Kasus: Tipikor

  • Kasus Tata Kelola Timah Tak Bisa Disebut Korupsi, Ini Alasannya

    Kasus Tata Kelola Timah Tak Bisa Disebut Korupsi, Ini Alasannya

    Jakarta

    Kasus persidangan pengelolaan timah yang sedang bergulir saat ini disebut tidak bisa dijerat dengan pidana korupsi. Pasalnya, kerusakan lingkungan tidak selalu dianggap merugikan negara dan merupakan suatu tindakan korupsi.

    Hal tersebut seperti diungkapkan sejumlah saksi dari pakar hukum, salah satunya saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi yang dihadirkan pada persidangan Senin kemarin. Menurutnya, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukanlah Undang-Undang “sapu jagat” untuk semua kasus yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.

    “Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor, itu berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan, bisa dikenakan pasal Tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” jelasnya.

    Seperti diketahui, salah satu dasar dakwaan kasus pengelolaan tata niaga timah 2015-2022 adalah kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan senilai Rp 271 triliun berdasarkan perhitungan Ahli Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Heroi Saharjo.

    Mahmud juga menjelaskan bahwa UU Tipikor sebagai aturan khusus (lex spesialis) tidak dapat serta-merta diterapkan pada berbagai kasus.

    Penerapannya hanya berlaku jika tidak ada undang-undang lain yang secara spesifik mengatur perbuatan tertentu. Jika terdapat UU khusus yang relevan, maka UU tersebut harus didahulukan.

    “Jika ada dua UU khusus yang saling bertemu, maka kita harus melihat domain perbuatannya terlebih dahulu. Misalnya, jika UU Tipikor berbenturan dengan UU Kepabeanan, UU Perbankan, UU Perpajakan, atau UU Minerba, belum tentu UU Tipikor yang digunakan,” ujarnya.

    Ia menambahkan, untuk menerapkan UU Tipikor, harus dibuktikan terlebih dahulu unsur-unsur melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain, serta kerugian keuangan negara.

    Sementara itu, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Prof. Eva Achjani Zulfa, yang menegaskan bahwa penerapan hukum pidana harus berpegang pada asas legalitas dan tidak boleh dipaksakan jika tidak sesuai dengan norma yang ada.

    Menurut Eva, salah satu dasar dalam hukum pidana adalah asas pertanggungjawaban individu, yang berarti setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan peran masing-masing.

    “Dalam hukum pidana, tanggung jawab itu bersifat individual, bukan seperti perdata yang mengenal tanggung renteng. Oleh karena itu, kita harus melihat peran setiap individu dalam kasus pidana, bukan memukul rata semua orang yang terlibat,” ungkap Eva.

    Ia menjelaskan, penyertaan dalam tindak pidana memiliki beberapa kategori, seperti menggerakkan, menyuruh, atau turut serta.

    Dalam kasus di mana seseorang tidak mengetahui tindak pidana tetapi hanya menjadi alat atau diperalat pihak lain, tanggung jawab pidana tidak bisa dikenakan.

    Sebagai contoh, jika ada individu yang diperdaya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, individu tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai pelaku.

    “Seseorang yang tidak tahu bahwa ia diperdaya untuk membuka rumah (orang untuk mencuri), misalnya, tidak bisa dianggap sebagai peserta delik,” ujarnya.

    Dalam konteks kasus pertambangan PT Timah, Prof. Eva menyoroti penerapan pasal 14 UU Tipikor. Ia menegaskan bahwa kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang tidak berasal dari APBN, penyertaan modal negara, atau fasilitas negara, bukanlah kerugian negara.

    “Kalau kerugian tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang dirumuskan dalam Undang-undang,” tandasnya.

    (rrd/rir)

  • Kasus Pengolahan Karet Kementan : 8 Orang Dicegah, 1 Jadi Tersangka

    Kasus Pengolahan Karet Kementan : 8 Orang Dicegah, 1 Jadi Tersangka

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat pencegahan terhadap 8 orang dalam kasus dugaan korupsi fasilitas pengolahan karet di Kementerian Pertanian (Kementan) tahun anggaran (TA) 2021-2023. 

