Kasus: Tipikor

  • KPK Tahan Kepala Baguna PDIP Max Ruland Boseke

    KPK Tahan Kepala Baguna PDIP Max Ruland Boseke

    Jakarta (beritajatim.com)- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Max Ruland Boseke (MRB), mantan Sekretaris Utama (Sestama) Badan SAR Nasional (Basarnas) periode 2009-2015 dan saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) PDI Perjuangan.

    Penahanan ini dilakukan setelah KPK mengumumkan status tersangka Max dalam kasus dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle di lingkungan Basarnas tahun 2012-2018.

    Selain Max, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Anjar Sulistioyono (AJS), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kasubdit Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR periode 2013-2014, dan William Widarta (WLW), Direktur CV Delima Mandiri (DLM).

    “Para tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2024 sampai dengan 14 Juli 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur di Gedung KPK, Selasa (25/6/2024).

    Asep menyebut bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), ditemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp20,4 miliar dari pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle di lingkungan Basarnas.

    “Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Asep. [ian]

  • Banding KPK Dikabulkan, Suap Mantan Hakim PN Surabaya Dilanjut

    Banding KPK Dikabulkan, Suap Mantan Hakim PN Surabaya Dilanjut

    Surabaya (beritajatim.com) – Banding yang diajukan KPK atas perkasa suap yang menjerat Gazalba Saleh, mantan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Alhasil, perkara gratifikasi dan TPPU dengan terdakwa Gazalba Saleh dilanjutkan.

    Terdakwa Gazalba Saleh sebelumnya divonis bebas. Vonis bebas tersebut dianulir melalui putusan perkara Nomor 35/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI ini, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan bebas Gazalba Saleh yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin 27 Mei 2024.

    “Membatalkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 43/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt Pst tanggal 27 Mei 2024 yang dimintakan banding perlawanan tersebut,” kata Ketua Majelis Hakim Subachran Hardi Mulyono dalam sidang di ruang utama PT DKI Jakarta, Senin (24/6/2024).

    Perlawanan ini diajukan KPK lantaran Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat mengabulkan eksepsi atau nota keberatan Gazalba Saleh atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.

    Majelis Hakim Tinggi menyatakan surat dakwaan jaksa KPK telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Dengan demikian, Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Tipikor untuk melanjutkan pemeriksaan perkara yang menjerat Hakim Agung nonaktif tersebut. “Surat dakwaan sah untuk dijadikan sebagai dasar memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi atas nama Gazalba Saleh,” kata hakim

    Memerintahkan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara a quo untuk melanjutkan melanjutkan mengadili dan memutus perkara a quo,” imbuh dia.

    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Gazalba Saleh telah menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 62.898.859.745 atau Rp 62,8 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

    Dalam eksepsi, majelis hakim Pengadilan Tipikor berpandangan, jaksa KPK tidak berwenang menuntut Hakim Agung dalam perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana nota keberatan tim hukum Gazalba Saleh.

    Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim sependapat dengan tim hukum Gazalba yang menilai bahwa jaksa KPK tidak menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung RI untuk melakukan penuntutan terhadap Gazalba Saleh.

    Majelis Hakim Tinggi menyatakan surat dakwaan jaksa KPK telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Dengan demikian, Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Tipikor untuk melanjutkan pemeriksaan perkara yang menjerat Hakim Agung nonaktif tersebut. “Surat dakwaan sah untuk dijadikan sebagai dasar memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi atas nama Gazalba Saleh,” kata hakim.

    “Memerintahkan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara a quo untuk melanjutkan melanjutkan mengadili dan memutus perkara a quo,” imbuh dia.

    Perlu diketahui, dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Gazalba Saleh telah menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 62.898.859.745 atau Rp 62,8 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

    Dalam eksepsi, majelis hakim Pengadilan Tipikor berpandangan, jaksa KPK tidak berwenang menuntut Hakim Agung dalam perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana nota keberatan tim hukum Gazalba Saleh.

    Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim sependapat dengan tim hukum Gazalba yang menilai bahwa jaksa KPK tidak menerima pelimpahan kewenangan dari Jaksa Agung RI untuk melakukan penuntutan terhadap Gazalba

    Lihat Perkembangannya Ketentuan menuntut ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI. Dengan demikian, KPK diminta langsung membebaskan Gazalba Saleh setelah putusan dibacakan.

