Kasus: Tipikor

  • Kejari Pamerkan Rp70 M Sitaan Korupsi Pengerukan Pelabuhan Tanjung Perak

    Kejari Pamerkan Rp70 M Sitaan Korupsi Pengerukan Pelabuhan Tanjung Perak

    Surabaya (beritajatim.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak Surabaya memamerkan uang tunai senilai Rp70 miliar hasil sitaan dari kasus dugaan korupsi proyek pengerukan kolam Pelabuhan Tanjung Perak tahun 2023–2024. Proyek ini melibatkan PT Pelindo Regional III dan PT Alur Pelayaran Barat Surabaya (APBS).

    “Kami melakukan penyitaan terhadap uang tunai senilai Rp70 miliar dari perkara yang saya sampaikan tadi,” ujar Kepala Kejari Tanjung Perak, Ricky Setiawan, di Surabaya, Rabu (5/11/2025).

    Ricky menjelaskan, uang sitaan tersebut akan diajukan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya untuk kepentingan pembuktian perkara dan pemulihan kerugian keuangan negara (asset recovery).

    “Setelah disidangkan, akan diketahui nilai pasti kerugian negara dan besaran uang pengganti yang akan dikenakan kepada para terdakwa,” katanya.

    Penyidik Kejari Tanjung Perak telah memeriksa lebih dari 41 saksi dan sejumlah ahli dalam penyidikan kasus tersebut. Penggeledahan juga dilakukan di beberapa lokasi dan menemukan barang bukti berupa dokumen kontrak, dokumen elektronik, serta data dari laptop dan telepon genggam saksi.

    “Setelah alat bukti terkumpul dan terjadi persesuaian antara keterangan saksi, surat, serta petunjuk, maka kami akan menentukan pihak-pihak yang dimintai pertanggungjawaban. Pengumuman tersangka akan kami sampaikan pada tahapan berikutnya,” ujar Ricky.

    Ia menegaskan, seluruh proses penyidikan dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dan arahan Jaksa Agung. Langkah tersebut juga merupakan bagian dari Program Prioritas Nasional pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dalam memperkuat reformasi politik, hukum, birokrasi, serta pemberantasan korupsi dan narkoba.

    Selain proses hukum, Kejari Tanjung Perak juga akan membantu PT Pelindo Regional III memperbaiki tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) sebagai bentuk keadilan rehabilitatif. [uci/beq]

  • Korupsi Dinas PUPR Riau, KPK Tetapkan 3 Tersangka

    Korupsi Dinas PUPR Riau, KPK Tetapkan 3 Tersangka

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan tiga orang termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) karena diduga memeras dan atau melakukan korupsi terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. 

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Johanis menjalankan bahwa, mulanya disepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 2,5%, sehingga penambahan anggaran yang semulanya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, naik Rp106 miliar.

    Kesepakatan awal itu terjadi pada Mei 2025 di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang,

    Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dengan 6 (enam) Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP.

    Hasil pertemuan disampaikan kepada M. Arief Setiawan (MAS) selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau. Arief sebagai representasi Abdul Wahid menaikan fee menjadi 5% atau Rp7 miliar.

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah MAS

    sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan, melalui Arief, Ferry untuk mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar yang akan. Arief kemudian mendistribusikan Rp300 juta untuk driver pribadinya, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh FRY senilai Rp300 juta.

    Pada November 2025, pengepulan yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid. Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Selanjutnya, terhadap tiga tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Selasa, 4 November 2025- 23 November 2025. 

    Abdul Wahid ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sedangkan Ferry dan Arief ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

  • Kejagung Limpahkan Klaster Kedua Tersangka Kasus Tata Kelola Minyak, Tidak Ada Riza Chalid

    Kejagung Limpahkan Klaster Kedua Tersangka Kasus Tata Kelola Minyak, Tidak Ada Riza Chalid

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melimpahkan delapan tersangka dan barang bukti atau tahap II terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna delapan tersangka itu dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat.

    “Kasus Pertamina hari ini telah diserahkan, tersangka dan berkas juga barang bukti dari penyidik ke penutut umum di Kejari Jakarta Pusat,” ujar Anang di Kejagung, Rabu (5/11/2025).