    Surat larangan bepergian ke luar negeri bernomor 1491/2024 itu diterbitkan 19 November 2024. Pihak-pihak yang diajukan cegah ke luar negeri yaitu DS (Swasta), YW (PNS), RIS (Swasta), SUP (PNS), DJ (Pensiunan), ANA (PNS), AJH dan MT (PNS).

    “Larangan Bepergian Ke Luar Negeri ini terkait penyidikan dugaan tindak pidana korupsi Terkait Dengan Pengadaan Barang Dan Jasa Sarana Fasilitasi Pengolahan Karet Pada Kementerian Pertanian TA 2021 s.d 2023 dengan Perhitungan Sementara untuk Kerugian Negara sebesar kurang lebih Rp75 miliar,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (2/12/2024).

    Tessa menjelaskan bahwa upaya cegah ke luar negeri dilakukan karena keberadaan delapan orang tersebut dibutuhkan dalam proses penyidikan kasus di Kementan itu. Periode cegah ke luar negeri itu sepanjang enam bulan.

    Adapun penyidikan kasus tersebut dimulai pada 13 November 2024. KPK telah menetapkan satu orang tersangka.

    “KPK telah memulai penyidikan untuk perkara sebagaimana tersebut di atas dan telah menetapkan 1 (satu) orang sebagai tersangka. Proses penyidikan saat ini sedang berjalan, untuk nama dan jabatan tersangka belum dapat disampaikan saat ini,” lanjut Tessa.

    Pada perkembangan lain, KPK juga telah melakukan penggeledahan di satu lokasi terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan fasilitas pengolahan karet di Kementan itu. 

    Kasus yang bermula dari pengaduan masyarakat (dumas) itu kini sudah masuk ke tahap penyidikan. Proses penggeledahan oleh tim penyidik juga masih berjalan. 

    “Terkait lokasi geledah, karena masih berproses, belum bisa diumumkan. Jumlahnya baru satu lokasi,” ujar Tessa pada keterangan terpisah. 

  • 8 Orang Dicegah ke Luar Negeri terkait Korupsi Asam Karet Kementan

    8 Orang Dicegah ke Luar Negeri terkait Korupsi Asam Karet Kementan

    GELORA.CO – Sebanyak delapan orang dicegah pergi ke luar negeri lantaran terkait korupsi.

    Pencegahan dilakukan oleh Imigrasi atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    “Larangan bepergian ke luar negeri ini terkait penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa sarana fasilitas pengolahan karet pada Kementerian Pertanian tahun 2021-2023,” kata Jurubicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, kepada wartawan, Selasa, 3 Desember 2024. 

    Mereka yang dicegah yakni YW, SUP, ANA, AJH dan MT yang merupakan PNS di Kementan, DJ pensiunan PNS di Kementan, serta DS dan RIS selaku swasta.

    Permintaan pencegahan disampaikan KPK melalui Surat Keputusan Nomor 1491/2024 tanggal 19 November 2024. Tindakan larangan bepergian ke luar negeri, kata Tessa, dilakukan penyidik karena kedelapan orang tersebut dibutuhkan dalam rangka proses penyidikan perkara.

    “(Larangan bepergian ke luar negeri) berlaku untuk enam bulan (kedepan),” tutur Tessa.

    Tessa menjelaskan, perkara korupsi pengadaan fasilitas pengolahan karet pada Kementan naik penyidikan terhitung sejak 13 November 2024.

    “KPK telah memulai penyidikan untuk perkara sebagaimana tersebut di atas dan telah menetapkan satu orang sebagai tersangka. Proses penyidikan saat ini sedang berjalan, untuk nama dan jabatan tersangka belum dapat disampaikan saat ini,” pungkas Tessa.

    Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu membeberkan korupsi terjadi dengan modus markup harga beli asam untuk mengentalkan karet atau biasa disebut asam semut yang dibagikan ke petani.

