, hasil pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan tujuan program nasional.
    “Sehingga negara dirugikan karena target penyediaan layanan air minum tidak tercapai,” ungkap Armen.
     
    Dia mengatakan bahwa mantan Bupati Pesawaran dan Kadis PUPR diduga memiliki peran dalam pengaturan dan pelaksanaan proyek SPAM tersebut.
    Kelima tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, serta subsider Pasal 3 undang-undang yang sama.
    Untuk kepentingan penyidikan, seluruh tersangka kini ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Way Hui dan Rutan Polresta Bandar Lampung.
    Penyidik juga telah menyita sejumlah barang bukti, antara mobil lain, tas, sertifikat tanah, dan dokumen proyek yang diduga berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut.
    “Kami terus mendalami aliran dana dan berkomitmen menindak tegas setiap inovatif keuangan negara,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejati Aceh Selidiki Dugaan Korupsi Beasiswa Rp 420,5 Miliar

    Kejati Aceh Selidiki Dugaan Korupsi Beasiswa Rp 420,5 Miliar

    Banda Aceh, Beritasatu.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh resmi menyelidiki dugaan korupsi beasiswa Pemerintah Aceh yang dikelola oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Aceh. Total dana yang diduga diselewengkan mencapai Rp 420,5 miliar selama periode 2021 hingga 2024.

    Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis menjelaskan, penyidikan dilakukan untuk mengungkap potensi penyimpangan dalam pengelolaan anggaran beasiswa tersebut.

    “Saat ini, Kejati Aceh sedang melakukan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi beasiswa Pemerintah Aceh yang dikelola BPSDM tahun anggaran 2021 hingga 2024 dengan total anggaran lebih dari Rp 420,5 miliar,” ujar Ali di Banda Aceh, sebagaimana dikutip dari Antara, Senin (27/10/2025).

    Menurut Ali, dana beasiswa yang disalurkan BPSDM Aceh terdiri atas:

    Tahun 2021 sebesar Rp 153,85 miliarTahun 2022 sebesar Rp 141 miliarTahun 2023 sebesar Rp 64,55 miliarTahun 2024 sebesar Rp 61,12 miliar

    Berdasarkan dokumen pertanggungjawaban keuangan BPSDM Aceh selama 4 tahun terakhir, diduga terjadi penyimpangan dalam proses penyaluran dana yang berpotensi merugikan keuangan negara.

    Tim penyidik kini tengah mengumpulkan bukti-bukti dan melakukan pemeriksaan terhadap berbagai pihak yang terkait dengan program beasiswa tersebut. Proses ini mencakup verifikasi data penyaluran kepada mahasiswa penerima, perguruan tinggi, serta pihak ketiga yang bekerja sama dengan BPSDM Aceh.

    “Tim penyidik juga memintai keterangan saksi-saksi guna mengidentifikasi calon tersangka serta memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan perkara,” jelas Ali Rasab Lubis.

    BPSDM Provinsi Aceh merupakan lembaga di bawah naungan Pemerintah Provinsi Aceh yang bertugas mengembangkan sumber daya manusia, baik aparatur sipil negara (ASN) maupun non-ASN. Salah satu tugas utamanya adalah menyalurkan beasiswa Pemerintah Aceh bagi mahasiswa program diploma, sarjana, magister (S-2), dan doktor (S-3).

    Program tersebut diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 28 Tahun 2019 tentang Beasiswa Pemerintah Aceh. Tujuannya adalah membantu mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu, agar dapat melanjutkan pendidikan tinggi.

    Namun, dugaan penyimpangan dana ini membuat tujuan mulia program tersebut ternoda.

    “Implikasi tindak pidana korupsi beasiswa tidak hanya dilihat dari jumlah kerugian negara, tetapi dampaknya jauh lebih besar. Korupsi merusak pengembangan sumber daya manusia dan menghancurkan masa depan generasi muda,” tegas Ali.

    Ali menyoroti penyalahgunaan dana beasiswa sama artinya dengan menghalangi kesempatan anak muda untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dana yang seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan justru diselewengkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

    “Beasiswa yang seharusnya menjadi jembatan bagi mahasiswa kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan, justru diselewengkan. Ini sangat memprihatinkan,” ujarnya.

