Ditanya Apakah Khawatir Nasibnya seperti Tom Lembong, Anies: Semoga Pak Prabowo Adil
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gubernur Jakarta periode 2017-2022 Anies Baswedan yakin pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berlaku adil dan tidak bertindak berdasar rasa dendam.
Hal ini disampaikan Anies menanggapi kasus hukum yang menjerat sahabat sekaligus mantan
co-captain
Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas Amin) pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, Tom Lembong.
Dalam program
Rosi, Kompas TV,
Kamis (28/11/2024), mulanya Anies ditanya, apakah ia khawatir nasibnya akan sama seperti Tom Lembong.
“Pak Anies, seberapa khawatir Pak Anies akan di-Tom Lembong-kan?” tanya Pemimpin Redaksi Kompas TV, Rosiana Silalahi, kepada Anies.
“Semoga tidak terjadi,” jawab Anies.
Anies lantas menyinggung ucapan Prabowo yang meminta jajarannya untuk berlaku adil.
“Dan kami percaya bahwa pemerintah di bawah kepemimpinan Pak Prabowo akan mengirimkan pesan kepada semua. Dan disampaikan Pak Prabowo untuk berlaku adil. Tidak ada, istilah yang beliau itu, balas dendam dan lain-lain atas semuanya,” ujar Anies.
Atas perintah Prabowo itu, kata Anies, semestinya, tidak ada masalah yang dibuat-buat.
“Saya yakin Presiden Prabowo akan mengirimkan pesan kepada semua. Sehingga, bila memang tidak ada masalah, ya tidak usah dibuat masalah. Kan kira-kira begitu,” kata dia.
Anies pun berharap kasus yang dihadapi Tom Lembong bisa berujung pada keadilan yang sebenar-benarnya.
“Saya berharap persoalan yang sedang dialami oleh Pak Tom lembong ini nantinya akan berujung pada ditemukannya keadilan,” ucap dia.
Adapun permohonan praperadilan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong ditolak dalam sidang pembacaan putusan praperadilan atas kasus dugaan tindak pidana korupsi kebijakan impor gula tahun 2015-2016.
“Menolak tuntutan provisi yang diajukan pemohon, menolak eksepsi pemohon untuk seluruhkan, menolak praperadilan pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan Selasa, 26 November 2024,” kata hakim tunggal Tumpanuli Marbun dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2024).
Dengan putusan ini, penetapan tersangka Tom yang sebelumnya digugat tetap sah.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2024/11/22/67403135b3df1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ditanya Apakah Khawatir Nasibnya seperti Tom Lembong, Anies: Semoga Pak Prabowo Adil Megapolitan 29 November 2024
-

Menhub Bertemu Jaksa Agung, Bahas Kerja Sama Pencegahan Korupsi
Jakarta –
Jaksa Agung ST Burhanuddin menerima kunjungan Menteri Perhubungan RI Dudy Purwagandhi. Pertemuan itu dalam rangka kerja sama strategis kedua lembaga.
Pertemuan digelar secara tertutup di Gedung Utama Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan, Kamis (28/11/2024). ST Burhanuddin menyampaikan pertemuan itu sebagai dukungan Kejagung terhadap Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya.
“Kejaksaan siap berkoordinasi dan memberikan masukan terkait penegakan hukum,” ujar Jaksa Agung dalam keterangannya, Jumat (29/11).
“Utamanya mengenai langkah-langkah pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian Perhubungan,” sambungnya.
Di sisi lain, Dudy Purwagandhi menyampaikan terima kasih kepada Kejaksaan atas kerja sama yang telah terjalin hingga kini. Termasuk, atas pendampingan yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap proyek strategis nasional (PSN) yang digarap oleh Kementerian Perhubungan.
Selain itu, Dudy menuturkan bahwa Kemenhub memiliki perguruan tinggi dan Balai Pendidikan dan Pelatihan yang tersebar di Indonesia. Dia lantas meminta kejaksaan sebagai mitra untuk mengisi materi dalam pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan hukum.
Menhub Dudy (Dok Kejagung RI)
Ada juga Direktur Jenderal Perhubungan Darat Irjen Risyapudin Nursin, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antoni Arif Priadi, Direktur Jenderal Udara Lukman Laisa, Direktur Jenderal Perkeretaapian M. Risal Wasal, dan Badan Kebijakan Transportasi, Robby Kurniawan.
(ond/dnu)
-
/data/photo/2024/11/15/6736df631bbb8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kejagung Periksa Keluarga Pengacara Ronald Tannur Nasional 29 November 2024
Kejagung Periksa Keluarga Pengacara Ronald Tannur
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –Kejaksaan Agung
(Kejagung) melakukan pemeriksaan terhadap keluarga pengacara
Ronald Tannur
Lisa Rahmat (LR) terkait
dugaan suap
kepada hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Pemeriksaan ini dilakukan oleh Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menyampaikan bahwa terdapat empat orang yang diperiksa.
