Bos Smelter Timah yang Dituntut Triliunan Rupiah akan Divonis Hari Ini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat akan memutuskan nasib dua bos smelter
timah
swasta yang dituntut membayar uang pengganti triliunan rupiah hari ini, Senin (23/12/2024).
Mereka adalah pemilik PT Stanindo Inti Perkasa, Suwito Gunawan alias Awi yang dituntut membayar uang pengganti Rp 2,2 triliun dan Direktur PT Sariwiguna Binasentosa, Robert Indarto yang dituntut Rp 1,9 triliun.
“Untuk pembacaan putusan,” sebagaimana dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (23/12/2024).
Selain Awi dan Robert, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang dipimpin Eko Aryanto juga akan membacakan putusan untuk perkara General Manager Operational PT Tinindo Internusa, Rosalina.
Adapun dalam tuntutan pokoknya, jaksa meminta Awi dan Robert dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.
Sementara, Rosalina dittuntut 6 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Jaksa menilai ketiganya bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebagaimana dakwaan kesatu primair.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2024/12/16/675fe0f3ac456.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bos Smelter Timah yang Dituntut Triliunan Rupiah akan Divonis Hari Ini
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5002210/original/009905300_1731386975-WhatsApp_Image_2024-11-11_at_22.49.56_678a8555.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sidang Kasus Dugaan Korupsi Timah, Hitungan Luas Operasi Tambang Terkait Kerugian Lingkungan Disorot – Page 3
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan amar tuntutan terhadap terdakwa Helena Lim tekait kasus korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) komoditas timah. Majelis hakim diminta menjatuhkan putusan 8 tahun penjara terhadapnya.
JPU sendiri menyatakan terdakwa Helena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah membantu melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU, sebagaimana dalam dakwaan ke satu primer.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Helena dengan pidana penjara selama 8 tahun, dikurangi lamanya terdakwa dalam tahanan dengan perintah tetap ditahan,” tutur JPU di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2024).
JPU juga menuntut terdakwa Helena Lim untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan penjara. Termasuk juga meminta adanya uang pengganti atas kasus tersebut.
“Membebankan terdakwa Helena membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset, dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti tersebut selama satu bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut,” jelas dia.
“Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun,” sambungnya.
JPU juga membeberkan hal yang memberatkan dan meringankan untuk Helena Lim. Untuk yang memberatkan, bahwa perbuatan terdakwa dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelengaran negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; dan dianggap turut mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, termasuk kerugian keuangan negara dalam bentuk kerusakan lingkungan yang sangat masif.
Tidak ketinggalan, dia juga dinilai telah menikmati hasil tindak pidana, dan berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan.
“Hal yang meringankan Helena belum pernah dihukum,” kata JPU.
Helena Lim dikenakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4965237/original/077194200_1728541162-20241010-Sidang_Harvey_Moeis-ANG_7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pihak Harvey Moeis Pertanyakan Gugatan Jaksa Soal Penghitungan Kerugian Negara di Kasus Timah – Page 3
Dengan demikian, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat seharusnya tidak dapat mempertimbangkan terpenuhinya unsur kerugian keuangan negara yang didasarkan pada laporan PKKN, mengingat data itu tidak pernah diberikan kepada penasihat hukum terdakwa.
“Majelis Hakim hanya dapat mempertimbangkan keterangan Ahli BPKP saja, yang mana akan kami terangkan lebih lanjut adanya cacat formil dan materiil dari keterangan Ahli,” ungkapnya.
Junaedi mengulas, perolehan bukti yang digunakan oleh BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara tidak memenuhi unsur cukup, andal, relevan dan bermanfaat. Ahli BPKP juga tidak melakukan verifikasi atas dokumen dan informasi yang diterima, terutama keterangan saksi dan terdakwa, yang menurut keterangan ahli dimasukkan dalam Laporan PKKN untuk melakukan analisis dan evaluasi bukti.
Dia menegaskan, auditor BPKP harus mengidentifikasi, mengkaji, dan membandingkan semua bukti yang relevan dengan mengutamakan hakikat bentuk atau substance over form.