    Kejati Aceh pun mengajak masyarakat untuk turut mengawasi dan mendukung proses penyidikan kasus dugaan korupsi beasiswa Aceh agar dapat diusut tuntas.

  • Karen Agustiawan Jelaskan Perusahaan Tak Butuh Terminal BBM Riza Chalid

    Karen Agustiawan Jelaskan Perusahaan Tak Butuh Terminal BBM Riza Chalid

    Karen Agustiawan Jelaskan Perusahaan Tak Butuh Terminal BBM Riza Chalid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, mengatakan bahwa saat ia masih menjabat, Pertamina tidak butuh menyewa terminal bahan bakar merak (BBM) Merak milik Riza Chalid.
    “Untuk operasional Pertamina, stok operasional Pertamina, itu cukup dari depo yang jumlahnya 140, dengan kilang jumlahnya 6, dari pipa, dan dari kapal,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/102025).
    Penjelasan ini Karen sampaikan saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dkk.
    Karen mengatakan, operasional Pertamina saat itu berjalan dengan baik dengan fasilitas yang sudah ada, tidak perlu menyewa terminal BBM (TBBM) Merak milik PT Oiltanking Merak yang terafiliasi dengan Mohamad Riza Chalid dan putranya, Kerry Adrianto.
    Karen menegaskan, jika bicara soal BBM, dikenal istilah stok operasional dan stok nasional.
    Sebagai perusahaan, Pertamina mengedepankan dan lebih memperhitungkan stok operasional.
    Sementara, penyewaan Terminal BBM Merak merupakan bagian dari pemenuhan stok nasional.
    Meski tidak dibutuhkan untuk operasional Pertamina, TBBM Merak yang kini dioperasikan oleh PT Orbit Terminal Merak (PT OTM) dinilai penting untuk menjaga stabilitas stok BBM nasional.
    “OTM sebagai stok nasional itu memang dibutuhkan. Karena kami dari Pertamina itu hanya mampu 18 hari. Kalau misalnya stok nasional harus 30 hari, memang kami tidak mampu,” jelas Karen.
    Ketika berbicara mengenai stok BBM, Karen menegaskan, ini bukan hanya menyinggung soal tempat penyimpanan, tapi jumlah BBM yang perlu disiapkan.
    Karen mengatakan, sejak ia menjabat Dirut Pertamina pada 2009-2014, pemerintah terus meminta agar Pertamina menaikkan stok BBM hingga 30 hari. Namun, saat itu, Pertamina hanya bisa memasok hingga 18 hari.
    “Dari semua pertemuan, (pemerintah) selalu meminta untuk menambahkan stok BBM menjadi 30 hari. Namun, Pertamina selalu menolak, karena itu terkait dengan pembiayaan. Karena, bukan cuma tangkinya, tapi juga harus diisi,” imbuhnya.
    Karen mengungkap, pada periodenya menjabat, biaya untuk memasok BBM itu mencapai 125 juta dolar Amerika Serikat per hari.
    Jika dikalikan untuk 30 hari, biaya yang perlu dikeluarkan Pertamina terlampau besar dan tidak bisa dipenuhi berdasarkan kondisi keuangan perusahaan saat itu.
    “Satu hari itu adalah sekitar 125 juta USD, kalau 30 hari stok nasional, itu 30 kali 125 juta USD. Oleh dan sebab itu, kami selalu mengesampingkan permohonan 30 hari dengan komit untuk andal dalam distribusi dan suplai kepada konsumen, karena itu yang sanggup mengingat
    cashflow
    Pertamina,” jelas Karen.
    Adapun, Karen beranggapan, untuk menjamin stok nasional bukan tanggung jawab Pertamina selaku korporasi atau badan usaha.
    Ia pun mencontohkan negara lain yang modal stok BBM berasal dari anggaran negara, bukan dari korporasi.
    “Minyaknya, BBM-nya, itu kalau di negara lain, itu menggunakan
    state budget
    , bukan
    corporate budget
    ,” kata Karen.
    Lebih lanjut, Karen menyinggung Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2024 Pasal 2 yang menyebutkan, cadangan penyangga energi (CPE) merupakan kewajiban pemerintah pusat.
    Karen mengatakan, penyewaan kilang milik PT OTM ini masuk dalam kewajiban pemerintah, bukan Pertamina.
    “Di sana disampaikan bahwa cadangan penyangga energi merupakan tanggung jawab penuh pemerintah pusat, termasuk persediaannya. Jadi, OTM ini bisa masuk untuk menjadi penyangga, cadangan penyangga energi nasional,” kata Karen lagi.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (kemudian berubah nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid. Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Praperadilan Ditolak, Kubu Delpedro : Tak Ada Lagi Tempat Kelompok Kritis