    “Menyatakan penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima,” kata Hakim Fahzal Hendri saat membacakan putusan sela. Gazalba pun telah dibebaskan dari Rutan KPK setelah pembacaan putusan sela tersebut. [uci/beq]

  • Kuasa Hukum Siska Wati: Pemotongan Insentif Pajak Sudah Sejak 2014

    Kuasa Hukum Siska Wati: Pemotongan Insentif Pajak Sudah Sejak 2014

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Eks Kasubag Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo Siska Wati terdakwa kasus dugaan korupsi pemotongan dana Insentif pegawai BPPD Kabupaten Sidoarjo menyebut praktik pemotongan insentif yang menjeratnya sudah diberlakukan sejak tahun 2014 di era Bupati sebelumnya dan melibatkan banyak pihak.

    Hal itu disampaikan Dr. Erlan Jaya Putra SH. MH kuasa hukum Siska Wati dalam agenda dakwaan sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, yang dipimpin Ketua Majelis Ni Putu Sri Indayani pada, Senin (24/6/2024).

    Erlan mengatakan Siska Wati bukan satu-satunya pegawai di BPPD yang ditugaskan untuk kolektif potongan insentif pegawai. Dari pengakuannya, banyak pihak termasuk Kepala Bidang (Kabid) lainya yang turut menerima tugas tersebut dari Ari Suryono Kepala Badan yang juga menjadi tersangka KPK.

    “Praktik pemotongan insentif pegawai itu sudah diberlakukan jauh di era bupati sebelumnya sejak tahun 2014. Tentunya bukan hanya Siska yang diberi tugas pimpinannya. Banyak yang terlibat harusnya semuanya diproses juga, jangan tebang pilih KPK itu,” kata pengacara dari Bandung itu usai persidangan.

    Erlan menjelaskan, pihak-pihak lain yang terlibat harusnya turut diproses hukum. Selain itu, ia mengatakan dalam kasus yang menjerat Siska tidak ada kerugian Negera samasekali jika dilihat dari kontruksi perkaranya.

    “Saya kira tidak ada kerugian negara sepeserpun. Karena potongan insentif itu atas persetujuan bersama. Dan perlu diingat, insentif Siska Wati sendiri juga turut dipotong. Semua bukti kami ada,” tegasnya.

    Masih menurut Erlan, Ia berharap, aparat penegak hukum diminta untuk turut mengusut pihak lain yang terlibat sejak tahun 2014 silam. Ia menyayangkan jika hanya beberapa orang yang diproses, kredibilitas KPK dan APH lainya dipertanyakan.

    “Harus diusut semua itu dari 2014 silam. Apalagi aliran potongan insentif itu tidak hanya mengalir ke bupati saja. Ada beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) dan juga pejabat lainnya yang turut menerima,” urai Erlan.

    Perlu diketahui, KPK telah menetapkan Kasubag Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kab. Sidoarjo, Siska Wati sebagai tersangka kasus dugaan pemotongan insentif ASN. Penetapan Siska Wati ini sebagai pengembangan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang melibatkan Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono dan Bupati Sidoarjo H. Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor).

    Dalam dakwaan Siska Wati didakwa Pasal 12 huruf f Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. [isa/beq]

  • KPK Optimalkan Asset Recovery Dalam Kasus Korupsi

    KPK Optimalkan Asset Recovery Dalam Kasus Korupsi

    Surabaya (beritajatim.com) – Upaya mengoptimalkan pemulihan kerugian keuangan negara (Asset Recovery) dari hasil korupsi terus dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    “Upaya memaksimalkan optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara melalui penanganan perkara dalam bentuk case building, TPPU,” ujar Kasatgas Penuntutan Arif Suhermanto pada beritajatim.com, Jumat (21/6/2024).

    Jaksa penuntut umum KPK sedang mengikuti pelatihan memperkuat akutansi dalam hal kerugian negara. “Saat ini sedang mengikuti Diklat Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemendagri,” ujarnya.

    Dijelaskan Arif, pihaknya juga telah diskusi dengan pimpinan KPK terkait gagasan proyek perubahan untuk penguatan dan pemanfaatan forensik akuntansi KPK guna optimalisasi penuntutan tindak pidana korupsi dalam rangka percepatan asset recovery atau pemulihan kerugian keuangan negara.

