Kasus: Tipikor

  • PDIP ‘Request’ KPK Jadwal Ulang Pemanggilan Hasto Kristiyanto: Kalau Bisa setelah HUT Partai – Halaman all

    PDIP ‘Request’ KPK Jadwal Ulang Pemanggilan Hasto Kristiyanto: Kalau Bisa setelah HUT Partai – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan ulang pemanggilan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto selepas 10 Januari 2025.

    Hasto Kristiyanto dipanggil KPK untuk menjalani pemeriksaan pada Senin (6/1/2025).

    Tetapi, Hasto Kristiyanto tidak bisa hadir karena ada agenda bersama PDIP.

    Juru Bicara PDIP, Guntur Romli bilang ketika surat panggilan KPK itu datang, Hasto sudah memiliki beberapa agenda acara terkait persiapan hari ulang tahun PDIP yang akan digelar 10 Januari.

    “Jadi Mas Hasto memohon maaf tidak bisa memenuhi panggilan KPK karena terkait jadwal-jadwal yang sudah tersusun dan partai kami itu kan memang mau Ultah, dari tim hukum juga sudah menyampaikan surat permohonan maaf kepada KPK tidak bisa hadir kemarin,” ungkap Guntur dalam Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Selasa (7/1/2025).

    PDIP meminta KPK menjadwal ulang pemanggilan Hasto setelah HUT partai.

    “Kalau bisa, kalau bisa pemanggilan itu diadakan setelah acara HUT partai, setelah tanggal 10,” ujarnya.

    Meski begitu, PDIP menyerahkan kepada KPK.

    “Namun semuanya itu ya tergantung kepada KPK kapan memang mau melakukan pemanggilan ulang, tapi nanti ya Mas Hasto itu dipastikan akan hadir,” ungkap Guntur.

    Hingga saat ini, Guntur mengaku belum mengetahui kapan rencana pemanggilan Hasto.

    “Terkait kapan harinya, jamnya saya belum dapat informasi dari tim hukum untuk perkembangan selanjutnya,” ujar Guntur.

    KPK Buka Opsi Tangkap Hasto

    Sebelumnya, KPK membuka opsi mengeluarkan surat perintah penangkapan (sprinkap) apabila Hasto Kristiyanto kembali tidak memenuhi panggilan penyidik.

    Hal itu bisa terjadi jika Hasto kembali tidak hadir ketika dipanggil sebagai tersangka.

    “Bagi tersangka, maka penyidik bisa mengeluarkan surat perintah penangkapan,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (6/1/2025).

    Hasto pada Senin ini dipanggil KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan kasus yang menjerat eks calon anggota legislatif PDIP, Harun Masiku.

    Dia meminta dijadwalkan ulang setelah 10 Januari, atau sesudah acara HUT PDIP.

    KPK sudah menyetujui permintaan ulang yang diajukan Hasto Kristiyanto selepas tanggal 10 Januari. 

    Namun, KPK belum menentukan tanggal pasti pemanggilan ulang Hasto.

    KPK, kata Tessa, untuk saat ini berharap Hasto akan memenuhi panggilan yang akan dijadwalkan ulang nantinya.

    “Saya pikir Saudara HK (Hasto Kristiyanto) dalam beberapa kesempatan sudah menyatakan beliau akan taat terhadap prosesnya, partainya juga akan menghormati prosedur dan proses hukum yang sedang berjalan,” katanya.

    “Saya pikir ini kita tunggu saja, kita ikuti, semoga beliau di tanggal yang nanti sudah disepakati dengan penyidik akan hadir di Gedung Merah Putih pemeriksaan sebagai tersangka,” ujar Tessa. 

    Kasus Hasto Kristiyanto

    Buron KPK Harun Masiku. (dok.)

    Hasto Kristiyanto diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus yang melibatkan buronan eks calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku.

    Pertama, Hasto bersama advokat PDIP bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka kasus dugaan suap mengenai penetapan PAW anggota DPR periode 2019–2024.

    Kedua, Hasto ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice.

