Kasus: Tipikor

  • Imbauan Presiden, Bukan Bentuk Intervensi

    Imbauan Presiden, Bukan Bentuk Intervensi

    GELORA.CO  – Mahkamah Agung RI (MA) merespons pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang meminta sejatinya ada penegakan hukum yang tegas terhadap koruptor yang merugikan negara dalam jumlah besar.

    Prabowo menyatakan, sejatinya para koruptor bisa divonis 50 tahun penjara oleh hakim pengadilan.

    Menanggapi hal itu, Juru Bicara MA RI Yanto mengatakan, apa yang disampaikan oleh merupakan suatu imbauan kepada para pejabat negara untuk tidak korupsi.

    “Maka kalau sudah terbukti kalau nggak salah begitu. Sudah terbukti itu kan imbauannya begitu,” kata Yanto saat jumpa pers di MA RI, Kamis (2/1/2025).

    Dengan begitu, Yanto beranggapan kalau pernyataan dari Prabowo bukanlah sebuah bentuk intervensi dari eksekusi kepada yudikatif.

    Kata dia, apa yang disampaikan oleh Prabowo merupakan suatu permintaan penjatuhan vonis apabila dalam persidangan sudah didapatkan bukti yang kuat terhadap koruptor.

    “Kalau sudah jelas-jelas terbukti korupsi dan korupsinya besar begitu, mbok yo di (penjara) 50 tahun itu. Nah itu nggak intervensi. Ya kan penegasan aja,” kata dia.

    “Kalau sudah jelas-jelas artinya sudah terbukti evidennya lengkap ya. Sesuai dengan alat bukti yang tertera dalam pasal 1 sampai 4 kuhap terpenuhi semua gitu. Sehingga 2 alat bukti dan keyakinan hakim,” sambung Yanto.

    Menurut dia, lembaga eksekutif dapat dikatakan melakukan intervensi apabila dalam suatu persidangan terdapat permintaan untuk mengubah hasil putusan.

    Sementara, apa yang disampaikan oleh Prabowo dipahami Yanto, merupakan bentuk wanti-wanti dari seorang Presiden kepada para koruptor.

    “Tidak intervensi kepada yudikatif. Jadi intervensi itu kalau merah kau bikin hijau. Nah itu intervensi. Beliau kan nggak begitu dong. Jadi kita tidak merasa diintervensi,” tandas Yanto.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto meminta majelis hakim yang menangani kasus korupsi untuk memberi hukuman yang tidak terlalu ringan kepada para koruptor.

    Menurut Prabowo, jika ada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara ratusan triliun rupiah, maka seharusnya pelaku diganjar dengan hukuman berat, bahkan kalau perlu diganjar hukuman 50 tahun penjara.

    Hal itu disampaikan Prabowo saat memberikan arahan di acara musyawarah rencana pembangunan nasional tahun 2025-2029 Bappenas pada Senin, (30/12/2024).

    Prabowo menilai koruptor yang menyebabkan kerugian negara secara besar, sangat pantas untuk dihukum secara berat. “Terutama juga hakim-hakim, vonisnya jangan terlalu ringan lah,” kata Prabowo.

    Prabowo mengaku heran kasus yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun, namun terdakwanya hanya dihukum ringan.

    Menurut Prabowo, rakyat Indonesia kini tidak bodoh. Publik mengerti akan hal itu. “Nanti dibilang Prabowo enggak ngerti hukum lagi. Tapi rakyat ngerti, rakyat di pinggir jalan ngerti, rampok ratusan triliun vonisnya sekian tahun. Ada yang curi ayam dihukum berat dipukuli. Ini bisa menyakiti rasa keadilan,” tegas Prabowo.

    “Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV,” katanya.

    Maka itu, ia meminta Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto memperhatikan soal ini. 

    “Tolong menteri pemasyarakatan, ya,” ujarnya.

    Prabowo mengatakan dirinya tidak menyalahkan siapapun.

    Dirinya hanya ingin semua unsur pemerintah termasuk aparat penegak hukum memperbaiki diri. Pasalnya kata dia rakyat Indonesia sekarang ini tidak bodoh. 

    “Ini kesalahan kolektif kita, mari kita bersihkan, makanya saya katakan aparat pemerintahan kita gunakan ini untuk membersihkan diri untuk membenahi diri sebelum nanti rakyat yang membersihkan kita lebih baik kita membersihkan diri kita sendiri. Rakyat Indonesia sekarang tidak bodoh mereka pintar-pintar semua orang punya gadget sudah lain ini bukan 30 tahun yang lalu ini bukan 20 tahun yang lalu,” ujarnya.