    Dia menambahkan, klaster kedua tersangka yang dilimpahkan ini terdiri dari mantan SVP Integrated Supply Chain atau Direktur Utama PT Industri Baterai Indonesia Toto Nugroho (TN).

    Kemudian, tersangka yang dilimpahkan adalah eks VP Supply dan Distribusi Kantor Pusat PT Pertamina atau eks Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution (AN); Eks Direktur Pemasaran & Niaga PT Pertamina Hanung Budya Yuktyanta (HB); dan Direktur Gas, Petrochemical & New Business, PT Pertamina International Shipping, Arif Sukmara (AS).

    Selain itu, mantan VP Crude & Product Trading ISC – Kantor Pusat PT Pertamina, Dwi Sudarsono (DS); Mantan SVP Integrated Supply Chain, Hasto Wibowo (HW); mantan Business Development Manager PT Trafigura Pte. Ltd dan Senior Manager PT Trafigura Martin Haendra Nata (MHN); dan Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi, Indra Putra (IP).

    Setelah dilakukan Tahap II, tim Jaksa Penuntut Umum akan segera mempersiapkan Surat Dakwaan untuk pelimpahan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Nanti setelah diserahkan ke penutut umum, penuntut umum akan melakukan untuk pelimpahan ke pengadilan,” imbuh Anang.

    Adapun, pelimpahan ini dilakukan tanpa adanya tersangka Riza Chalid. Sebab, Beneficial Owner (BO) PT Tangki Merak dan PT Orbit Terminal Merak itu masih belum kembali ke Indonesia.

    Dalam hal ini, Anang menyatakan pihaknya belum merencanakan Riza Chalid disidangkan secara in absentia. 

    “Belum, sementara tetap. Itu kan terpisah. Berkasnya kan terpisah. Sementara kita masih minta, masih minta menunggu red notice dari Interpol,” pungkasnya.

  • Perusahaan Keberatan Ruko Rp 30,2 M Kasus Timah Disita, Ini Kata Kejagung

    Perusahaan Keberatan Ruko Rp 30,2 M Kasus Timah Disita, Ini Kata Kejagung

    Jakarta

    Kejaksaan Agung (Kejagung) RI tak ambil pusing dengan gugatan keberatan penyitaan ruko Rp 30,2 miliar terkait kasus korupsi tata kelola komoditas timah. Kapuspenkum Kejagung RI Anang Supriatna mengatakan pengajuan keberatan itu diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

    “Silakan saja. Ada ketentuannya di Pasal 19 (UU Tipikor) kepada pihak ketiga ya, yang merasa dirugikan dan beritikad baik. Sepanjang yang bersangkutan bisa membuktikan, itu ada haknya diatur,” kata Anang Supriatna kepada wartawan, Rabu (5/11/2025).

    Anang mengatakan majelis hakim nantinya akan mempertimbangkan bukti yang diajukan Pemohon dan penyidik terkait gugatan penyitaan aset tersebut.

    “Silakan. Nanti juga akan dipertimbangkan, baik dari yang mengajukan keberatan, dan tentunya juga penyidik yang melakukan penyitaan akan diminta pertimbangan oleh majelis hakim,” ujarnya.

    Sebelumnya, PT Paramount Land mengajukan permohonan keberatan penyitaan ruko Rp 30,2 miliar terkait kasus korupsi tata kelola komoditas timah. Gugatan keberatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

    Pembelian ruko Maggiore Business Loft seharga Rp 30.229.900.000 ini menggunakan nama istri terdakwa kasus timah Tamron alias Aon, yakni Kian Nie. Dalam perkara ini, Tamron disebut sebagai beneficial owner CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia.

    Sidang perdana keberatan tersebut digelar hari ini. Sidang akan dilanjutkan dengan agenda jawaban dari Kejaksaan Agung RI pada Selasa (11/11).

    Tamron awalnya dihukum 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 3,5 triliun oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Vonis Tamron diperberat pada tingkat banding menjadi 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 3,5 triliun. Vonis itu tak berubah pada tingkat kasasi.

    (mib/lir)

  • Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Marcella Dkk di Kasus Vonis Lepas Migor

    Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Marcella Dkk di Kasus Vonis Lepas Migor

    Jakarta

    Jaksa meminta majelis hakim menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan enam terdakwa kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap vonis lepas perkara minyak goreng (migor). Jaksa meminta hakim melanjutkan sidang ke pembuktian.

