Kenapa Harvey Moeis dan Sandra Dewi yang Kaya Raya Dapat BPJS Kesehatan Bantuan APBD Jakarta?
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com –
Terpidana tindak pidana korupsi (tipikor) kasus timah
Harvey Moeis
dan istrinya,
Sandra Dewi
, dikabarkan terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan Kelas 3.
Kabar ini beredar di media sosial X sejak Sabtu (28/12/2024) sehingga menghebohkan warganet lantaran Harvey telah merugikan negara hingga Rp 300 triliun dan sang istri yang seorang selebritas.
Terkait kabar yang beredar di media sosial tersebut, BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Jakarta pun membenarkannya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, membenarkan bahwa Harvey Moeis dan Sandra Dewi menjadi peserta PBI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APDB) BPJS Kesehatan.
“Hasil pengecekan data, nama yang bersangkutan masuk ke dalam segmen PBPU Pemda (nomenklatur lama PBI APBD) Pemprov DKI Jakarta,” ujar Rizzky saat dikonfirmasi
Kompas.com
, Minggu (29/12/2024).
Namun, Rizzky menjelaskan bahwa PBI APBD pada BPJS Kesehatan berbeda dengan PBI Jaminan Kesehatan (JK) yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat miskin.
Untuk menjadi peserta PBI APBD, seseorang tidak harus berasal dari masyarakat miskin. Sebab, peserta PBI APBD didaftarkan oleh masing-masing pemerintah daerah (pemda), dan iurannya dibayarkan oleh pemda menggunakan APBD masing-masing pemda.
“Pada segmen ini (PBI APBD), persyaratannya tidak harus fakir miskin maupun orang yang tidak mampu, melainkan seluruh penduduk pada suatu daerah yang belum terdaftar sebagai peserta Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan bersedia diberikan hak kelas 3,” jelasnya.
“Adapun nama-nama yang termasuk dalam segmen PBPU Pemda ini, sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat,” tambah dia.
Sementara untuk segmen PBI JK yang khusus masyarakat miskin, hanya masyarakat yang namanya terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos) yang boleh menjadi peserta.
Lantaran didaftarkan oleh pemerintah pusat, maka iuran segmen PBI JK ini dibayarkan juga oleh pemerintah pusat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Daftar nama-nama peserta pada segmen ini mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial dan diperbarui secara berkala,” tuturnya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jakarta Ani Ruspitawati mengakui bahwa Harvey Moeis dan Sandra Dewi terdaftar sebagai peserta
PBI BPJS Kesehatan
.
Ani menjelaskan, pihaknya mendorong kepesertaan JKN tanpa memandang status sosial ekonomi warga. Hal ini dilakukan untuk memenuhi hak kesehatan seluruh warga Jakarta sebagai implementasi kebijakan Universal Health Coverage (UHC) dari pemerintah pusat.
“Sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 169 Tahun 2016 tentang Kepesertaan dan Jaminan Pelayanan Kesehatan, pada periode 2017-2018, Pemprov DKI Jakarta melaksanakan percepatan Universal Health Coverage (UHC) dengan tujuan memastikan seluruh penduduk DKI Jakarta memiliki akses terhadap layanan kesehatan,” kata Ani dalam keterangannya, Minggu, dilansir dari
Antara
.
Ani menjelaskan, pada periode 2017-2018, Pemprov DKI Jakarta memiliki target dari pemerintah pusat untuk mendaftarkan 95 persen warganya sebagai peserta JKN. Ini dilakukan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh warga Jakarta.
“Pergub itu komitmen Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan akses layanan kesehatan kepada seluruh masyarakat yang belum terdaftar dalam JKN. Pergub melindungi hak penuh kesehatan masyarakat Jakarta,” ujar Ani.
