Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan atau disebut jatah preman dari penambahan anggaran 2025 untuk pergi ke luar negeri.
Uang yang seharusnya dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR-PKPP) justru digunakan untuk pergi ke Inggris hingga Brasil.
Hal tersebut diungkap oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi
KPK
Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers pada Rabu (5/11/2025).
“Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Nah, untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya (Dani M. Nursalam). Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta.
“Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” sambungnya.
Abdul Wahid menjadi satu dari tiga tersangka dalam kasus pemerasan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Dua nama lainnya adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
Gubernur Riau
Dani M Nursalam.
Kasus ini berawal dari pertemuan Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas kesanggupan memberikan
fee
kepada Abdul Wahid.
Fee
tersebut sebesar 2,5 persen berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
Kemudian Ferry Yunanda menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Arief Setiawan. Namun, Arief meminta fee 5 persen atau setara Rp 7 miliar untuk Abdul Wahid.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘
jatah preman
‘,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
Dari kesepakatan tersebut, KPK menemukan tiga kali setoran jatah fee untuk Abdul Wahid. Pertama pada Juni 2025, ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
Dana sejumlah Rp 1 miliar kemudian mengalir kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
Setoran kedua pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut, didistribusikan untuk supirnya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
Kemudian pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar. KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar,” ujar Johanis.
Dalam pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan berserta lima Kepala UPT.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2025/11/05/690b0f2fde2e3.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil
-