Selain itu, ahli BPKP juga menyimpulkan penyimpangan yang menjadi dasar untuk menghitung kerugian keuangan negara, hanya dengan menggunakan keterangan ahli yang didasarkan pada konstruksi perkara yang dibuat oleh penyidik, tanpa melakukan verifikasi atas informasi tersebut dan tidak menggunakan ahli yang kompeten di bidang pertambangan.
“Bahwa konsekuensi hukum yang timbul apabila proses dan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara tidak mempedomani Standar Audit Intern Pemerintah (SAIPI) dan Peraturan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Nomor 2 Tahun 2024 adalah proses dan hasil audit PKKN tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional,” Junaedi menandaskan.
-

Polri Kenalkan Kortas Tipikor ke Masyarakat di CFD Jakarta
Jakarta –
Polri memperkenalkan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri di car free day (CFD) Jakarta. Kegiatan itu dilakukan untuk mengenalkan satuan kerja baru di tubuh Polri itu ke masyarakat.
“Kegiatan yang diadakan ini bertujuan untuk menyosialisasikan kepada masyarakat terkait pembentukan Kortas Tipikor Polri dan perannya dalam pemberantasan korupsi serta masih dalam momentum Hari Antikorupsi Sedunia,” kata Wakil Kepala Satgassus Pencegahan Korupsi Polri, Novel Baswedan, dalam keterangannya, Minggu (22/12/2024).
Novel menyebut lahirnya Kortas Tipikor merupakan komitmen Polri dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Karena itu, dia meminta semua pihak mendukung setiap upaya pemberantasan praktik rasuah di Indonesia.
“Semoga kehadiran Kortas Tipikor Polri semakin menguatkan dan merapatkan barisan dalam upaya mencegah dan memberantas Korupsi,” harap Novel.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Satgassus Pencegahan Korupsi Polri, Yudi Purnomo Harahap, memandang bahwa tantangan pemberantasan korupsi semakin berat. Sebab, kata dia, modusnya lebih canggih mulai dari lintas negara hingga transaksi keuangan yang berlapis.
“Sehingga gebrakan Kortas Tipikor Polri ditunggu sekaligus bisa bersinergi dengan lembaga pemberantas korupsi lain yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Kejaksaan Agung,” kata Yudi.
Adapun kegiatan tersebut juga dihadiri langsung oleh Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo, Wakortas Brigjen Arief Adiharsa, dan Kepala Satgassus Pencegahan Korupsi Polri Herry Muryanto.
(ond/fca)
-

Prabowo Buka Pintu Maaf Koruptor Asal Kembalikan Uang, MAKI: Kembalikan Uang Tidak Hapus Pidana – Halaman all
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman merespons pernyataan Presiden Republik Indonesia (RI), Prabowo Subianto memberikan kesempatan agar para koruptor untuk bertaubat.
Tak hanya itu Prabowo juga membuka pintu maaf asalkan mereka diam-diam mengembalikan uang yang sudah dicuri dari negara.
Merespons hal itu, Boyamin Saiman menjelaskan bahwa hal itu bertentangan dengan Undang-Undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Menurut saya masih banyak kendala. Pertama, dari legal formal. Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, yaitu Undang-Undang No. 31 tahun 1999, dengan tegas mengatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidananya,” kata Boyamin dihubungi Minggu (22/12/2024).
Ia menegaskan meskipun mengembalikan uang hasil korupsi, diproses hukum korupsi tersebut terus berjalan.
Kemudian terkait penjelasan Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra bahwa hal itu terkait grasi amnesti dan abolisi. Menurutnya juga bermasalah.
“Karena grasi selama ini tidak pernah diterapkan pada kasus korupsi. Presiden siapapun itu setahu saya tidak memberikan pengampunan terhadap kasus korupsi. Kalau amnesti, itu dan abolisi, itu harus lewat DPR bahkan,” jelasnya.
Jadi kata Boyamin kalau rencana pemaafan tersebut dilakukan diam-diam. Sangat kontradiksi dengan fakta yang ada.