    Adapun suap diduga dilakukan agar Harun ditetapkan sebagai anggota DPR melalui proses PAW. 

    Caranya adalah dengan menyuap komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan. Nilai suapnya mencapai Rp600 juta.

    Suap itu dilakukan oleh Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Harun Masiku, dan Saiful Bahri. Suap kemudian diberikan kepada Agustiani Tio Fridelina dan juga Wahyu Setiawan.

    Sementara itu, terkait dengan perkara dugaan perintangan penyidikan, Hasto melakukan serangkaian upaya seperti mengumpulkan beberapa saksi terkait Masiku dengan mengarahkan para saksi itu agar tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.

    Tak hanya itu, pada saat proses tangkap tangan terhadap Masiku, Hasto memerintahkan Nur Hasan–seorang penjaga rumah yang biasa digunakan sebagai kantornya–untuk menelepon Harun Masiku supaya merendam ponselnya dalam air dan segera melarikan diri.

    Kemudian, pada 6 Juni 2024, atau 4 hari sebelum Hasto diperiksa sebagai saksi terkait Harun Masiku, ia juga memerintahkan stafnya yang bernama Kusnadi untuk menenggelamkan gawai milik Kusnadi agar tidak ditemukan oleh KPK.

    Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b dan Pasal 21 atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Dalam perkembangannya, KPK mencegah Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly bepergian ke luar negeri selama enam bulan.

    (Tribunnews.com/Gilang Putranto, Ilham Rian Pratama)

  • Korupsi Penyalahgunaan Dana, Dua Pejabat Pemprov Jakarta Dibui

    Korupsi Penyalahgunaan Dana, Dua Pejabat Pemprov Jakarta Dibui

    Bisnis.com, JAKARTA – Dua Pejabat Pemprov DKI Jakarta harus mendekam di penjara dalam perkembangan terbaru perkara korupsi penyalahgunaan dana kegiatan.

    Kepala Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jakarta nonaktif, Iwan Henry Wardhana, ditahan 20 hari ke depan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.

    Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta Syahron Hasibuan mengemukakan tersangka Iwan Henry Wardhana ditahan selama 20 hari ke depan bersama dengan Kepala Bidang Pemanfaatan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta Mohammad Fahirza Maulana.

    Dia menjelaskan bahwa kedua pejabat di Pemerintah Provinsi Jakarta itu ditahan usai ditetapkan jadi tersangka pekan lalu terkait perkara tindak pidana penyalahgunaan dana kegiatan Pemerintah Provinsi Jakarta.

    “IHW ditahan 20 hari ke depan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tersangka MFM ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung,” tutur Syahron di Jakarta, Senin (6/1).

    Syahron menjelaskan bahwa dua tersangka tersebut tidak hadir pada pemeriksaan yang  lalu. Namun pada hari ini, keduanya sudah kooperatif dan memenuhi pemeriksaan tim penyidik.

    “Setelah sebelumnya tidak memenuhi panggilan, keduanya hari ini hadir dan penyidik merasa patut untuk dilakukan penahanan,” katanya.

    Keduanya dijerat Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Komjak RI Dorong Jaksa Kejar Otak Kasus Timah

    Komjak RI Dorong Jaksa Kejar Otak Kasus Timah

    Jakarta (beritajatim.com) – Komisi Kejaksaan (Komjak) RI jaksa penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus untuk menuntaskan perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam kasus Pengelolaan Tata Niaga Komoditas Timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk Tahun 2015-2022.

    Menurut anggota Komjak RI Nurokhman, pihaknya secara aktif telah melakukan pemantauan dan pengawasan kasus yang menarik perhatian publik tersebut. Dia menjelaskan, dalam kasus tersebut ada 17 terdakwa yang telah divonis bersalah pada sidang tingkat pertama.

    Nurokhman menjelaskan, hasil putusan pengadilan di tingkat pertama tersebut, JPU telah berhasil membuktikan kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 300 triliun. Namun, denda dan pengembalian kerugian negara dari hasil putusan pengadilan terhadap 17 terdakwa hanya Rp 12,2 triliun.

