Kasus: Tipikor

  • Alexander Marwata Ajukan Judicial Review Pasal 36 UU KPK ke MK, Ngaku Dirinya Rawan Dikriminalisasi

    Alexander Marwata Ajukan Judicial Review Pasal 36 UU KPK ke MK, Ngaku Dirinya Rawan Dikriminalisasi

    GELORA.CO  – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait norma Pasal 36 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

    Selain dia, ada dua pegawai KPK, yakni Lies Kartika Sari selaku auditor muda KPK dan Maria Fransiska selaku pelaksana pada unit sekretaris pimpinan KPK yang mengajukan JR ke MK. Mereka mengajukan uji materi terkait norma Pasal 37 UU KPK.

    Menurut Alex, dua pasal dimaksud bisa dijadikan pihak-pihak luar untuk mengkriminalisasi pimpinan dan pegawai.

    Alex mengatakan bahwa rumusan pasal itu tidak jelas, sekalipun dalam penjelasan UU KPK dinyatakan cukup jelas.

    Ketidakjelasan itu lantaran adanya batasan yang tidak pasti di dalam normal Pasal 36 huruf a UU KPK. Selain itu, juga banyak kejanggalan di norma pasal yang dimaksud.

    “Apa urgensinya? Pasal itu bagi kami (pimpinan dan pegawai) bisa dijadikan alat untuk mengriminalisasi pimpinan dan pegawai KPK,” kata Alex kepada wartawan, Jumat (8/11/2024).

    Adapun Pasal 36 huruf (a) UU KPK diketahui berbunyi: “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.”

    “UU menyebutkan dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara, dengan alasan apa pun,” kata Alex.

    “Kalau dengan tersangka sudah jelas perkara sudah di tahap penyidikan dan tersangka sudah ada. Tapi pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu di tahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya? Kalau tidak ada penjelasannya bisa jadi penerapannya pun akan semau-maunya penegak hukum,” imbuh pimpinan KPK berlatar belakang hakim ini.

    Alex kemudian mempertanyakan penafsiran frasa “dengan alasan apa pun” di dalam Pasal 36 huruf a tersebut dalam rangka melakukan tugas sebagai pimpinan KPK.

    “Bagaimana kalau dalam rangka melaksanakan tugas? Bagaimana kalau pertemuan/komunikasi dilakukan dengan iktikad baik atau misalnya pada saat bertemu tidak tahu status orang yang ditemui?” ujar Alex.

    “Kalau tanpa pengecualian berarti bertemu di kondangan pun bermasalah, sekalipun tidak ada hal penting yang dibahas,” lanjutnya.

    Alex menilai, mestinya ada penjelasan konteks pertemuan yang dimaksud di dalam pasal tersebut. 

    Semisal, yang mengakibatkan munculnya konflik kepentingan atau terhambatnya penanganan perkara di KPK.

    Lebih lanjut, Alex pun menyebut bahwa hanya aparat penegak hukum yang tak memahami esensi dari dua pasal yang digugatnya bersama pegawai KPK tersebut.

    Sehingga, lanjut dia, justru menilai pertemuan dengan setiap orang yang berurusan dengan lembaga antirasuah sebagai perbuatan pidana.

    “Pasal 36 dan 37 merupakan ranah etik untuk menjaga integritas insan KPK dan marwah KPK. Jadi, sebelum ke pidana mestinya dilihat apakah ada pelanggaran kode etik,” kata Alex.

    Alex menyebut, permohonan uji materi itu diajukan juga untuk pimpinan saat ini dan yang akan datang. Termasuk, juga untuk insan KPK secara keseluruhan.

    “Jangan ada keraguan sedikit pun dalam memaknai pasal undang-undang oleh penegak etik maupun penegak hukum. Selain itu, juga supaya ada perlakuan yang sama antarpenegak hukum,” ujar dia.

    Oleh karena itu, Alex berpendapat bahwa perlakuan yang diterima insan KPK justru berbeda dengan aparat penegak hukum lainnya.

    “Larangan bertemu/berkomunikasi dengan pihak beperkara hanya berlaku untuk insan KPK, tapi aparat penegak hukum yang lain tidak ada masalah ketika pimpinannya bertemu dengan pihak yang berperkara. Ini tidak adil dan diskriminatif,” kata dia.

    Di samping itu, ia sepakat jika pertemuan atau komunikasi yang dilakukan dengan pihak beperkara dapat menimbulkan konflik kepentingan mesti disanksi etik maupun pidana.

    “Apalagi jika hubungan atau komunikasi yang dilakukan para pihak mendapat keuntungan atau manfaat,” kata Alex.

    Adapun terkait penerapan norma Pasal 36 huruf a UU KPK yang dianggap tidak berkepastian hukum itu, dalam gugatannya ia meminta MK perlu mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi.