    “Cuma yang terjadi adalah terjadi penggelembungan harga di situ. Jadi harganya tadinya yang dijual misalkan Rp10 ribu per sekian liter, menjadi Rp50 ribu per sekian liter, jadi lebih mahal dinaikkan harganya,” ungkap Asep.

    Sejauh ini akibat perbuatan pelaku negara ditaksir mengalami kerugian Rp75 miliar.

  • Sidang Kasus Korupsi Timah, Ahli Nilai UU Tipikor Dipaksakan

    Sidang Kasus Korupsi Timah, Ahli Nilai UU Tipikor Dipaksakan

    Bisnis.com, JAKARTA – Penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam kasus pertambangan yang melibatkan PT Timah dianggap tidak sesuai oleh sejumlah pakar hukum. 

    Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani Zulfa, yang menegaskan bahwa penerapan hukum pidana harus berpegang pada asas legalitas dan tidak boleh dipaksakan jika tidak sesuai dengan norma yang ada.  

    Menurut Eva, salah satu dasar dalam hukum pidana adalah asas pertanggung jawaban individu, yang berarti setiap orang hanya bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan berdasarkan peran masing-masing. 

    “Dalam hukum pidana, tanggung jawab itu bersifat individual, bukan seperti perdata yang mengenal tanggung renteng. Oleh karena itu, kita harus melihat peran setiap individu dalam kasus pidana, bukan memukul rata semua orang yang terlibat,” jelasnya dalam sidang lanjutan tata niaga timah di PN Jakarta Pusat, Senin (2/11/2024).

    Eva menjelaskan bahwa penyertaan dalam tindak pidana memiliki beberapa kategori, seperti menggerakkan, menyuruh, atau turut serta. 

    Dalam kasus di mana seseorang tidak mengetahui tindak pidana tetapi hanya menjadi alat atau diperalat pihak lain, tanggung jawab pidana tidak bisa dikenakan.  

    Sebagai contoh, jika ada individu yang diperdaya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, individu tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai pelaku. 

    “Seseorang yang tidak tahu bahwa ia diperdaya untuk membuka rumah atau orang untuk mencuri, misalnya, tidak bisa dianggap sebagai peserta delik,” jelasnya.  

    Dalam konteks kasus pertambangan PT Timah, Eva menyoroti penerapan pasal 14 UU Tipikor. Ia menegaskan bahwa kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang tidak berasal dari APBN, penyertaan modal negara, atau fasilitas negara, bukanlah kerugian negara.  

    “Kalau kerugian tidak termasuk dalam kategori yang diatur oleh norma UU Tipikor, maka asas legalitas harus dijaga. Tidak bisa kita memaksakan analogi atau mengembangkan norma hukum di luar yang dirumuskan dalam Undang-undang,” jelasnya.  

    Dia berpandangan bahwa pasal 14 UU Tipikor sudah memiliki batasan yang jelas, sehingga jika dianggap ada masalah atau kekurangan dalam aturan tersebut, solusinya adalah melakukan judicial review. 

    “Asas legalitas merupakan prinsip utama yang harus dijalankan. Jika norma tidak mencakup kasus tertentu, kita harus menguji ulang melalui judicial review, bukan memaksakan penerapan UU Tipikor,” tambahnya.  

    Sementara itu, saksi ahli dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum, menegaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bukanlah Undang-Undang “sapu jagat” untuk semua kasus yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara. 

    “Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor, itu berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilega bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan, bisa dikenakan pasal Tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” jelasnya.  

    Mahmud juga menjelaskan bahwa UU Tipikor sebagai aturan khusus (lex spesialis) tidak dapat serta-merta diterapkan pada berbagai kasus. 

    Penerapannya hanya berlaku jika tidak ada undang-undang lain yang secara spesifik mengatur perbuatan tertentu. Jika terdapat UU khusus yang relevan, maka UU tersebut harus didahulukan.  