    “180an triliun rupiah sisanya ke mana dan siapa yang menikmatinya,” ujar Nurokhman pada saat pers konference capaian kinerja Komjak tahun 2024 di kantor Komjak RI, Jakarta Selatan, Senin (6/1/2024).

    Nurokhman yakin, Kejaksaan akan mengembangkan perkara tersebut dengan menjerat tersangka lainnya berdasarkan dari fakta-fakta yang telah terungkap dalam persidangan baik korporasi maupun aktor intelektualnya.

    “Kita yakin jaksa penyidik akan menjadikan fakta persidangan dan putusan majelis hakim menjadi petunjuk untuk mengejar tersangka lainnya, di antaranya perkara korporasinya,” ujarnya.

    Dia mengatakan, jaksa penyidik perlu bekerja keras untuk mengejar siapa yang bertanggungjawab dan siapa saja yang menikmati hasil kejahatan yang telah terbukti mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun tersebut.

    “Publik tengah menunggu siapa mereka. Kita optimis jaksa penyidik mampu memburu aset-aset hasil kejahatan tersebut untuk pemulihan kerugian negara,” katanya.

    Dia menyebut, tim Komjak RI secara langsung juga melakukan pemantauan terhadap persidangan para Terdakwa yang disidangkan di PN Tipikor Jakarta Pusat. Dakwaan-dakwaan dan tuntutan pidana yang diajukan oleh tim Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa sejumlah 17 orang di PN Tipikor Jakarta Pusat telah sampai pada tahap putusan. Putusan Majelis Hakim menyampaikan pertimbangan unsur kerugian negara.

    Kerugian negara yang mencapai 300T sebagaimana tuntutan JPU, umumnya Hakim mengatakan masing-masing Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama sebagaimana dakwaan yang diajukan JPU.

    “Kami sangat mendukung agar JPU menggunakan upaya hukum banding untuk melakukan penegakan hukum yang maksimal dan upaya consistent dalam rangka pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang,” tegasnya. [hen/ian]

  • Modus Korupsi Kadis Kebudayaan Jakarta, Bikin Kegiatan Fiktif untuk Cairkan Dana

    Modus Korupsi Kadis Kebudayaan Jakarta, Bikin Kegiatan Fiktif untuk Cairkan Dana

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta (Kejati DKJ) menyampaikan modus kasus dugaan korupsi penyelewengan dana di Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta.

    Kapuspenkum Kejati DKJ, Syahron Hasibuan mengatakan kasus ini bermula saat dua pejabat Dinas Kebudayaan Jakarta melakukan kesepakatan dengan perusahaan swasta.

    Kerja sama itu dilakukan Kepala Dinas Kebudayaan Iwan Henry Wardhana (IHW) dan Plt. Kabid Pemanfaatan Mohamad Fairza Maulana (MFM) diduga bersepakat dengan Owner GR-Pro Gatot Arif Rahmadi (GAR).

    “[IHW dan MFM] GAR bersepakat untuk menggunakan Tim EO milik Tersangka GAR dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pada bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,” ujarnya dalam tertulis, Senin (6/1/2025).

    Kemudian, kata Syahron, MFM dan GAR bersepakat untuk menggunakan sanggar-sanggar fiktif dalam pembuatan surat pertanggungjawaban (SPJ) untuk melakukan pencairan kegiatan seni dan budaya Dinas Kebudayaan Jakarta.

    Setelahnya, setelah uang SPJ sanggar fiktif itu dicairkan kemudian ditampung di rekening tersangka GAR uang kemudian diduga digunakan untuk kepentingan IHW dna MFM.

    “Uang SPJ yang telah masuk ke rekening sanggar fiktif maupun sanggar yang dipakai namanya ditarik kembali oleh Tersangka GAR dan ditampung di rekening Tersangka GAR yang diduga digunakan untuk kepentingan Tersangka IHW maupun Tersangka MFM,” imbuhnya.