    “Atau memaknai Pasal 36 dengan ‘Pasal 36: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: (a) mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya’,” sebut Alex

  • 3
                    
                        Serangan Balik KPK, Sebut Keluarga Rafael Alun Terlibat Pencucian Uang
                        Nasional

    3 Serangan Balik KPK, Sebut Keluarga Rafael Alun Terlibat Pencucian Uang Nasional

    Serangan Balik KPK, Sebut Keluarga Rafael Alun Terlibat Pencucian Uang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) melancarkan “serangan balik” terhadap pengajuan keberatan atas perampasan aset yang diajukan keluarga
    Rafael Alun
    Trisambodo.
    Rafael merupakan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menjadi terpidana kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Berdasarkan putusan pengadilan, sejumlah aset Rafael dirampas.
    Adapun keberatan diajukan oleh Petrus Giri Herniawan, Markus Seloadji, Martinus Gangsar Sulaksono, serta pemohon dari korporasi yakni CV Sonokeling Cita Rasa.
    Markus merupakan kakak Rafael Alun sementara Gangsar adik mantan pejabat pajak tersebut.
    Dalam tanggapannya, jaksa KPK mempertanyakan alasan keluarga Rafael mengajukan keberatan.
    Jaksa menyebut, permohonan atas perampasan aset diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik terhadap Putusan Perampasan Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam perkara Tipikor.
    “(Permohonan sesuai undang-undang dan Perma) atau hanya upaya dari pemohon mencari celah seolah-olah aset yang telah dirampas itu merupakan harta kekayaan yang sah,” kata jaksa KPK di
    Pengadilan Tipikor
    Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024).
    Mereka menyebut, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat nantinya akan memeriksa alasan permohonan ini dengan cermat.
    Aspek formil dan materiil permohonan akan diperiksa sehingga alasan pengajuan itu disimpulkan sesuai undang-undang atau peraturan MA.
    “Mengingat di dalam diri setiap majelis hakim terpatri nilai kebenaran dan nilai keyakinan untuk menakar mana yang benar itu benar dan mana yang salah itu salah,” ujar jaksa KPK.
    Pemohon terlibat cuci uang
    Dalam tanggapan menyangkut aspek formil permohonan keluarga Rafael, jaksa KPK menyebut adik dan kakak Rafael terlibat dalam tindak pidana pencucian uang.
    Jaksa mengungkapkan, berdasarkan fakta persidangan, pencucian uang dilakukan istri Rafael, Ernie Meike Torondek, ibu Rafael Irene Suheriani Suparman, Gangsar hingga anak Rafael, Christopher Dhyaksadarma.
    Sementara, Markus disebut terlibat bersama-sama menyembunyikan mobil Jeep Wrangler.
    “Dalam mewujudkan tindak pidana pencucian uang di atas berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan tidak hanya dilakukan oleh terdakwa Rafael Alun Trisambodo bersama-sama dengan Ernie Meike Torondek,” kata jaksa KPK.
    Mereka disebut turut serta melakukan pencucian uang berupa perhiasan, uang dalam
    safe deposit box
    (SDB), hingga pendirian Bilik Kayu dan Bilik Kopi.
    Aset-aset tersebut saat ini telah dirampas dan menjadi obyek yang dimohonkan oleh keluarga Rafael.
    Karena Markus dan Gangsar terlibat dalam dalam pencucian uang itu, jaksa KPK menilai mereka bukan pihak yang beritikad baik.
    “Para pemohon keberatan tersebut (Markus dan Gangsar) bukanlah pihak ketiga yang beritikad baik,” kata jaksa KPK.
    “Pengajuan keberatan
    a quo
    tidak sesuai dengan Pasal 12 Ayat 1 Perma Nomor 2 Tahun 2022,” lanjut jaksa KPK.
    Sebelumnya, empat pihak tersebut mengajukan keberatan atas penyitaan yang dilakukan KPK.
    CV Sonokeling Cita Rasa  mengajukan keberatan terhadap penyitaan aset sebagai berikut karena tak terima penyitaan terhadap 1 unit mobil Innova dengan nomor polisi AB 1016 IL dan 1 unit mobil Grand Max dengan nomor polisi AB 8661 PH.
    Sementara itu, aset yang disita dari Petrus, Markus, dan Gangsar terdiri dari uang di SDB Rafael sebesar 9.800 Euro, 2.098.365 dollar Singapura, dan 937.900 dollar AS.
    Kemudian, perhiasan di SDB Rafael berupa 6 cincin, 2 kalung beserta liontin, 5 pasang anting, dan 1 liontin.
    Lalu, beberapa properti di Jakarta, termasuk rumah di Jalan Wijaya Kebayoran, rumah di Srengseng, ruko di Meruya, 2 unit kios di Kalibata City, serta 1 unit mobil VW Caravelle.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • [POPULER NASIONAL] Eks Direktur Pertamina Tersangka Korupsi Pembelian Tanah | Komentar Mahfud MD soal Kasus Tom Lembong
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 November 2024