    Meski tidak disampaikan secara eksplisit, ucapan Prabowo mengacu pada putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang memvonis Harvey Moeis bersalah atas tindak pidana korupsi pada penyalahgunaan izin usaha pengelolaan area PT Timah (Persero) Tbk. (TINS).

    Harvey dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar. Jika tak dibayar, maka diganti dengan kurungan 6 bulan

    Prabowo kemudian meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk naik banding atas kasus tersebut.

    Baca juga: Prabowo Ingin Vonis Harvey Moeis Kira-kira 50 Tahun Penjara, Kejaksaan Agung Serius Ajukan Banding

    “Tolong menteri pemasyarakatan ya, Jaksa Agung, naik banding enggak? Naik banding. Vonisnya ya 50 tahun kira-kira begitu,” ucapnya

  • Buntut kasus Disbud, jajaran Pemprov DKI diingatkan taati peraturan

    Buntut kasus Disbud, jajaran Pemprov DKI diingatkan taati peraturan

    walaupun itu terjadi pada tahun anggaran sebelumnya. Itu menjadi pembelajaran kita semua

    Jakarta (ANTARA) – Penjabat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Teguh Setyabudi mengingatkan kepada seluruh jajaran di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta untuk melaksanakan program kegiatan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

    Teguh secara tegas meminta agar kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang melibatkan Dinas Kebudayaan Jakarta tidak terulang kembali.

    “Sudah saya tekankan, apa yang terjadi pada dinas tersebut, walaupun itu terjadi pada tahun anggaran sebelumnya. Itu menjadi pembelajaran kita semua. Mari kita betul-betul melaksanakan program kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku,” kata Teguh di Jakarta, Jumat.

    Teguh juga menegaskan agar jajarannya tak membuat kegiatan yang bersifat fiktif atau melaksanakan kegiatan yang asal-asalan tanpa memberikan dampak kepada masyarakat.

    “Ayo kita tidak sekedar untuk meningkatkan kapasitasnya dan ketrampilan kita. Tetapi juga sisi integritas kita juga harus dijaga. Saya minta seluruh jajaran seperti itu,” kata Teguh.

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta tahun anggaran 2025 juga akan menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah yakni senilai Rp91,34 Triliun.

    Untuk itu, Teguh meminta seluruh jajarannya betul-betul mencermati belanja anggaran di wilayah masing-masing.

    “Selanjutnya kita juga harus mempersiapkan diri, bagaimana kita menyiapkan semua laporan kegiatan tahun 2024 dengan sebaik-baiknya. Saya minta jangan dianggap rutinitas itu adalah biasa. Siapkan laporan pertanggungjawaban, laporan seluruh kegiatan 2024 dengan sebaik-baiknya,” kata Teguh.

    Sebelumnya (18/12), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi DKI Jakarta menemukan stempel palsu yang diduga untuk penyimpangan dana di kantor Dinas Kebudayaan DKI yang beralamat di Jalan Gatot Subroto, Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan.

    Kasipenkum Kejati DKI Jakarta, Syahron Hasibuan mengatakan stempel fiktif itu digunakan sebagai laporan kegiatan yang nyatanya diduga tidak sesuai dengan pelaksanaan di lapangan.

    Dia menjelaskan pada awalnya tujuan pemakaian stempel itu agar anggaran Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta bisa dicairkan. Namun, ternyata stempel itu yang disalahgunakan.

    Kejati DKI Jakarta menduga adanya kerugian yang mencapai Rp150 miliar lebih berdasarkan dari nilai kegiatan pada dokumen Anggaran Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pemprov DKI dukung proses hukum kasus tipikor Dinas Kebudayaan

    Pemprov DKI dukung proses hukum kasus tipikor Dinas Kebudayaan

    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepenuhnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendukung upaya penegakan hukum terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang melibatkan Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Jakarta.

    Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Kamis (2/1) sudah menetapkan tiga tersangka dalam kaitan penyimpangan kegiatan-kegiatan pada Disbud Provinsi DKI Jakarta yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2023.

    “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepenuhnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Kasus ini menjadi perhatian serius dan Pemprov DKI Jakarta berkomitmen untuk mendukung upaya penegakan hukum yang transparan, adil, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik (Diskominfotik) Budi Awaluddin di Jakarta, Jumat.

    Sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen dalam menjaga kepercayaan publik, Pemprov DKI Jakarta sudah menonaktifkan para tersangka yang sudah ditetapkan oleh Kejati. Tindakan itu, sebut Budi untuk memastikan kelancaran proses penyidikan.

    “Jika seorang PNS ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2020 (perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS), maka status PNS diberhentikan sementara,” jelas Budi.

    Pemberhentian sementara bagi PNS karena menjadi tersangka tindak pidana juga ditetapkan dalam pasal 40 Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dan Pasal 53 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

    Pemberhentian sementara status PNS Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepala Bidang terkait diberlakukan sambil menunggu salinan surat penetapan tersangka dan surat perintah penahanan dari instansi yang berwenang. Kemudian, jabatan Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepala Bidang terkait akan diisi oleh Pelaksana Tugas.

    Adapun jika PNS terbukti bersalah di pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman hukuman minimal dua tahun penjara, maka sesuai PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang bersangkutan dapat diberhentikan secara tidak hormat.

    Budi mengatakan, Pemprov DKI Jakarta siap bekerja sama sepenuhnya dengan Kejaksaan untuk membantu penyelesaian kasus ini.

    “Pemerintah juga memastikan akses data dan informasi yang diperlukan dalam proses hukum tersedia dan terbuka sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Budi.

    Budi juga mengingatkan kepada jajaran atas apa yang dipesankan Penjabat (Pj.) Gubernur bahwa kasus ini menjadi peringatan agar senantiasa menjunjung tinggi integritas dalam setiap pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, serta melaksanakan program dan kegiatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2025

  • Mahfud MD Tegur Etika Sidang Vonis Harvey: Ini Aneh

    Mahfud MD Tegur Etika Sidang Vonis Harvey: Ini Aneh

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Menkopolhukam, Prof Mahfud MD, menyampaikan kritik tajam terhadap jalannya sidang vonis Harvey Moeis.

    Dikatakan Mahfud, ada pelanggaran tata tertib (tatib) dalam prosedur persidangan yang seharusnya dijalankan dengan penuh disiplin.

    “Tatibnya, saat hakim masuk dan keluar ruang sidang pengunjung bersikap sempurna,” ujar Mahfud dalam keterangannya di aplikasi X @mohmahfudmd (3/12/2024).

    Namun, ia menyebut bahwa dalam sidang vonis Harvey Moeis, situasinya berjalan di luar kebiasaan.

    “Tapi sidang pengucapan vonis Harvey ini aneh,” cetusnya.

    Setelah mengetukkan palu, hakim tetap duduk di tempatnya dan membiarkan Harvey merayakan putusan di depan majelis hakim.

    “Setelah mengetukkan palu vonisnya hakim malah tetap duduk dan membiarkan Harvey bersukaria di depan majelis,” Mahfud menuturkan.

    Mahfud bilang, dalam prosedur sidang yang benar, hakim seharusnya meninggalkan ruangan terlebih dahulu sebelum pengunjung atau pihak lain berdiri dan beraktivitas.

    “Harusnya hakim keluar dulu, baru yang lain boleh berdiri,” kuncinya.

    Untuk diketahui, nama Hakim Eko Aryanto mendadak ramai diperbincangkan publik setelah memimpin sidang kasus korupsi timah dengan kerugian negara mencapai Rp271 triliun.

    Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar.

    Bukan hanya itu, Ketua Majelis Hakim juga hanya menjatuhkan kewajiban mengganti kerugian negara sebesar Rp210 miliar kepada terdakwa Harvey Moeis, suami selebritis Sandra Dewi.

  • Komisi E DPRD Soroti Kekosongan Jabatan Kadisbud Jakarta Pasca-Kasus Korupsi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        3 Januari 2025

    Komisi E DPRD Soroti Kekosongan Jabatan Kadisbud Jakarta Pasca-Kasus Korupsi Megapolitan 3 Januari 2025