    “Jika ada dua UU khusus yang saling bertemu, maka kita harus melihat domain perbuatannya terlebih dahulu. Misalnya, jika UU Tipikor berbenturan dengan UU Kepabeanan, UU Perbankan, UU Perpajakan, atau UU Minerba, belum tentu UU Tipikor yang digunakan,” ujarnya.  

    Ia menambahkan, untuk menerapkan UU Tipikor, harus dibuktikan terlebih dahulu unsur-unsur melawan hukum, memperkaya diri atau orang lain, serta kerugian keuangan negara. 

    “Jika ada irisan dengan undang-undang lain, maka perlu penelitian yang sistematis untuk menentukan UU mana yang relevan,” lanjutnya.  

  • Diduga Korupsi Dana Desa, Mantan Kades di Mojokerto dan Barang Bukti Dilimpahkan ke Kejari

    Diduga Korupsi Dana Desa, Mantan Kades di Mojokerto dan Barang Bukti Dilimpahkan ke Kejari

    Mojokerto (beritajatim.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto menerima pelimpahan tahap 2 kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD) Bicak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Tersangka yang merupakan mantan Kepala Desa (Kades) Bicak, Imam Mahfudi (58) dilimpahkan.

    Tersangka beserta barang bukti dilimpahkan penyidik Unit Tipikor Satreskrim Polres Mojokerto ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Senin (2/12/2024). Pelimpahan tahap 2 ke Kejari Kabupaten Mojokerto tersebut dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (p-21).

    “Sekitar pukul 13.00 WIB, kami menerima pelimpahan berkas perkara, barang bukti, dan tersangka kasus korupsi DD Bicak dari kepolisian. Dalam pelimpahannya, Unit Tipikor Reskrim Polres Mojokerto, melampirkan sejumlah barang bukti,” ungkap Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kabupaten Mojokerto, Rizky Raditya Eka Putra.

    Mulai dari hasil perhitungan Inspektorat hingga dokumen laporan penggunaan dana Desa Bicak. Akibat perbuatannya tersebut, tersangka disangkakan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 juncto pasal 18 ayat 1 huruf b, UU no 31 tahun 1999 sebagaimana dirubah UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    “Tersangka akan kami tahan di Lapas Kelas IIB Mojokerto selama 20 hari kedepan dan segera kita limpahkan ke PN Tipikor Surabaya. Saat iki kit persiapkan dakwaan yang teliti, cermat, jelas dan lengkap,” pungkasnya.

    Tersangka diduga melakukan tindak pidan korupsi dengan menilap uang DD senilai Rp77 juta di masa akhir jabatannya atau Tahun Anggaran 2019. Setelah dilakukan rangkaian penyelidikan, yang bersangkutan akhirnya ditetapkan tersangka oleh Unit Tipikor Satreskrim Polres Mojokerto pada tahun 2021.

    Setelah ditetapkan tersangka, tersangka sempat kabur ke luar daerah hingga tersangka berhasil dibekuk pada Sabtu (14/9/2024). Tersangka dibekuk pihak kepolisian di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. [tin/kun]

  • Terdakwa Pungli Rutan KPK Rela Pacar Cari Pria Lain: Bahagiamu, Bahagiaku

    Terdakwa Pungli Rutan KPK Rela Pacar Cari Pria Lain: Bahagiamu, Bahagiaku

    Jakarta

    Mantan Petugas Rutan KPK Ari Rahman Hakim menyampaikan permintaan maaf kepada sang kekasih karena harus menunda rencana bahagia. Ari mengaku rela kekasih bersanding dengan pria lain jika menunggunya terlalu lama.

    Hal itu disampaikan Ari saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi pribadi terdakwa terkait kasus pungutan liar (pungli) Rutan KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakpus, Senin (2/12/2024).

    Mulanya. Ari meminta maaf kepada kedua orang tuanya karena harus banting tulang menjadi kuli bangunan untuk menggantikan dirinya yang saat ini tidak bisa membiayai kebutuhan.

