Kasus: Tipikor

  • Bos Maskapai Hendry Lie Didakwa Terlibat Korupsi Timah, Perkaya Diri hingga Rp 1 Triliun – Halaman all

    Bos Maskapai Hendry Lie Didakwa Terlibat Korupsi Timah, Perkaya Diri hingga Rp 1 Triliun – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa bos maskapai Hendry Lie sekaligus pemilik PT. Tinindo Inter Nusa atau PT TIN terlibat korupsi tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung.

    Dalam dakwaannya JPU mendakwa Hendry Lie memperkaya diri sendiri dalam perkara tersebut hingga Rp 1 triliun. 

    “Memperkaya terdakwa Hendry Lie melalui PT. Tinindo Inter Nusa setidak-tidaknya Rp1.059.577.589.599.19,” kata JPU membacakan dakwaan di persidangan PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2025).

    Selain itu JPU juga menyatakan terdakwa Hendry Lee dalam perkara tersebut telah memerintahkan Rosalina dan Fandy Lingga untuk membuat dan menandatangani surat penawaran PT. Tinindo Inter Nusa terkait kerjasama sewa alat processing Timah kepada PT. Timah bersama smelter swasta lainnya.

    “Antara lain PT. RBT, CV Venus Inti Perkasa, PT. Sariwiguna Bina Sentosa dan PT. Stanindo Inti Perkasa yang diketahuinya smelter-smelter swasta tersebut tidak memiliki CP dan format surat penawaran kerjasama sudah dibuatkan oleh PT. Timah,” kata JPU. 

    Jaksa juga menyebutkan Hendry Lie memerintahkan Fandy Lingga mewakili PT. Tinindo Internusa menghadiri pertemuan di Hotel Novotel Pangkal Pinang dengan Mochtar Rizal Pahlevi selaku Direktur Utama PT. Timah TBK dan Alwin Albar selaku Direktur Operasional PT. Timah TBK dan 27 pemilik smelter swasta.

    Pertemuan tersebut kata jaksa membahas permintaan Mochtar Riza Pahlevi dan Alwin Albar atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter swasta tersebut. Karena biji timah yang diekspor oleh smelter swasta tersebut merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan di wilayah IUP PT. Timah.

    “Terdakwa Hendry Lee bersama-sama Fandy Lingga dan Rosalina melalui PT. Tinindo Internusa menerima pembayaran atas kerjasama sewa peralatan processing penglogaman timah dari PT. Timah yang diketahuinya bahwa pembayaran tersebut terdapat kemahalan harga,” jelas jaksa. 

    Di persidangan jaksa juga mendakwa Hendry Lie melalui Rosalina dan Fandy Lingga menyetujui permintaan Harvey Moeis untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada Harvey Moeis sebesar 500 USD sampai dengan 750 USD per ton. Seolah-olah dicatat sebagai CSR dari smelter swasta yaitu CV venus Inti Perkasa, PT. Sariwiguna Bina Sentosa, PT. Stanindo Inti Perkasa, dan PT. Tinindo Internusa. 

    “Terdakwa Hendry Lie melalui Rosalina maupun fandy Lingga yang mewakili PT. Tinindo Internusa mengetahui dan menyepakati tindakan Harvey moeis bersama smelter swasta lainnya yaitu CV venus Inti Perkasa, PT. Sariwiguna Bina Sentosa, PT. Stanindo Inti Perkasa, dan PT. Tinindo Internusa dengan PT. Timah melakukan negosiasi dengan PT. Timah terkait dengan sewa smelter swasta. Sehingga kesepakatan harga sewa smelter tanpa didahului studi kelayakan atau kajian yang memadai atau mendalam,” jelas jaksa. 

    Atas perkara ini jaksa mendakwa Hendry Lie merugikan keuangan negara dalam perkara tersebut sebesar Rp300 triliun berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara perkara dugaan tindak pendana korupsi tata niaga komoditas timah. Pada wilayah izin usaha pertambangan IUP PT. Timah tahun 2015 sampai dengan tahun 2022 dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia.

    Atas hal itu Hendry Lie didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.