    [POPULER NASIONAL] Eks Direktur Pertamina Tersangka Korupsi Pembelian Tanah | Komentar Mahfud MD soal Kasus Tom Lembong Nasional 8 November 2024

    [POPULER NASIONAL] Eks Direktur Pertamina Tersangka Korupsi Pembelian Tanah | Komentar Mahfud MD soal Kasus Tom Lembong
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Penetapan mantan Direktur Umum
    Pertamina
    , Luhur Budi Djatmiko (LBD), sebagai tersangka
    korupsi
    dugaan pembelian tanah di Kompleks Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, menjadi sorotan pembaca.
    Pertamina menyatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
    Masih dari dunia hukum, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan
    Mahfud MD
    menilai wajar bila ada yang menganggap kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau
    Tom Lembong
    , sebagai bentuk kriminalisasi politik.
    Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan mantan Direktur Umum PT Pertamina (Persero) periode 2012-2014, Luhur Budi Djatmiko (LBD), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembelian 4,8 hektare tanah yang terdiri atas 23 bidang, di Kompleks Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan.
    Berdasarkan hasil gelar perkara pada Selasa (5/11/2024) kemarin, Luhur diduga telah menyalahgunakan wewenang dalam proses pembelian tanah tersebut.
    “Kepolisian menetapkan tersangka LBD selaku Direktur Umum PT Pertamina (Persero) tahun 2012 sampai dengan 2014 dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pembelian tanah oleh PT Pertamina (Persero) di Komplek Rasuna Epicentrum Kuningan Jakarta Selatan,” kata Wadir Tipidkor Bareskrim Polri, Kombes Arief Adiharsa dalam keterangan resmi, Rabu (6/1/2024).
    Kasus ini bermula dari laporan yang diterima Bareskrim pada 19 Februari 2018 yang tercatat dengan Nomor Laporan LP/250/II/2018/Bareskrim.

    Saat itu dilaporkan bahwa perusahaan energi pelat merah itu menyusun anggaran pembelian tanah senilai Rp 2,07 triliun di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Pertamina Tahun 2013, yang tujuannya untuk membangun Pertamina Energy Tower (PET).
    Akan tetapi, dalam proses pembelian tanah seluas 48.279 meter persegi yang berlangsung antara Juni 2013 hingga Februari 2014, diduga terjadi perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 348,6 miliar.
    Nilai kerugian negara ini berdasarkan surat Ketua dan Wakil Ketua BPK RI Nomor: 13/ST/II/01/2024 tanggal 12 Januari 2024, dan Surat Tugas Tortama Investigasi BPK RI Nomor: 28/ST/XXI/01/2024 tertanggal 16 Januari 2024, telah dilakukan penyerahan laporan hasil pemeriksaan investigatif Kerugian Keuangan Negara dari Auditor BPK RI tertanggal 15 Oktober 2024, kepada Dittipidkor Bareskrim Polri.
    Arief mengatakan, penyimpangan tersebut dikaitkan dengan harga pembelian yang dinilai terlalu tinggi dan aset jalan milik Pemprov DKI Jakarta yang seharusnya tidak diperjualbelikan.
    “Ini didasari atas terjadinya pemahalan harga (pengeluaran yang lebih besar dari yang seharusnya) dan pengeluaran atau pembayaran yang tidak seharusnya,” tegas dia.
    Selain itu, pihak Bareskrim Polri menemukan adanya pelanggaran terhadap berbagai aturan, termasuk Undang-Undang BUMN, Peraturan Menteri BUMN, serta pedoman internal Pertamina mengenai tata kelola pengadaan barang dan jasa.
    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menilai wajar bila ada yang menganggap kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, adalah bentuk kriminalisasi politik.
    Sebab, kebijakan impor gula juga dilakukan oleh Mendag sesudah Tom Lembong, bahkan lebih masif.
    “Dan kebijakan yang sama dilakukan secara lebih besar oleh Menteri Perdagangan berikutnya. Ada Enggartiasto Lukito, ada Agus Suparmanto, ada Menteri Lutfi, ada Zulkifli Hasan,” kata Mahfud ditemui di Jakarta, Rabu (6/11/2024).
    “Itu kan mestinya kan mulai dari sini, dari yang terdekat. Kenapa mulai dari jauh (Mendag lama)? Nah itu orang lalu menganggap ini kriminalisasi karena politik. Tentu itu analisis yang wajar saja,” tambah dia.
    Oleh sebab itu, menurut dia, akan lebih baik jika Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan dan menjawab apa yang menjadi pertanyaan atau dugaan masyarakat.
    “Mungkin tidak benar, tidak ada kriminalisasi. Tapi ini tolong dong, tolong dijawab itu, itu kata masyarakat,” ucap mantan Ketua MK ini.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Beberkan Kerugian Negara Akibat Kasus Korupsi LPEI Capai Rp1 Triliun

    KPK Beberkan Kerugian Negara Akibat Kasus Korupsi LPEI Capai Rp1 Triliun

    GELORA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan kerugian negara dari dugaan kasus korupsi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencapai Rp1 triliun.