Ani melanjutkan, penduduk yang memenuhi kriteria administratif, di antaranya memiliki KTP Jakarta dan bersedia dirawat di kelas 3, pada saat itu dapat didaftarkan oleh perangkat daerah setempat (lurah/camat) sebagai peserta PBI APBD.
“Termasuk Harvey Moeis dan Sandra Dewi. Keduanya terdaftar sejak 1 Maret 2018. Namun, sejak 2020, Pemprov DKI Jakarta berproses menata ulang data penerima PBI APBD agar lebih tepat sasaran,” ungkap Ani.
Adapun tata kelola ulang PBI APBD agar bisa tepat sasaran dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, dengan mengintegrasikan data fakir miskin dan masyarakat tidak mampu ke dalam segmen PBI JK, yang pembiayaannya berasal dari pemerintah pusat.
Selanjutnya, diberikan penekanan kepada pemberi kerja untuk mendaftarkan para pekerja mereka ke dalam segmen Pekerja Penerima Upah (PPU). Terakhir, diluncurkan kampanye “Mandiri itu Keren” guna mendorong masyarakat yang mampu untuk membayar iuran secara mandiri.
“Saat ini, Pemprov DKI Jakarta sedang merevisi Peraturan Gubernur Nomor 46 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan untuk menyesuaikan kriteria peserta PBI APBD agar bantuan ini benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan, dengan tetap menjaga prinsip keadilan dan transparansi dalam pelaksanaannya,” jelas Ani.
Untuk diketahui, kepesertaan JKN terdiri dari beberapa segmen, berikut di antaranya:
1. Pekerja Penerima Upah (PPU): peserta yang didaftarkan oleh pemberi kerja.
2. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK): peserta yang iurannya ditanggung oleh pemerintah pusat untuk fakir miskin dan masyarakat tidak mampu.
3. Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja/Peserta Mandiri (PBPU BP): peserta yang membayar iurannya sendiri.
4. Penerima Bantuan Iuran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (PBI APBD): peserta yang preminya ditanggung oleh Pemerintah Daerah melalui APBD.
“Kami akan berkoordinasi juga dengan BPJS Kesehatan terkait revisi Pergub, sehingga perlindungan kesehatan bagi setiap warga bisa terpenuhi tetapi tepat sasaran,” tutur Ani.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2024/10/21/6716083205f05.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Kenapa Harvey Moeis dan Sandra Dewi yang Kaya Raya Dapat BPJS Kesehatan Bantuan APBD Jakarta? Megapolitan
-
/data/photo/2024/08/14/66bc237a28688.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Penjelasan Dinkes Jakarta Soal Harvey Moeis dan Sandra Jadi Peserta PBI BPJS Kesehatan Megapolitan
Penjelasan Dinkes Jakarta Soal Harvey Moeis dan Sandra Jadi Peserta PBI BPJS Kesehatan
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta Ani Ruspitawati membenarkan bahwa terpidana tindak pidana korupsi (tipikor) kasus timah
Harvey Moeis
dan istrinya,
Sandra Dewi
, terdaftar sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI) dalam program BPJS Kesehatan.
Ani menjelaskan, pihaknya mendorong kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tanpa memandang status sosial ekonomi warga. Hal ini dilakukan untuk memenuhi hak kesehatan seluruh warga Jakarta sebagai implementasi kebijakan Universal Health Coverage (UHC) dari pemerintah pusat.
“Sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 169 Tahun 2016 tentang Kepesertaan dan Jaminan Pelayanan Kesehatan, pada periode 2017-2018, Pemprov DKI Jakarta melaksanakan percepatan Universal Health Coverage (UHC) dengan tujuan memastikan seluruh penduduk DKI Jakarta memiliki akses terhadap layanan kesehatan,” kata Ani dalam keterangannya, Minggu (29/12/2024), dilansir dari
Antara
.
Ani menjelaskan, pada periode 2017-2018, Pemprov DKI Jakarta memiliki target dari pemerintah pusat untuk mendaftarkan 95 persen warganya sebagai peserta JKN.
Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh warga Jakarta.
“Pergub itu komitmen Pemprov DKI Jakarta untuk memberikan akses layanan kesehatan kepada seluruh masyarakat yang belum terdaftar dalam JKN. Pergub melindungi hak penuh kesehatan masyarakat Jakarta,” ujar Ani.
Ani melanjutkan, penduduk yang memenuhi kriteria administratif, di antaranya memiliki KTP Jakarta dan bersedia dirawat di kelas 3, pada saat itu dapat didaftarkan oleh perangkat daerah setempat (lurah/camat) sebagai peserta PBI APBD.
“Termasuk Harvey Moeis dan Sandra Dewi. Keduanya terdaftar sejak 1 Maret 2018. Namun, sejak 2020, Pemprov DKI Jakarta berproses menata ulang data penerima PBI APBD agar lebih tepat sasaran,” ungkap Ani.
Adapun tata kelola ulang PBI APBD agar bisa tepat sasaran dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, dengan mengintegrasikan data fakir miskin dan masyarakat tidak mampu ke dalam segmen Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK), yang pembiayaannya berasal dari pemerintah pusat.
Selanjutnya, diberikan penekanan kepada pemberi kerja untuk mendaftarkan para pekerja mereka ke dalam segmen Pekerja Penerima Upah (PPU). Terakhir, diluncurkan kampanye “Mandiri itu Keren” guna mendorong masyarakat yang mampu untuk membayar iuran secara mandiri.
“Saat ini, Pemprov DKI Jakarta sedang merevisi Peraturan Gubernur Nomor 46 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan untuk menyesuaikan kriteria peserta PBI APBD agar bantuan ini benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan, dengan tetap menjaga prinsip keadilan dan transparansi dalam pelaksanaannya,” jelas Ani.
Untuk diketahui, kepesertaan JKN terdiri dari beberapa segmen, berikut di antaranya:
1. PPU (Pekerja Penerima Upah): Peserta yang didaftarkan oleh pemberi kerja.
2. PBI JK (Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan): Peserta yang iurannya ditanggung oleh pemerintah pusat untuk fakir miskin dan masyarakat tidak mampu.
3. PBPU BP (Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja/Peserta Mandiri): Peserta yang membayar iurannya sendiri.
4. PBI APBD (Penerima Bantuan Iuran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah): Peserta yang preminya ditanggung oleh Pemerintah Daerah melalui APBD.
“Kami akan berkoordinasi juga dengan BPJS Kesehatan terkait revisi Pergub, sehingga perlindungan kesehatan bagi setiap warga bisa terpenuhi tetapi tepat sasaran,” tutur Ani.
Sebelumnya, beredar di media sosial X sejak Sabtu (28/12/2024) bahwa tersangka kasus korupsi timah Harvey Moeis dan istrinya, Sandra Dewi, menjadi peserta
PBI BPJS Kesehatan
Kelas 3.
Kabar tersebut menghebohkan jagat maya lantaran Harvey yang telah merugikan negara hingga Rp 300 triliun, dan sang istrinya l merupakan seorang selebritas, juga kerap tampil mewah. Namun, iuran BPJS Kesehatan mereka justru dibayarkan oleh pemerintah.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kejari Gresik Kembalikan Berkas Kasus Mantan Kades Sekapuk
Gresik (beritajatim.com) – Proses hukum terhadap Abdul Halim, mantan Kepala Desa (Kades) Sekapuk, yang diduga terlibat kasus penggelapan aset desa, mengalami hambatan. Kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik mengembalikan berkas perkara tersebut ke penyidik untuk dilengkapi dalam waktu 14 hari.
Kasipidum Kejari Gresik, Bram Prima Putra, menjelaskan bahwa berkas perkara Abdul Halim masih berstatus P-19, artinya belum lengkap untuk dilanjutkan ke tahap persidangan. Kasus ini berkaitan dengan dugaan tindak pidana penggelapan aset desa.