    “Kepada kedua orang tua saya, emak dan bapak. Izinkan saya menyampaikan pesan permintaan maaf, Emak, Pak, maafkan Ari atas apa yang menimpa Ari sampai hari ini. Maafkan karena Ari di usia senja Bapak harus mencari nafkah sebagai kuli bangunan dan berjualan serabutan di pinggir jalan,” kata Ari.

    Ari juga meminta maaf kepada kekasihnya, Dewi Ratnasari, karena harus menunda rencana. Ari mengucapkan terima kasih kepada kekasihnya yang setia membesuk selama 9 bulan di penjara.

    “Kepada Dewi Ratnasari kekasih saya, maafkan saya karena kekhilafan saya, rencana indah kita jadi harus tertunda. Terima kasih selama 9 bulan telah menjadi satu-satunya orang yang selalu membesuk saya. Semoga Allah SWT memberikan kebaikan serta kesehatan dan selalu kepadamu,” kata Ari.

    “Dan apabila nanti menungguku terlalu lama lebih baik kau bersanding dengan yang lain, karena bahagiamu juga bahagiaku,” katanya.

    15 Terdakwa Dituntut Hukuman Penjara

    Hal memberatkan tuntutan adalah perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam dalam pemberantasan tindak pidana korupsi serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Sementara hal meringankan tuntutan adalah para terdakwa belum pernah dihukum, mengakui dan menyesali perbuatannya kecuali terdakwa VI Achmad Fauzi.

    Berikut tuntutan lengkap 15 terdakwa kasus dugaan pungli di Rutan KPK:

    1. Deden Rochendi, dituntut 6 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 398 juta subsider 1,5 tahun

    2. Hengki, dituntut 6 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 419 juta subsider 1,5 tahun

    3. Ristanta, dituntut 5 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 136 juta subsider 1 tahun

    4. Eri Angga Permana, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 94.300.000 subsider 6 bulan

    5. Sopian Hadi, dituntut 4,5 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 317 juta subsider 1,5 tahun

    6. Achmad Fauzi, dituntut 5 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 34 juta subsider 1 tahun

    7. Agung Nugroho, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 56 juta subsider 6 bulan

    8. Ari Rahman Hakim, dituntut 4 tahun penjara, denda 250 juta subsider 6 bulan

    9. Muhammad Ridwan, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 159.500.000 subsider 8 bulan

    10. Mahdi Aris, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 96.200.000 subsider 6 bulan

    11. Suharlan, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 103.400.000 subsider 8 bulan

    12. Ricky Rachmawanto, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 116.450.000 subsider 8 bulan

    13. Wardoyo, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 71.150.000 subsider 6 bulan

    14. Muhammad Abduh, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 93.950.000 subsider 6 bulan

    15. Ramadhan Ubaidillah, dituntut 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan, serta uang pengganti Rp 135.200.000 subsider 8 bulan

    Seperti diketahui, sebanyak 15 mantan pegawai KPK didakwa melakukan pungli di lingkungan Rutan KPK. Praktik pungli terhadap para narapidana di Rutan KPK itu disebut mencapai Rp 6,3 miliar.

    Perbuatan itu dilakukan pada Mei 2019 hingga Mei 2023 terhadap para narapidana di lingkungan Rutan KPK. Para tahanan yang menyetor duit mendapat fasilitas tambahan seperti boleh memakai HP dan lainnya. Sementara tahanan yang tak membayar akan dikucilkan dan mendapat pekerjaan lebih banyak.

    (whn/dnu)