    Taksiran total kerugian negara akibat dugaan kasus korupsi LPEI itu diungkapkan oleh Juru Bicara KPK Tessa Mahardika.

    Saat ini penyidik KPK juga telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dugaan kasus korupsi LPEI ini.

    Selain itu, lanjut Tessa, KPK juga telah menyita sejumlah barang bukti seperti uang tunai, properti berupa tanah dan bangunan, kendaraan bermotor, sampai perhiasan.

    “Penyidik masih terus melakukan penelusuran aset milik para tersangka guna memulihkan nilai kerugian negara akibat dari perkara tersebut,” ungkap Tessa, dikutip Kamis (7/11/2024).

    Adapun rincian aset yang sudah disita oleh penyidik KPK antara lain adalah 44 propert berupa tanah dan bangunan. Jumlahnya sekitar Rp200 miliar.

    Selain itu, ada pula uang tunai Rp4,6 miliar disita oleh penyidik KPK, termasuk juga enam unit kendaraan, 13 buah logam mulia, sembilan jam tangan, 37 tas mewah, dan lebih dari 100 perhiasan.

    Sebelumnya, pada 19 Maret 2024 lalu, KPK mengumumkan bahwa telah melakukan penyidikaan dugaan kasus korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

    “Pada tanggal 19 Maret 2024 KPK meningkatkan penyelidikan dari dugaan penyimpangan atau dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit dari LPEI ini menjadi penyidikan,” ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Selasa (19/3/2024) lalu.

    Selanjutnya, pada 31 Juli 2024 KPK mengumumkan bahwa dalam kasus ini sudah ditetapkan sebanyak tujuh orang tersangka.

    Meski demikian, KPK belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai identitas pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. 

    Sesuai kebijakan komisi antirasuah siapa saja pihak yang ditetapkan sebagai tersangka beserta rincian perkara tersebut akan diumumkan setelah penyidikan rampung. 

  • Jaksa Agung Perintahkan Anak Buah Ikut Perbaiki Sistem Usai Usut Kasus Korupsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 November 2024

    Jaksa Agung Perintahkan Anak Buah Ikut Perbaiki Sistem Usai Usut Kasus Korupsi Nasional 7 November 2024

    Jaksa Agung Perintahkan Anak Buah Ikut Perbaiki Sistem Usai Usut Kasus Korupsi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Jaksa Agung

    ST Burhanuddin
    memerintahkan para kepala
    Kejaksaan
    Negeri (Kajari) dan Kejaksaan Tinggi (Kajati) berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem setelah menangani tindak pidana
    korupsi
    .
    Burhanuddin menyampaikan, perbaikan sistem diperlukan demi mencegah terjadinya korupsi yang berulang-ulang dengan pola yang sama.
    “Tolong buat para Kajari, Kajati, lakukan penindakan dan setelah penindakan, berikan mereka perbaikan sistemnya. Dari tahun ke tahun korupsi yang terjadi adalah tetap itu-itu saja,” kata Burhanuddin dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Daerah di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis (7/11/2024).
    Ia mengaku tidak ragu menindak jajarannya itu jika tidak memperbaiki sistem setelah menangani kasus korupsi.
    Burhanuddin menekankan, tanpa mengubah sistem dan tata kelola menjadi lebih baik, tindak pidana korupsi berpotensi menjerat semua orang.
    “Lakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, lakukan perbaikan sistemnya dan sistem-sistem itu jangan sampai terulang. Kajari, Kajati, sanggup? Lakukan itu dan apabila kalian tidak memperhatikan apa yang saya sampaikan, kalian justru yang saya akan tindak,” ucap dia.
    Burhanuddin menyampaikan, tindak pidana korupsi bisa terjadi ketika seseorang yang dipilih rakyat untuk menjabat jabatan strategis tidak piawai mengelola keuangan pemerintah.
    Ia menyebutkan, para pejabat punya tugas berat karena harus bertanggung jawab terhadap sistem keuangan pemerintah, sedangkan bisa jadi mereka tidak punya pengalaman mengelola keuangan.
    “Ini lah yang menyebabkan kebocoran-kebocoran itu terjadi karena ia tidak mengerti apa yang harus saya lakukan setelah menerima uang-uang itu. Itulah yang saya sampaikan kepada Jaksa di daerah-daerah untuk berhati-hati menahan ini,” kata Burhanuddin.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rugikan Negara Rp 323 Miliar Gara-Gara Mangkrak, Polri Naikkan Status Kasus Korupsi PLTU Kalbar – Page 3

    Rugikan Negara Rp 323 Miliar Gara-Gara Mangkrak, Polri Naikkan Status Kasus Korupsi PLTU Kalbar – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Polisi saat ini sedang menyelidiki dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Kalimantan Barat (PLTU Kalbar-1) tahun anggaran 2008-2018. Kasus tersebut kini telah naik ke tahap penydikan. 