    KASUS KORUPSI. Hendry Lie, tersangka korupsi timah saat ditangkap paksa Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin (18/11/2024). Hendry Lie didakwah terlibat korupsi tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung dan memperkaya diri hingga Rp 1 triliun.   (Kolase Tribunnews.com/Tangkapan Layar KompasTV)

    Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.

    Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

    Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.

    Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

     

  • Warga Kohod Geram, Kades Arsin Catut Nama Tanpa Izin untuk Penerbitan HGB Pesisir Tangerang – Halaman all

    Warga Kohod Geram, Kades Arsin Catut Nama Tanpa Izin untuk Penerbitan HGB Pesisir Tangerang – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG – Sejak awal, sosok Arsin bin Sanip Kepala Desa Kohod di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang menjadi kontroversial ketika masyarakat menyoroti kemunculan pagar laut di perairan desanya dan desa-desa lain di Tangerang sejauh 30 km lebih.

    Kades Arsin makin jadi sorotan masyarakat karena pernyataan-pernyataannya yang kontroversial soal asal-usul kemunculan pagar laut tersebut yang diduga kuat untuk kepentingan reklamasi pengembang properti.

    Saat berbicara dengan Menteri Agraria Tata Ruang /Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) Nusron Wahid pada Jumat 24 Januari 2025, Kades Arsin secara kontroversial menyatakan bahwa kawasan perairan Tangerang yang kini dipasangi pagar laut dulunya adalah empang. 

    Terlebih, gaya hidup Kades Arsin juga dinilai tidak wajar karena bergelimang kemewahan karena memiliki sejumlah mobil mewah seperti Jeep Rubicon dan Honda Civic di kediamannya.

    Warga kini juga menyoroti ihwal asal-usul penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) di perairan desa merek yang kini dipasangi pagar bambu.

    Khaerudin, aarga Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, bikin akal-akalan dengan mencatut nama mereka tanpa izin demi penerbitan sertifikat HBG tersebut.

    Khaerudin mengatakan, identitas sejumlah warga digunakan tanpa izin oleh oknum untuk pembuatan SHGB pada 2023 lalu.

    Khaerudin meminta agar Pemerintah serius mengusut kasus pencatutan nama warga untuk kepentingan penerbitan SHGB tersebut karena warga tidak pernah merasa mengajukan sertifikat HGB itu.

    “Kami tidak pernah merasa mengajukan sertifikat. Sertifikat-sertifikatnya atas nama warga yang memang nggak tahu dibuat sertifikat. Nah di sini, tolong diusut tuntas,” ujar Khaerudin saat dihubungi, Selasa (28/1/2025), dikutip Kompas.com.

    Khaerudin menduga kasus ini melibatkan oknum aparat dan perangkat Desa Kohod.

    “Ada keterlibatan dari Kepala Desa ya. Itu harus diusut, harus diusut tuntas. Wallahu a’lam kalau aparat desa. Soalnya di aparat desa juga ada data-datanya,” kata dia.

    Persoalan ini sudah dilaporkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Bahkan, warga sudah menggelar audiensi bersama pengacara mereka. 

    KONTROVERSI PAGAR BAMBU – TNI Angkatan Laut (AL) bersama instansi maritim dan masyarakat nelayan membongkar pagar laut di perairan Tangerang Banten, Senin (27/1/2025). (dok TNI AL)

    “Kami sudah audiensi bersama lawyer dan menyerahkan laporan ke ATR/BPN. Data lengkap soal warga yang dicatut ada di tangan lawyer kami,” jelas Khaerudin.

    Warga berharap, pihak berwenang segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini dan menindak oknum tersebut.

    “Kami mohon agar ini tidak hanya dibatalkan, tetapi juga ditindak. Ini menyangkut tanah yang merupakan milik negara dan masyarakat umum,” ucap dia.

    Hingga berita ini diterbitkan, diketahui belum ada tanggapan dari Kepala Desa Kohod, Arsin, soal pernyataan warga itu.

    Sebelumnya, kasus menjadi semakin ruwet setelah diketahui area pagar laut itu memiliki SHGB dan sertifikat hak milik (SHM).

