Kasus: Tipikor

  • Berkas Rampung, Dugaan Korupsi 2 Proyek di Taman Sidoarjo Segera Disidang

    Berkas Rampung, Dugaan Korupsi 2 Proyek di Taman Sidoarjo Segera Disidang

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Tim penyidik Kejari Sidoarjo telah merampungkan penyidikan empat tersangka dalam dugaan perkara tindak pidana korupsi pembangunan saluran air di RT 03 RW 09 Jalan Kelapa Desa Wage dan di Jalan Jeruk IV RT 05 RW 08 Desa Wage, Kecamatan Taman.

    Selain pemberkasan penyidikan selesai, penyidik juga menyerahkan empat tersangka, yakni AT, AR, ERY dan S kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk disidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya.

    Kasi Pidsus Kejari Sidoarjo John Franky Yanafia Ariandi mengatakan setelah dilaksanakan pelimpahan berkas Tahap II selesai, selanjutnya tim penuntut umum akan menyusun dan mempersiapkan surat dakwaan, kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor untuk ke tahapan persidangan.

    “Kepada empat tersangka juga dilakukan penahanan di tingkat penuntutan oleh Penuntut Umum Kejari Sidoarjo selama 20 hari ke depan, mulai tanggal 24 Oktober – 12 November 2024 mendatang,” ucapnya Jumat (25/10/2024).

    Franky mengungkapkan keempat tersangka diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan modus dana hibah yang diterima dari Pemprov Jatim, satu proyek tidak dikerjakan (proyek fiktif) dan satu proyek lagi dikerjakan hanya 30 persen atau pekerjaannya tidak mencapai 100 persen.

    Empat tersangka proyek dana hibah Pemprov Jatim

    Lanjut dia, kedua proyek ada di Desa Wage Kecamatan Taman, tepatnya proyek saluran air di RT 03 RW 09 Jalan Kelapa Desa Wage dan di Jalan Jeruk IV RT 05 RW 08 Desa Wage Kecamatan Taman. Nilainya masing-masing Rp227.229.000.

    “Akibat perbuatan para tersangka, tak hanya kerugian negara sebesar Rp400 juta saja yang ditimbulkan, namun juga merugikan masyarakat. Karena proyek bantuan dari Pemprov itu untuk kepentingan masyarakat,” tegasnya.

    Masih menurut Franky, Pokmas yang menerima hibah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan aturan yang ada.

    “Uang hibah yang sudah dicairkan dan diterima oleh pokmas tersebut, dibuat untuk kepentingan pribadi,” ungkapnya. [isa/beq]

  • Dugaan Pungli PTSL, Kejari Ponorogo Tahan Kades Sawoo Non-Aktif

    Dugaan Pungli PTSL, Kejari Ponorogo Tahan Kades Sawoo Non-Aktif

    Ponorogo (Beritajatim.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo menahan Kades Sawoo non-aktif, SR, terkait dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan surat segel tanah di Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo.

    Tersangka SR, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Desa Sawoo, melakukan pungutan liar (pungli) kepada warga yang hendak melakukan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Praktik culas sang kades itu, terjadi pada rentang waktu 2021 hingga 2022.

    “Penahanan dilakukan di Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo pada Rabu (23/10) kemarin,” kata Kasie Intel Kejari Ponorogo, Agung Riyadi, Kamis (24/10/2024).

    Adanya pungli dalam penerbitan surat segel tanah dengan dalih sebagai syarat PTSL itu, dinilai sebagai tindakan yang melanggar ketentuan hukum terkait korupsi. Sang kades Sawoo itu, diduga melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Lebih lanjut, Agung menceritakan bahwa sebelum ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas II B Ponorogo, tersangka SR dilakukan pemeriksaan menyeluruh dan tes kesehatan. Penahanan ini dijadwalkan berlangsung selama 20 hari, mulai tanggal 23 Oktober 2024 hingga 11 November 2024.