    Atas perbuatannya, IHW, MFM dan GAR dipersangkakan Pasal 2 ayat (1) Pasal 3, Jo. Pasal 18 ayat (1) UU RI No.31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Sebagai informasi, kasus dugaan penyimpangan anggaran Dinas Kebudayaan Jakarta itu mulai diselidiki pada November 2024. 

    Kemudian, Kejati DKJ menaikan status peristiwa penyimpangan anggaran itu menjadi penyidikan pada Selasa (17/12/2024).

    Adapun, penyidik Pidsus Kejati DKJ juga telah menggeledah lima dalam kasus ini. Perinciannya, Kantor Dinas Kebudayaan Jakarta.

    Selanjutnya, Kantor EO GR-Pro Jakarta Selatan dan tiga rumah tinggal, dua di antaranya berlokasi di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

    Sementara, rumah tinggal yang digeledah lainnya itu berlokasi di Matraman, Jakarta Timur.

    Dalam penggeledahan itu, penyidik telah menyita laptop, ponsel, komputer untuk dilakukan analisis forensik. Total, Kejati DKJ telah menyita uang Rp1 miliar.

  • Kadis Kebudayaaan Jakarta Iwan Henry Wardhana dan Anak Buahnya Ditahan Kejaksaan

    Kadis Kebudayaaan Jakarta Iwan Henry Wardhana dan Anak Buahnya Ditahan Kejaksaan

    loading…

    Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta menahan Kadis Kebudayaan Jakarta Iwan Henry Wardhana (IHW), Senin (6/1/2025). Foto/Muhammad Refi Sendi

    JAKARTA – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta menahan Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta Iwan Henry Wardhana (IHW) dan Plt Kabid Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Jakarta M Fairza Maulana (MFM), Senin (6/1/2025).
    Kejaksaan menahan Plt Kabid Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Jakarta M Fairza Maulana (MFM) Senin (6/1/2025). Foto/Muhammad Refi Sendi

    Keduanya ditahan setelah menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait penyimpangan berbagai kegiatan di Dinas Kebudayaan (Disbud) Jakarta yang bersumber dari APBD.

    “Pada Senin, 6 Januari 2024, IHW dan MFM memenuhi panggilan penyidik Kejati DK Jakarta untuk menjalani pemeriksaan. Dalam proses penyidikan, penyidik menahan IHW di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan MFM di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta, Syahron Hasibuan, Senin (6/1/2025).

    Syahron menyatakan bahwa Kejati Jakarta telah menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi berupa penyimpangan kegiatan-kegiatan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Jakarta yang bersumber dari APBD.

    Tersangka pertama yakni IHW berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-01/M.1/Fd.1/01/2025 tanggal 2 Januari 2025. Kedua, tersangka MFM berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-02M.1/Fd.1/01/2025 tanggal 2 Januari 2025.

    Sedangka tersangka ketiga, GAR berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-03M.1/Fd.1/01/2025 tanggal 2 Januari 2025.

    “Bahwa Tersangka IHW selaku Kepala Dinas Kebudayaan bersama-sama Tersangka MFM selaku Plt Kabid Pemanfaatan, dan Tersangka GAR bersepakat untuk menggunakan Tim EO milik Tersangka GAR dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pada bidang Pemanfaatan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta,” ucapnya.

  • IPW Sebut Rencana Pengembalian Uang Pemerasan Bisa Hilangkan Proses Pidana Kasus DWP

    IPW Sebut Rencana Pengembalian Uang Pemerasan Bisa Hilangkan Proses Pidana Kasus DWP

    Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) menilai keliru rencana pengembalian uang hasil dugaan pemerasan oknum Polisi sebesar Rp2,5 miliar dalam acara DWP 2024.

    Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan uang miliar itu seharusnya menjadi barang bukti dalam kasus pemerasan terhadap WNA Malaysia tersebut.

    Dengan demikian, IPW menduga rencana pengembalian uang tersebut bisa jadi merupakan upaya penghilangan alat bukti oleh kepolisian.