    Hal itu disampaikan jaksa saat membacakan tanggapan atas eksepsi para terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (5/11/2025). Enam terdakwa itu ialah:

    1. Marcella Santoso selaku pengacara.
    2. Ariyanto Bakri selaku pengacara.
    3. Junaedi Saibih selaku pengacara.
    4. Tian Bahtiar selaku Direktur JakTV.
    5. Adhiya Muzzaki selaku buzzer.
    6. M Syafei selaku perwakilan pihak korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

    Jaksa mengatakan eksepsi Marcella dkk masuk materi pokok perkara yang harus dibuktikan melalui pembuktian dan pemeriksaan saksi di persidangan. Jaksa mengatakan surat dakwaan sudah memenuhi syarat materil dan formil sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat 2 KUHAP.

    “Bahwa materi eksepsi penasihat hukum Terdakwa ini pada dasarnya telah memasuki materi pokok perkara yang kebenarannya akan dibuktikan secara substansial dalam pemeriksaan pokok perkara,” ujar jaksa saat membacakan tanggapan eksepsi

    “(Memohon majelis hakim) menyatakan surat dakwaan penuntut umum telah disusun secara cermat, jelas dan lengkap sesuai dengan ketentuan UU dan diterima untuk menjadi dasar pemeriksaan di muka persidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar jaksa.

    Marcella didakwa memberikan suap Rp 40 miliar ke hakim bersama tiga terdakwa lain, yakni Ariyanto, Juanedi Saibih, serta M Syafei selaku perwakilan pihak korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Jaksa juga mendakwa Marcella, Ariyanto, dan M Syafei melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Selain itu, terdakwa Juanedi Saibih, M Adhiya Muzzaki dan Tian Bahtiar selaku Direktur JakTV didakwa merintangi penyidikan tiga perkara. Jaksa mengatakan Junaedi dkk membuat program dan konten yang bertujuan membentuk opini negatif di publik terkait penanganan tiga perkara tersebut.

    Tiga perkara itu yakni kasus korupsi tata kelola komoditas timah, korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan RI serta perkara korupsi pengurusan izin ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan minyak goreng. Jaksa mengatakan Junaedi dkk menjalankan skema nonyuridis di luar persidangan dengan tujuan membentuk opini negatif seolah-olah penanganan perkara tersebut dilakukan dengan tidak benar.

    (mib/zap)

  • Kejati Jatim Tahan Kabid Dinas Perumahan Rakyat Kabupaten Sumenep

    Kejati Jatim Tahan Kabid Dinas Perumahan Rakyat Kabupaten Sumenep

    Surabaya (beritajatom.com) – Kepala Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Perhubungan Kabupaten Sumenep, NLA ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

    Penyidik menilai bahwa keterlibatan NLA dalam kasus tindak pidana korupsi Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep sudah ditemukan alat bukti yang sah sehingga langsung dilakukan penahanan.

    “Penetapan ini merupakan hasil pengembangan penyidikan dan pemeriksaan sejumlah alat bukti serta keterangan saksi yang menguatkan keterlibatan tersangka dalam perkara dugaan korupsi program BSPS di Sumenep,” ujar Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Wagiyo saat dihubungi, Rabu, (5/11/2025).

    Wagiyo menjelaskan dalam proses penyidikan, tim penyidik telah melakukan berbagai tindakan hukum, diantaranya memeriksa sekitar 222 orang saksi, melakukan penggeledahan dan penyitaan di sejumlah lokasi, serta telah memperoleh Risalah Penghitungan Keuangan Negara dari auditor berwenang.

    “Kami tetapkan tersangka baru setelah terkumpulnya dua alat bukti yang mengarah kepada tersangka ini,” jelasnya.

    Wagiyo menjelaskan program BSPS di Kabupaten Sumenep tahun 2024 diketahui memiliki total 5.490 penerima bantuan yang tersebar di 143 desa dari 24 kecamatan, dengan total anggaran sebesar Rp109,8 miliar.

    Masing-masing penerima seharusnya memperoleh bantuan senilai Rp20 juta untuk peningkatan kualitas rumah.

    Namun dalam pelaksanaannya, ditemukan adanya pemotongan dana bantuan berkisar antara Rp3,5 juta hingga Rp4 juta per penerima, yang disebut sebagai komitmen fee.