“Kalau grasi tadi kan sudah harus diproses hukum. Sementara amnesti sendiri harus persetujuan DPR. Jadi ya malah ketahuan. Jadi itu juga akan ada kendala,” tegasnya.
Kemudian kata Boyamin dari aspek sosiologis orang yang korupsi biasanya dengan segala cara kecerdasannya untuk menghindari menyatakan korupsi.
“Yang diproses hukum saja mereka menolak menyatakan korupsi karena kebijakan dan lain sebagainya. Apalagi kalau tidak di proses hukum,” kata Boyamin.
“Maka mereka juga agak akan mau menyadari dirinya korupsi dan mengembalikan uangnya. Jadi efektivitasnya juga akan berat. Bisa jadi dalam setahun ke depan misalnya diberi kesempatan pengampunan. Begitu belum tentu sampai 10 persen,” ungkapnya.
Sebelumnya Presiden Republik Indonesia (RI), Prabowo Subianto memberikan kesempatan agar para koruptor untuk bertaubat. Eks Menteri Pertahanan ini membuka pintu maaf asalkan mereka mengembalikan uang yang sudah dicuri dari negara.
Hal itu disampaikan Prabowo saat bertemu dengan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu (18/12/2024). Acara ini dihadiri 2000 orang mahasiswa.
“Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, memberi kesempatan untuk tobat, hei para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya, mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong,” kata Prabowo dalam sambutannya.
Prabowo pun membuka kesempatan bagi koruptor untuk mengembalikan uang hasil tindak pidana secara diam-diam kepada negara.
“Nanti kita beri kesempatan, cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya enggak ketahuan, mengembalikan lho ya. Tapi kembalikan,” jelasnya.
Tak hanya itu, Eks Danjen Kopassus itu menegur para pengemplang pajak yang tidak membayarkan kewajibannya. Padahal, mereka semua selama ini memakai fasilitas negara.
“Hei kalian yang sudah menerima fasilitas dari negara, bayarlah kewajiban mu. Asal kau bayar kewajiban mu, taat kepada hukum, sudah, kita menghadap masa depan, kita tidak ungkit-ungkit yang dulu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Prabowo pun mengultimatum bagi siapapun yang masih bandel melawan hukum setelah peringatan tersebut. Dia tidak akan segan untuk menginstruksikan aparat untuk menangkap mereka.
“Kalau kau bandel terus, apa boleh buat, kita akan menegakkan hukum dan bagi aparat-aparat harus milih setia kepada bangsa negara dan rakyat atau setia kepada pihak lain. Kalau setia kepada bangsa negara dan rakyat ayo, kalau tidak, percayalah saya akan bersihkan aparat RI. Dan saya yakin dan percaya rakyat Indonesia berada di belakang saya,” pungkasnya.
Sementara itu Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menjelaskan ide yang disampaikan Prabowo tersebut merupakan bagian dari amnesti—rencananya akan diberikan kepada 44.000 narapidana mulai dari kasus narkoba, UU ITE, tahanan politik hingga korupsi.
“Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara,” kata Yusril dalam keterangannya, Kamis (19/12/2024).
-
/data/photo/2023/08/29/64ed9aa634e1c.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pengampunan Koruptor: Jalan Pintas Menuju Surga Korupsi
Pengampunan Koruptor: Jalan Pintas Menuju Surga Korupsi
Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
WACANA
penuh kontroversial kembali mengemuka perihal pemberian pengampunan kepada koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil
korupsi
ke negara.
Di balik niat baik ini, muncul pertanyaan penting mengenai arti sebenarnya dari pengampunan dalam konteks korupsi.
Pengampunan sering kali diartikan sebagai kesempatan kedua bagi pelanggar hukum. Namun, dalam kasus korupsi, hal ini bisa menjadi sinyal bahwa tindakan ilegal dapat ditoleransi selama ada upaya mengembalikan kerugian.
Apakah memberikan ampunan kepada koruptor justru merendahkan nilai keadilan?
Di satu sisi, langkah ini bisa dimaknai sebagai upaya pragmatis untuk mengembalikan aset negara yang hilang.