Mereka adalah SJJB sebagai pihak swasta, SC sebagai kerabat LR, SA sebagai adik ipar tersangka LR, dan DR sebagai adik tersangka LR.
Pemeriksaan ini terkait dengan perkara pemufakatan jahat tindak pidana korupsi suap dan atau gratifikasi dalam penanganan perkara terpidana Ronald Tannur 2023-2024
Lebih lanjut, Harli menjelaskan bahwa keempat saksi tersebut diperiksa di Jakarta untuk mendalami perkara pemufakatan jahat yang melibatkan tindak pidana korupsi suap atau gratifikasi dalam penanganan perkara Ronald Tannur, dengan tersangka Zarof Ricar (ZR) dan LR.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” ungkap Harli dalam keterangan resmi pada Kamis (28/11/2024).
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan enam orang tersangka terkait dugaan suap yang melibatkan vonis Ronald Tannur.
Di antara tersangka tersebut terdapat tiga hakim PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang terbukti menerima
fee
dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat (LR), untuk mempengaruhi vonis bebas di tingkat pertama.
Selain itu, Kejagung juga menetapkan mantan petinggi Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar sebagai tersangka karena terlibat dalam permufakatan jahat dengan LR untuk memilih majelis hakim yang akan menyidangkan perkara Ronald Tannur.
Kejagung juga menetapkan Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja (MW), sebagai tersangka karena diduga memberikan ‘fee’ kepada LR untuk ‘mengamankan’ vonis anaknya.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Dugaan Suap 3 Hakim PN Surabaya, Kejagung Periksa Keluarga Kuasa Hukum Ronald Tannur
Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa adik hingga ipar Lisa Rahmat, kuasa hukum Gregorius Ronald Tannur terkait kasus dugaan suap kepada tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan keluarga Lisa yang diperiksa, yakni DR selaku adiknya, SA selaku kerabatnya dan SC adik iparnya.
Selain ketiga keluarga Lisa, Kejagung juga memeriksa satu saksi lain yakni SJJB yang merupakan pihak swasta.
“Adapun keempat orang saksi diperiksa di Jakarta terkait penyidikan perkara pemufakatan jahat tindak pidana korupsi suap atau gratifikasi dalam penanganan perkara terpidana Ronald Tannur tahun 2023-2024 atas nama tersangka ZR dan tersangka LR,” ujar Harli dalam keterangannya Kamis (28/11/2024).
Sebelumnya, Kejagung menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan suap tiga hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur. Mereka yakni Erintuah Damanik, Mangapul, Heru Hanindyo, pengacara Lisa Rahmat, mantan pejabat MA Zarof Ricar, dan ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja.
-
/data/photo/2024/11/28/67485848c07a2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Hakim Sebut Uang Dugaan Korupsi Timah Nyaris Rp 1 Triliun Mengalir ke CV Salsabila Utama, tetapi Direkturnya Buron Nasional
Hakim Sebut Uang Dugaan Korupsi Timah Nyaris Rp 1 Triliun Mengalir ke CV Salsabila Utama, tetapi Direkturnya Buron
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rianto Adam Pontoh menyebut, aliran dana dalam dugaan korupsi
timah
ke CV Salsabila Utama nyaris Rp 1 triliun tetapi sampai saat ini direktur perusahaan itu, Tetian Wahyudi menghilang.
Pernyataan tersebut Pontoh sampaikan ketika mencecar eks Direktur Keuangan PT
Timah
Tbk Emil Ermindra sebagai saksi mahkota untuk terdakwa Helena Lim.
Dalam dakwaan jaksa disebutkan, CV Salsabila Utama merupakan perusahaan yang didirikan Emil bersama Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani untuk membeli bijih timah dari penambang ilegal.
“Ada perlakuan khusus enggak ke CV Salsabila?” tanya Hakim Pontoh di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).
Emil kemudian mengeklaim tidak ada perlakuan khusus kepada CV Salsabila. Menurut Emil, semua pembayaran hanya dilakukan setelah syaratnya terpenuhi.
Ketika terdapat perusahaan yang tidak memenuhi
standard operating procedure
(SOP) maka tidak akan dibayar PT Timah.
“Kalau secara SOP tidak terpenuhi tidak dibayar Yang Mulia,” jawab Emil.
Hakim Pontoh lantas menyinggung lebih lanjut aliran dana dugaan korupsi ke CV Salsabila Utama yang nilainya cukup besar.
“Ini pembayaran kepada Salsabila hampir Rp 1 triliun kalau saya lihat di yang sesuai surat dakwaan penuntut umum Rp 186 miliar lebih,” ujar Hakim Pontoh.