    Kejari Ponorogo, kata Agung terus berkomitmen dalam menindak setiap bentuk tindak pidana korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Dengan adanya penahanan terhadap tersangka SR, diharapkan kasus ini segera diproses lebih lanjut di pengadilan untuk mengungkap seluruh fakta dan bukti terkait dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

    “Kami mengingatkan pentingnya transparansi dalam setiap proses administrasi, terutama yang melibatkan penerbitan surat keterangan tanah. Ya agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Sawoo ini,” tutup Agung. [end/beq]

  • Kejaksaan Agung Tahan Empat Tersangka Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur

    Kejaksaan Agung Tahan Empat Tersangka Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur

    Jakarta (beritajatim.com) – Kejaksaan Agung langsung melakukan penahanan terhadap empat tersangka dalam penyidikan kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi vonis bebas ke Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka adalah tiga hakim yakni Erintuah Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH). Sementara satu pengacara yang ditetapkan sebagai tersangka yakni Lisa Rahman (LR).

    “Tim Penyidik melakukan pemeriksaan kepada ketiga oknum hakim dan satu orang oknum pengacara tersebut, dan pada Rabu 23 Oktober 2024 ditetapkan tiga oknum Hakim ED, HH, M dan seorang oknum Pengacara LR sebagai Tersangka karena ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait adanya tindak pidana korupsi berupa suap dan/atau gratifikasi,” tegas Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar.

    Menurutnya, tiga oknum hakim menjadi tersangka penerima suap diduga melanggar Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 B jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    “Selanjutnya, penyidik melakukan penahanan terhadap para Tersangka untuk penerima suap dan/atau gratifikasi yaitu ED, HH dan M di Rumah Tahanan Negara Kelas I Surabaya pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur,” kata Qohar.

    Sedangkan, pemberi suap dan/atau gratifikasi yaitu Lisa Rahman diduga melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    “Terhadap tersangka LR ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung,” ujar Qohar. [hen/aje]

  • Pengadilan Negeri Gresik Bebaskan Terdakwa Penyalahgunaan APBDes Roomo Gresik

    Pengadilan Negeri Gresik Bebaskan Terdakwa Penyalahgunaan APBDes Roomo Gresik

    Gresik (beritajatim.com) – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Gresik mengabulkan permohonan terhadap terdakwa Nur Hasyim terkait penyalahgunaan APBDes Roomo, Kecamatan Manyar, Gresik.

    Sebelumnya, Nur Hasyim didakwa oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik menyalahgunakan wewenang APBDes dana corporate social responsibility (CSR) di Desa Roomo.

    Ketua Majelis Hakim Adhi Satrija Nugroho mengabulkan permohonan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Roomo itu. Pasalnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik tidak memiliki wewenang untuk melakukan proses penyidikan. “Menyatakan bahwa penetapan tersangka kepada pemohon tidak sah,” ujarnya, Senin (21/10/2024).

    Permohonan terdakwa dikabulkan karena proses pemberian CSR merupakan hubungan hukum perdata yang didasarkan dalam suatu perjanjian. Sedangkan pihak Kejari menjerat Nur Hasyim dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Memerintahkan termohon Kejari Gresik untuk menghentikan pemeriksaan dan penyidikan atas diri pemohon,” kata Adhi.

    Majelis Hakim juga memutuskan bahwa pemohon berhak bebas dari Rumah Tahanan (Rutan( Kelas II B Gresik. Nur Hasyim sendiri sudah mendekam di sel tahanan sejak 26 September 2024 lalu. Pasca ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Gresik. “Kami juga memerintahkan termohon untuk memulihkan nama baik pemohon,” ungkap Ketua Majelis Hakim Adhi.

    Sementara itu, Kuasa Hukum pemohon Johannes Dipa Widjaja mengaku puas atas putusan. Hal itu sesuai fakta hukum bahwa pihak Kejari tidak melampirkan bukti-bukti pendukung yang sah. “Kalau memang korupsi, maka kerugian negara harus dibuktikan. Namun, pihak Kejari Gresik tidak bisa menunjukkan hal tersebut,” paparnya.