    Bahkan, sampai dilakukan pembongkaran, belum diketahui juga siapa yang membangun pagar laut tersebut.

    KADES DESA SOHOD MENGHILANG – Arsin Bin Snip Kepala Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. yang kini dikabarkan menghilang. Dia didugan mencatut nama warga desanya untuk menerbitkan Sertifikat HGB kepentingan pengembang.  (YouTube.com/KohodTV)

    Namun, berdasarkan temuan Kementerian ATR/BPN, ada 263 bidang tanah yang berbentuk SHGB. 

    Rinciannya, atas nama PT IAM sebanyak 234 bidang, PT CIS 20 bidang, dan perorangan sebanyak sembilan bidang. Sementara itu, SHM tersebut berjumlah 17 bidang. 

    Menurut keterangan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang didapat dari Kementerian ATR/BPN, sertifikat tersebut diterbitkan pada 2023.

    Kepala Desa Kohod, Arsin, sempat sesumbar bahwa laut di wilayah Kohod, Kabupaten Tangerang adalah empang dan daratan milik warga yang tergerus abrasi. 

    Namun, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, ternyata tak sependapat dengan Arsin. 

    Ia justru membatalkan sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan sertifikat Hak Milik (SHM) di laut tersebut. 

    Di sisi lain, eks Kabareskrim Polri, Komjen Purn Susno Duadji pun meyakini bahwa sang kades lah dalang di balik pemasangan pagar laut di Kabupaten Tangerang. 

    Hal itu diungkapkan Susno Duadji di Metro TV dalam acara primetime news yang tayang pada Sabtu (25/1/2025). 

    “Ya pelakunya jelas, si lurah Kohod (kades). Dia sudah ngaku pasti dia mengeluarkan dokumen itu,” ujar Susno, mengutip dari TribunJakarta.

    Bahkan, pemeriksaan terhadap Arsin menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus pagar laut sepanjang 30 KM di perairan Tangerang. 

    Susno memuji tindakan Kementerian ATR/BPN yang memihak kepada rakyat. Menurutnya, semua SHGB dan SHM yang dikeluarkan berasal dari hasil pemalsuan.

    “Kenapa palsu? Ya jelas enggak mungkin punya tanah di situ (laut). Jadi berpatokan kepada pembatalan oleh kementerian ATR/BPN , entah satu sertifikat syukur kalau semuanya itu sudah bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti bahwa telah terjadi tindak pidana pemalsuan,” ujarnya. 

    Susno melanjutkan jika pemalsuan itu diikuti dengan tindak pidana suap, maka menjadi tindak pidana korupsi. 

    “Sekarang siapa pelakunya? Ya jelas mulai dari si Lurah Kohod (Arsin) dia udah ngaku pasti ngeluarin dokumen. Kemudian siapa lagi? Usut saja siapa yang menerima, yang nerima misalnya Agung Sedayu Grup dengan anak perusahaan Intan Agung Makmur,” katanya. 

    Mustahil, kata Susno, anak perusahaan itu memiliki tanah di laut.  Seandainya membeli tanah di laut, jelas pasti melalui prosedur yang tidak beres. 

    “Notarisnya pasti kena juga itu (pidana), jadi gampang ngusutnya. Usut bisa dari dokumen ATR, atau bisa juga dari mulai siapa yang memagari itu, siapa yang membayar, siapa yang nyuruh, duitnya dari siapa kemudian terkait perusahaan apa. Sudah terang benderang ini, seperti makan siang pakai lampu petromak,” pungkasnya. 

    Laporan Reporter: Ani Susanti | Sumber: Tribun Jatim

  • KPK Panggil Dirut Bank Bengkulu Usut Kasus Korupsi Gubernur Rohidin Mersyah – Halaman all

    KPK Panggil Dirut Bank Bengkulu Usut Kasus Korupsi Gubernur Rohidin Mersyah – Halaman all

    Direktur Utama Bank Bengkulu Beni Harjono dipanggil KPK untuk jadi saksi yang menyeret Gubernur nonaktif Bengkulu Rohidin Mersyah 

    Tayang: Kamis, 30 Januari 2025 12:10 WIB

    Tribunnews/Irwan Rismawan

    KASUS KORUPSI – Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan, di Jakarta Selatan, Senin (18/1/2021). Direktur Utama Bank Bengkulu Beni Harjono dipanggil KPK Kamis (30/1/2025) untuk jadi saksi kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur nonaktif Bengkulu Rohidin Mersyah  Tribunnews/Irwan Rismawan 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Utama Bank Bengkulu Beni Harjono, Kamis (30/1/2025).