Namun, di sisi lain, pengampunan semacam ini berpotensi menciptakan preseden buruk. Para pelaku korupsi merasa bahwa mereka bisa melanggar hukum tanpa takut akan konsekuensi serius.
Wacana pemberian pengampunan bagi koruptor menimbulkan risiko bahwa pengampunan dapat dipandang sebagai legitimasi atas tindakan korupsi, yang pada akhirnya hanya akan memperburuk budaya penyimpangan di lingkungan birokrat dan pemerintahan.
Sepintas, ide
pengampunan koruptor
mungkin memiliki tujuan yang baik. Sebagai masyarakat, kita hormati itu.
Namun, wacana tersebut justru sangat berbahaya jika diterapkan dan tentunya bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
.
Merujuk pada Pasal 4 UU 31/1999 juncto UU 20/2021 tentang Tipikor disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana.
Dengan demikian, penuntutan terhadap koruptor tidak dihapus, meski pelaku telah mengembalikan hasil pidana korupsi yang dilakukannya.
Jika memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan uang yang diambil adalah cara kita menjalani keadilan, maka sepertinya kita perlu memikirkan kembali definisi “pengampunan.”
Apakah setelah mengikuti program pengampunan, mereka bisa kembali ke masyarakat dengan gelar “kembali bersih”?
Kita harus bertanya, apakah kita ingin memberikan kesempatan kedua kepada para pelanggar hukum, sementara di sisi lain, masyarakat yang taat hukum berjuang untuk mendapatkan sedikit perhatian.
Bukankah lebih baik jika kita menciptakan sistem yang lebih adil, di mana pengembalian uang tidak cukup untuk menghapus jejak korupsi?
Tentu saja, kita semua manusia dan bisa berbuat salah. Namun, mengizinkan koruptor untuk kembali beroperasi setelah mengembalikan uang seolah-olah kita sedang memberikan mereka “tiket VVIP” untuk kembali ke arena.
Sementara, rakyat yang menderita akibat tindakan koruptor hanya bisa menonton dari jauh. Jadi, mari kita hentikan ide ini, pengembalian hasil curian uang rakyat adalah tiket masuk ke “surga korupsi.”
Wacana ini dapat dipandang sebagai sinyal bahwa korupsi dapat dianggap sebagai perkara sepele, karena pelaku bisa mendapatkan ampunan setelah mengembalikan uang hasil curian. Hal ini akan memicu terjadinya surga korupsi di Indonesia.
Hal ini menciptakan anggapan bahwa tindakan korupsi mungkin tidak akan berujung pada konsekuensi serius, sehingga dapat mendorong lebih banyak orang untuk terlibat dalam praktik tersebut.
Sebagaimana diungkapkan oleh para pengamat, sinyal semacam ini sangat merugikan dan dapat merusak upaya yang telah dilakukan untuk memberantas korupsi.
Saat ini, yang diperlukan adalah tindakan tegas dan keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dengan memanfaatkan instrumen hukum yang sudah ada.
Penegakan hukum harus dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kerja sama ini sangat penting untuk memastikan bahwa semua pihak beroperasi secara sinergis dalam upaya memberantas korupsi dan menegakkan keadilan.
Lebih dari itu, penegakan hukum juga harus melibatkan langkah-langkah yang lebih keras, termasuk memiskinkan koruptor melalui penerapan
UU Perampasan Aset
.
Dengan UU Perampasan Aset, negara memiliki instrumen lebih kuat untuk menyita aset yang diperoleh secara ilegal, sehingga memberikan efek jera lebih besar bagi para pelaku korupsi.
Jadi, daripada melempar wacana pemberian ampunan kepada koruptor, sebaiknya fokus kita diarahkan segera mengesahkan UU Perampasan Aset.
Upaya pemberantasan korupsi harus melibatkan penegakan hukum yang tegas dan kolaboratif, serta didukung UU yang mengatur perampasan aset koruptor untuk memberikan efek jera. Masyarakat berhak melihat tindakan nyata, bukan sekadar retorika politik.