    Praperadilan Ditolak, Kubu Delpedro : Tak Ada Lagi Tempat Kelompok Kritis

    Bisnis.com, JAKARTA — Kubu Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen mengaku kecewa dengan putusan hakim PN Jakarta Selatan yang menolak gugatan praperadilan.

    Kuasa Hukum Delpedro dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Al Ayubbi Harahap mengatakan dengan adanya putusan ini telah mencerminkan pembungkaman terhadap kelompok kritis.

    “Saya ingin menyampaikan kepada publik bahwa sudah tidak ada tempat bagi para kelompok kritis di negara ini,” ujar Ayubbi di PN Tipikor Jakarta Selatan, Senin (27/10/2025).

    Dia menilai majelis hakim juga tidak pernah mempertimbangkan materi yang dibawa pihaknya ke sidang praperadilan. Sebab, hakim justru berfokus pada bagaimana penyidik memperoleh dua alat bukti.

    Salah satu materi yang dibawa ke praperadilan ini yakni terkait mekanisme penetapan Delpedro sebagai tersangka, namun tidak pernah melalui pemeriksaan terlebih dahulu.

    “Putusan itu jelas merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan penetapan tersangka terhadap seseorang karena penyidik sama sekali tidak pernah melakukan pemeriksaan kepada seseorang, sebelum dia ditetapkan sebagai tersangka,” pungkasnya.

    Di samping itu, pengacara Delpedro lainnya, Afif Abdul mengatakan bahwa berkaca dari perkara ini membuat masyarakat bisa sangat mudah dikriminalisasi.

    “Konteks keberadaan negara hukum rapuh, keadilan tumbang di tangan hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan. Dan kita sangat menyesalkan di tengah-tengah represi kebebasan berekspresi orang-orang dengan mudah dikriminalisasi,” tutur Afif.

    Sebagai informasi, majelis hakim juga telah menolak gugatan praperadilan dari tersangka lainnya yakni Muzzafar Salim, Khariq Anwar, dan admin @gejayanmemanggil Syahdan Husein pada hari ini, Senin (27/10/2025).

    Alhasil, melalui putusan itu proses hukum dugaan penghasutan demonstrasi berujung ricuh akhir Agustus 2025 lalu terkait Delpedro dkk ini akan tetap dilanjutkan

  • Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Sigit Herman Binaji mendalami soal dua tokoh nasional yang menekan eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan untuk memenuhi permintaan pengusaha minyak, Mohamad Riza Chalid terkait penyewaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak.
    Hal ini terjadi saat Karen dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dkk.
    “Tadi kaitan sama pertanyaan JPU, ada tokoh nasional tersebut, (dalam BAP Karen mengatakan) ‘Saya tertekan, karena saya mengetahui dua pejabat tersebut membawa pesan dari saudara Mohamad Riza Chalid’, tertekannya seperti apa?” tanya Sigit dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/102025).
    Dalam sidang, nama dua pejabat ini tidak disebutkan sama sekali. Karen yang duduk sebagai saksi juga tidak menjawab detail terkait tekanan yang dialaminya.
    “Kalau misalkan semua yang ingin berbisnis dengan Pertamina harus diperhatikan, agak sulit, yang mulia,” jawab Karen.
    Ia mengaku, selama menjabat sebagai Dirut Pertamina pada 2009-2014, ia memegang prinsip, semua yang berbisnis dengan Pertamina harus mengikuti aturan yang ada.
    “Kalau ingin berbisnis dengan Pertamina, silakan berbisnis, tidak perlu memerlukan perhatian yang khusus, asal mengikuti peraturan Pertamina yang ada,” lanjut Karen.
    Soal dua tokoh nasional yang menekan Karen ini lebih dahulu disinggung jaksa pada persidangan yang sama.
    Tekanan ini disebutkan terjadi sekitar awal tahun 2014. Saat itu, Karen disebutkan sedang berada di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam sidang, jaksa membacakan sejumlah berita acara pemeriksaan (BAP) yang menyebutkan Karen banyak mendapat tekanan pada tahun 2014. Saat itu, ia masih menjabat sebagai Dirut PT Pertamina.
    “Bahwa dalam suatu pernikahan pejabat yang saya hadiri yang tidak saya sebut namanya, pada sekitar awal 2014 bertempat di Hotel Dharmawangsa Jalan Brawijaya Kebayoran Baru Jakarta Selatan, terdapat dua tokoh nasional yang menghampiri saya dan menyampaikan agar tangki Merak diperhatikan,” ujar jaksa Triyana Setia Putra membacakan BAP Karen dalam sidang.
    Saat dicecar jaksa soal tekanan ini, Karen juga tidak menjelaskan secara detail.
    Ia hanya mengatakan, selama menjadi Dirut Pertamina, banyak orang berusaha berkenalan dan menyampaikan keinginan mereka. Namun, ia mengaku tidak melulu menuruti permintaan tersebut.
    Karen mengatakan, tekanan dari pihak-pihak ini ia artikan sebagai arahan untuk memastikan kinerja Pertamina sesuai dengan tata kerja organisasi (TKO).
    “Jadi, kalau misalnya dibilang agar diperhatikan. Itu menjadi cambuk bagi saya untuk menekan supaya harus benar-benar taat pada TKO,” jelas Karen.
    Proyek tangki Merak yang disinggung jaksa dan hakim ini merujuk pada pengadaan penyewaan terminal bahan bakar minyak (BBM) yang berkaitan erat dengan Mohamad Riza Chalid.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (kemudian berubah nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid. Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono;
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka. Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Telusuri Dugaan Korupsi Private Jet KPU Rp 90 Miliar

    KPK Telusuri Dugaan Korupsi Private Jet KPU Rp 90 Miliar

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menelusuri dugaan korupsi private jet KPU senilai Rp 90 miliar. Lembaga antirasuah itu akan mempelajari putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang sebelumnya menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada ketua dan anggota KPU terkait penyewaan pesawat pribadi tersebut.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan, pihaknya akan mendalami fakta-fakta yang muncul dalam putusan DKPP. Menurutnya, dokumen dan pertimbangan dalam putusan etik tersebut akan menjadi bahan penting bagi KPK dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.

    “Kami tentu nanti akan mempelajari putusan dari DKPP tersebut, fakta-fakta yang terungkap seperti apa, dan itu tentunya akan menjadi pengayaan bagi kami di KPK dalam menindaklanjuti laporan aduan masyarakat tersebut,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (27/10/2025).

    Budi menjelaskan, saat ini KPK masih menindaklanjuti laporan koalisi masyarakat sipil mengenai dugaan korupsi penyewaan private jet oleh KPU untuk kepentingan Pemilu 2024. Karena masih berada di tahap pengaduan, KPK belum dapat membuka detail penyelidikan kepada publik.

    “Karena memang ini tahapannya masih di pengaduan masyarakat, kami belum bisa menyampaikan secara detail materi maupun perkembangan dari tindak lanjut laporan tersebut,” tandas Budi.

    Ia menambahkan, KPK tetap menjunjung asas transparansi dan akuntabilitas dalam setiap laporan masyarakat. Namun, penyampaian hasil atau pembaruan perkembangan hanya diberikan secara tertutup kepada pihak pelapor.

    Dalam putusannya, DKPP menyatakan ketua dan anggota KPU terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena penyewaan private jet KPU tidak sesuai aturan. Majelis DKPP yang diketuai Heddy Lugito menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada seluruh pimpinan KPU dan sekretaris jenderal KPU.

    “Menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Teradu I, Mochammad Afifuddin, selaku ketua merangkap anggota KPU; Teradu II, Idham Holik; Teradu III, Yulianto Sudrajat; Teradu IV, Parsadaan Harahap; Teradu V, August Mellaz; serta Teradu VII, Bernard Dermawan Sutrisno, selaku sekretaris jenderal KPU,” ujar Heddy saat membacakan putusan perkara nomor 178-PKE-DKPP/VII/2025 pada Rabu (22/10/2025).