    “Kalau uang yang disita sebesar Rp2,5 Miliar dari 45 korban pemerasan WN Malaysia tersebut jadi dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan atau menghilangkan barang bukti untuk proses hukum [pidana],” ujar Sugeng dalam keterangan tertulis, Senin (6/1/2025).

    Lebih lanjut, kata Sugeng, pengembalian uang Rp2,5 miliar itu juga berpeluang membuat penegakan hukum pidana terhadap belasan oknum tidak dilanjutkan.

    Selain itu, IPW juga menekankan bahwa kasus dugaan pemerasan ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice (RJ).

    “Dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan dalam kasus DWP ini masuk dalam kualifıkasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur restorative justice,” tutur Sugeng.

    Sebelumnya, wacana pengembalian uang Rp2,5 miliar dikemukakan oleh Karowabprof Divpropam Polri, Brigjen Pol Agus Wijayanto. Menurutnya, uang tersebut direncanakan bakal kembali kepada pihak yang berwenang.

    “Terkait barang bukti, tadi disampaikan barang bukti yang berhasil kita amankan, kita sita Rp2,5 miliar sekian, dan nanti akan dikembalikan ke yang berhak,” kata Agus saat jumpa pers, Kamis (2/1/2025).

    Nantinya, menurut Agus, proses pengembalian Rp2,5 miliar itu akan melalui mekanisme yang disusun Div Propam Polri. Setelah uang tersebut selesai dijadikan sebagai barang bukti dalam proses etik.

    “Tentunya ini dalam rangka pendataan dilakukan oleh Div Propam baik Biro Paminal kita temui dan nanti akan ada proses di sana untuk barang bukti Rp2,5 M sekian,” pungkasnya.

  • Uang pemerasan DPW bakal dikembalikan, IPW: Polisi tidak serius

    Uang pemerasan DPW bakal dikembalikan, IPW: Polisi tidak serius

    Jakarta (ANTARA) – Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan pihak Kepolisian tidak serius menangani kasus pemerasan oleh oknum personelnya yang terjadi di acara Djakarta Warehouse Project (DWP) jika berencana mengembalikan uang korban.

    “Rencana pengembalian uang hasil pemerasan Rp2,5 miliar oleh Polri kepada korban penonton DWP membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP),” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Sugeng menjelaskan bahwa menurut hukum uang yang disita tersebut adalah merupakan barang bukti hasil kejahatan.

    “Sehingga, kalau uang yang disita dikembalikan maka tidak ada barang bukti yang bisa dijadikan penyidik untuk menjerat pelaku yang juga anggota Polri tersebut,” katanya.

    Sugeng menambahkan, penegak hukum tahu bahwa barang bukti itu akan dibawa ke peradilan dan hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap warga negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan.

    “Polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp2,5 miliar tersebut selain menyita sesuai hukum dan menjadikannya sebagai barang bukti hasil pemerasan,” katanya.

    Sugeng menjelaskan jika uang yang disita sebesar Rp2,5 miliar dari sejumlah korban pemerasan tersebut dikembalikan, maka sama saja dengan meniadakan atau menghilangkan barang bukti untuk proses hukum yang tentunya tanda tanya masyarakat serta akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri merosot.

    “Sebab, pemerasan yang dilakukan oleh satuan kerja di reserse narkoba secara berjamaah itu tidak akan diproses secara hukum padahal sudah terlanjur ramai di media sosial, baik di tanah air maupun di luar negeri,” katanya.

    Dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan pada kasus DWP ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur “restorative justice”.

    Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divisi Propam Polri Brigadir Jenderal Polisi Agus Wijayanto mengatakan bahwa uang hasil kejahatan dalam kasus dugaan pemerasan pada DWP 2024 akan dikembalikan kepada korban.

    “Barang bukti yang berhasil kita amankan, kita sita Rp2,5 miliar sekian dan nanti dikembalikan kepada yang berhak,” ucap Agus Wijayanto di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/1).