    Komisi E DPRD Soroti Kekosongan Jabatan Kadisbud Jakarta Pasca-Kasus Korupsi
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi E DPRD Jakarta, Dina Masyusin menyoroti kekosongan jabatan Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) setelah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tersebut mencuat.
    Untuk diketahui, Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Jakarta, Iwan Henry Wardhana, dinonaktifkan setelah disebut-sebut terlibat dalam dugaan korupsi kegiatan fiktif.
    “Sejak kasus ini terungkap, Kadis telah diberhentikan dan sementara jabatannya diisi oleh Sekdis sebagai Plh. Kami berharap Pemprov DKI segera menunjuk Plt untuk mengisi posisi tersebut hingga proses lelang jabatan dilakukan,” ujar Dina kepada
    Kompas.com
    , Kamis (2/1/2025).
    Iwan Henry Wardhana telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta, bersama dua tersangka lainnya, yaitu Kabid Pemanfaatan Disbud Jakarta berinisial MFM dan GAR, pemilik event organizer (EO) GR-Pro.
    Komisi E DPRD yang membidangi kesejahteraan rakyat meliputi Dinas Kebudayaan itu menyesalkan keterlibatan mitranya dalam dugaan kegiatan fiktif senilai Rp 150 miliar pada anggaran 2023.
    “Sebagai mitra kerja, kami sangat menyesalkan dan merasa miris karena masih ada pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya untuk kegiatan fiktif,” ucap Dina.
    Dina juga mengkritik Pemprov DKI Jakarta yang masih belum mengisi jabatan Kadisbud dengan pejabat definitif setelah Iwan diberhentikan. Ia meminta agar posisi tersebut segera diisi dengan pejabat sementara (Plt), sambil menunggu proses lelang jabatan yang lebih transparan.
    “Sejak kasus ini mencuat, Kadis diberhentikan dan jabatannya diisi oleh Sekdis sebagai Plh. Kami harap agar Pemprov DKI minimal menempatkan Plt, sambil menunggu lelang jabatan yang baru,” tambah Dina.
    Sebagai Wakil Ketua Fraksi Demokrat-Perindo DPRD Jakarta, Dina juga mengingatkan Pemprov agar meningkatkan pengawasan terhadap kinerja para pejabat eselon II, termasuk pada Kadisbud.
    Ia berharap kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi pejabat di lingkungan pemerintah provinsi untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja aparatur sipil negara (ASN).
    “Saya juga meminta kepada Pemprov DKI agar betul-betul menskrining para pejabat dengan baik dan membuat komitmen agar yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela,” ujar Dina.
    Diberitakan sebelumnya, Kejati Jakarta telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Disbud Jakarta.
    Penetapan ini diumumkan dalam konferensi pers yang berlangsung pada Kamis, kemarin.
    Kepala Kejati Jakarta Patris Yusrian Jaya mengungkapkan bahwa di antara tiga tersangka terdapat nama Kepala Dinas Kebudayaan nonaktif Iwan Henry Wardhana (IHW).
    Bersama dua tersangka lainnya, Iwan diduga terlibat dalam penyalahgunaan pencairan dana anggaran dinas tahun 2023 dengan cara menciptakan acara-acara fiktif.
    Selain Iwan, dua tersangka lainnya adalah Kabid Pemanfaatan Disbud Jakarta berinisial MFM dan GAR, pemilik event organizer (EO) GR-Pro.
    “Kami menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa penyimpangan kegiatan-kegiatan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Jakarta yang bersumber dari APBD,” ujar Patris.
    Setiap tersangka memiliki surat penetapan yang terpisah, dengan Iwan mendapatkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/M.1/Fd.1/01/2025, MFM dengan TAP-02M.1/Fd.1/01/2025, dan GAR dengan TAP-03M.1/Fd.1/01/2025, semuanya tertanggal 2 Januari 2025.
    Patris menjelaskan modus yang digunakan oleh Iwan dan MFM melibatkan kerja sama dengan GAR untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang seolah-olah dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan.
    Mereka menciptakan beberapa perusahaan dan mengajak vendor untuk menggambarkan seolah kegiatan tersebut benar-benar diadakan.
    “Dalam pelaksanaannya, ada beberapa variasi kegiatan, ada yang dilaksanakan secara fiktif, ada yang sebagian benar dilakukan,” kata Patris.
    Pencairan dana dilakukan dengan menggunakan surat pertanggungjawaban (SPJ) yang dibuat oleh MFM dan GAR, yang dilengkapi dengan cap-cap palsu.
    “Semua dilengkapi dengan surat pertanggungjawaban penggunaan anggaran atau SPJ dengan menggunakan stampel-
    stempel palsu
    ,” imbuh dia.
    Salah satu kegiatan fiktif yang berhasil diidentifikasi adalah pagelaran seni yang menghabiskan dana sebesar Rp 15 miliar.
    Para tersangka memanipulasi acara sehingga tampak nyata dengan melibatkan sejumlah pihak untuk mengenakan kostum penari.
    Pihak-pihak ini kemudian diminta untuk berfoto di panggung dengan harapan menciptakan kesan bahwa kegiatan tersebut benar-benar dilaksanakan.
    “Pihak tersebut diberi seragam sebagai penari dan selanjutnya foto-foto di panggung dan diberi judul seolah-olah foto ini setelah melaksanakan kegiatan tarian tertentu, tapi tariannya tidak pernah ada,” jelas Patris.
    Hingga kini, Iwan Henry Wardhana belum memenuhi pemanggilan dari Kejati terkait kasus ini.
    Oleh karena itu, Kejati berencana untuk memanggilnya kembali setelah penetapan sebagai tersangka.
    “Yang dua (Iwan dan MFM) belum diperiksa sebagai tersangka, baru dipanggil sebagai tersangka,” ungkap Patris.
    Sementara itu, GAR, selaku pemilik EO yang diduga terlibat dalam kasus ini, sudah ditahan di Rumah Tahanan Negara Cipinang selama 20 hari ke depan.
    Penyidik berencana untuk memanggil Iwan dan MFM pekan depan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
    “Nanti diinformasikan oleh penyidiknya, tapi kami panggil untuk diperiksa sebagai tersangka,” pungkas Patris.
    Kasus ini masih dalam proses penyelidikan, dan Kejati akan terus mendalami lebih dalam terkait dugaan korupsi di lingkungan Dinas Kebudayaan Jakarta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MA Sebut Vonis 6,5 Tahun Penjara Harvey Moeis Belum Inkrah, Publik Diminta Bersabar