“Sementara Saudara Tetian Wahyudi sampai hari tidak bisa ditemukan, kemana keberadaan dia. Jadi tidak bisa ditangkap dia, ya kan? Supaya bisa jelas,” kata dia.
Mendengar pernyataan ini, Emil mengaku dirinya lebih senang jika Tetian tertangkap. Sebab, keberadaan Tetian itu akan membuat persoalan yang didakwakan jaksa menjadi jelas.
“iya, jadi bisa
clear
buat saya,” kata Emil.
Dalam dakwaan jaksa disebutkan, kasus korupsi di PT Timah Tbk diduga memperkaya Emil melalui CV Salsabila Utama sebesar Rp 986.799.408.690.
Namun, sampai saat ini Tetian yang tercatat sebagai direktur perusahaan itu menjadi buron dan belum tertangkap.
Sejumlah saksi dalam persidangan menyebut Tetian merupakan wartawan dan tangan panjang petinggi PT Timah untuk mengatasi protes-protes masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sementara itu, dalam persidangan Emil membantah dirinya mendirikan dan terkait dengan CV Salsabila Utama.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Reza Pahlevi, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
Perkara ini juga turut menyeret Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di
-cover
dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana
corporate social responsibilit
y (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/11/28/6748531b6807a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Harvey Moeis Kirim Bantuan Rp 15 Miliar untuk RSCM Saat Pandemi Covid-19 Nasional 28 November 2024
Harvey Moeis Kirim Bantuan Rp 15 Miliar untuk RSCM Saat Pandemi Covid-19
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dokter spesialis anak
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Rinawati menyebut suami aktris
Sandra Dewi
,
Harvey Moeis
mencicil uang sumbangan sebesar Rp 15 miliar hanya dalam waktu satu bulan.
Uang tersebut digunakan untuk merenovasi atau ruang
Intensive Care Unit
(ICU)
RSCM
pada masa
pandemi Covid-19
yang tidak bisa menampung karena ledakan jumlah pasien.
Keterangan itu Rina sampaikan ketika dihadirkan sebagai saksi meringankan (a de charge) oleh pihak Harvey selaku terdakwa dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk.
Dalam sidang tersebut, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Eko Aryanto mendalami proses aliran dana dari Harvey.
“Tadi uang yang Rp 15 miliar katanya ditransfer ke rekening saksi, itu ditransfer sekali transfer atau beberapa kali?” tanya hakim Eko di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).
Menurut Rina, Harvey mengirim uang itu dalam beberapa kali transaksi dengan nilai variatif seperti Rp 500 juta dan Rp 700 juta.
Setelah dijumlahkan, Harvey mengirim sekitar Rp 15 miliar dalam waktu satu bulan ke rekening Rina yang kemudian digunakan untuk meningkatkan fasilitas ruang ICU.
“Gitu ya. Seingat saksi sampai itu terkumpul 15 miliar itu dalam kurun waktu berapa lama?” tanya hakim Eko.
“Satu bulan,” jawab Rina.
Meski demikian, Rina mengaku saat itu tidak ada bukti penyerahan uang.
Dana belasan miliar itu juga ditransfer Harvey ke rekeningnya karena tidak ada pihaknyang mau menerima lantaran khawatir dipotong pajak.
Uang tersebut kemudian digunakan untuk meningkatkan kapasitas ICU RSCM, termasuk dengan menambahkan 50 ranjang pasien.
Dalam persidangan itu, Rina juga mengeklaim tidak mengetahui Harvey bekerja di sektor pertambangan.
“Enggak tahu Pak saya enggak punya waktu juga, ngapain nanya nanya,” tuturnya.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Harvey Moeis yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama Direktur PT Timah Tbk saat itu, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-
cover
dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan.
Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana coorporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE, Helena Lim.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar “Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Dalam persidangan, Harvey menyebut uang CSR itu digunakan untuk membantu penanganan pandemi Covid-19.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Bagaimana Aturan Pejabat Menerima Gratifikasi? Ini Penjelasannya
Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Agama Nasaruddin Umar diwakili oleh Muhammad Ainul Yakin selaku tenaga ahli menteri agama mengembalikan barang yang diduga pemberian atau gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (26/11/2024). Namun, bagaimana aturan pejabat menerima gratifikasi?
Dikutip dari laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu), gratifikasi merupakan pemberian uang atau barang kepada pemangku kebijakan atau pejabat publik dengan maksud sekadar memberi tanpa niat atau maksud tujuan tertentu.
Lalu bagaimana jika seorang pejabat publik tanpa sengaja mendapatkan pemberian atau gratifikasi? Berikut ini aturan pejabat menerima pemberian atau gratifikasi.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dijelaskan apa dan bagaimana regulasi gratifikasi. Menurut Pasal 12B Ayat (1) UU Nomor 20/2001 dituliskan, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.