    Kasus yang telah diselidiki sejak 23 Februari 2024 itu setelah dilakukan gelar perkara, polisi menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi.

    “Berdasarkan fakta hukum yang peroleh dari hasil kegiatan penyelidikan perkara a quo. Pada hari selasa tanggal 5 November 2024, penyidik Dittipidkor Bareskrim Polri telah melakukan gelar perkara dan seluruh peserta gelar telah sepakat terhadap perkara a quo untuk ditingkatkan statusnya dari penyelidikan kepada penyidikan,” kata Wadirtipidkor Bareskrim Mabes Polri, Kombes Pol Arief Adiharsa dalam keterangannya, Kamis, (7/11/2024).

    Dugaan korupsi itu terjadi pada PLTU 1 Kalbar 2X50 Mega Watt di Kecamatan Jungkat, Kalimantan Barat yang telah dilakukan lelang pada tahun 2018. Dalam proses lelang, pihak KSO BRN menjadi pihak pemenang tender untuk pembagunan proyek tersebut yang juga telah ditandatangani oleh Dirut PLN.

    Namun kenyataanya, KSO BRN selaku pemenang lelang tidak memenuhi persyaratan sebagaiman dalam tahap prakualifikasi dan evaluasi penawaran.

    Salah satu pelanggaran yang diketahui adalah KSO BRN tidak memiliki pengalaman dalam pembagunan PLTU 25 Mega Watt, alhasil melakukan subkon. Diketahui, nilai pagu anggaran dalam proyek tersebut mencapai 80 juta USD dan Rp 507 miliar, dengan total Rp 1,2 triliun.

    Setelah adanya kontrak kerjasama yang ditandatangani oleh RR selaku Dirut PT BRN mewakili konsorsium dengan FM yang merupakan Dirut PT PLN.

  • Sidang Timah, Ahli Sebut Istri yang Nikmati Uang Korupsi Bisa Dijerat Meski Ada Perjanjian Pra Nikah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 November 2024

    Sidang Timah, Ahli Sebut Istri yang Nikmati Uang Korupsi Bisa Dijerat Meski Ada Perjanjian Pra Nikah Nasional 6 November 2024

    Sidang Timah, Ahli Sebut Istri yang Nikmati Uang Korupsi Bisa Dijerat Meski Ada Perjanjian Pra Nikah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menyebut, istri yang menikmati uang hasil korupsi suaminya tetap bisa dijerat sebagai pelaku pasif meskipun keduanya memiliki perjanjian pra nikah atau pisah harta.
    Informasi ini Yunus sampaikan ketika dihadirkan sebagai ahli dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah dengan terdakwa Direktur Utama PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto dan kawan-kawan.
    Mulanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta pendapat Yunus dengan mengajukan ilustrasi seorang suami yang disebut A menerima uang hasil korupsi dan menggunakan uang itu untuk membahagiakan istrinya.
    “Membelikan tas, membelikan mobil, membelikan rumah. Namun, sebelumnya mereka sudah memiliki perjanjian pra nikah. Apakah barang-barang tersebut bisa dikategorikan sebagai hasil TPPU juga?” tanya jaksa di Pengadklan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2024).
    Yunus kemudian menjelaskan, ada atau tidaknya status pernikahan berikut perjanjian pra nikah tidak memengaruhi jerat Pasal TPPU.
    Menurutnya, yang terpenting adalah apakah pihak terkait menguasai, menggunakan, atau menikmati hasil kejahatan seperti korupsi dengan sadar.
    “Orang ada hubungan nikah apa tidak, ada perjanjian apa tidak, tidak relevan,” kata Yunus.
    Terlebih, kata ahli perbankan tersebut, dalam peristiwa yang dicontohkan jaksa biasanya tidak terdapat underlying transaction atau dokumen yang menjadi dasar sehingga transaksi itu seolah menjadi sah.
    Oleh karena itu, istri dari pelaku yang turut menikmati uang maupun harta hasil kejahatan itu bisa menjadi tersangka pelaku TPPU pasif sebagaimana diatur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
    “Jadi, menerima, menguasai, menggunakan hasil kejahatan bisa terkena Pasal 5,” ujar Yunus.
    Dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah, pihak yang menyatakan memiliki perjanjian pisah harta adalah istri terdakwa
    Harvey Moeis
    , Sandra Dewi.
    Meski demikian, aktris itu mengaku membeli rumah bersama suaminya senilai Rp 20 miliar lebih. Ia juga tidak menampik Harvey membeli sejumlah mobil yang digunakan keluarganya.
    Dalam perkara ini, Sandra Dewi disebut menerima aliran dana hasil korupsi di PT Timah Tbk Rp 3,5 miliar. Ia juga disebut menerima 88 tas mewah dari Harvey Moeis yang diduga bersumber dari perkara ini.
    Terbaru, Sandra Dewi disebut mentransfer uang Rp 10 miliar ke rekening istri Direktur Utama PT RBT Suparta yang bernama Anggraeni pada Desember 2019.
    Namun, uang itu diklaim Anggraeni sebagai utang suaminya kepada Harvey yang digunakan untuk model bisnis.
    Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
    Harvey Moeis didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari penerimaan uang Rp 420 miliar dari hasil tindak pidana korupsi.
    Harvey yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama dengan eks Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
    Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
    Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
    Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
    Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan.
    Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana coorporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE, Helena Lim.
    Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar “Memperkaya terdakwa Harvey Moesi dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
    Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saksi Akui Ada Kelebihan Emas yang Diberikan kepada Budi Said