    “Semua stakeholder KPK setuju dan mendukung gagasan ini dengan menerbitkan surat edaran pemanfaatan forensik untuk dipedomani oleh kedeputian penindakan dan eksekusi KPK,” ujarnya.

    Arif menjelaskan, JPU sering menemukan kendala dalam proses perhitungan kerugian negara. Kendala tersebut berupa, lamanya birokrasi dalam perhitungan tersebut.

    Arif memberikan masukan agar dibuat keputusan pimpinan dalam bentuk surat edaran kaitan penguatan dan pemanfaatan forensik akuntansi. KPK mempunyai landasan untuk menuntut kerugian negara, yaituPutusan Mahkamah Konstitusi No. 31/ PUU-X/2012. [uci/kun]

  • Kuasa Hukum Sebut Tantri-Hasan Tak Bisa Dituntut 2 Kali

    Kuasa Hukum Sebut Tantri-Hasan Tak Bisa Dituntut 2 Kali

    Surabaya (beritajatim.com) – Kuasa hukum mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminudin suaminya mengajukan eksepsi dalam sidang lanjutan TPPU di PN Tipikor Surabaya. Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum menyebut bahwa kedua kliennya tersebut tak bisa dituntut untuk kedua kalinya.

    Untuk itu, tim kuasa hukum meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya menolak dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Kami kuasa hukum terdakwa meminta mejelis hakim menolak dakwaan jaksa karena terlalu mengada-ngada, tidak jelas dan mengaburkan fakta sebenarnya,” kata Diaz Wiriardi, kuasa hukum terdakwa saat membacakan eksepsi atau keberatan atas dakwaan pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (20/6/2024).

    Selain itu, dia meminta majelis hakim untuk membebaskan kedua terdakwa mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminudin suaminya dari dakwaan jaksa, serta mengembalikan seluruh harta yang disita akibat perkara tersebut.

    Dalam dakwaan jaksa sebelumnya, keduanya dianggap melanggar pasal 12B tentang Gratifkasi serta pasal 3 dan pasal 4 UU TPPU. Jaksa juga merinci semua gratifikas yang diterima kedua terdakwa selama 2013 hingga 2021 yang totalnya mencapai lebih dari Rp 100 miliar.

    Uang dari hasil gratifikasi dari berbagai pihak seperti pihak swasta hingga ASN Pemkab Probolinggo dirupakan aset berupa tanah, kendaraan hingga perhiasan.

    Menurut Diaz, jaksa tidak jelas dalam menguraikan perbuatan gratifikasi yang didakwakan kepada kedua terdakwa. “Menurut uraian jaksa, gratifikasi dilakukan melalui perantara orang lain. Ternyata kebanyakan dari penerimaan uang atau barang tersebut kepada lembaga pesantren dan dan ormas NU, tanpa mengurai lebih lanjut keterkaitan penerimaan uang atau barang oleh pihak lain tersebut dengan para terdakwa,” jelasnya.

    Akibat ketidakjelasan dakwaan itu, maka hal tersebut akan merugikan hak-hak terdakwa di dalam melakukan pembelaan, dan berpotensi akan menyesatkan hakim di dalam mengambil keputusan.

    Selain dianggap tidak jelas dan kabur, para terdakwa dalam eksepsinya juga menyatakan bahwa surat dakwaan yang disusun oleh jaksa dianggap bersifat “ne bis in idem” alias perkara yang diajukan saat ini sama dengan perkara sebelumnya yang telah diputus oleh hakim. Vonis pada perkara pertama bahkan telah berkekuatan hukum tetap.

    “Ne bis in idem merupakan asas hukum yang mengandung pengertian bahwa seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim,” katanya.

    Ia menjelaskan, saat ini kedua terdakwa sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No. 30 K/Pid.Sus/2023 tanggal 31 Januari 2023 yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Berdasarkan putusan pengadilan tersebut, kedua dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU Tipikor. “Dengan adanya frasa suap tersebut, maka pada prinsipnya penerimaan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 B UU Tipikor tersebut adalah sama dengan penerimaan suap,” tegasnya.

    Ia menyebut, menurut prinsip dan karakteristiknya perbuatan penerimaan gratifikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 12 B UU Tipikor adalah sama atau serupa dengan perbuatan penerimaan suap sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, dan Pasal 12 huruf b UU UU Tipikor.