    Mengenai mekanisme pengembalian, Agus mengatakan bahwa Polri akan mengatur pengembalian uang tersebut kepada para korban.

    “Ini dalam rangka pendataan dilakukan oleh Divisi Propam, baik Biro Paminal kita temui dan nanti ada proses di sana untuk barang bukti Rp2,5 miliar,” katanya.

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

  • IPW Kritisi Rencana Pengembalian Uang Hasil Pemerasan Rp2,5 Miliar di Kasus DWP – Halaman all

    IPW Kritisi Rencana Pengembalian Uang Hasil Pemerasan Rp2,5 Miliar di Kasus DWP – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso mengkritisi rencana pengembalian uang hasil pemerasan Rp2,5 Miliar oleh Polri kepada korban penonton Djakarta Warehouse Project (DWP).

    Menurutnya langkah itu membuktikan bahwa institusi Polri tidak serius menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya ke ranah pidana dan cukup berhenti di Komisi Kode Etik Polri (KKEP). 

    Pasalnya, kalau Institusi Polri merupakan penyidik seperti yang diamanatkan oleh peraturan perundangan dan menurut hukum maka uang yang disita itu adalah merupakan barang bukti hasil kejahatan. 

    Sehingga kalau uang yang disita dikembalikan maka tidak ada barang bukti  yang bisa dijadikan penyidik menjerat pelaku yang juga anggota Polri tersebut. 

    “Penegak hukum tahu, bahwa barang bukti itu akan dibawa ke peradilan dan nanti hakim yang memutus perkara pemerasan terhadap Warga Negara Malaysia untuk menentukan apakah uang yang disita dimasukkan ke kas negara atau dikembalikan kepada para korban atau dimusnahkan,” kata Sugeng kepada wartawan, Senin (6/1/2025).

    Polisi sebagai penyidik tidak memiliki kewenangan menetapkan status lebih lanjut atas barang bukti uang Rp2,5 miliar tersebut selain menyita sesuai hukum dan menjadikannya sebagai barang bukti hasil kejahatan pemerasan.

    Kalau uang yang disita sebesar Rp 2,5 Miliar dari 45 korban pemerasan WN Malaysia tersebut jadi dikembalikan maka sama saja dengan meniadakan/menghilangkan barang bukti untuk proses hukum.

    “Tentunya menjadi tanda tanya masyarakat serta  akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan merosot,” imbuhnya.

    Sebab, pemerasan yang dilakukan oleh satuan kerja di reserse narkoba secara berjamaah itu tidak akan diproses secara hukum padahal sudah terlanjur ramai di media sosial, baik di tanah air maupun di luar negeri. 

    Dugaan tindak pidana pemerasan dalam jabatan dalam kasus DWP ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi yang tidak dapat diselesaikan dengan jalur Restorarive justice. 

    Hanya melalui proses pemeriksaan pidana maka dugaan pemerasan dalam jabatan ini bisa didalami modus,.motif serta aliran dana kepada pihak lain dan juga adanya potensi TPPU bisa muncul karena uang hasil pemerasan tersebut ditampung pada rekening tertentu milik pihak2 lain. 

    Oleh karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) menilai yang dibutuhkan oleh Institusi Polri adalah ketegasan dan komitmen memberantas polisi-polisi nakal. 

    Hal ini sesuai yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan memberi perintah tegas kepada jajarannya agar tak segan memberi hukuman kepada anggota yang melanggar hukum.