  • 3 Terdakwa Pungli Rutan KPK Tolak Bayar Uang Pengganti

    3 Terdakwa Pungli Rutan KPK Tolak Bayar Uang Pengganti

    3 Terdakwa Pungli Rutan KPK Tolak Bayar Uang Pengganti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tiga terdakwa kasus dugaan pungutan liar (Pungli) di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (
    Rutan KPK
    ) menolak tuntutan jaksa yang meminta meminta mereka membayar uang pengganti.
    Ketiga terdakwa itu yakni Suharlan, Ricky Rachmawanto, dan Ramadhan Ubaidillah yang berperan mengambil uang dari tahanan pengepul uang pungli.
    Penolakan ini disampaikan tim kuasa hukum ketika membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    “Kami menolak secara tegas tuntutan berupa uang pengganti tersebut tidak masuk dalam surat dakwaan jaksa KPK,” kata pengacara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (2/12/2024).
    Pengacara menyebut, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur, surat tuntutan jaksa tidak boleh menyimpang dari surat dakwaan.
    Pasal 182 undang-undang tersebut menyatakan bahwa surat tuntutan harus sesuai fakta persidangan dan materi yang termuat dalam surat dakwaan.
    Menurut pengacara, surat tuntutan yang tidak sesuai dakwaan berpeluang menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa.
    “Jaksa wajib menjaga konsistensi antara dakwaan dan Tuntutan, kecuali jika ada perubahan dakwaan yang disetujui dalam persidangan,” ujar pengacara.
    Pengacara lantas menyebut bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat mengabaikan surat tuntutan jaksa KPK.
    “Mempertimbangkan putusan yang relevan dengan dakwaan,” tutur pengacara.
    Dalam perkara ini, Suharlan dituntut membayar uang pengganti Rp 103.400.000, Ricky Rachmawanto Rp 116.450.000, dan Ramadhan Ubaidillah, Rp 135.200.000
    Pada tuntutan pidana pokoknya, jaksa meminta Suharlan, Ricky, dan Ubaidillah dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam perkara ini, Jaksa KPK mendakwa 15 orang eks petugas Rutan KPK melakukan pungutan liar kepada para tahanan KPK mencapai Rp 6,3 miliar.
    Mereka adalah eks Kepala Rutan (Karutan) KPK Achmad Fauzi, eks Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Rutan KPK Deden Rohendi; dan eks Plt Kepala Cabang Rutan KPK Ristanta dan eks Kepala Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) KPK, Hengki.
    Kemudian eks petugas di
    rutan KPK
    , yaitu Erlangga Permana, Sopian Hadi, Ari Rahman Hakim, Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, Ramadhan Ubaidillah A.
    Berdasarkan surat dakwaan, para terdakwa disebut menagih pungli kepada tahanan dengan iming-iming mendapatkan berbagai fasilitas, seperti percepatan masa isolasi, layanan menggunakan ponsel dan powerbank,  serta bocoran informasi soal inspeksi mendadak. 
    Tarif pungli itu dipatok dari kisaran Rp 300.000 sampai Rp 20 juta.

    Uang itu disetorkan secara tunai dalam rekening bank penampung, serta dikendalikan oleh petugas Rutan yang ditunjuk sebagai “Lurah” dan koordinator di antara tahanan.
    Uang yang terkumpul nantinya akan dibagi-bagikan ke kepala rutan dan petugas rutan. Jaksa KPK mengungkapkan, Fauzi dan Ristanta selaku kepala rutan memperoleh Rp 10 juta per bulan dari hasil pemerasan tersebut.
    Sedangkan, para mantan kepala keamanan dan ketertiban mendapatkan jatah kisaran Rp 3-10 juta per bulan.
    Para tahanan yang diperas antara lain, Yoory Corneles Pinontoan, Firjan Taufan, Sahat Tua P Simanjuntak, Nurhadi, Emirsyah Satar, Dodi Reza, Muhammad Aziz Syamsuddin, Adi Jumal Widodo, Apri Sujadi, Abdul Gafur Mas’ud, Dono Purwoko dan Rahmat Effendi.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sosok Pegawai PT Antam yang Diperiksa Terkait Kasus Dugaan Suap Ronald Tannur

    Sosok Pegawai PT Antam yang Diperiksa Terkait Kasus Dugaan Suap Ronald Tannur

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung atau Kejagung memeriksa sosok pegawai PT Antam berinisial SEP terkait kasus dugaan suap Gregorius Ronald Tannur terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Siapa SEP?

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menyampaikan, SEP menjabat sebagai manager quality control PT Antam. Dia diperiksa terkait keterlibatannya dengan Zarof Ricar dan Lisa Rahmat.