    Beni dipanggil sebagai saksi kasus dugaan korupsi yang menyeret Gubernur nonaktif Bengkulu Rohidin Mersyah sebagai tersangka.

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Kamis.

    Selain Beni Harjono, penyidik KPK juga memanggil Andra Wijaya selaku Staf Pengeluaran Pembantu Samsat Bengkulu Tengah sebagai saksi.

    Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka.

    Mereka adalah Rohidin Mersyah; Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri; dan ajudan Rohidin, Evriansyah alias Anca.

    Dalam konstruksi perkara, KPK menduga Rohidin Mersyah memeras para kepala dinas dan pejabat di lingkungan Pemprov Bengkulu untuk modal kampanye Pilkada 2024. 

    Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Sabtu (23/11/2024), tim KPK turut menyita uang tunai dengan total sebesar Rp7 miliar dalam pecahan rupiah, dolar Amerika Serikat (AS), dan dolar Singapura. 

    Atas perbuatannya, Rohidin bersama Evriansyah dan Isnan Fajri dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.

    KPK langsung menjebloskan Rohidin bersama dua tersangka lainnya ke rutan. 

     

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’1′,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Polri Itu Polisi Negara, Bukan Pemerintah

    Polri Itu Polisi Negara, Bukan Pemerintah

    GELORA.CO  – Mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno mendesak Polri untuk mengambil alih kasus pagar laut di Tangerang, Banten.

    Sebab, ia memprediksi banyak undang-undang (UU) yang dilanggar terkait pembangunan pagar laut tersebut.

    Setidaknya, Oegroseno menyebut ada tujuh UU yang dilangar.

    “Saya melihat beberapa undang-undang yang potensi dilanggar itu cukup banyak,” kata Oegroseno dalam siniar Abraham Samad SPEAK UP yang tayang pada Selasa (28/1/2025), dikutip Tribunnews.com.

    “Pertama, Undang-undang berkaitan dengan KUHP. Kemudian Undang-undang Pokok Agraria, Nomor 5 atau 60 itu. Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009.”

    “Ada juga Undang-undang tentang Kelautan Nomor 32 Tahun 2014. (Pelanggaran juga) berkaitan dengan Undang-undang Sumber Daya Air. Kemudian Undang-undang Cipta Kerja. Ada lagi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999,” urai Oegroseno.

    Karena itu, Oegroseno menilai pihak yang paling tepat untuk menangani kasus pagar laut adalah Polri.

    Ia juga menyebut Polri memiliki kewenangan penuh untuk mengusut kasus pagar laut.

    Sebab, personel Polri, mulai dari Bhabinkamtibmas hingga Kapolsek setempat, dipastikan mengetahui adanya pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer itu.

    “Sehingga di sini sebetulnya yang paling tepat menangani dan punya kewenangan penuh (mengusut kasus pagar laut) adalah Polri,” kata Oegroseno.

    “Ujung dari Polri ini ada Bhabinkamtibmas, ada Kapolsek di situ, jadi melihat (pembangunan pagar laut) dari awal, sebagai seorang Bhayangkara yang (berpedoman pada) Tri Brata dan Catur Prasetya ini setidak-tidaknya sudah membuat laporan polisi model A. Itu kok ada pemasangan bambu setiap hari selama berbulan-bulan?” tuturnya.

    Oegroseno lantas menyayangkan sebab hingga saat ini, belum ada laporan masuk terkait lasus pagar laut.

    Ia kemudian mengingatkan, Polri merupakan polisi untuk negara, bukan pemerintah.

    “Kita juga punya BIN. Intel di lapangan juga ada. Sehingga kalau sampai saat ini tidak ada laporan polisi, ya sangat disayangkan,” ujarnya.