    MA Sebut Vonis 6,5 Tahun Penjara Harvey Moeis Belum Inkrah, Publik Diminta Bersabar

    JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) meminta semua pihak bersabar mengenai vonis pidana untuk Harvey Moeis, terdakwa dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada kurun 2015–2022.

    “Jadi, mohon bersabar karena perkara itu diajukan banding oleh jaksa sehingga kami tunggu karena dengan diajukan banding maka putusan pengadilan menjadi belum inkrah, belum berkekuatan hukum tetap,” kata Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Yanto di Gedung MA, Jakarta, Kamis 2 Januari, disitat Antara.

    Yanto menjelaskan bahwa vonis untuk terdakwa kasus korupsi tidak mengenal hukuman pidana hingga 50 tahun penjara.

    “Kalau masalah hukuman yang 50 tahun, hukum positif kita kan mengenalnya minimal setahun, terus maksimalnya bisa penjara seumur hidup. Kemudian kalau Pasal 2 ayat (1) (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, red) kan empat tahun, bisa 20 tahun. Atau seumur hidup dan dalam keadaan tertentu kan bisa hukuman mati,” jelasnya.

    Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, seperti korupsi saat terjadi bencana alam, krisis moneter, maupun pada terjadinya perang.

    “Jadi, kita tunggu saja putusan banding seperti apa,” ujarnya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, di Jakarta, Senin (30/12), mengkritik hakim-hakim yang menjatuhkan vonis ringan kepada koruptor.

    “Kalau sudah jelas-jelas melanggar, mengakibatkan kerugian triliunan, ya semua unsur, terutama hakim-hakim, vonisnya jangan ringanlah,” kata Presiden.

    Presiden mengatakan bahwa rakyat mengerti kalau melakukan tindak pidana korupsi hingga ratusan triliun maka seharusnya vonisnya sekian tahun.

    “Vonisnya ya 50 tahun, begitu kira-kira,” ujar Presiden.

  • Kadis Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi, Akali Pencairan Dana dan Bikin Acara Fiktif
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        3 Januari 2025

    Kadis Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi, Akali Pencairan Dana dan Bikin Acara Fiktif Megapolitan 3 Januari 2025