“Perlu ada beberapa berkas yang dilengkapi. Hal tersebut penting sebagai dasar pertimbangan kami dalam menyusun dakwaan dalam persidangan nanti,” kata Bram, Minggu (29/12/2024).
Bram menambahkan bahwa pihaknya telah memberikan catatan kepada tim penyidik Unit Tipikor Satreskrim Polres Gresik. Catatan tersebut meliputi penambahan keterangan saksi, alat bukti, dan petunjuk lainnya.
“Kami memberikan waktu 14 hari kepada tim penyidik untuk segera melengkapi berkas perkara,” lanjutnya.
Di sisi lain, Kanit Tipikor Satreskrim Polres Gresik, Iptu Ketut Raisa, menyatakan pihaknya akan segera melengkapi berkas sesuai catatan yang diberikan oleh Kejari. Namun, ia belum merinci secara spesifik kekurangan yang dimaksud.
“Belum bisa kami sampaikan karena berkaitan dengan proses penyidikan,” jelas Ketut.
Ia juga menyebutkan bahwa dalam waktu dekat tim penyidik akan memanggil sejumlah saksi dan meninjau kawasan Selo Giri Tirto (Setigi), lokasi yang menjadi objek dugaan penggelapan.
“Semua yang kami lakukan ini bagian dari proses penyidikan sekaligus menindaklanjuti dugaan korupsi anggaran penerimaan asli desa (PADes),” tambahnya.
Sementara itu, kuasa hukum Abdul Halim, Machfud, menilai penetapan kliennya sebagai tersangka terkesan dipaksakan. Ia beralasan bahwa surat bukti kepemilikan 12 aset desa masih utuh dan tidak berpindah tangan.
“Jika digelapkan tentu sudah berganti nama atau dijaminkan ke pihak lain. Namun, bukti kepemilikan aset desa masih utuh dan lengkap,” tegas Machfud. [dny/but]
-
/data/photo/2023/04/13/643780ed9573e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mengapa Pemerintah Menyetop Wacana Denda Damai Koruptor?
Mengapa Pemerintah Menyetop Wacana Denda Damai Koruptor?
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wacana denda damai terhadap koruptor yang sempat memancing perbincangan hangat di tengah masyarakat akhirnya dihentikan oleh pemerintah.
Meski pemerintah yang menggulirkan wacana itu, tetapi akhirnya mereka menyadari terdapat kekeliruan dan menuai reaksi negatif jika tetap dibiarkan.
Denda damai adalah mekanisme penyelesaian kasus di luar pengadilan dengan membayar sejumlah denda. Dalam konteks hukum Indonesia, mekanisme ini diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
Mekanisme ini berlaku untuk tindak pidana ekonomi seperti perpajakan, bea cukai, dan kepabeanan, tetapi bukan untuk
korupsi
.
Menteri Hukum
Supratman Andi Agtas
sebelumnya menyampaikan gagasan denda damai bagi koruptor sebagai alternatif penyelesaian kasus korupsi di luar pengadilan.
Ia berpendapat, korupsi dan tindak pidana ekonomi sama-sama berdampak pada kerugian negara, sehingga bisa dibandingkan.
Dalam klarifikasinya, Supratman menjelaskan wacana ini hanya sebagai perbandingan, bukan usulan kebijakan.
“Yang saya maksudkan itu adalah meng-
compare
. Karena UU Tindak Pidana
Korupsi
ataupun juga UU Kejaksaan, khusus pada tindak pidana ekonomi, dua-duanya itu adalah tindak pidana yang merugikan keuangan negara,” kata Supratman di Jakarta pada Jumat (27/12/2024) lalu.
Pernyataan Supratman menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Mantan Menko Polhukam
Mahfud MD
menegaskan denda damai tidak bisa diterapkan untuk korupsi.