Keadilan sejati mengharuskan adanya pertanggungjawaban, bukan sekadar pengampunan yang begitu mudah. Pada akhirnya, keadilan yang sebenarnya bukan hanya tentang mengembalikan uang curian, tetapi memastikan bahwa tidak ada lagi yang diambil dari rakyat.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pengampunan Terhadap Koruptor Bahaya dan Bertentangan dengan UU
Jakarta –
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM menilai wacana mengampuni koruptor asal mengembalikan yang telah dicuri kepada negara berbahaya. Selain berbahaya juga bertentangan dengan undang-undang (UU).
“Ide ini mungkin punya tujuan baik, tetapi justru berbahaya dan bertentangan dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Pasal 4 UU Nomor 31 99 Jo 20 Tahun 2001 di situ disampaikan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana. Sehingga meskipun pelaku tindak pidana itu telah mengembalikan hasil pidana korupsi yang dilakukannya, itu tidak menghapuskan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut,” kata Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman kepada wartawan, Sabtu (21/12/2024).
Dia menjelaskan pelaku tindak pidana korupsi tidak boleh tidak diproses hukum hanya dengan mengembalikan kerugian negara. Menurutnya para koruptor hanya gentar apabila ditindak secara hukum.
“Secara hukum saat ini, tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian keuangan negara. Kedua, secara praktek, tidak mungkin juga para pelaku tindak pidana korupsi mau mengembalikan hanya karena kata-kata, hanya karena omon-omon,” ujarnya.
“Pelaku tindak pidana korupsi itu akan gentar dengan bentuk penindakan. Jadi mereka tidak akan gentar hanya dengan diancam secara lisan meskipun presiden sekalipun. Karena selama ini toh mereka sudah lolos dari jeratan aparat penegak hukum,” ucapnya.
Dia menilai koruptor tetap harus ditindak tegas. Dia berharap aparat penegak hukum dapat berkolaborasi melakukan pemberantasan korupsi.
Sebelumnya, Presiden Prabowo mengatakan membuka peluang memaafkan koruptor apabila uang kerugian negara akibat korupsi bisa dikembalikan. Hal tersebut ia katakan saat berbicara di depan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir.
“Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat, hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat,” kata Prabowo di depan para mahasiswa Indonesia, Rabu (18/12).
Selain itu, Prabowo memberi kesempatan agar pengembalian uang itu bisa dilakukan secara diam-diam. Namun ia harus mendapatkan jaminan bahwa uang tersebut benar-benar dikembalikan.
“Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya bisa diam-diam, tidak ketahuan, mengembalikan loh ya, tapi kembalikan,” ucapnya.
(dek/dnu)
-

Prabowo Bakal Maafkan Koruptor jika Uang Curian Dikembalikan, MUI: Terobosan Hukum yang Berani dan Simpatik
Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Wantim Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa’adi, menilai langkah Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang yang dicuri dari negara, merupakan terobosan hukum yang cukup berani dan simpatik.
Secara pribadi, Zainut mengapresiasi langkah presiden yang dia anggap sebagai ajakan kepada para pihak yang merasa melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan hasil curiannya dan jika membandel maka penegakan hukum akan diberlakukan secara tegas.
“Hal tersebut menunjukkan kuatnya komitmen presiden dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden ingin memulai gerakan bersih-bersih memberantas korupsi dengan membuka kesempatan kepada koruptor untuk bertobat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, pada Sabtu (21/12/2024).
Dilanjutkan Zainut, jika kesempatan bertaubat tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh para koruptor, maka penegakan hukum akan diberlakukan secara tegas.
Lebih lanjut, eks Wakil Menteri Agama pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini menyebut bahwa MUI meminta langkah presiden itu harus tetap didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.
“Harus ada payung hukum yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap langkah presiden tersebut,” tutur dia.
Zainut melanjutkan, langkah presiden tersebut sudah sejalan dengan hasil keputusan Mukernas IV MUI 2024, yakni mendorong presiden Republik Indonesia untuk memimpin langsung pemberantasan korupsi.
“Mengingat negara kita telah berada dalam status darurat korupsi dan hendaknya memperkuat KPK sebagai lembaga negara yang independen,” pintanya.