    Kadis Kebudayaan Jakarta Tersangka Korupsi, Akali Pencairan Dana dan Bikin Acara Fiktif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Dinas Kebudayaan (Disbud) Jakarta.
    Penetapan ini diumumkan dalam konferensi pers yang berlangsung pada Kamis, 2 Januari 2025.
    Kepala Kejati Jakarta Patris Yusrian Jaya mengungkapkan bahwa di antara tiga tersangka terdapat nama Kepala Dinas Kebudayaan nonaktif
    Iwan Henry Wardhana
    (IHW).
    Bersama dua tersangka lainnya, Iwan diduga terlibat dalam penyalahgunaan pencairan dana anggaran dinas tahun 2023 dengan cara menciptakan acara-acara fiktif.
    Selain Iwan, dua tersangka lainnya adalah Kabid Pemanfaatan Disbud Jakarta berinisial MFM dan GAR, pemilik event organizer (EO) GR-Pro.
    “Kami menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa penyimpangan kegiatan-kegiatan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Jakarta yang bersumber dari APBD,” ujar Patris Yusrian Jaya saat konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025).
    Setiap tersangka memiliki surat penetapan yang terpisah, dengan Iwan mendapatkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-01/M.1/Fd.1/01/2025, MFM dengan TAP-02M.1/Fd.1/01/2025, dan GAR dengan TAP-03M.1/Fd.1/01/2025, semuanya tertanggal 2 Januari 2025.
    Menurut penjelasan Patris, modus yang digunakan oleh Iwan dan MFM melibatkan kerja sama dengan GAR untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang seolah-olah dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan.
    Mereka menciptakan beberapa perusahaan dan mengajak vendor untuk menggambarkan seolah kegiatan tersebut benar-benar diadakan.
    “Dalam pelaksanaannya, ada beberapa variasi kegiatan, ada yang dilaksanakan secara fiktif, ada yang sebagian benar dilakukan,” kata Patris.
    Pencairan dana dilakukan dengan menggunakan surat pertanggungjawaban (SPJ) yang dibuat oleh MFM dan GAR, yang dilengkapi dengan cap-cap palsu.
    “Semua dilengkapi dengan surat pertanggungjawaban penggunaan anggaran atau SPJ dengan menggunakan stampel-stempel palsu,” imbuh dia.
    Salah satu kegiatan fiktif yang berhasil diidentifikasi adalah pagelaran seni yang menghabiskan dana sebesar Rp 15 miliar.
    Para tersangka memanipulasi acara tersebut sehingga tampak nyata dengan melibatkan sejumlah pihak untuk mengenakan kostum penari.
    Pihak-pihak ini kemudian diminta untuk berfoto di panggung dengan harapan menciptakan kesan bahwa kegiatan tersebut benar-benar dilaksanakan.
    “Pihak tersebut diberi seragam sebagai penari dan selanjutnya foto-foto di panggung dan diberi judul seolah-olah foto ini setelah melaksanakan kegiatan tarian tertentu, tapi tariannya tidak pernah ada,” jelasnya.
    Iwan Henry Wardhana saat ini belum memenuhi pemanggilan dari Kejati terkait kasus ini.
    Oleh karena itu, Kejati berencana untuk memanggilnya kembali setelah penetapan sebagai tersangka.
    “Yang dua (Iwan dan MFM) belum diperiksa sebagai tersangka, baru dipanggil sebagai tersangka,” ungkap Patris.
    Sementara itu, GAR, selaku pemilik EO yang diduga terlibat dalam kasus ini, sudah ditahan di Rumah Tahanan Negara Cipinang selama 20 hari ke depan.
    Penyidik berencana untuk memanggil Iwan dan MFM pekan depan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
    “Nanti diinformasikan oleh penyidiknya, tapi kami panggil untuk diperiksa sebagai tersangka,” pungkas Patris.
    Kasus ini masih dalam proses penyelidikan, dan Kejati akan terus mendalami lebih dalam terkait
    dugaan korupsi
    di lingkungan
    Dinas Kebudayaan Jakarta
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • [POPULER NASIONAL] MK Hapus Presidential Threshold | Suara KPK soal Jokowi Disebut Tokoh Terkorupsi Versi OCCRP

    [POPULER NASIONAL] MK Hapus Presidential Threshold | Suara KPK soal Jokowi Disebut Tokoh Terkorupsi Versi OCCRP

    [POPULER NASIONAL] MK Hapus Presidential Threshold | Suara KPK soal Jokowi Disebut Tokoh Terkorupsi Versi OCCRP
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden (
    presidential threshold
    ) menjadi sorotan pembaca pada Kamis (2/1/2025) kemarin.
    Putusan itu dianggap fenomenal karena hal tersebut sudah digugat oleh berbagai kalangan.
    Pasal 222 UU Pemilu termasuk norma yang sudah sangat sering diuji ke MK. Hingga kini, setidaknya sudah ada 32 kali aturan pengujian
    presidential threshold
    ke MK.
    Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara terkait Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) disebut masuk dalam jajaran tokoh terkorup dunia versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
    Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau
    presidential threshold
    .
    Hal tersebut diputuskan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.
    “Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imbuhnya.
    Adapun pasal yang dinyatakan bertentangan tersebut berkaitan dengan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik.

    Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi sebagai berikut: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.”
    Sebagai informasi, gugatan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 digugat oleh empat orang pemohon, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirl Fatna.
    Adapun menurut rencana, MK akan membacakan empat putusan uji materi terkait ketentuan
    presidential threshold
    pada Kamis kemarin.
    Melansir
    Kompas.id
    , tiga perkara lainnya yaitu perkara 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan Dian Fitri Sabrina dkk, perkara 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan Hadar N Gumay dan Titi Anggraini, serta perkara 129/PUU-XXII/2024 yang diajukan Gugum Ridho Putra dkk.
    Pasal 222 UU Pemilu termasuk norma yang sudah sangat sering diuji ke MK.
    Hingga kini, setidaknya sudah ada 32 kali aturan pengujian
    presidential threshold
    ke MK.
    Perkara yang sudah disidangkan sejak awal Agustus lalu merupakan perkara pengujian syarat ambang batas pencalonan presiden yang ke-33, 34, 35, dan 36.
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa seluruh warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
    Pernyataan ini disampaikan KPK menyusul nama Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang masuk dalam daftar tokoh terkorup di dunia versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
    “Semua warga negara Indonesia, memiliki kedudukan yang sama di muka hukum,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangan tertulis pada Kamis (2/1/2025).
    KPK mengajak masyarakat untuk melaporkan informasi dan bukti terkait tindak pidana korupsi yang melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Masyarakat bisa melapor melalui saluran yang tepat kepada aparat penegak hukum.
    “Baik itu ke KPK, maupun ke Kepolisian atau Kejaksaan yang memang memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi,” tambahnya.
    Sebelumnya, OCCRP merilis daftar yang mencakup nama Jokowi, Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha India Gautam Adani.
    Daftar ini dihasilkan setelah OCCRP meminta nominasi dari pembaca, jurnalis, juri, dan pihak lain dalam jaringan global mereka. OCCRP, yang berpusat di Amsterdam, Belanda, mengumpulkan nominasi melalui Google Form sejak Jumat (22/11/2024).
    Berdasarkan penelusuran
    Kompas.com
    , OCCRP menghentikan pengumpulan nominasi pada Selasa (31/12/2024). Tautan Google Form untuk nominasi sudah tidak bisa diakses.
    “Who is the Most Corrupt Person of 2024? Formulir sudah tidak menerima jawaban lagi. Coba hubungi pemilik formulir jika menurut Anda ini keliru,” tertulis dalam keterangan pada Google Form.
    Jokowi pun telah mengomentari soal hal ini dan minta dibuktikan.
    “Yang dikorupsi apa. Ya dibuktikan, apa,” kata Jokowi sambil tertawa saat ditemui di rumahnya di Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah (Jateng), pada Selasa (31/2/2024).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MA Tak Mau Tanggapi Vonis Harvey Moeis, Sebut Kerugian Negara di Kasus Korupsi Harus Bersifat Nyata – Halaman all

    MA Tak Mau Tanggapi Vonis Harvey Moeis, Sebut Kerugian Negara di Kasus Korupsi Harus Bersifat Nyata – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menyampaikan kerugian negara yang menyangkut perkara korupsi harus bersifat nyata atau actual loss. Hal ini dijelaskan Hakim Agung yang juga Juru Bicara MA, Yanto saat ditanya perihal putusan sidang korupsi tata niaga timah yang merugikan negara mencapai Rp300 triliun.

    Mulanya Yanto ditanya perihal vonis Harvey Moeis yang belakangan ramai dibicarakan hingga dan disindir publik media sosial. Namun ia enggan menanggapi karena sudah masuk pokok perkara dan setiap hakim terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan hakim lainnya.

    “Karena sudah menyangkut materi pokok perkara, hakim itu terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan lain,” kata Yanto di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    Namun saat ditanya perihal kerugian negara dalam kasus korupsi, Yanto menyatakan acuannya adalah Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Kerugian yang dialami negara harus berbentuk nyata atau actual loss, bukan lagi potensi kerugian atau potential loss. 

    Hal tersebut juga sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2016. Selain itu lanjut Yanto, pihak yang berwenang mengumumkan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

    “Ya kalau korupsi itu kan kerugian negara kan kita mengacunya kan di pasal 2, pasal 3. Jadi tidak lagi potensial loss tapi harus actual loss, kerugiannya harus nyata. Itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kalau tidak salah 25, dan declare dari BPK, bahwa korupsi itu harus kerugian nyata,” jelas Yanto.

    “Tapi kalau di lingkungan hidup kan potensi. Itu tapi saya tidak menyinggung pokok perkaranya ya, tapi kalau secara yang saudara tanyakan tadi kan seperti itu batasannya,” pungkas dia.