Ia menyebut, mekanisme ini hanya berlaku pada tindak pidana ekonomi yang mencakup pajak, bea cukai, dan kepabeanan.
“Korupsi enggak masuk,” ujar Mahfud di kantornya di Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
Pandangan serupa diutarakan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar.
Ia menyatakan korupsi tidak termasuk dalam kategori tindak pidana ekonomi yang dapat diselesaikan melalui denda damai.
“Penyelesaian tipikor berdasarkan UU tipikor, yaitu dengan uang pengganti,” ujarnya.
Supratman menyinggung wacana serupa pernah muncul di masa lalu. Mahfud MD, ketika menjabat sebagai Menteri Kehakiman era Presiden Abdurrahman Wahid, sempat mengusulkan pengampunan koruptor dengan berbagai cara.
“Beliau menyatakan bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Latvia atau Afrika Selatan,” kata Supratman.
Meski begitu, Supratman menegaskan wacana ini hanya sebagai perbandingan, bukan rencana kebijakan. Ia juga memastikan Presiden Prabowo Subianto tidak berencana memberikan amnesti kepada pelaku korupsi dalam program pemberian amnesti narapidana.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Presiden Prabowo Usulkan Pengampunan Koruptor, Pukat UGM: Awas Jadi Bumerang!
Yogyakarta (beritajatim.com)- Gagasan Presiden Prabowo Subianto mengundang perhatian public usai ide kontroversialnya mencuat dalam pidatonya di hadapan mahasiswa Indonesia di Mesir pada Senin (18/12) lalu. Dalam pidatonya, Prabowo mengusulkan pengampunan bagi koruptor dengan syarat mereka mengembalikan aset negara yang telah dirampas.
Menanggapi pidato kontroversial ini, Yuris Rezha Darmawan, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) secara tegas menyatakan gagasan pengampunan dapat menjadi bumerang jika tidak dilaksanakan dengan hati-hati.
“Alih-alih memberikan pengampunan, negara seharusnya fokus menciptakan efek jera agar pelaku tidak mengulanginya,” ujar Yuris, dalam siaran pers.
Yuris menjelaskan bahwa motif utama di balik tindakan korupsi biasanya adalah keuntungan ekonomi. Oleh karena itu, strategi pemberantasan harus menekankan pada pemiskinan pelaku korupsi serta perampasan aset yang diperoleh secara ilegal.
“Negara harus memastikan aset-aset hasil korupsi benar-benar kembali menjadi milik publik,” tambahnya.
Strategi Alternatif untuk Pemberantasan Korupsi
Sebagai alternatif dari kebijakan pengampunan, Yuris mengusulkan beberapa langkah strategis yang dapat diambil pemerintah di antaranya penelusuran aliran ana, optimalisasi penagihan uang pengganti, segera dilakukan pengesahan RUU Perampasan Aset serta reformasi KPK dan penegakan hukum secara benar.
Yuris menegaskan Presiden perlu mendorong aparat penegak hukum untuk lebih fokus pada pelacakan aset hasil korupsi daripada sekadar menghukum pelaku. Menurut Yuris, aset korupsi sering kali tidak disimpan dalam bentuk uang tunai, melainkan diinvestasikan atau diatasnamakan pihak lain.
“Pendekatan ini bisa diperkuat dengan penerapan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) bersama dengan undang-undang tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Yuris juga mengkritik lemahnya upaya pemerintah dalam menagih uang pengganti yang telah diputuskan pengadilan.
“Puluhan triliun rupiah piutang negara masih belum tertagih. Presiden harus mendorong KPK dan kejaksaan untuk lebih tegas dalam memastikan pembayaran ini,” tegas Yuris.
Terkait RUU Perampasan Aset, Pukat UGM mendorong penuh pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset untuk mempermudah negara menyita hasil kejahatan. Selain itu, ia mengusulkan revisi UU Tipikor agar memasukkan pasal tentang “illicit enrichment” atau kekayaan yang tidak sah.