Untuk diketahui juga, MUI telah mengeluarkan fatwa ihwal korupsi, yaitu Fatwa Nomor 4/Munas VI/MUI/2000. Adapun, dalam fatwa tersebut MUI mendefinisikan korupsi atau ghulul sebagai tindakan mengambil sesuatu yang berada di bawah kekuasaan dengan cara yang tidak benar menurut Islam. MUI memfatwakan bahwa korupsi dan suap adalah tindakan yang haram hukumnya.
Prabowo bakal maafkan koruptor jika uang curian dikembalikan
Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa dirinya akan memaafkan koruptor jika mereka mengembalikan uang yang dicuri dari negara. Hal tersebut disampaikan Prabowo saat berpidato di Gedung Al-Azhar Conference Center, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Rabu, 18 Desember 2024.
“Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tetapi, kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya,” kata Presiden Prabowo, seperti dilansir dari Antaranews.
Presiden melanjutkan cara mengembalikannya dapat dilakukan dengan diam-diam agar tak ketahuan. Bagi Presiden, cara itu dapat digunakan selama para koruptor bertobat dan mengembalikan hasil curiannya kepada negara.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden juga mengingatkan semua aparatur negara untuk taat hukum, dan tunaikan kewajiban kepada bangsa dan negara.
“Hai kalian-kalian yang sudah terima fasilitas dari bangsa negara. Bayarlah kewajibanmu! Asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah kita menghadap masa depan,” kata Prabowo ke para pejabat dan aparatur negara yang mendapatkan fasilitas dari negara.
-

Penjelasan Mahfud MD Sebab Memaafkan Koruptor Dilarang Hukum – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan wacana memaafkan koruptor apabila mengembalikan uang hasil korupsi ke negara.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa memaafkan koruptor secara bersyarat dilarang hukum.
“Menurut hukum, menurut hukum yang berlaku sekarang itu tidak boleh. Siapa yang membolehkan itu, bisa terkena Pasal 55 KUHP,” kata Mahfud saat ditemui di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (21/12/2024).
Kata Mahfud, perkara korupsi sudah jelas dilarang.
“Korupsi itu kan dilarang. Dilarang siapa? Menghalangi penegakan hukum, ikut serta atau membiarkan korupsi padahal dia bisa ini (melaporkan),“ imbuh dia.
Sesat pikir
Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochamad Praswad Nugraha mengungkap sesat pikir dalam rencana memaafkan koruptor.
Menurut Praswad, nantinya penyelenggara negara atau pejabat akan semakin masif melakukan tindak pidana korupsi.
“Kalau misalnya tindak pidana korupsi itu bisa di-restorative justice dengan cara mengembalikan (uang korupsi), maka orang-orang akan menerapkan ‘gue lakuin aja dulu, nanti kalau ketahuan balikin’. Bayangin coba, kalau misalnya semua orang akan melakukan korupsi dengan catatan kalau ketahuan dibalikin, kalau enggak ketahuan alhamdulillah,” kata Praswad dalam keterangannya, Sabtu (21/12/2024).
“Tapi titik garis merahnya, semuanya akan selamat, enggak ada yang masuk penjara. Bisa kebayang mau jadi apa Republik Indonesia kalau seperti itu,” sambungnya.
Praswad menilai rekayasa sosial akan mengubah pola kehidupan masyarakat.
Prabowo dan para pembantunya di Kabinet Merah Putih, lanjut dia, harus berhati-hati alias tidak gegabah.
Praswad lalu mengingatkan teori rekayasa sosial Roscoe Pound yang menyatakan hukum dapat digunakan sebagai alat untuk merekayasa masyarakat atau law as a tool of social engineering.
“Jangan sampai nanti justru kita melakukan arah rekayasa sosialnya menuju keruntuhan moral,” katanya.
Dosen hukum pidana Universitas Tarumanegara ini tidak menampik niat baik Prabowo untuk memulihkan aset hasil korupsi.
Namun, ia menegaskan rencana tersebut tidak bisa diimplementasikan.