    Sebagai informasi, Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Harvey juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar, subsider 6 tahun penjara jika tidak mampu melunasinya.

    Harvey dinilai terbukti membuat negara merugi Rp300 triliun.

    Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP, serta terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)

  • Hakim Pengadil Ronald Tannur Minta Aset di Deposit Box Dikembalikan

    Hakim Pengadil Ronald Tannur Minta Aset di Deposit Box Dikembalikan

    Jakarta, CNN Indonesia

    Salah seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur (31), Heru Hanindyo, meminta sejumlah aset yang berada di Safe Deposit Box (SDB) dan disita jaksa agar dikembalikan.

    Heru mengatakan banyak aset seperti surat tanah hingga perhiasan orang tua tidak berkaitan dengan perkara dugaan suap dan gratifikasi yang tengah diproses.

    “Dalam SDB tersebut adalah merupakan peninggalan orang tua, waris, terdiri dari ijazah satu keluarga, kemudian surat-surat tanah yaitu dari perolehan tahun 90 atau 80 sampai tahun 2022, dan kemudian perhiasan orang tua Yang Mulia yang sampai saat ini tidak tahu di mana rimbanya,” ujar Heru dalam sidang nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (2/1).

    Heru mengklaim tidak pernah diberikan surat mengenai berita penyitaan dari tim jaksa penyidik.

    “Mohon teman-teman dari penuntut umum yang saya hormati bisa memberikan untuk mengembalikan yang memang tidak digunakan dalam perkara ini, antara lain ijazah, surat tanah dan perhiasan karena kami pun tidak diberikan berita acara penyitaan termasuk yang di rumah Surabaya, rumah Tangerang, kemudian kantor dan SDB,” ungkap dia.

    “Demikian Yang Mulia yang kami sangat perlukan adalah yang di SDB karena itu adalah tanggung jawab saya sebagai putra laki-laki bersama kakak saya terkait harta waris,” sambungnya.

    Merespons itu, ketua majelis Teguh Santoso menyatakan akan mempertimbangkannya.

    “Baik, masalah mengenai barang bukti yang lain yang mungkin tidak disebutkan dalam surat dakwaan nanti kita periksa bersama-sama dengan pokok perkaranya dan kita lihat dari berita acara penyitaan dari tim penyidik,” kata hakim.

    “Sekiranya mungkin bisa dikembalikan hal-hal yang tidak memang disita karena kemarin demikian disampaikan, tapi kami tidak tahu karena tidak menerima berita acara tersebut,” sahut Heru.

    “Nanti kami pertimbangkan itu,” jawab hakim.

    Pada kesempatan tersebut, Heru melalui penasihat hukumnya meminta majelis hakim menjatuhkan lima poin dalam putusan sela.

    Yakni menerima dan mengabulkan seluruh nota keberatan; menyatakan surat dakwaan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima; menyatakan perkara atas nama terdakwa Heru Hanindyo tidak dapat dilanjutkan pemeriksaannya.

    Kemudian memerintahkan penuntut umum untuk segera mengeluarkan terdakwa Heru Hanindyo dari tahanan dan memerintahkan agar seluruh barang bukti yang disita oleh penyidik dan penuntut umum dikembalikan kepada terdakwa dan atau pihak dari mana barang tersebut disita.

    Sebelumnya, Heru bersama dua hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik dan Mangapul didakwa menerima suap sejumlah Rp1 miliar dan Sin$308.000 diduga untuk mengurus perkara terdakwa Gregorius Ronald Tannur. Mereka juga didakwa menerima gratifikasi dianggap suap.

    Erintuah disebut menerima gratifikasi dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing. Yakni uang sebesar Rp97.500.000, Sin$32.000 dan RM35.992,25.

    Ia menyimpan uang-uang tersebut di rumah dan apartemen miliknya. Ia tidak melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sehingga dianggap sebagai gratifikasi.

    Sementara Heru disebut menerima gratifikasi berupa uang tunai sebesar Rp104.500.000, US$18.400, Sin$19.100, ¥100.000 (Yen), €6000 (Euro) dan SR21.715 (Riyal Saudi). Heru menyimpan uang-uang tersebut di SDB Bank Mandiri Kantor Cabang Cikini Jakarta Pusat dan rumahnya.

    Sedangkan Mangapul disebut menerima penerimaan yang tidak sah menurut hukum dengan rincian Rp21.400.000,00, US$2.000 dan Sin$6.000. Ia menyimpan uang tersebut di apartemennya.

    (ryn/isn)

    [Gambas:Video CNN]