“Dengan pasal ini, pejabat yang tidak dapat membuktikan asal usul kekayaannya dapat kehilangan aset tersebut,” paparnya.
Selain kebijakan, Yuris menyoroti perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Ia mengkritik lemahnya peran lembaga seperti KPK yang dinilai kehilangan efektivitas dalam beberapa tahun terakhir.
“KPK, kepolisian, dan kejaksaan membutuhkan reformasi besar-besaran. Presiden harus memastikan integritas aparat penegak hukum terjaga dan sistemnya diperbaiki,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Yuris mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup hanya berupa retorika.
“Negara kita adalah negara hukum. Semua tindakan pemerintah harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan konkret, bukan sekadar janji lisan,” pungkasnya. [aje]
-

Netizen Sindir Harvey Moeis dan Sandra Dewi Masih Dapat Bantuan Iuran BPJS Kesehatan
Jakarta, Beritasatu.com – Vonis penjara selama 6,5 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis, suami dari Sandra Dewi, terkait dengan kasus korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, memicu penyesalan di kalangan masyarakat. Bahkan, pasangan tersebut kini diketahui mendapatkan bantuan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Di tengah kemarahan publik terhadap putusan tersebut, sejumlah netizen mengajak stasiun televisi dan pihak media untuk memboikot Sandra Dewi dari dunia hiburan, dengan alasan moral.
Yang semakin memperburuk situasi, seorang netizen dengan akun X @irwndfrry mengungkapkan fakta mengejutkan, terkait keikutsertaan Harvey Moeis dan Sandra Dewi dalam program BPJS Kesehatan, di kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu.
Jangan galak-galak ke mereka gaes, mereka fakir miskin yang ditanggung pemerintah 😭😭 pic.twitter.com/7dt604te5K
— Ferry Irwandi (@irwndfrry) December 28, 2024
Fakta tersebut melalui unggahan yang menampilkan dua kartu digital BPJS yang diduga milik mereka.
“Jangan galak-galak ke mereka gaes, mereka fakir miskin yang ditanggung pemerintah ,” tulis akun @irwndfrry dikutip Beritasatu.com, Minggu (29/12/2024).
Mendapati informasi tersebut, banyak netizen yang memberikan komentar pedas terkait keterlibatan Harvey Moeis dan Sandra Dewi dalam program BPJS Kesehatan, yang seharusnya memang diperuntukkan bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi terbatas.
“Pantas saja hukumannya ringan. Mungkin hakimnya enggak tega kasih hukuman lama, karena mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan,” komentar seorang netizen.
“Benarkah ini? Saya sampai kesulitan bayar BPJS, bahkan enggak bisa dapat surat miskin karena katanya rumah saya masih bagus. Nasib kelas menengah yang hampir miskin. Gaji nggak cukup buat bayar asuransi kesehatan, tetapi juga enggak miskin cukup untuk dapat bantuan sosial. Kok bisa ya dua orang ini?” tambah netizen lainnya.
“Saya sampai menangis lihat kenyataan ini. Saya yang kerja keras sebagai buruh pabrik, menghidupi lima orang, berangkat pagi-pulang malam desak-desakan di kereta, tiap bulan dipotong BPJS kelas 1, eh ada orang kaya raya yang nyolong uang BPJS malah dapat bantuan dari negara. Miris,” ungkap netizen lainnya.
Hingga kini, belum ada klarifikasi lebih lanjut dari pihak BPJS Kesehatan terkait tersebarnya screenshot yang menunjukkan keikutsertaan Harvey Moeis dan Sandra Dewi terdaftar dalam BPJS Kesehatan, yang seharusnya diperuntukkan bagi golongan masyarakat yang tidak mampu.

:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/4888495/original/051295900_1720622440-IMG_20240710_223353.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