    “Selain itu, penerima bantuan juga dibebani biaya pembuatan Laporan Penggunaan Dana (LPD) sebesar Rp1 juta hingga Rp1,4 juta,” jelasnya.

    Sebelumnya, Kejati Jatim telah menetapkan empat tersangka, masing-masing berinisial RP, AAS, WM, dan HW.

    Dalam kasus ini, tersangka NLA selaku pejabat yang berwenang menandatangani dan memvalidasi proses pencairan dana BSPS, diduga meminta imbalan sebesar Rp100.000 per penerima bantuan guna memperlancar proses pencairan.

    Dari total permintaan tersebut, NLA diketahui telah menerima uang sebesar Rp325 juta dari saksi RP. Uang tersebut kemudian disita oleh penyidik dan telah dititipkan ke Rekening Penampung Lainnya (RPL) pada Bank BNI sebagai bagian dari upaya penyelamatan kerugian keuangan negara.

    Untuk proses lebih lanjut, tersangka langsung dijebloskan kedalam penjara di Rutan Kelas 1 Surabaya cabang Kejati Jatim.

    “Kami lakukan penahanan untuk proses penyidikan lebih lanjut dan pemberkasan untuk persidangan,” tuturnya.

    Dari hasil penyidikan sementara, perbuatan para tersangka NLA, RP, AAS, WM, dan HW telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp26.876.402.300. Jumlah tersebut saat ini masih dalam proses verifikasi oleh auditor yang berwenang.

    Wagiyo menegaskan, Kejati Jatim akan terus mengusut perkara ini secara tuntas dan profesional. “Penyidikan perkara ini merupakan bentuk komitmen Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam menegakkan hukum secara profesional dan proporsional, serta memastikan pemulihan keuangan negara,” tegasnya.

    Ia menambahkan, upaya penegakan hukum dalam perkara ini tidak hanya berfokus pada aspek penindakan, tetapi juga pada perbaikan sistem tata kelola program pemerintah.

    “Kejaksaan tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada perbaikan sistem agar tata kelola pemerintahan berjalan lebih bersih, transparan, dan akuntabel,” pungkas Wagiyo. [uci/ted]

  • Kronologi Kasus OTT Gurbenur Riau Terkait Proyek Jumbo di Bumi Lancang Kuning

    Kronologi Kasus OTT Gurbenur Riau Terkait Proyek Jumbo di Bumi Lancang Kuning

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengamankan tiga dari 10 orang yang terlibat dalam dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Pemerintahan Provinsi Riau pada Senin (3/11/2025). Salah satunya merupakan Gubernur Riau Abdul Wahid.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, Abdul Wahid tiba di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2025) siang. Memakai kaos putih dan wajah yang ditutup masker, orang nomor satu di provinsi Riau tersebut diam seribu bahasa dan langsung berjalan ke arah gedung. 

    Penyidik KPK memeriksa Abdul Wahid dan oknum Pemprov Riau selama beberapa jam, dari pagi hingga malam hari. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan KPK mengamankan mata uang rupiah, dolar, dan poundsterling dalam operasi senyap di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. 

    “Selain mengamankan para pihak, tim juga mengamankan barang bukti sejumlah uang dalam bentuk rupiah, dolar, dan poundsterling,” kata Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Selasa (4/11/2025).  

    Budi menyampaikan jika dirupiahkan, maka nominalnya lebih dari Rp1 miliar. Pada hari yang sama, KPK membawa 9 orang dari 10 orang yang terjaring OTT.

    “Ada sejumlah 9 orang dari 10 orang yang ditangkap yang kemudian akan dibawa ke Gedung Merah Putih KPK,” jelasnya.

    Tiga dari sembilan orang tersebut adalah Gubernur Riau, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau Arief Setiawan dan Sekretaris Dinas PUPR Riau.

    Kronologi OTT Gubernur Riau Terkait Proyek Jumbo di Bumi Lancang Kuning

    Saat melakukan OTT, KPK sempat mengejar dan menangkap Abdul di salah satu kafe di provinsi Riau. 

    “Kemudian terhadap Saudara AW yang merupakan Kepala Daerah atau Gubernur, tim sempat melakukan pencarian dan pengejaran yang kemudian diamankan di salah satu kafe yang berlokasi di Riau,” kata Budi.