    DKPP mengungkap bahwa penyewaan pesawat pribadi tersebut menggunakan dana APBN sebesar Rp 90 miliar dengan kontrak yang berlangsung pada Januari-Februari 2024. Proses sewa dilakukan dalam dua tahap, yakni Rp 65,4 miliar dan Rp 46,1 miliar, dengan selisih anggaran mencapai Rp 19,3 miliar.

    Meski pengadaan telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DKPP menilai para komisioner KPU telah menyalahgunakan fasilitas negara. Private jet yang seharusnya digunakan untuk memantau distribusi logistik pemilu di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, justru tidak digunakan sesuai tujuan tersebut.

    Sebelumnya, Koalisi Antikorupsi yang terdiri dari Transparency International Indonesia (TII), Themis Indonesia, dan Trend Asia, telah melaporkan dugaan korupsi penggunaan private jet KPU ke KPK pada 7 Mei 2025. Laporan itu menyoroti empat aspek, yaitu:

    Proses perencanaan dan pengadaan sewa yang bermasalah.Penggunaan pesawat yang tidak sesuai aturan.Dugaan pelanggaran regulasi perjalanan dinas pejabat negara.Dampak lingkungan akibat emisi karbon dari 59 penerbangan ke 40 daerah, yang menghasilkan sekitar 382.806 kg CO2.

    Laporan masyarakat ini menjadi dasar awal penyelidikan KPK untuk memastikan ada atau tidaknya tindak pidana korupsi dalam penyewaan private jet oleh KPU.

  • Eks Dirut BUMN Buka Momen Berkenalan dengan Riza Chalid: 2008 di Hotel Dharmawangsa

    Eks Dirut BUMN Buka Momen Berkenalan dengan Riza Chalid: 2008 di Hotel Dharmawangsa

    Eks Dirut BUMN Buka Momen Berkenalan dengan Riza Chalid: 2008 di Hotel Dharmawangsa
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan menceritakan momen pertamanya berkenalan dengan Mohamad Riza Chalid yang terjadi pada 2008.
    Momen tersebut diceritakan Karen saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang yang menyeret Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza dan terdakwa lainnya di kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Persero.
    Pada 2008, Karen dikenalkan dengan Riza Chalid oleh Direktur Utama PT Pertamina periode tahun 2006-2009, Ari Soemarno di lobi Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
    Dalam perkenalannya dengan Riza Chalid itu, Karen tengah menjabat sebagai Direktur Hulu PT Pertamina pada 2008.
    “Saya baru pulang dari rapat (di) Natuna, di lobi dengan Pak Ari (Soemarno) dan bertemu dengan Mohamad Riza Chalid, dan saya diperkenalkan,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Setelah itu, ia berkenalan dengan Irawan Prakoso dalam kesempatan yang berbeda. Saat itu, Irawan pun menyinggung nama Riza Chalid.
    “Pada saat itu, hanya disampaikan (Irawan Prakoso) sebagai anak buahnya Pak Mohamad Riza,” lanjut Karen.
    Meski sudah lama mengenal Riza Chalid, Karen mengaku tidak tahu bahwa ada peran ayah Kerry Adrianto di balik pengadaan terminal bahan bakar minyak (BBM) Merak, termasuk soal keterlibatan PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi Riza Chalid.
    Sementara itu dalam sidang pada Senin (20/10/2025), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga tahun 2021-2023, Hanung Budya Yuktyanta mengaku merasa ditekan oleh pihak Riza Chalid jika tidak menandatangani perjanjian terminal bahan bakar minyak (BBM).
    Hal ini terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Hanung yang dihadirkan sebagai saksi dalam kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Persero untuk terdakwa Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Kerry Adrianto Riza.
    “Apabila saya tidak menandatangani persetujuan OE atau HTS, penunjukkan pemenang langsung yaitu PT Oiltanking Merak dan penandatanganan perjanjian jasa penerimaan, penyimpanan, dan penyerahan BBM dengan PT Oiltanking Merak, saya akan dicopot karena tekanan dari Mohamad Riza Chalid,” ujar jaksa Triyana Setia Putra membacakan BAP Hanung.
    Dalam BAP yang sama, Hanung mengaku tekanan dari Riza Chalid ini ia rasakan dari kedatangan Irawan Prakoso. Hanung mengatakan, Irawan merupakan orang kepercayaan Riza.
    “Tekanan tersebut saya rasakan saat itu dan salah satunya, sinyalnya adalah kedatangan Irawan Prakoso sebagai orang kepercayaan Mohamad Riza Chalid yang menyampaikan kekecewaan Mohamad Riza Chalid terkait proses rencana sewa storage Oiltanking Merak yang diajukan oleh saudara Gading Ramadhan Joedo selaku Dirut PT Oiltanking Merak yang merupakan afiliasi dan salah satu kepercayaan dari Mohamad Riza Chalid,” lanjut jaksa Triyana melanjutkan BAP.
    Saat dikonfirmasi jaksa, Hanung mengaku kalau tekanan ini hanya perasaan dan dugaannya. Ia mengatakan tidak memiliki bukti terkait tekanan ini.
    “Yang pasti secara verbal itu tidak terucap, tetapi mohon maaf saya sebagai manusia punya perasaan, saya berpikir kurang lebih seperti itu, tapi saya tidak ada bukti bahwa itu memang terjadi atau (tekanan ini) semacam perasaan saya saja,” jawab Hanung.
    Shela Octavia Anak Pengusaha Minyak, Riza Chalid, Muhamad Kerry Adrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dalam sidang dakwaan kasus korupsi PT Pertamina di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025)
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT OTM menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun. Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid. Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun. Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, yakni:
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 18 tersangka. Namun, berkas sembilan tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakarta Pusat, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim Dalami Tekanan yang Diterima Karen Agustiawan oleh 2 Tokoh Nasional