    “Sama-sama merupakan perbuatan penerimaan suap, maka perkara pidana yang saat ini didakwakan pada kedua terdakwa masuk kategori ne bis in idem. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (5) UU HAM, tidak dapat lagi dilakukan penuntutan,” tegasnya.

    Dalam perkara pertama, keduanya divonis 4 tahun penjara. Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf A atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

    Kasus yang menjerat mereka adalah dugaan suap terkait dengan seleksi atau jual beli jabatan penjabat kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun 2021. Hasan dan istrinya terjerat sebagai penerima suap bersama Camat Krejengan Doddy Kurniawan dan Camat Paiton Muhamad Ridwan. [uci/kun]

  • Kepala Bappeda Bojonegoro Bungkam Usai Beri Kesaksian Dugaan Korupsi Mobil Siaga

    Kepala Bappeda Bojonegoro Bungkam Usai Beri Kesaksian Dugaan Korupsi Mobil Siaga

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Sejumlah jurnalis melakukan wawancara cegat terhadap Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro Anwar Murtadlo usai diperiksa Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat, Rabu (19/6/2024).

    Namun, sejumlah pertanyaan yang dilontarkan awak media tersebut tidak mendapat respon dari Anwar Murtadlo yang diperiksa sebagai saksi penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mobil siaga desa sebanyak 384 unit.

    Beberapa pertanyaan yang dilontarkan diantaranya soal Pemkab Bojonegoro dalam hal perencanaan pengadaan mobil siaga desa tersebut sehingga masuk ranah pidana. Selain itu, proses pengajuan proposal yang dilakukan oleh pihak desa. Namun, pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban.

    Ia hanya membenarkan, bahwa pemeriksaan dirinya tersebut terkait dengan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang sekarang ditangani oleh korps Adhyaksa tersebut. “Iya,” ujarnya saat ditanya apakah pemeriksaan dirinya adalah soal penyidikan mobil siaga.

    Anwar Murtadlo diperiksa penyidik dari pukul 10.00 WIB. Dan berakhir sekitar pukul 15.40 WIB. Menurut Kasi Pidsus Kejari Bojonegoro Aditia Sulaeman, dalam pemeriksaan itu, ada 17 pertanyaan yang diberikan. Pertanyaan itu seputar proses perencanaan dalam memberikan Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) untuk Mobil Siaga Desa tahun 2022.

    “Saksi kami panggil kedua kalinya. Yang pertama tidak hadir dan panggilan kedua hadir. Pemeriksaannya terkait proses perencanaan dalam program mobil siaga desa,” ujar Aditia Sulaeman.

    Selain memeriksa saksi Kepala Bappeda Bojonegoro, pihaknya juga berencana memanggil pejabat teras Pemkab Bojonegoro yang lain. Rencananya, Senin (24/6/2024) akan memanggil saksi dari Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Bojonegoro, Djoko Lukito. [lus/kun]

  • Senin Depan, Penyidik Periksa Pejabat Pemkab Bojonegoro soal Mobil Siaga Desa

    Senin Depan, Penyidik Periksa Pejabat Pemkab Bojonegoro soal Mobil Siaga Desa

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Pemeriksaan saksi-saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mobil siaga desa yang dilakukan Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro terus dikebut.

    Setelah hari ini memeriksa saksi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bojonegoro Anwar Murtadlo, giliran Senin (24/6/2024) depan akan kembali memeriksa pejabat teras di lingkup Pemkab Bojonegoro.

    “Senin depan akan memanggil saksi Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Bojonegoro, Djoko Lukito,” ujar Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Bojonegoro Aditia Sulaeman, Rabu (19/6/2024).

    Target, dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan 384 mobil siaga desa tahun anggaran 2022 itu bisa tuntas dan mengarah kepada tersangka dalam waktu secepatnya. “Target 2 bulan Insyaallah bisa mengarah tersangka,” imbuhnya.

    Saat ini, sedikitnya masih ada sekitar 100 kepala desa yang belum diperiksa. Targetnya, pemeriksaan kepada kepala desa itu bisa selesai dalam rentang waktu dua minggu. Selain itu, barang bukti cashback yang terkumpul diperkirakan juga masih bertambah.