    Tak sendiri, pelarian Abdul dilakukan bersama orang berinisial TM selaku orang kepercayaan sang Gubernur. Budi menjelaskan bahwa perkara ini diduga mengenai tindak pidana korupsi terkait pemerasan anggaran tambahan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Riau.

    Pada Selasa (4/11/2025), KPK memeriksa 10 orang yang diantaranya adalah Kepala Dinas PUPR, Sekdis PUPR, 5 Kepala UPT dan 2 pihak swasta. Dari pemeriksaan tersebut, kata Budi, tim lembaga antirasuah telah menetapkan tersangka.

    Namun, KPK belum dapat menyebutkan siapa pihak yang dijadikan tersangka.

    “Sudah ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, berapa dan siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka, kami akan sampaikan esok di konferensi pers,” tutur Budi.

    Ketika ditanya soal kasus yang menyeret Abdul Wahid, penyidik KPK menemukan dugaan ‘jatah preman’ terkait tambahan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Riau.

    “Terkait dengan penambahan anggaran di Dinas PUPR tersebut, kemudian ada semacam japrem atau jatah preman sekian persen begitu, untuk kepala daerah. Itu modus-modusnya,” kata Budi.

    Mereka yang diperiksa diantaranya adalah Kepala Dinas PUPR, Sekdis PUPR, 5 Kepala UPT dan 2 pihak swasta. Namun, Budi belum dapat merincikan siapa pihak yang melakukan pemerasan, tujuan pemerasan, hingga nominal pemerasan.

    Dalam OTT beberapa hari lalu, KPK menyita uang sebesar Rp1,6 miliar. Budi mengatakan uang yang disita dalam bentuk pecahan rupiah, USD, poundsterling.

    “Uang itu diduga bagian dari sebagian penyerahan kepada kepala daerah,” kata Budi.

    Budi menjelaskan bahwa penyerahan uang diduga dilakukan sebelum operasi senyap digelar. Adapun uang dalam bentuk rupiah diamankan di Riau, USD dan poundsterling diamankan di Jakarta.

    Budi menyebut uang-uang yang disita salah satunya berasal dari rumah Abdul Wahid. Dia mengimbau kepada pemerintah Provinsi Riau untuk memperbaiki tata kelola pengelolaan anggaran dan perbaikan lainnya.

    “Terlebih, kalau tidak salah hitung ya, sudah empat kali Provinsi Riau ini ada dugaan tindak pidana korupsi atau korupsi yang kemudian ditangani oleh KPK,” ujarnya.

  • KPK Prihatin Abdul Wahid jadi Gubernur Riau Keempat Terkait Kasus Korupsi

    KPK Prihatin Abdul Wahid jadi Gubernur Riau Keempat Terkait Kasus Korupsi

    KPK Prihatin Abdul Wahid jadi Gubernur Riau Keempat Terkait Kasus Korupsi
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) prihatin lantaran Abdul Wahid menjadi Gubernur Riau keempat terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi yang diusut lembaga antirasuah tersebut.
    “Kami menyampaikan keprihatinan,” ujar Juru Bicara
    KPK
    Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025) melansir
    Antara
    .
    Ia pun mengingatkan Pemerintah Provinsi
    Riau
    untuk lebih serius membenahi dan memperbaiki tata kelola pemerintahan mereka.
    Menurutnya, KPK siap mendampingi dan mengawasi secara intensif, melalui tugas maupun fungsi koordinasi dan supervisi untuk mengidentifikasi sektor pemerintahan yang berisiko tinggi terjadi tindak pidana
    korupsi
    .
    “KPK kemudian memberikan rekomendasi untuk dilakukan perbaikan kepada pemerintah daerah, termasuk juga melakukan pengukuran melalui survei penilaian integritas,” katanya.
    Menurut dia, survei tersebut dilakukan dengan objektif dengan melibatkan para ahli maupun masyarakat sebagai pengguna layanan publik di pemerintah daerah untuk memetakan titik rawan terjadinya korupsi.
    Diketahui, Gubernur Riau pertama yang diusut oleh KPK adalah Saleh Djasit terkait dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran.
    Kedua, adalah Rusli Zainal yang terjerat dugaan korupsi dalam penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau, dan penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman.
    Ketiga, adalah Annas Maamun terkait kasus dugaan korupsi dalam alih fungsi lahan di Riau.
    Sementara itu, KPK saat ini belum mengumumkan status
    Abdul Wahid
    setelah yang bersangkutan ditangkap pada 3 November 2025, yakni tersangka atau bukan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tangkap Gubernur Riau Abdul Wahid, Sita Uang Rp1,6 Miliar dalam OTT