    Berkaitan dengan dugaan penyelewengan anggaran dana CSR, Dipa menegaskan bahwa pemohon hanya berstatus sebagai saksi. Sedangkan pihak yang berwenang untuk mengelola anggaran tersebut adalah perintah desa. Terutama Kepala Desa Taqwa Zainudin dan Sekretaris Desa Rudi Hermansyah. “Ini Menjadi bahan koreksi agar Kejari Gresik tidak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya,” urainya.

    Ia menjelaskan, sebagai penegak hukum, terlebih lagi yang memiliki kewenangan-kewenangan khusus (upaya paksa), janganlah kita
    menganggap enteng atau memandang sebelah mata terhadap proses, dan prosedur yang telah ditentukan oleh hukum acara.

    Kasi Pidsus Kejari Gresik Alifin Nurahmana Wanda masih menunggu salinan putusan resmi dari putusan tersebut. Sebagai bahan pertimbangan untuk upaya hukum lebih lanjut. “Kami mohon waktu akan kami sampaikan perkembangannya,” pungkas Alifin. [dny/kun]

  • Sidang Dugaan Korupsi Eks Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, KPK Periksa 22 Saksi

    Sidang Dugaan Korupsi Eks Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, KPK Periksa 22 Saksi

    Surabaya (beritajatim.com) – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangkan 22 saksi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi pemotongan dana insentif Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo dengan terdakwa Mantan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor. Dari keterangan para saksi tersebut, mereka mengatakan tak pernah menyerahkan sepeser uang pun kepada Gus Muhdlor.

    Sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Surabaya di Sidoarjo itu dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Ni Putu Sri Indayani dengan Athoillah dan Ibnu Abbas Ali sebagai hakim anggota. Dalam sidang tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan data yang dipertontonkan di layar monitor.

    Satu per satu para saksi secara bergantian dicecar soal hasil pemotongan insentif. Seluruhnya diserahkan ke mantan Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD Sidoarjo Siska Wati. Hal itu makin memperkuat jika Gus Muhdlor sama sekali tak pernah menerima aliran dana.

    “Saya serahkan ke Jasin Rindi Astuti dan Yulis Sarah Riski. Sesuai kitir pak, tidak tau (penggunaannya),” kata salah satu saksi, Sodikin, Senin (21/10/2024).

    Saksi lainnya, Surendro Nur Bawono juga mengatakan hal yang sama. Ia tak mengetahui penggunaan dana pemotongan insentif tersebut. Meski setiap pemotongan, Surendro harus mengeluarkan biaya sekitar Rp12 juta hingga Rp 15 juta setiap tiga bulan.

    “Tahunya dari rekening koran. Potongan saya serahkan Rp15 juta, Rp 12 juta. Tidak tahu pasti penggunaannya. Ke pak Tolib (Kabid Pajak BPPD Sidoarjo Abdul Muthalib) dan Mbak Yulis,” beber Surendro.

    Ketua Majelis Hakim lantas memberikan kesempatan Gus Muhdlor untuk bertanya kepada para saksi. Gus Muhdlor meminta kepada para saksi untuk menjawab secara serempak. “Njenengan (kalian) pernah kasih uang ke saya?” tanya Gus Muhdlor “Gak pernah Gus!” jawab saksi secara bersamaan.”Pernah dalam pembuatan SK yang saya tandatangani itu, saya ikut bergaining pembuatan SK?” tanya Gus Muhdlor lagi. “Gak pernah Gus,” pungkas para saksi.

    Sebagai informasi, 22 saksi yang dihadirkan dalam sidang tersebut antara lain Abdul Muntolib, Agus Surianto, Ali Muktadin, Suyono, Adoey, Febrianto Cahyo Saputra, Ermadi Riskiawan, Rismi Maulida, Jasmin Rindi Astuti. Lalu ada Joko sungkono, Juati, Luailus atau Ilus, Pramukas Ardi Yuda, R. Erik Hidayat, Rachmad Hendrawanto, Serly Dewi Yunitawati, Ris Nur Afrianti, Sodikin, Surendro Nur Bawono, Suyadi, Yulis Sarah Riski dan Sutrisno.