    Saksi Akui Ada Kelebihan Emas yang Diberikan kepada Budi Said

    Jakarta (beritajatim.com) – Misdianto, seorang tenaga administrasi di Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 Antam mengungkapkan, dalam transaksi antara Budi Said dan Antam, terdapat beberapa kali transaksi di mana jumlah emas yang diserahkan kepada Budi Said ternyata lebih besar daripada jumlah yang tertera di faktur resmi.

    “Terdapat transaksi Budi Said dengan jumlah 100 Kg emas tetapi uang yang masuk hanya Rp25 miliar atau setara dengan 41 Kg emas. Ada juga selisih 152,8 kg di Butik Surabaya, itu merupakan akumulasi dari penyerahan berlebih kepada Eksi Anggraeni,” ujar Misdianto.

    Pernyataan itu disampaikan Misdianto dalam sidang kasus dugaan korupsi dalam jual beli emas PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) dengan terdakwa Budi Said yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (6/11/2024).

    Misdianto, dalam kesaksiannya, mengakui pernah menerima sejumlah uang dan kendaraan dari Budi Said pada periode Maret hingga April 2018. “Saya menerima uang tunai, kendaraan Kijang Innova, serta sejumlah uang dalam bentuk dolar AS melalui Eksi,” ujar Misdianto di hadapan Majelis Hakim.

    Dalam kesempatan itu Misdianto juga mengungkapkan adanya dugaan manipulasi dokumen dalam transaksi pembelian emas oleh terdakwa. Salah satunya yakni penggunaan surat keterangan yang awalnya ditujukan untuk keperluan perbankan, namun kemudian dialihfungsikan sebagai alat bukti dalam gugatan perdata ‘Crazy Rich’ Surabaya tersebut terhadap ANTAM.

    “Surat keterangan yang dibuat pada 16 November tersebut sebenarnya tidak benar. Awalnya, saya diberitahu bahwa surat ini untuk keperluan perbankan, tetapi akhirnya digunakan untuk gugatan perdata terhadap ANTAM,” jelas Misdianto.

    Menanggapi fakta baru dalam persidangan pidana Budi Said, Ahli Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menilai kesaksian ini dapat melemahkan dasar gugatan perdata Budi Said terhadap ANTAM. Sebab, surat keterangan tersebut menjadi salah satu bukti dalam gugatan perdata yang diajukan Budi Said.

    “Keterangan saksi bisa melemahkan bukti gugatan Budi Said. Karena, keterangan saksi itu merupakan alat bukti, selain keterangan ahli, bukti surat, dan petunjuk,” kata Fickar saat dihubungi wartawan.

    Menurut Fickar, meski keterangan Eksi telah melemahkan dasar gugatan Budi Said, namun terkait apakah kesaksian ini bisa membatalkan gugatan perdata Budi Said, Fickar menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada majelis hakim yang berwenang memutus perkara.

    “Keterangan saksi tersebut memang sudah melemahkan dasar gugatan Budi Said terhadap ANTAM, tetapi keputusan perdata sepenuhnya berada di tangan hakim,” jelas Fickar.

    Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mendakwa Budi Said atas dugaan korupsi terkait pembelian emas ANTAM dan tindak pidana pencucian uang. Dalam dakwaannya, Budi Said diduga merekayasa transaksi pembelian 5,9 ton emas agar seolah-olah terlihat terdapat pembelian 7 ton emas dari BELM Surabaya 01.

    Kasus ini menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp1,16 triliun, yang terdiri dari Rp 92.257.257.820 pada pembelian pertama dan Rp 1.073.786.839.584 pada pembelian kedua. Angka ini dihitung berdasarkan kekurangan fisik emas ANTAM di BELM Surabaya 01 dan kewajiban ANTAM untuk menyerahkan 1.136 kg emas kepada Budi Said sesuai Putusan Mahkamah Agung No. 1666K/Pdt/2022 tanggal 29 Juni 2022.