    Total, barang bukti uang cashback yang dikembalikan oleh kepala desa sudah terkumpul sebesar Rp2,7 miliar. “Kemungkinan bisa bertambah lagi. Biasanya akan dikembalikan saat pemeriksaan. Seperti Kades di Kecamatan Padangan juga belum diperiksa,” pungkasnya. [lus/kun]

  • Lagi, Penyidik Panggil Kepala Bappeda Bojonegoro soal Dugaan Korupsi Mobil Siaga Desa

    Lagi, Penyidik Panggil Kepala Bappeda Bojonegoro soal Dugaan Korupsi Mobil Siaga Desa

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro kembali memanggil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bojonegoro, Anwar Murtadlo untuk diperiksa.

    Pemeriksaan saksi itu dilakukan untuk mendalami penyidikan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) untuk pengadaan Mobil Siaga Desa tahun anggaran 2022.

    “Saksi ini sudah kami panggil kedua kalinya, yang pertama tidak hadir tanpa keterangan. Kedua hari ini memenuhi panggilan untuk diperiksa,” ujar Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Bojonegoro, Aditia Sulaeman, Rabu (19/6/2024).

    Saksi Anwar Murtadlo diperiksa terkait dengan kewenangannya sebagai kepala Bappeda Bojonegoro. Pemeriksaan dimulai sekitar pukul 10.00 WIB dan berakhir hingga pukul 15.40 WIB. Dalam pemeriksaan itu, penyidik mendalami 17 pertanyaan soal perencanaan mobil siaga desa.

    “Ada kemungkinan diperiksa lagi, hari ini kami beri waktu kepada yang bersangkutan istirahat dulu karena katanya mau ada kegiatan di Jakarta,” ungkapnya.

    Sementara diwawancarai cegat usai diperiksa sebagai saksi, Anwar Murtadlo enggan memberikan jawaban kepada sejumlah awak media. Ia hanya membenarkan bahwa pemeriksaan terhadap dirinya hari ini tentang penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mobil siaga desa.

    Sementara diketahui, dalam pemeriksaan saksi-saksi, jaksa penyidik rencananya akan memanggil lagi saksi lain dari pejabat dilingkup Pemkab Bojonegoro. Selain itu, masih ada sekitar 100 kepala desa sebagai penerima yang juga belum diperiksa.

    Untuk diketahui, dugaan korupsi pengadaan 384 mobil siaga desa dengan total anggaran sebesar Rp98 miliar itu bersumber dari APBD Bojonegoro tahun 2022. Pengadaan mobil siaga itu melalui program Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) yang diduga ada selisih harga setiap pembelian mobil hingga mencapai Rp128 juta per unitnya. [lus/kun]

  • Pengacara Eks Bupati Probolinggo Klaim Dakwaan Jaksa KPK Dipaksakan

    Pengacara Eks Bupati Probolinggo Klaim Dakwaan Jaksa KPK Dipaksakan

    Surabaya (beritajatim.com) – Kuasa hukum Terdakwa Mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminudin yaitu Diaz Wiriardi mengklaim bahwa Jaksa KPK memaksakan dakwaan pada kedua kliennya tersebut. Hal itu disampaikan saat kedua Terdakwa menjalani sidang perdana perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (13/6/2024).

    Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arif Suhermanto, keduanya didakwa melanggar pasal 12B tentang Gratifkasi serta pasal 3 dan pasal 4 UU TPPU.

    Dalam dakwaannya, jaksa merinci semua gratifikas yang diterima kedua terdakwa selama Mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari menjabat. “Totalnya ada lebih dari Rp 100 miliar lebih,” katanya usai sidang.

    Uang dari hasil gratifikasi dari berbagai pihak seperti pihak swasta hingga ASN Pemkab Probolinggo dirupakan aset berupa tanah, kendaraan hingga perhiasan. “Untuk menghilangkan jejak sumber gratifikasi, uang yang didapat dirupakan aset,” ujarnya.

    Di akhir persidangan penasihat hukum terdakwa Diaz Wiriardi mengaku akan menyampaikan pembelaan atau eksepsi di sidang lanjutan pekan depan. “Kami akan ajukan eksepsi,” katanya.

    Menurut Diaz, dakwaan yang dibacakan jaksa KPK terkesan terlalu dipaksakan, karena banyak point dakwaan yang sebenarnya bukan gratifikasi, namun kesalahan dibebankan kepada kliennya. “Seperti sumbangan untuk NU, sumbangan untuk pesantren, sumbangan sapi kurban bahkan sumbangan buah-buahan itu semua dianggap gratifikasi. Jasi dakwaan jaksa menurut kami terlalu dipaksakan,” terangnya.