    Diketahui, kasus ini berawal dari adanya OTT KPK di kantor BPPD Sidoarjo, 25 Januari lalu. Saat itu KPK mengamankan 11 orang, termasuk mantan Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono dan mantan Kassubag Umum dan Kepegawaian Siska Wati. Keduanya telah divonis hakim masing-masing hukuman 5 tahun dan 4 tahun penjara. Mereka terbukti memotong insentif ASN BPPD Sidoarjo 10 hingga 30 persen mulai triwulan keempat tahun 2021 sampai triwulan keempat tahun 2023 dengan total Rp 8,544 miliar. [uci/kun]

  • 22 Saksi dari JPU Tidak Pernah Bertemu Gus Muhdlor

    22 Saksi dari JPU Tidak Pernah Bertemu Gus Muhdlor

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Ketua Majelis Hakim Ni Putu Sri Indayani bersama hakim anggota Athoillah dan Ibnu Abbas Ali memimpin sidang dugaan korupsi pemotongan dana insentif BPPD Kab. Sidoarjo di Pengadilan Tipikor Surabaya Senin (21/10/2024). Sidang dengan terdakwa Bupati Sidoarjo non aktif Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor).

    Kali ini ada sebanyak 22 saksi dihadirkan oleh JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Dari 22 keterangan saksi, mereka kompak tidak mengetahui secara pasti kegunaan potongan dana insentif pegawai BPBD Sidoarjo

    Salah satu saksi, ASN sekaligus pegawai Pajak BPPD Sidoarjo Sintiya Nur Apriyanti membenarkan adanya pemotongan insentif. Pemotongan itu dikoordinir oleh Siska Wati, mantan Kasubbag Umum dan Kepegawaian BPPD yang telah divonis 4 tahun pidana penjara.

    “Potongan itu mulai 2019 atau sekitar awal 2020, diberitahukan ada pemotongan insentif untuk gaji honorer yang tidak digaji melalui APBD. Pengumpulannya melalui sekretariat BPPD Sidoarjo,” kata Sintiya dalam kesaksiannya.

    Pengakuan sama juga diutarakan saksi Kabid Pajak Daerah 1 BPPD Sidoarjo Abdul Muthalib, yang bulan September kemarin sudah pensiun. Ia membenarkan adanya pemotongan insentif yang dikoordinatori oleh Siska Wati.

    Menurutnya, uang pemotongan itu disebut untuk kepentingan sedekah dan keperluan kantor “Saya mengetahui perintah pemotongan dana insentif itu dari Siska Wati,” ujar Munthalib.

    Masih menurut Munthalib, dirinya juga tidak mengetahui Gus Muhdlor pernah merapatkan soal pemotongan insentif tersebut. Sebab, tahunya pemotongan itu dikoordinir Siska Wati. “Kalau Bapak Bupati tidak pernah,” ucap Muthalib menjawab pertanyaan majlis hakim.

    Selain itu, Munthalib juga tak mengetahui pemotongan insentif itu untuk keperluan Gus Muhdlor, dan berapa besaran potongan setiap pegawai. Sebab semuanya diserahkan ke Siska Wati. “Semua kabid tidak tahu peruntukan semua potongan itu untuk apa,” tukasnya.

    Sementara itu Penasihat Hukum Bupati Sidoarjo non aktif Ahmad Muhdlor Ali dalam persidangan menyampaikan pertanyaan kepada 22 saksi yang dihadirkan terkait pernah tidak Bupati Muhdlor bertemu atau bertatap muka dengan semua saksi. Dengan kompak mereka menjawab. “Tidak pernah,” jawab semua saksi secara berbarengan.

    Perlu diketahui, kasus ini berawal dari adanya OTT KPK di kantor BPPD Sidoarjo, 25 Januari lalu. Saat itu KPK mengamankan 11 orang, termasuk mantan Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono dan mantan Kassubag Umum dan Kepegawaian Siska Wati.