    Karen Agustiawan Ungkap Alasan Perjanjian Sewa Terminal BBM Merak Hanya Dilakukan Direktur Pemasaran

    Karen Agustiawan Ungkap Alasan Perjanjian Sewa Terminal BBM Merak Hanya Dilakukan Direktur Pemasaran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan menegaskan, pengalihan wewenang untuk menandatangani perjanjian penyewaan terminal bahan bakar merak (BBM) Merak dilakukan atas permintaan dari Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014, Hanung Budya Yuktyanta.
    Hal ini Karen sampaikan saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina yang melibatkan Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza, dkk.
    “Mengingat rencana pemanfaatan ini hanya dalam Direktorat Pemasaran dan Niaga, maka kami usulkan untuk dikuasakan saja ke Direktur Pemasaran Niaga sebagai wakil PT Pertamina Persero. Jadi, Pak Hanung yang meminta untuk dikuasakan ke beliau,” ujar Karen dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (27/10/2025).
    Permintaan Hanung ini tercatat dalam surat yang diterbitkan tanggal 27 Januari 2014.
    Karen menyebutkan, pada saat itu ada rencana PT Pertamina untuk menyewa tangki BBM Merak yang dimiliki oleh PT Oiltanking Merak.
    Jaksa pun mempertanyakan alasan Karen mengalihkan kewenangan kepada Hanung yang merupakan bawahannya.
    “Itu secara aturan dimungkinkan di internal Pertamina?” tanya Jaksa Triyana Setia Putra kepada Karen.
    Karen menjelaskan, berhubung kerja sama saat itu masih bersifat Memorandum of Understanding (MoU), penandatangan berkas bisa dilakukan oleh level manajer, tidak harus Direktur Utama.
    “Karena ini MoU yang mulia, jadi kalau di Pertamina, MoU itu manajer pun bisa ber-MoU,” lanjut Karen.
    Setelah mengalihkan kewenangannya, Karen mengaku tidak pernah mendapatkan laporan perkembangan terhadap penjajakan kerja sama antara PT Oiltanking Merak dan PT Pertamina.
    “Apakah saudara saksi pernah mendapat laporan dari Pak Hanung selaku Direktur Niaga dan Pemasaran ya? Terkait rencana kerjasama dengan PT Tangki Merak?” tanya jaksa lagi.
    Karen mengaku, ia tidak pernah mendapatkan laporan dari Hanung, baik dalam rapat direksi maupun komunikasi informal.
    “Secara resmi di dalam rapat direksi tidak pernah, secara pribadi pun tidak pernah (dapat laporan),” imbuh Karen.
    Adapun, Karen mengaku hanya mendapatkan satu surat terkait dengan penjajakan proyek penyewaan terminal BBM (TBBM) Merak ini.
    “Yang saya terima yang mulia adalah hanya satu surat. Saya tidak menerima kajian, saya tidak menerima hasil perbandingan antara 1 TBBM dengan TBBM lain,” lanjutnya.
    Berhubung tidak mendapatkan informasi dan dokumen pembanding yang cukup, Karen mengaku tidak dapat memberikan kesimpulan terhadap proyek yang ditangani Hanung itu.
    Lebih lanjut, Karen mengaku tidak bisa mengambil tindakan lanjutan terkait penyewaan terminal BBM ini karena ia sudah keluar dari Pertamina pada 5 Juni 2014.
    Sekitar tiga bulan sebelum pensiun dari Pertamina, Karen mengaku sudah tidak bisa lagi mengambil keputusan penting yang mempengaruhi perusahaan BUMN ini.
    Dalam sidang, JPU tidak menyinggung soal istilah ‘buang badan’ yang sempat muncul dalam sidang lalu.
    Pada sidang Senin (20/10/2025) lalu, Hanung duduk sebagai saksi.