    “Ini polisi negara, bukan pemerintah. Polri itu polisi Republik Indonesia lho, bukan polisi pemerintah,” tegas Oegroseno.

    Ia pun berharap Polsi bisa segera mengambil alih penanganan kasus pagar laut.

    “Jadi mudah-mudahan penanganan pagar laut ini, karena berkaitan dengan undang-undang cukup banyak, saya berharap Polri segera mengambil alih.”

    “Karena itu mengambil (di wilayah) dua Polda, itu setidak-tidaknya Bareskrim (turun tangan)” pungkas Oegroseno.

    Polairud Sebut Belum Ada Unsur Pidana

    Sementara itu, Direktur Kepolisian Air dan Udara (Dirpolairud), Kombes Joko Sadono, mengatakan hingga saat ini belum ditemukan adanya unsur pidana terkait pembangunan pagar laut di Tangerang.

    Ia menyebut perihal penegakan hukum ditangani Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

    “Sementara kita belum temukan adanya tindak pidana dan sekarang ranahnya masih di KKP, kita tunggu saja,” katanya kepada wartawan di Gedung Satrolda Pol Air Polda Metro Jaya, Plui, Jakarta Utara, Senin (27/1/2025).

    Saat ditanya apakah akan melakukan penyelidikan, Joko kembali menyampaikan proses penegakan hukum masih kewenangan KKP.

    “Kita hormati dahulu penyidik dari PSDKP KKP yah,” tegas dia.

    Ia juga enggan menanggapi lebih lanjut mengenai adanya laporan dugaan korupsi yang dilaporkan ke Bareskrim Polri.

    Joko mengatakan tidak tahu menahu terkait laporan tersebut.

    “Saya rasa tolong ditanyakan ke Bareskrim saja karena saya belum tahu sampai di mana proses penanganannya,” pungkas Joko.

  • Oknum Polisi, Praktik Pemerasan, dan Eksistensi Kortas Tipikor
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        29 Januari 2025

    Oknum Polisi, Praktik Pemerasan, dan Eksistensi Kortas Tipikor Megapolitan 29 Januari 2025