    Atas perbuatannya, Budi Said dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 UU yang sama, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

    Selain itu, Budi Said juga terancam pidana berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. [hen/suf]

  • 1
                    
                        Bareskrim Tetapkan Eks Direktur Umum Pertamina Tersangka Pembelian Tanah Rasuna Epicentrum
                        Nasional

    1 Bareskrim Tetapkan Eks Direktur Umum Pertamina Tersangka Pembelian Tanah Rasuna Epicentrum Nasional

    Bareskrim Tetapkan Eks Direktur Umum Pertamina Tersangka Pembelian Tanah Rasuna Epicentrum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Bareskrim
    Polri menetapkan mantan Direktur Umum PT
    Pertamina
    (Persero) periode 2012-2014,
    Luhur Budi Djatmiko
    (LBD), sebagai tersangka dalam kasus dugaan
    korupsi
    pembelian 4,8 hektare tanah yang terdiri atas 23 bidang, di Kompleks Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan.
    Berdasarkan hasil gelar perkara pada Selasa (5/11/2024) kemarin, Luhur diduga telah menyalahgunakan wewenang dalam proses pembelian tanah tersebut.
    “Kepolisian menetapkan tersangka LBD selaku Direktur Umum PT Pertamina (Persero) tahun 2012 sampai dengan 2014 dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pembelian tanah oleh PT Pertamina (Persero) di Komplek Rasuna Epicentrum Kuningan Jakarta Selatan,” kata Wadir Tipidkor Bareskrim Polri, Kombes Arief Adiharsa dalam keterangan resmi, Rabu (6/1/2024).
    Kasus ini bermula dari laporan yang diterima Bareskrim pada 19 Februari 2018 yang tercatat dengan Nomor Laporan LP/250/II/2018/Bareskrim.
    Saat itu dilaporkan bahwa perusahaan energi pelat merah itu menyusun anggaran pembelian tanah senilai Rp 2,07 triliun di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Pertamina Tahun 2013, yang tujuannya untuk membangun Pertamina Energy Tower (PET).
    Namun, dalam proses pembelian tanah seluas 48.279 meter persegi yang berlangsung antara Juni 2013 hingga Februari 2014, diduga terjadi perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 348,6 miliar.
    Nilai kerugian negara ini berdasarkan surat Ketua dan Wakil Ketua BPK RI Nomor: 13/ST/II/01/2024 tanggal 12 Januari 2024, dan Surat Tugas Tortama Investigasi BPK RI Nomor: 28/ST/XXI/01/2024 tertanggal 16 Januari 2024, bahwa telah dilakukan penyerahan laporan hasil pemeriksaan investigatif Kerugian Keuangan Negara dari Auditor BPK RI tertanggal 15 Oktober 2024, kepada Dittipidkor Bareskrim Polri.
    Arief mengatakan, penyimpangan tersebut dikaitkan dengan harga pembelian yang dinilai terlalu tinggi dan aset jalan milik Pemprov DKI Jakarta yang seharusnya tidak diperjualbelikan.
    “Ini didasari atas terjadinya pemahalan harga (pengeluaran yang lebih besar dari yang seharusnya) dan pengeluaran atau pembayaran yang tidak seharusnya,” tegas dia
    Selain itu, pihak Bareskrim Polri menemukan adanya pelanggaran terhadap berbagai aturan, termasuk Undang-Undang BUMN, Peraturan Menteri BUMN, serta pedoman internal Pertamina mengenai tata kelola pengadaan barang dan jasa.
    “Penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 84 saksi, 5 ahli, serta penyitaan 612 dokumen,” ujarnya.
    “Investigasi forensik dan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga turut mengungkapkan besarnya kerugian negara,” tegas dia.
    Terpisah, VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan, Pertamina menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Bareskrim terhadap Luhur Budi.
    “Pertamina berharap proses hukum dapat berjalan sesuai aturan berlaku dengan tetap mengedepankan azas hukum praduga tak bersalah,” kata dia.
    Ia menekankan, dalam menjalankan operasional perusahaan Pertamina senantiasa berkomitmen untuk mengelola bisnis dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG).
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Negara Konoha Dibawa-bawa di Sidang Korupsi Timah Rp 300 T

    Negara Konoha Dibawa-bawa di Sidang Korupsi Timah Rp 300 T

    Jakarta

    Pengacara terdakwa kasus korupsi pengelolaan timah Mochtar Riza Pahlevi membawa-bawa istilah negara Konoha dalam persidangan. Dia menyebut-nyebut Konoha, nama desa dalam komik atau manga Naruto yang kerap dijadikan istilah pengganti Indonesia di medsos, saat bertanya ke ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum.