    Saat itu, JPU membacakan keterangan Hanung yang dicatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
    Berdasarkan BAP, jaksa menilai istilah ‘buang badan’ digunakan Hanung usai menerima kewenangan untuk menandatangani perjanjian penyewaan terminal BBM.
    Padahal, kewenangan untuk menandatangani kontrak kerja sama merupakan kewenangan dari Dirut Pertamina.
    “Itu (istilah ‘buang badan’) pikiran saya, tetapi karena saya tidak mengetahui secara pasti maka saya mengambil bahasa simpel, jadi kasarnya, buang badan lah,” jawab Hanung dalam sidang Senin lalu.
    Jaksa kembali mencecar Hanung soal pilihan katanya yang berkonotasi negatif.
    “Saudara terpikir kalau ini upaya buang badan dari Dirut, apa yang terpikir oleh saudara, apa yang dihindari oleh Dirut? Apakah karena prosesnya tidak sesuai aturan makanya dilimpahkan ke saudara atau seperti apa?” tanya jaksa lagi.
    Hanung membantah, delegasi atau pelimpahan wewenang itu dilakukan karena ada proses yang tidak sesuai.
    Patut diketahui, PT Oiltanking Merak yang disebut dalam persidangan diduga berafiliasi dengan Muhammad Kerry Adrianto dan Mohamad Riza Chalid.
    Dalam dakwaan, pengadaan terminal BBM PT Oiltanking Merak (di kemudian hari berganti nama menjadi PT Orbit Terminal Merak) menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 2,9 triliun.
    Proyek ini diduga berasal dari permintaan Riza Chalid.
    Saat itu, Pertamina disebutkan belum terlalu membutuhkan terminal BBM tambahan.
    Namun, secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
    Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.
    Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
    Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
    Namun, berkas 9 tersangka lainnya belum dilimpahkan ke Kejari Jakpus, termasuk berkas Riza Chalid yang saat ini masih buron.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • LBP Masuk Radar Penyelidikan KPK Usut Dugaan Korupsi Whoosh?

    LBP Masuk Radar Penyelidikan KPK Usut Dugaan Korupsi Whoosh?

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku masih terus melakukan permintaan keterangan kepada pihak-pihak yang mengetahui adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh era pemerintahan Joko Widodo.

    “Untuk pihak-pihak yang diminta keterangan ini juga masih terus bergulir. Jadi kita ikuti prosesnya yang sekarang ini sedang berjalan. Tentu nanti KPK akan menyampaikan updatenya secara berkala sebagai bentuk transparansi,” kata Jurubicara KPK, Budi Prasetyo kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin petang, 27 Oktober 2025.

    Saat disinggung nama Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang pernah ditunjuk Presiden ke-7 RI Jokowi untuk memimpin proyek KCJB saat menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Budi mengaku belum bisa membeberkan siapa saja pihak-pihak yang akan dimintai keterangan.

    “Kita fokus dulu, ini penyelidikan masih berprogres, jadi memang secara detail substansinya, pihak-pihak yang dimintai keterangan siapa saja, materinya apa, memang belum bisa kami sampaikan secara rinci,” terang Budi saat ditanya soal peluang periksa Luhut.

    Penyelidikan dugaan korupsi proyek KCJB ini sudah berlangsung sejak awal 2025.