    Oknum Polisi, Praktik Pemerasan, dan Eksistensi Kortas Tipikor
    Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.
    RADEN
    Adipati Joyodiningrat (Bupati Karanganyar 1832-1864), seorang pendukung Pangeran Diponegoro menulis naskah pertama tentang isu korupsi di Jawa.
    Begini potongan bunyinya: ”
    Agar perkara selesai, segalanya tergantung kehendak Raden Adipati Danurejo IV: barangsiapa yang menyerahkan sogok dan upeti paling banyak berupa uang atau barang atau khususnya perempuan cantik, dialah yang akan dibuat menang
    .”
    Ringkasan tulisan ini juga pernah dikutip oleh Wisnu Nugroho, pada artikel yang berjudul, “
    Diponegoro Tampar Patih Yogya dan Korupsi Pejabat Kita
    ,” (
    Kompas.com
    , 19 September 2016).
    Dari artikel tersebut, satu pesan yang paling mencolok adalah bahwa cara korupsi yang terjadi pada 200 tahun lalu, juga masih terjadi pada zaman sekarang.
    Dari kutipan tulisan Raden Adipati Joyodiningrat, sebenarnya ingin merenungkan peristiwa pemerasan yang baru-baru ini terjadi oleh oknum di lingkungan Kepolisian.
    Dari rilis berita resmi, Polda Metro Jaya membeberkan ada empat anggota yang diduga terlibat kasus tindak pidana pemerasan terhadap anak bos klinik kesehatan Prodia sebesar Rp 20 miliar.
    Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi menjelaskan bahwa keempat anggotanya itu, yakni AKBP Bintoro dan AKBP Gogo Galesung selaku mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) di Polres Jakarta Selatan.
    Dua oknum anggota lainnya adalah Kanit Resmob AKP Ahmad Zakaria dan Kasubnit Resmob Satreskrim Polres Metro Jaksel berinisial ND.
    Mereka sedang dalam tahap pemeriksaan di Propam Polda Metro Jaya. Perlu memperhatikan ‘Presumption of Innocence,’ bahwa setiap orang yang disangka melakukan tindak pidana dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.
    Artinya, yang diperlukan adalah transparansi dan profesionalisme Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menggali kebenaran kasus ini.
    Namun, berkaca dari peristiwa yang baru terjadi, yaitu pemerasan oleh oknum polisi saat Konser Djakarta Warehouse Project (DWP) pada Desember 2024, tentu secara psikologis membuat publik buru-buru mengekspresikan bahwa kasus pemerasan seperti ini hal lazim dilakukan oleh oknum aparat.
    Adapun modus pemerasan yang dilakukan adalah ancaman terhadap penonton, dengan tuduhan penyalahgunaan narkoba.
    Dari kasus pemerasan terhadap anak bos Klinik Kesehatan Prodia, sebenarnya bisa dikuliti dari filosofis pengertian korupsi menurut Bank Dunia (World Bank).
    Sederhananya, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Jika dibedah, maka terdapat dua unsur yaitu, frasa ‘penyalahgunaan kekuasaan publik’ dan ‘untuk keuntungan pribadi.’
    Artinya, ada pihak yang surplus (berlebih) kekuasaan, ada pihak yang defisit (kurang) kekuasaan sehingga harus dirugikan demi memberikan keuntungan pribadi pada pemegang kekuasaan.
    Dari relasi kuasa ini, tidak mungkin ada isu yang tiba-tiba datang dengan sendirinya, menentukan pihak-pihak secara subjektif, jika bukan karena adanya konflik kepentingan.
    Jadi, secara filosofis, seharusnya sudah mempermudah APH untuk menindaklanjuti kasus ini secara hukum, apakah keempat anggota tersebut bersalah dan harus ditindak tegas, atau harus dipulihkan kembali reputasinya.
    Kalau berkaca dari pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 2001, yaitu “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,” seringkali APH kesulitan menemukan unsur ‘pegawai negeri atau penyelenggara negara.’
    Hal tersebut terjadi karena tidak sedikit di jajaran penyelenggara negara hingga oknum APH menyamarkan tangannya dengan menggunakan pihak ketiga yang sering disebut ‘makelar kasus.’
    Apalagi jika pelaku pemerasan adalah oknum aparat bisa saja sulit ditindaklanjuti karena ada konflik horizontal antarpemangku kekuasaan.
    Pada artikel penulis sebelumnya, juga pernah dijelaskan bahwa banyaknya oknum polisi tidak lepas dari adanya ‘power yang lebih’, yang akhirnya memicu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
    Jangankan pada kasus kakap, pada kehidupan sehari-hari, seringkali masyarakat dijadikan objek pemerasan karena merasa memiliki ‘power yang berlebih.’
    Sebagai pertanyaan kontemplatif (perenungan), “Salah apa bangsa ini sehingga pemerasan dilakukan oleh orang yang mengemban amanah dan telah disumpah di bawah kitab suci?
    Apakah warisan korupsi yang disebut Joyodiningrat tidak akan pernah hilang? Apakah ‘Polisi Hoegeng’ tidak akan pernah lahir lagi di bumi nusantara ini?”
    Beberapa hari sebelum berakhirnya masa jabatan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden, telah ditandatangani Peraturan Presiden (Perpres) baru mengenai susunan organisasi Polri, yang secara resmi membentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor), tertuang pada Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri.
    Kortas Tipikor Polri diharapkan memberantas praktik korupsi di Tanah Air.
    Memang bisa dipandang baik, bisa juga dipandang buruk. Tentu, publik berharap seharusnya menjadi ajang secara positif bagi Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk berlomba memberantas tuntas para koruptor, bukan justru semakin ‘stuck’, saling lempar-melempar kewenangan, lempar tanggung jawab, atau memperlambat aktivitas pemberantasan korupsi.
    Harapan lainnya, Kortas Tipikor juga bisa semakin runcing untuk memburu oknum-oknum di Kepolisian yang masih membiasakan praktik pemerasan.
    Artinya, Kortas Tipikor tidak hanya tajam ke luar, tetapi juga semakin tajam ke dalam untuk mencapai Polri yang semakin presisi.
    Jika ujungnya Kortas Tipikor malah semakin memperlemah dan mempersulit ‘bersih-bersih dari dalam’, rasanya sayang jika dukungan kelembagaan, tupoksi, dan anggaran yang diberikan negara, namun secara praktik di lapangan justru semakin lari dan menyimpang dari tujuan awal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahfud MD Desak Kejagung, Polri, dan KPK Usut Dugaan Korupsi Kasus Pagar Laut Tangerang – Halaman all