    “Perlu tindakan tegas, jadi tolong tidak pakai lama, segera copot, PTDH, dan proses pidana. Segera lakukan dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kasatwil yang ragu, bila ragu, saya ambil alih,” kata Kapolri dalam arahannya kepada jajaran. (Tribunnews/Reynas Abdila)

  • Polisi Tetapkan 7 Tersangka Kasus Korupsi Beras Bapan di Lombok Tengah
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 Januari 2025

    Polisi Tetapkan 7 Tersangka Kasus Korupsi Beras Bapan di Lombok Tengah Regional 6 Januari 2025

    Polisi Tetapkan 7 Tersangka Kasus Korupsi Beras Bapan di Lombok Tengah
    Tim Redaksi
    LOMBOK TENGAH, KOMPAS.com
    – Kepolisian Resor
    Lombok Tengah
    , Nusa Tenggara Barat (
    NTB
    ), menetapkan tujuh tersangka kasus korupsi
    beras bantuan pangan
    (Bapan) di Desa Barabali dan Desa Pandan Indah.
    Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah, Iptu Luk Luk il Maqnun menyebut, dua di antara tujuh tersangka tersebut adalah Kepala Desa Barabali dan Pandan Indah.
    “Ketujuh tersangka tersebut tiga di antaranya dari Desa Barebali dan empat dari Desa Pandan Indah,” kata Luk Luk pada Senin (6/1/2025).
    Desa Barebali, sambung Luk Luk, tersangka lainnya yaitu Staf Keuangan dan Kordinator Desa. Sedangkan di Desa Panda Indah, selain kepala desa juga ada koordinator desa, dan dua penjual beras yang turut membantu dalam kasus korupsi tersebut yang dijadikan tersangka.
    “Saat ini kita masih melakukan pemeriksaan untuk ketiga tersangka dari Desa Barebali. Sedangkan untuk Desa Pandan Indah dijadwalkan pemeriksaan besok pagi,” ungkapnya.
    Para tersangka melakukan korupsi beras Bapan dengan menyalurkan beras itu kepada penerima yang tidak sesuai dengan data BNBA (By Name By Adress).
    Polres Lombok Tengah menggandeng Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB untuk memastikan angka pasti kerugian dari kasus korupsi ini. Desa Barebali mengalami kerugian sekitar Rp 126.937.920, sedangkan Desa Pandan Indah mengalami kerugian sekitar Rp 100.722.480.
    Dalam hal ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soroti Angka Rp300 T di Kasus Timah, Ahli Hukum Singgung Benturan Lembaga Penghitung Kerugian Negara – Halaman all

    Soroti Angka Rp300 T di Kasus Timah, Ahli Hukum Singgung Benturan Lembaga Penghitung Kerugian Negara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa, menyoroti penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang mencapai angka Rp300 triliun.

    Penghitungan itu didasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014.  

    Menurut Ufran, sampai saat ini belum ada argumentasi kuat yang menyatakan kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara.

    “Kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi,” kata Ufran kepada wartawan, Minggu (5/1/2025). 

    Terlebih, penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi meskipun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).  

    “Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional,” katanya.  

    Ia menyebut dalam banyak kasus, perbedaan versi penghitungan kerugian negara dari kedua lembaga tersebut memunculkan ketidakpastian hukum. 

    Kondisi ini diperparah dengan sikap penegak hukum memilih menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun.

    Perihal nilai kerugian negara dalam kasus timah, Ufran mengatakan klaim tersebut cenderung tendensius dan diragukan kebenarannya.

    Apalagi hingga para terdakwa, yakni Harvey Moeis c.s., divonis oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, tak ada bukti yang membenarkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan itu.

    “Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu,” ujar.

    Oleh karena pembuktian kerugian negara tak terpenuhi dari sejumlah terdakwa yang sudah divonis, Kejaksaan Agung (Kejagung) kini menyasar 5 korporasi yang saat ini jadi tersangka baru kasus timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015-2022, yakni PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB dan CV VIP.

    Kejagung memutuskan membebankan kerugian kerusakan lingkungan hidup kepada 5 korporasi tersebut, sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing-masing perusahaan.

    Pembebanan terhadap masing-masing korporasi yakni PT RBT sebesar Rp38 triliun, PT SB Rp23,6 triliun, PT SIP Rp24,1 triliun, PT TIN Rp23,6 triliun, dan CV VIP Rp42 triliun.

    “Jaksa Agung memutuskan bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup akan dibebankan kepada perusahaan sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing – masing perusahaan tersebut,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (2/1/2025).