    OTT tersebut terkait pemotongan dana insentif pegawai BPPD Sidoarjo 10 hingga 30 persen mulai triwulan keempat tahun 2021 sampai triwulan keempat tahun 2023 dengan total Rp 8,544 miliar. Dalam kasus ini Ari Suryono divonis 5 tahun penjara dan Siska Wati 4 tahun penjara. (isa/but)

  • Kades di Tulungagung Tersangka Korupsi Dana Desa Rp700 Juta

    Kades di Tulungagung Tersangka Korupsi Dana Desa Rp700 Juta

    Tulungagung (beritajatim.com) – Satreskrim Polres Tulungagung menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), bagi hasil pajak dan retribusi daerah dan Bantuan Keuangan (BK) Kabupaten Tulungagung, di Desa Kradinan, Kecamatan Pagerwojo.

    Dalam kasus ini mereka menetapkan Kepala Desa Kradinan, Eko Sujarwo dan Bendahara desa Wiji sebagai tersangka. Dari hasil penyidikan perbuatan keduanya membuat kerugian negara hingga Rp700 juta.

    Kanit Tipikor Satreskrim Polres Tulungagung, Ipda Novi Susanto menerangkan kedua tersangka ini bekerja sama untuk melakukan korupsi di tahun anggaran 2020 dan 2021.

    Dari hasil penyidikan terdapat beberapa sumber dana yang mereka korupsi. Yakni DD, ADD, bagi hasil dan retribusi daerah tahun 2020/2021 dan bantuan keuangan Kabupaten Tulungagung tahun anggaran 2020.

    “Kasus ini sudah kami lakukan gelar perkara di Polda Jatim. Kami sempat diminta untuk menambah keterangan saksi ahli dan sudah kami lakukan,” ujarnya, Rabu (16/10/2024).

    Polisi telah melakukan penggeledahan di kantor Desa Kradinan dan di rumah bendahara desa. Dari penggeledahan itu pihaknya menemukan sejumlah dokumen dan barang bukti yang ada kaitannya dengan kasus dugaan korupsi ini.

    Keterangan dari beberapa saksi yang telah dipanggil juga menguatkan dugaan keterlibatan keduanya dalam penggunaan keuangan desa untuk kepentingan pribadi mereka.

    “Dana diambil bersama bendahara, kemudian diminta oleh Kades. Sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi, sedangkan sisanya untuk mengerjakan proyek yang dikelola oleh pemerintah desa. Keduanya juga melakukan manipulasi laporan pertanggungjawaban seolah-olah pengelolaan keuangan desa dikerjakan dengan baik,” jelasnya.

    Meski keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka, namun tidak dilakukan penahanan. Polisi beralasan keduanya kooperatif selama dan dikenakan wajib lapor seminggu dua kali.

    Berkas kasus ini juga akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan untuk bisa segera diproses.

    “Keduanya sangat kooperatif selama menjalani pemeriksaan, mereka dikenakan wajib lapor seminggu dua kali,” pungkasnya. [nm/but]

  • Sopir Manfaatkan Nama Gus Muhdlor untuk Minta Uang ke Ari Suryono

    Sopir Manfaatkan Nama Gus Muhdlor untuk Minta Uang ke Ari Suryono

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Achmad Masruri sopir pribadi Bupati Sidoarjo nonaktif Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor mengaku sengaja memanfaatkan nama Gus Muhdlor untuk meminta sejumlah uang kepada eks Kepala BPPD Ari Suryono.

    Hal itu terungkap dalam persidangan Gus Muhdlor dengan sejumlah saksi yang dihadirkan termasuk Achmad Masruri di Pengadilan Tipikor, Selasa (15/10/2024).

    “Saya diberi kewenangan untuk mengambil uang yang ada di ATM Bank Jatim beliau (Gus Muhdlor), jadi untuk keperluan pribadi beliau saya yang mengambilkan,” kata Achmad Masruri dalam kesaksiannya.