    KPK Tangkap Gubernur Riau Abdul Wahid, Sita Uang Rp1,6 Miliar dalam OTT

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang sebesar Rp1,6 miliar dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Salah satu yang terjerat adalah Gubernur Riau Abdul Wahid.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan uang yang disita dalam bentuk pecahan rupiah, USD, poundsterling.

    “Uang itu diduga bagian dari sebagian penyerahan kepada kepala daerah,” kata Budi kepada jurnalis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2025).

    Budi menjelaskan bahwa penyerahan uang diduga dilakukan sebelum operasi senyap digelar. Adapun uang dalam bentuk rupiah diamankan di Riau, USD dan poundsterling diamankan di Jakarta.

    Budi menyebut uang-uang yang disita salah satunya berasal dari rumah Abdul Wahid. 

    Dia mengimbau kepada pemerintah Provinsi Riau untuk memperbaiki tata kelola pengelolaan anggaran dan perbaikan lainnya.

    “Terlebih, kalau tidak salah hitung ya, sudah empat kali Provinsi Riau ini ada dugaan tindak pidana korupsi atau korupsi yang kemudian ditangani oleh KPK,” ujarnya.

    KPK juga menemukan dugaan ‘jatah preman’ terkait tambahan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Riau, di mana yang disita berkaitan dengan dugaan ini.

    “Terkait dengan penambahan anggaran di Dinas PUPR tersebut, kemudian ada semacam japrem atau jatah preman sekian persen begitu untuk kepala daerah itu modus-modusnya,” kata Budi.

    Selain itu, pada Selasa (4/11/2025), KPK memeriksa 10 orang, di mana 9 orang dari hasil OTT di Riau, sedangkan satunya menyerahkan diri ke KPK.

    Mereka di antaranya adalah Kepala Dinas PUPR, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau, Arif Setiawan; Sekretaris Dinas PUPR-PKPP; lima kepala UPT; serta Tata Maulana (TM), kader PKB yang juga orang kepercayaan Abdul Wahid.

    Selain itu, ada satu orang tambahan, yakni Dani M. Nursalam (DMN) selaku Tenaga Ahli Gubernur.

    Budi menuturkan bahwa konstruksi perkara akan disampaikan secara detail pada konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

  • Ditangkap di Kafe, Gubernur Riau Abdul Wahid Sempat Kabur saat OTT KPK

    Ditangkap di Kafe, Gubernur Riau Abdul Wahid Sempat Kabur saat OTT KPK

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) usai melakukan operasi tangkap tangan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. KPK sempat melakukan pengejaran dan menangkap Abdul di salah satu kafe di Riau.

    Hal itu diungkapkan oleh Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2025), setelah penyidik KPK memeriksa Abdul Wahid.

    “Kemudian terhadap Saudara AW yang merupakan Kepala Daerah atau Gubernur, tim sempat melakukan pencarian dan pengejaran yang kemudian diamankan di salah satu kafe yang berlokasi di Riau,” kata Budi.

    Tak sendiri, pelarian Abdul dilakukan bersama orang berinisial TM selaku orang kepercayaan sang Gubernur. Budi menjelaskan bahwa perkara ini diduga mengenai tindak pidana korupsi terkait pemerasan anggaran tambahan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Riau.

    Pada hari ini, Selasa (4/11/2025), KPK memeriksa 10 orang yang diantaranya adalah Kepala Dinas PUPR, Sekdis PUPR, 5 Kepala UPT dan 2 pihak swasta. Dari pemeriksaan tersebut, kata Budi, tim lembaga antirasuah telah menetapkan tersangka. Namun belum dapat menyebutkan siapa pihak yang dijadikan tersangka.

    “Sudah ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, berapa dan siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka, kami akan sampaikan esok di konferensi pers,” tutur Budi.

    Adapun penyidik juga menyita sejumlah uang dalam bentuk rupiah, USD, poundsterling dengan total sekitar Rp1,6 miliar.