    “Terkait penyidikan perkara pemufakatan jahat tindak pidana korupsi suap dan/atau gratifikasi dalam penanganan perkara terpidana Ronald Tannur,” ujarnya dalam keterangannya Senin (2/12/2024).

    Harli menambahkan, pemeriksaan tersebut dilakukan guna melengkapi berkas kasus suap Ronald Tannur agar segera disidangkan. “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” katanya.

    Sebelumnya, Kejagung menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan suap tiga hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur. Mereka adalah Erintuah Damanik, Mangapul, Heru Hanindyo, pengacara Lisa Rahmat, mantan pejabat MA Zarof Ricar, dan ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja.

  • TNI pelajari putusan MK soal KPK usut korupsi di lingkungan militer

    TNI pelajari putusan MK soal KPK usut korupsi di lingkungan militer

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal TNI Hariyanto mengemukakan institusinya masih mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengusut kasus dugaan korupsi di lingkungan militer.

    Hariyanto mengatakan hingga kini TNI belum menerima permintaan resmi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membahas lebih lanjut putusan MK terhadap uji materi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

    “TNI menghormati setiap keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berwenang di bidang konstitusi. Dalam hal ini, TNI akan mempelajari lebih lanjut putusan tersebut dan implikasinya,” kata Hariyanto kepada wartawan saat dihubungi di Jakarta, Senin.

    Dia melanjutkan saat mengkaji putusan MK itu, TNI juga akan memeriksa sekaligus memastikan putusan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang lainnya, serta tidak mengganggu tugas pokok TNI dalam menjaga kedaulatan negara.

    Kapuspen juga menekankan TNI sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya mendukung segala upaya yang diperlukan dalam memastikan penegakan hukum di lingkungan militer berjalan adil dan transparan.

    Mahkamah Konstitusi pada akhir pekan lalu (29/11) mengabulkan sebagian uji materi terhadap Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Uji materi itu, yang masuk dalam perkara nomor 87/PUU-XXI/2023, dilayangkan advokat Gugum Ridho Putra.

    Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan menjelaskan Pasal 42 itu bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sehingga ditambahkan frasa penegasan pada bagian akhir yang berbunyi: “Sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK.”

    Semula, Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 berbunyi: “KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”

    Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyambut baik putusan MK tersebut.

    “KPK mengapresiasi Putusan MK atas permohonan uji materi Pasal 42 UU KPK tersebut. KPK dalam uji materi tersebut bertindak dan menjadi pihak terkait, yang mendukung dan memberikan fakta kendala penegakan hukum terhadap perkara korupsi yang melibatkan subjek hukum sipil bersama subjek hukum anggota TNI,” kata Ghufron di Jakarta, Jumat (29/11).

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Firli Bahuri Minta Kasus Dugaan Pemerasan SYL di SP3, Polda Metro Jaya Lanjut Terus

    Firli Bahuri Minta Kasus Dugaan Pemerasan SYL di SP3, Polda Metro Jaya Lanjut Terus

    Jakarta, Beritasatu.com – Polda Metro Jaya menanggapi permintaan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, agar kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), dihentikan atau diberikan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

    Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, enggan memberikan banyak komentar mengenai hal tersebut. Menurutnya, isu tersebut merupakan ranah kuasa hukum Firli, Ian Iskandar.

    “Silakan penasehat hukum/pengacara FB menyampaikan hal tersebut,” ujarnya saat dihubungi pada Senin (2/12/2024).

    Meskipun demikian, Ade Safri menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Ia memastikan bahwa penyidikan terhadap Firli akan dilakukan secara profesional dan transparan.

    “Secara tegas saya sampaikan dan pastikan bahwa penyidikan atas penanganan perkara ini tetap berjalan secara profesional, transparan, dan akuntabel,” tegasnya.

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya resmi menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo. Firli dijerat dengan Pasal 12e, Pasal 12B, atau Pasal 11 UU No. 31/1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juncto Pasal 65 KUHP. Jika terbukti bersalah, Firli terancam hukuman penjara seumur hidup.