Hal itu dikarenakan selama belasan tahun bekerja sebagai penyidik, Praswad belum menemukan ada koruptor yang secara sukarela mengembalikan uang korupsi.
“Niatan presiden itu bagus, serius saya ngomong begini, bukan karena saya mau ngejilat rezim, tapi enggak applicable, enggak masuk diakal. Kayak orang ngomong ‘Bang, saya pengin jadi profesor hukum tapi dia S1 saja belum’,” kata Praswad memberi analogi.
“Sebenarnya saya menghargai niatan Presiden, bagus banget kalau itu bisa dilaksanakan, orang pada mengembalikan duit korupsi semua, tapi kan enggak ada yang mau (mengembalikan secara sadar), enggak ada yang mau. Pengembalian uang itu harus pakai upaya paksa, harus pakai pidana,” imbuhnya.
Sebelumnya, Presiden RI meminta kepada para koruptor mengembalikan apa yang telah mereka curi dari negara. Jika koruptor mengembalikan apa yang mereka curi, Presiden menyatakan mungkin saja para koruptor itu akan dimaafkan.
Hal tersebut ia sampaikan saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Rabu (18/12/2024).
“Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong,” ujar Presiden dalam YouTube Setpres, Kamis (19/12/2024).
Presiden melanjutkan, pengembalian hasil curian bisa dilakukan diam-diam supaya tidak ketahuan pihak lain.
“Nanti kita beri kesempatan. Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya tidak ketahuan. Mengembalikan loh ya, tapi kembalikan,” kata dia. (Kompas.com/Tribunnews).
-

Isi Pasal 55 KUHP yang Bisa Bahayakan Prabowo Jika Maafkan Koruptor
Jakarta, CNN Indonesia —
Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ‘mengunci’ upaya Presiden Prabowo Subianto untuk memaafkan koruptor.
Niat Prabowo mengampuni tindak pidana korupsi, asal uang kerugian negara dikembalikan, dinilai bisa melanggar hukum. Menko Polhukam 2019-2024 Mahfud MD menegaskan tindakan Prabowo sama saja ikut menyuburkan korupsi.
“Korupsi itu kan dilarang, dilarang siapa? Menghalangi penegakan hukum, ikut serta, atau membiarkan korupsi, padahal dia bisa ini (melaporkan), lalu (malah) kerja sama. Padahal itu kompleks sekali, komplikasinya akan membuat semakin rusak lah bagi dunia hukum, sebab itu hati-hati lah,” pesan Mahfud ke Prabowo, dikutip dari detikcom, Sabtu (21/12).
“Menurut hukum, menurut hukum yang berlaku sekarang, itu (memaafkan koruptor) tidak boleh. Siapa yang membolehkan itu, bisa terkena Pasal 55, berarti ikut menyuburkan korupsi, ikut serta ya. Pasal 55 KUHP itu,” tegasnya.
Lantas, bagaimana isi pasal 55 KUHP?
Aturan yang berpotensi dilanggar Prabowo adalah KUHP lama, yakni Wetboek van Strafrecht (WvS). Pasal 55 beleid itu mengatur soal Penyertaan dalam Tindak Pidana.
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Namun, Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra punya pendapat lain. Ia mengatakan apa yang diupayakan Presiden Prabowo itu tidak melanggar undang-undang.
Yusril menyebut usul Prabowo untuk memaafkan koruptor asal mengembalikan kerugian negara merupakan bagian dari amnesti.
Ia lantas menyinggung adanya KUHP Nasional yang bakal diberlakukan awal 2026. Sang menko menegaskan apa yang disampaikan Prabowo untuk memaafkan koruptor menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman.
“Penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya,” kata Yusril dalam rilisnya, Kamis (19/12).
“Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.
KUHP Nasional yang dimaksud Yusril adalah UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ini adalah KUHP terbaru yang akan berlaku mulai 2026.
Isi pasal 55 pada KUHP Nasional itu berbeda dengan produk hukum warisan Hindia Belanda. Sedangkan pidana penyertaan diatur dalam Pasal 20 hingga Pasal 22 UU Nomor 1 Tahun 2023.
(skt/agt)
[Gambas:Video CNN]