    Bahkan, diakuinya salah satu ATM serta buku rekening yang juga digunakan untuk kepentingan operasional bupati itu setiap harinya disimpan di dalam mobil yang digunakan Masruri.

    “Setiap bulan dijatah Ibu Bupati (istri Gus Muhdlor) Rp10 juta untuk operasional, kalau uang Rp10 juta itu kurang, ya saya ambil di ATM. Biasanya dipakai kalau beliau ingin ngasih orang, di warung-warung juga. Sesuai perintah beliau dari awal kalau ada keperluan ambilnya di ATM,” jelasnya.

    Dari situ, akhirnya saksi tak pernah melaporkan ke Gus Muhdlor jika mengambil uang di ATM. Bahkan, ada beberapa kali transaksi senilai antara Rp10 juta sampai Rp20 juta keluar dari rekening tersebut.

    “Saya pernah dipanggil Pak Ari pertama kali itu diberi uang sama sarung. Dari situ saya akhirnya memberanikan untuk meminta uang kepada Pak Ari atas nama Bapak Bupati untuk kepentingan pribadi saya,” jelasnya.

    Parahnya, kebaikan Bupati nonaktif Sidoarjo itu justru disalahgunakan oleh sopir pribadinya, Masruri nekat menggunakan nama Gus Muhdlor untuk meminta-minta uang kepada Ari Suryono.

    “Saya menggunakan nama Bupati supaya diberi, saya tidak izin ke Bupati karena takut. Saya tidak menyebut nilai mau minta uang berapa, tapi sama Pak Ari dikasih akhirnya,” urainya.

    Uang yang sudah diterima oleh saksi Masruri, rinciannya, sepanjang 2022 sudah menerima Rp15 juta sebanyak tiga kali. Kemudian pada 2023, menerima Rp20 juta sebanyak satu kali.

    Selain itu, Masruri mengaku juga kerap diberi uang pulsa oleh Ari Suryono sebesar Rp500 ribu per bulan. Dalam fakta persidangan, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan Masruri untuk meminta uang kepada Ari Suryono.

    “Meminta uang operasional mengatasnamakan bupati atas inisiatif saya sendiri biar dikasih. Yang terakhir 2023 itu dikasih Bu Siskawati langsung. Untuk uang pulsa biasanya setiap awal bulan dikasih. Jadi untuk chat dengan Pak Farid ‘biasanya’ itu meminta uang pulsa,” jlentrehnya.

    Selain itu, dalam fakta persidangan, di luar pengetahuan dari Gus Muhdlor. Mengenai paket di DHL yang dibayarkan oleh Ari Suryono sebetulnya sudah diketahui oleh Masruri.

    “Saya pergi ke Maroko sama beliau, jadi saya tahu. Lalu paket tersebut tidak datang-datang lama, akhirnya Pak Bupati meminta ajudannya Mas Digsa untuk menyelesaikan teknisnya. Untuk pembayarannya saya yang diperintah,” ucapnya.

    “Siangnya langsung saya telpon terus, saya tanya Mas Digsa bayarnya berapa, saya disuruh Mas Digsa menyiapkan uang Rp30 juta, saya langsung minta ke Pak Bupati. Beliau ke dalam pendopo langsung mengambilkan uang,” imbuhnya.

    Alhasil, uang Rp30 juta tersebut sudah di tangan Achmad Masruri. Setelah barang tersebut diurus oleh Digsa, Gelar dan Ari Suryono akhirnya paket dari Maroko tersebut berhasil dikirimkan dengan pembayaran bea cukai yang harus dibayar sebesar Rp27 juta.

    Dibayarlah uang bea cukai tersebut oleh Ari Suryono yang kebetulan sedang bersama saksi Digsa. Masruri dikabari oleh Digsa bahwa uang tersebut sudah dibayarkan oleh Ari Suryono.