    Perkara yang dituduhkan kepada mantan Bupati Probolinggo dan suaminya yang juga mantan anggota DPR RI dari Partai Nasdem ini adalah perkara yang kedua.

    Dalam perkara pertama, keduanya divonis 4 tahun penjara. Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf A atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

    Kasus yang menjerat mereka adalah dugaan suap terkait dengan seleksi atau jual beli jabatan penjabat kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun 2021. Hasan dan istrinya terjerat sebagai penerima suap bersama Camat Krejengan Doddy Kurniawan dan Camat Paiton Muhamad Ridwan.

    Kuasa hukum Terdakwa Diaz Wiriardi mengaku akan menyampaikan pembelaan atau eksepsi di sidang lanjutan pekan depan. “Kami akan ajukan eksepsi,” katanya.

    Menurut Diaz, dakwaan yang dibacakan jaksa KPK terkesan terlalu dipaksakan, karena banyak point dakwaan yang sebenarnya bukan gratifikasi, namun kesalahan dibebankan kepada kliennya.

    “Seperti sumbangan untuk NU, sumbangan untuk pesantren, sumbangan sapi kurban bahkan sumbangan buah-buahan itu semua dianggap gratifikasi. Jasi dakwaan jaksa menurut kami terlalu dipaksakan,” terangnya.

    Perkara yang dituduhkan kepada mantan Bupati Probolinggo dan suaminya yang juga mantan anggota DPR RI dari Partai Nasdem ini adalah perkara yang kedua.

    Dalam perkara pertama, keduanya divonis 4 tahun penjara. Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12 huruf A atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

    Kasus yang menjerat mereka adalah dugaan suap terkait dengan seleksi atau jual beli jabatan penjabat kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun 2021. Hasan dan istrinya terjerat sebagai penerima suap bersama Camat Krejengan Doddy Kurniawan dan Camat Paiton Muhamad Ridwan. [uci/kun]

  • Penyidikan Mobil Siaga Desa di Bojonegoro Tidak Terpengaruh Iklim Politik

    Penyidikan Mobil Siaga Desa di Bojonegoro Tidak Terpengaruh Iklim Politik

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Penyidikan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) bantuan keuangan khusus desa (BKKD) untuk pengadaan Mobil Siaga Desa di Kabupaten Bojonegoro tidak terpengaruh iklim politik lima tahunan, Rabu (12/6/2024).

    Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bojonegoro Muji Murtopo mengatakan, penyidikan dugaan korupsi pengadaan 384 unit mobil siaga desa tahun 2022 itu terus dikebut. Sejumlah saksi terus diperiksa untuk melengkapi alat bukti yang mengarah tindakan melawan hukum.

    “Meski tahun politik, kami tidak terpengaruh. Semua saksi yang terlibat dalam kasus tersebut kami periksa,” ujarnya.

    Dari 384 kepala desa yang menerima hibah mobil siaga desa itu hampir sebagian sudah diperiksa. Penyidik Kejari Bojonegoro kini akan memeriksa saksi dari pejabat di Pemkab Bojonegoro. Sehingga, dia berharap proses penyidikan ini segera tuntas.

    ” Mudah-mudahan segera kita tuntaskan, karena sudah memeriksa lebih dari setengah saksi penerima mobil siaga,” harapnya.

    Pihaknya menambahkan, setelah dilakukan pemeriksaan kepada lebih dari 150 saksi, baik kepala desa sebagai penerima, pihak penyedia barang, serta pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro sebagai pengambil kebijakan telah menambah bukti baru.

    Namun demikian Muji Martopo tidak menyebutkan bukti baru yang diperoleh dari pemeriksaan yang dilakukanya. “Kita sudah menemukan alat bukti lain setelah kami melakukan pemeriksan terhadap saksi-saksi,” tambah Puji Martopo.

    Dengan banyaknya pemeriksaan saksi, pihaknya berjanji akan segera menuntaskan penyidikan dugaan korupsi pengadaan mobil siaga di 348 Desa. Dia menarget, dua bulan ke depan diharapkan sudah mengarah pada penetapan tersangka.

    “Kita akan menuntaskan secepatnya ya, kasus ini cukup pelik karena melibatkan ratusan orang yang tertuduh,” pungkas Puji Martopo. [lus/ted]