Ini Respons Cak Imin Usai Gubernur Riau jadi Tersangka KPK
Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menanggapi penetapan tersangka salah satu kadernya yang merupakan Gubernur Riau Abdul Wahid, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk diketahui, KPK menetapkan tiga orang tersangka pada kasus dugaan pemerasan terkait dengan penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan oleh UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Salah satunya adalah Abdul Wahid.
“Ya semua harus belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi,” terang pria yang akrab disapa Cak Imin itu saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Cak Imin mengaku sampai dengan saat ini belum ada permintaan dari Abdul Wahid terkait dengan bantuan hukum. Dia juga enggan merespons apabila partai sudah menentukan nasib keanggotaan Abdul Wahid di PKB.
“Ya pasti akan ada proses internal ya,” ujar pria yang juga menjabat Menko Pemberdayaan Masyarakat itu.
Sebelumnya, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Senin (3/11/2025). Pada operasi senyap itu, penyelidik KPK melakukan tangkap tangan kepada 10 orang.
Selain Abdul Wahid, dua orang yang ditetapkan tersangka adalah M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau, serta Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.
Ketiga orang itu disangkakan melanggar pasal 12 e dan/atau pasal 12 f dan/atau pasal 12B Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-
/data/photo/2025/11/05/690b076dee7f2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional
Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
Gubernur Riau
Dani M Nursalam.
Abdul Wahid
dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
KPK
dengan tangan diborgol.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
Gubernur Riau Abdul Wahid
yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
fee
sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
KPK mengatakan,
fee
tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
“Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
fee
sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
“Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
fee
untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
“Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
“Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
Asep juga mengatakan, uang hasil
pemerasan
tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
“Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/05/690b076dee7f2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional
Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
Gubernur Riau
Dani M Nursalam.
Abdul Wahid
dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
KPK
dengan tangan diborgol.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
Gubernur Riau Abdul Wahid
yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
fee
sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
KPK mengatakan,
fee
tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
“Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
fee
sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
“Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
fee
untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
“Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
“Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
Asep juga mengatakan, uang hasil
pemerasan
tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
“Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sosok Khamozaro Waruwu, Hakim yang Rumahnya Terbakar Pernah Minta Bobby Dihadirkan Sidang Korupsi
GELORA.CO – Sosok Khamozaro Waruwu, Hakim PN Medan yang rumahnya mengalami kebakaran, Selasa (4/11/2025) kemarin pernah memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU) untuk menghadirkan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution pada sidang korupsi jalan di Sumut.
Saat itu, Khamozaro Waruwu memimpin sidang dugaan korupsi proyek jalan di Dinas Pekerjaan Umum Tata Ruang Sumut dengan terdakwa Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun selaku Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, serta Rayhan Dulasmi sebagai Direktur PT Rona Mora Muhammad.
Kala mengadili para terdakwa tersebut, Khamozaro Waruwu merasa curiga dengan Peraturan Gubernur tentang pergeseran anggaran dari sejumlah dinas di Pemprov Sumut ke Dinas PUPR provinsi.
Sehingga, Khamozaro Waruwu meminta agar jaksa menghadirkan mantu Presiden ke 7 RI tersebut ke persidangan.
Selain meminta menghadirkan Bobby Nasution, Khamozaro Waruwu juga sempat meminta agar Pj Sekda Muhammad Haldun ikut dihadirkan.
Saat ini, kasus korupsi jalan di Sumut masih bergulir di Pengadilan Tipikor Medan.
Khamozaro Waruwu menegaskan dirinya tidak akan pernah mundur dalam menjalankan tugas.
“Sama pimpinan di kantor saya bilang, saya tak pernah mundur dalam menjalani tugas dengan segala tantangan,” ujar Khamozaro saat diwawancarai di depan rumahnya, Jalan Pasar II, Komplek Taman Harapan Indah, Lingkungan XIII, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan.
Ia mengatakan, perkara besar yang saat ini ditangani merupakan sebuah tantangan dalam pekerjaan.
“Ini adalah sebuah tantangan dan Tuhan pakai agar kami lebih kuat lagi. Hidup ini hanya sebentar, tetapi hidup kita harus berarti, itu jauh lebih penting,” tuturnya.
Sosok Khamozaro Waruwu
Khamozaro Waruwu adalah seorang hakim yang saat ini bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan.
Ia saat ini ditunjuk sebagai hakim ketua yang menangani perkara korupsi proyek jalan di Sumatera Utara (Sumut), yang menjerat Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Ginting.
Sebelum bertugas di PN Tipikor Medan, Khamozaro Waruwu pernah bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2014.
Kemudian, Khamozaro Waruwu juga pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Rantau Prapat di Kabupaten Labuhanbatu pada 2018, serta Wakil Ketua Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jawa Timur pada Februari 2021.
Pada 4 November 2025, rumah Khamozaro Waruwu di Jalan Pasar II, Komplek Taman Harapan Indah, Lingkungan XIII, Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan kebakaran.
Belum diketahui darimana sumber api.
Namun, sebelum kebakaran terjadi, rumah tersebut dalam keadaan kosong.
Kronologis Kebakaran
Kebakaran rumah hakim Khamozaro Waruwu di Komplek Taman Harapan Indah, Medan Selayang, Medan terjadi sekira pukul 10.30 WIB.
Saat kejadian, tidak ada orang di dalam rumah.
Istri Khamozaro baru 20 menit meninggalkan rumah ketika kebakaran terjadi.
Api diduga bermula dari kamar tidur utama dan sebagian dapur.
Kebakaran menghanguskan kamar tidur utama, pakaian, perabotan, dokumen penting termasuk dokumen kepegawaian dan perhiasan milik keluarga.
Api berhasil dipadamkan sekitar pukul 11.18 WIB oleh petugas pemadam kebakaran yang dibantu warga sekitar.
Saat kejadian, Khamozaro sedang memimpin sidang.
Ia mendapat kabar kebakaran dari tetangga melalui panggilan telepon yang tidak sempat dijawabnya karena sedang memimpin sidang.
Setelah mengirim pesan singkat, Khamozaro segera menutup sidang dan menuju rumah dengan pengawalan petugas keamanan.
Setibanya di lokasi, rumah sudah dipadati warga dan pintu rumah sudah dijebol untuk pemadaman.
Polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran, namun belum dapat menyimpulkan penyebabnya. Kebakaran ini terjadi di tengah penanganan kasus korupsi besar yang sedang disidangkan oleh Khamozaro, yang membuat peristiwa ini diduga sebagai tindakan teror terkait pekerjaan hakim tersebut.
Sering Ditelfon Nomor tak Dikenal
Sebelum kebakaran terjadi, hakim Khamozaro Waruwu sering mendapat telepon dari nomor tidak dikenal.
Khamo tidak tahu, siapa yang sering menghubunginya tersebut.
Namun peristiwa in i terjadi ketika ia mengadili perkara korupsi jalan di Sumut.
“Cuma sering kali mendapatkan telfon, lalu dimatikan, hanya itu saja. (Tidak ada pengancam) cuma itu sering (telfon), lalu diangkat dimatikan,” kata Khamozaro diwawancarai usai rumahnya terbakar, Selasa (4/10/2025).
Meski sering mendapat telepon dari nomor tidak dikenal, Khamaro mengaku dirinya tidak pernah mendapat ancaman.(*)
-

Kader PKB Gubernur Riau kena OTT KPK, Cak Imin: Jadi pembelajaran
Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid yang juga kader partai tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan sebuah pembelajaran agar tidak terulang kembali.
“Ya semua harus belajar dari pengalaman agar tidak terulang lagi,” kata Cak Imin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu.
Dia menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada permintaan bantuan hukum dari yang bersangkutan kepada partai yang dipimpinnya
Terkait status Abdul Wahid di PKB, Cak imin menyebut akan ada proses internal yang dijalankan sesuai mekanisme organisasi.
“Pasti akan ada proses internal ya,” kata dia.
Cak Imin tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kemungkinan pemberhentian Abdul Wahid dari keanggotaan partai itu.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
Selain Wahid, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka, yakni MAS selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau, serta DAN selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.
Ketiga tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


/data/photo/2025/11/05/690b5c4503900.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)