    “Saya pun juga mau bikin ilustrasi, konon di suatu negara, Negara Konoha. Itu punya provinsi namanya Provinsi Kedubagelen, itu provinsi dihuni oleh banyak penambang liar, penambang ilegal banyak sekali, hampir semua provinsi,” kata kuasa hukum Mochtar Riza Pahlevi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2024).

    Mochtar merupakan mantan Direktur Utama PT Timah Tbk. Kuasa hukumnya bertanya ke Ahli Hukum Administrasi Negara Bidang Hukum Lingkungan Hidup, Kartono, yang dihadirkan jaksa.

    Dia memberikan ilustrasi ada perusahaan milik negara yang datang ke Provinsi Kedubagelen untuk melakukan penambangan. Dia membawa-bawa nama ‘Mulyono’ sebagai Kepala Negara Konoha terkait praktik penambangan ilegal di provinsi tersebut.

    “Jadi satu provinsi itu hampir semua itu penambang liar ya kan, kemudian tiba-tiba datanglah perusahaan milik negara, ingin juga nambang di situ. Gegerlah di situ, geger, konflik, yang penambang liarnya konflik sama perusahaan milik negara, yang perusahaan milik negara juga bingung juga mau diapain ini penambang liar. Syukur alhamdulillah datang Bapak Kepala Negara, Pak Haji Mulyono datang ke Provinsi Kedubagelen tadi itu. Banyak laporan kepada beliau, termasuk juga dari para bawahan, dari para penggawa, para pembantunya, ini ilegal, ilegal. Bapak Presiden, Pak Kepala Negara tadi itu kemudian bicara,” ujarnya.

    Ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh mengambil alih persidangan dan menanyakan apa pertanyaan dari kuasa hukum Riza Pahlevi ke Kartono. Kuasa hukum Riza menanyakan apakah pembinaan yang dilakukan perusahaan untuk membina penambang ilegal adalah salah, padahal diperintah oleh Kepala Negara Konoha tersebut.

    “Pertanyaannya begini Pak, nah Bapak Presiden itu bilang, Pak Kepala Negara tadi itu bilang, coba bikin yang ilegal tadi itu juga masyarakat saya, rakyat saya, coba dibikinlah itu menjadi legal. Maka kemudian perusahaannya negara tadi itu bikin aturan, membikin cara, agar itu dibina dengan baik. Pertanyaan saya adalah apa iya, Bapak Kepala Negara kemudian tidak tahu kalau itu penambangan ilegal? terus kemudian bagaimana status penambangan ilegal tadi itu dan para penambang ilegal itu ketika Bapak Presiden telah menyuruh kepada perusahaan negara tadi itu, untuk bikin pembinaan kepada para penambang-penambang liar tadi itu? Apa ya salah perusahaan tadi itu membikin kebijakan agar semua teratur rapi di Provinsi Kedubagelen tadi itu? Itu aja Pak Ahli pertanyaan saya,” tutur kuasa hukum Riza Pahlevi.

    Kartono kemudian memberikan penjelasan. Dia mengatakan program kemitraan antara penambang legal dengan penambang ilegal dapat dilakukan dan tak melanggar hukum pada ilustrasi Negara Konoha tersebut.

    “Jadi program kerja kemitraan itu bukan suatu yang melanggar hukum menurut Saudara? Kemitraan?” tanya hakim.

    “Dalam konteks-konteks ini, Yang Mulia, jadi kemitraan itu tetap penambangannya diberikan kepada yang memberi izin, bukan yang ilegal,” jawab Kartono.

    “Berarti bermitra itu tidak salah?” tanya hakim.

    “Bermitra tidak salah, Yang Mulia,” jawab Kartono.

    Kuasa hukum Riza menyampaikan terima kasih atas penjelasan Kartono tersebut. Kartono menegaskan pada kemitraan yang dia jelaskan, penambangan tetap dilakukan oleh penambang legal bukan diberikan ke penambang ilegal.

    “Jadi terima kasih, menjadi terang buat kita, kemitraan tidak salah gitu. Karena memang takut betul itu perusahaan negara itu tadi Pak, kalau nggak boleh kemitraan gimanaa wong ini perintahnya Kepala Negara Pak Haji Mulyono, Presiden Repbulik Konoha. Jadi itu yang saya tanyakan, terima kasih atas penjelasan panjenengan. Matur suwun, makasih Pak,” kata kuasa hukum Riza Pahlevi.

    “Jadi pada intinya izin itu kan diberikan dengan tujuan tertentu Yang Mulia, dan itu terkait dengan syarat-syarat tertentu tadi. Karena yang mempunyai syarat yang mempunyai ijin ini, dia yang berhak untuk melakukan penambangan, yang ilegal bisa dirangkul begitu. Jadi penambangan tetap dilakukan oleh yang punya izin, karena dia juga yang punya ilmunya untuk melakukan kaidah penambangan yang baik,” ujar Kartono.

    Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah Terdakwa Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.

    Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini disebut jaksa mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

    “Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024,” ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (21/8).

    (mib/haf)