    “Uang sudah saya bawa, niat saya mau saya kasihkan pas ketemu Pak Ari Suryono sendiri. Tapi tidak ketemu-ketemu akhirnya uangnya saya pakai, tanpa sepengetahuan pak bupati. Sekarang uangnya sudah habis,” tambahnya.

    Berdasarkan keterangan Masruri, uang yang didapatkannya tersebut digunakan untuk keperluan pribadi dan melunasi utang. Uang tersebut juga dirupakan puluhan beras seberat lima kilogram untuk dibagikan ke janda-janda dan tetangganya kurang mampu.

    “Agar saya dipandang baik di mata tetangga. Juga saya bagikan ke ponakan-ponakan saya. Kalau saat Pak Bupati keluar negeri juga pernah dikasih Rp25 juta untuk digunakan jalan-jalan bersama ajudan dan aspri,” jelasnya.

    Namun, tidak jadi jalan-jalan. Uang tersebut justru dibagikan rata kepada masing-masing ajudan karena tidak ada waktu untuk jalan-jalan. Dengan kompak tiga mantan ajudan bupati Sidoarjo menjawab “Iya, kami menerima uang tersebut,” jelasnya.

    Menanggapi kesaksian tersebut, JPU KPK Andry Lesmana mengatakan, kesaksian para saksi masih akan diuji di sidang selanjutnya. “Tentunya akan ada pencocokan dengan keterangan saksi di sidang selanjutnya,” katanya singkat. [isa/beq]

  • Sopir Manfaatkan Nama Gus Muhdlor untuk Minta Uang ke Ari Suryono

    Fakta Baru Sopir Catut Nama Gus Muhdlor Minta Uang ke Kepala BPPD

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Nama mantan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor dicatut oleh Achmad Masruri saat meminta uang ke mantan Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono.

    Hal itu terungkap dalam kesaksian di sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemotongan dana insentif Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo.

    “Awalnya saya dikasih beliau (Ari Suryono) uang sama sarung. Itu saat puasa,” kata Masruri sopir Gus Muhdlor saat bersaksi di Pengadilan Tipikor PN Surabaya di Sidoarjo, Senin (14/10/2024).

    Dari sana lah niat jahat Masruri muncul. Dia meminta kembali sejumlah uang berdalih untuk biaya operasional mengawal Gus Muhdlor. Padahal Gus Muhdlor tak pernah memerintah Masruri.

    “Kemudian atas inisiatif sendiri. Minta operasional atas nama bapak bupati supaya diberi,” jelasnya.

    Masruri tak menyebutkan nominal pasti yang diminta kepada Ari Suryono. Dia hanya mengatakan bahwa nilainya puluhan juta rupiah dan diberikan pada 2022.

    Masruri juga mengaku meminta uang pada 2023. Bukan Ari Suryono yang memberikan uang saat itu, melainkan mantan Kasubbag Umum dan Kepegawaian Siska Wati.

    “Tahun 2023 saya hubungi beliau (Ari Suryono). Beliau bilang nanti dihubungi mbak Siska,” ujar Ahmad Masruri.

    Siska Wati lantas menghubungi Masruri dan mengajaknya bertemu. Bersama suaminya Kabag Pembangunan Setda Sidoarjo Agus Sugiarto, Siska Wati lalu menyerahkan uang kepada Masruri. Uang itu dibawa dengan mobil Toyota Fortuner.

    “Diajak ketemu, ini titipan dari pak Ari Rp20 juta,” kata Ahmad Masruri menirukan ucapan Siska Wati.

    Dakam sidang kali ini JPU menghadirkan 8 saksi. Ari Suryono Siska Wati sendiri telah divonis penjara masing-masing 5 dan 4 tahun. [uci/ian]

  • Sidang Gus Muhdlor di Pengadilan, 4 Saksi Bantah Terima Dana Insentif BPPD Sidoarjo

    Sidang Gus Muhdlor di Pengadilan, 4 Saksi Bantah Terima Dana Insentif BPPD Sidoarjo

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Sidang kasus dugaan korupsi pemotongan dana insentif Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo kembali digelar di Pengadilan Tipikor PN Surabaya, Senin (14/10/2024). Agenda sidang dengan terdakwa Bupati Sidoarjo non aktif Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor).

    Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan 8 saksi. Terdiri dari staf Prokopim Sidoarjo, sopir pribadi bupati dan lainnya.

    Empat saksi dimintai keterangan yakni Akbar Prayoga, Aswin Reza, Gelar Agung, dan Perdigsa. Para saksi menyatakan tidak pernah menerima aliran dana dari mantan Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD Sidoarjo Siska Wati, baik berupa tambahan honor maupun Tunjangan Hari Raya (THR).

    Keempatnya mengaku hanya mendapat bayaran dari gaji resmi yang ditanggung oleh APBD Kabupaten Sidoarjo. “Apakah saudara pernah menerima honor tambahan dari Siska Wati atau dari Achmad Masruri?,” tanya JPU Andre Lesmana.

    Empat staf dan ajudan yang ditanya satu per satu menjawab tidak pernah. Begitu juga THR, mereka tidak pernah menerima.

    Siska Wati dalam persidangan sebelumnya menyatakan bahwa dia menyerahkan Rp 50 juta, yang diambilkan dari uang sedekah potongan insentif pajak para pegawai BPPD, kepada Achmad Masruri.

    Uang itu diberikan Siska kepada Masruri karena Masruri meminta uang tersebut sebagai honor untuk 12 orang yang bekerja di Pendopo Kabupaten Sidoarjo. Sebab, 12 orang tersebut, kata Masruri kepada Siska, tidak digaji oleh Pemkab Sidoarjo.

    Keempat saksi juga mengaku tidak pernah mempertemukan Siska Wati dengan Gus Muhdlor untuk menandatangani Surat Keputusan (SK) Bupati tentang besaran insentif bagi pegawai BPPD.

    “Saya meminta Ibu Siska Wati untuk menyerahkan SK tersebut di pos Satpol PP atau di kantor sekretariat karena tujuan Bu Siska Wati hanya untuk mendapatkan tanda tangan, bukan bertemu langsung,” kata saksi Gelar Agung.

    Begitu juga yang disampaikan Akbar. Dia mengatakan tidak pernah mempertemukan Gus Muhdlor dengan Siska Wati. Dia mengaku berkontak melalui WhatsApp. Namun, begitu hari di mana Siska Wati akan menemui Gus Muhdlor, dia tidak piket.

    “Saya menjalani sistem ajudan, 2 hari kerja, 2 hari standby atau libur, dan 3 hari di kantor,” urai Akbar.

    Terkait aliran dana dari Siska Wati untuk membayar bea cukai paket dari Maroko, para saksi mengaku tidak pernah meminta Siska Wati atau mantan Kepala BPPD Ari Suryono untuk membayar biaya sebesar Rp 27 juta tersebut.

    Saat itu, Perdigsa bertanya kepada Masruri bagaimana pembayaran bea cukai tersebut? “Pak Ruri bilang beres,” tukas Perdigsa.

    Digsa mengakui tidak ada perintah dari Gus Muhdlor untuk meminta biaya tersebut ditagihkan. Bahkan, Digsa mengatakan kepada Gus Muhdlor waktu itu akan menyelesaikan biayanya sendiri.

    Diketahui, kasus ini berawal dari adanya OTT KPK di kantor BPPD Sidoarjo, 25 Januari 2024 lalu. Saat itu KPK mengamankan 11 orang, termasuk mantan Kepala BPPD Sidoarjo Ari Suryono dan mantan Kassubag Umum dan Kepegawaian Siska Wati.

    Keduanya telah divonis hakim masing-masing hukuman 5 tahun dan 4 tahun penjara. Mereka terbukti memotong insentif ASN BPPD Sidoarjo 10 hingga 30 persen mulai triwulan keempat tahun 2021 sampai triwulan keempat tahun 2023 dengan total Rp 8,544 miliar. (isa/but)