Jadi setiap pemberian gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negara atau penyelenggara negara dapat ditetapkan sebagai suap.
Seorang pejabat tidak akan ditetapkan sebagai penerima suap jika melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK dalam kurun waktu 30 hari masa kerja setelah diterimanya gratifikasi. Hal ini diatur dalam Pasal 12C ayat (1) dan (2) Nomor 20/2001.
Setelah pelaporan tersebut, maka kuasa barang pemberian akan diserahkan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penetapan status gratifikasi, penyerahan barang kepada Kemenkeu, dan mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan sebagai milik negara minimal satu kali setiap tahunnya. Hal ini diatur dalam Pasal 16, 17, dan 18 UU Nomor 30/2002 tentang KPK.
Namun, tidak semua pemberian atau gratifikasi harus dilaporkan kepada KPK karena dianggap sebagai bukan tindak pidana suap. Beberapa hal yang tidak termasuk suap ini dirilis oleh KPK melalui buku saku yang mereka terbitkan pada 2014.
1. Pemberian dari anggota keluarga yang tidak memiliki adanya benturan jabatan atau kepentingan dari sang penerima.
2. Pemberian hadiah untuk acara atau pesta dengan nilai di bawah Rp 1 juta.
3. Pemberian sumbangan saat terjadi bencana alam atau musibah dengan nilai di bawah Rp 1 juta.
4. Pemberian dari sesama rekan kerja untuk merayakan sesuatu dengan batasan nilai pemberian tidak berbentuk atau senilai uang untuk per orang adalah Rp 300.000 dan maksimal Rp 1 juta selama kurun waktu satu tahun dari orang yang sama.
5. Sajian yang diberikan secara umum.
6. Keuntungan yang didapatkan dari sebuah investasi yang berlaku untuk umum.
7. Barang hadiah dari sebuah acara yang diberikan untuk umum.
8. Barang atau uang yang diberikan oleh pemerintah atas prestasi yang sudah diraih dan pemberian dilakukan sesuai aturan yang berlaku.
9. Kompensasi profesi yang berasal dari luar kedinasan atau tidak menyangkut pekerjaan pejabat tanpa berbenturan dengan konflik kepentingan.Itulah aturan pejabat dalam menerima pemberian atau gratifikasi. Hal ini harus diperhatikan karena rawan terjadi kasus suap yang terjadi karena beberapa pihak tidak mengetahui regulasi gratifikasi.
-

Begini Sanksi Pejabat Menerima atau Tidak Melaporkan Gratifikasi
Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengembalikan barang yang diduga gratifikasi ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) lewat perwakilannya. Hal ini karena terdapat sanksi serius bagi pejabat yang menerima atau tidak melaporkan perihal gratifikasi.
Penyerahan barang tersebut dilakukan Nasaruddin untuk menjadi contoh good governance. Lalu, apa sanksi bagi pejabat yang menerima atau tidak melaporkan gratifikasi? Berikut ini penjelasanya.
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas lainnya.
Jika ditemukan segala sesuatu yang diduga gratifikasi, wajib dilaporkan ke KPK selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak gratifikasi tersebut diterima.
Sanksi bagi pejabat dan pegawai negeri yang menerima atau tidak melaporkan gratifikasi, yakni pidana penjara minimum 4 tahun dan maksimum 20 tahun atau bahkan pidana penjara seumur hidup. Lalu, pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), maksimum Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 /PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan, ada beberapa jenis gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan oleh penyelenggara negara terkait dengan kedinasan.
Gratifikasi ini mencakup barang atau fasilitas yang diterima dalam kegiatan, seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau acara serupa, baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di luar negeri.
Beberapa contoh gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan antara lain:
1. Seminar kit kedinasan yang berlaku umum.
2. Cinderamata atau suvenir yang berlaku umum.
3. Hadiah atau door prize yang berlaku umum.
4. Fasilitas penginapan yang berlaku umum.
5. Konsumsi, hidangan, atau sajian berupa makanan dan minuman yang berlaku umum.Selain itu, kompensasi yang diterima dari pihak lain juga tidak perlu dilaporkan jika memenuhi beberapa syarat, seperti tidak melebihi standar biaya yang berlaku di Kementerian Keuangan, tidak menimbulkan pembiayaan ganda atau benturan kepentingan, serta tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima.
Beberapa contoh kompensasi yang dapat diterima tanpa perlu dilaporkan antara lain:
1. Honor atau insentif (baik berupa uang maupun setara uang).
2. Fasilitas penginapan.
3. Cinderamata, suvenir, atau plakat.
4. Jamuan makan.
5. Fasilitas transportasi.
6. Barang yang mudah busuk atau rusak, seperti bingkisan makanan atau buah.