    Mahfud MD Desak Kejagung, Polri, dan KPK Usut Dugaan Korupsi Kasus Pagar Laut Tangerang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut dugaan korupsi terkait penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten.

    Mahfud MD mengatakan penerbitan sertifikat atas laut jadi bukti ada penipuan atau penggelapan. 

    Sebab laut tidak boleh disertifikatkan.

    Dia menduga ada kolusi dalam kasus pagar laut tersebut, yakni permainan dengan pejabat-pejabat terkait melibatkan uang.

    “Kenapa bermain dengan pejabat, karena bisa ke luar sertifikat resmi, bukan hanya satu, pasti itu kejahatan, kalau sudah kejahatan tinggal, kalau mau diambil aspek korupsinya karena pejabat diduga menerima suap, maka KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri itu bisa melakukan tindakan,” kata Mahfud dalam keterangannya, Rabu (29/1/2025).

    Menurut Mahfud, laut tidak boleh dimiliki siapapun baik bentuknya perusahaan maupun perorangan, dan hanya boleh dimiliki negara. 

    Sebab dalam hukum yang berlaku di Indonesia tidak pernah ada hak guna laut atau HGB di laut dan hak guna bangunan hanya ada di tanah

    Mahfud mempersilakan institusi yang berwenang untuk segera memproses dan tidak boleh diganggu instansi-instansi yang lain.

    “Semuanya berwenang, dan tidak usah berebutan, siapa yang sudah tahu lebih dulu atau mengambil langkah lebih dulu itu tidak boleh diganggu oleh dua institusi lain,” ujarnya.

    Namun, mantan calon wakil presiden ini mengendus adanya ketakutan dari aparat untuk mengusut kasus tersebut.

    “Nah, ini saling takut kayaknya, saya heran nih aparat kita kok takut pada yang begitu-begitu, sehingga mencurigakan,” tegas Mahfud.

    Apalagi, kata Mahfud, dalam psikologi birokrasi di Indonesia, bawahan selalu takut pada atasan dan bawahan kerap disalahkan jika bertindak tanpa arahan atasan. 

    Karenanya, dia berharap bahwa atasan tertinggi dari semua aparat penegak hukum, Presiden Prabowo Subianto, tegas memberikan perintah.

    “Kenapa tidak ada penjelasan bahwa ini sudah diselidiki oleh polisi, ini sudah disidik oleh Kejaksaan Agung, jangan sampai kasusnya hilang, nanti habis dibongkar, semuanya diam-diam karena sudah mendapatkan bagian atau saling melindungi, lalu kasus ini hilang, padahal ini kasus serius,” ungkapnya.

    Bisa Gunakan Pasal Suap

    Terpisah, Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lakso Anindito, mengatakan jika Kejaksaan Agung mengusus kasus pagar laut Tangerang maka bisa mempertimbangkan dua pendekatan.

    Pendekatan pertama adalah dengan melihat potensi adanya suap dengan petunjuk awal adanya tindakan yang tidak biasa dari pegawai negeri maupun penyelenggara negara pada kasus ini, sehingga HGB tersebut dapat dikeluarkan. 

    “Nexus aktor pada kasus ini perlu digambarkan secara komprehensif untuk dapat memetakan potensi aktor yang terlibat dalam rangka menelusuri dugaan suap lampau pada saat proses penerbitan HGB tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b bagi penerima maupun Pasal 5 UU Tipikor bagi pemberi,” kata Lakso dalam keterangannya, Rabu (29/1/2025).

    Pendekatan lainnya adalah potensi pendekatan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor dengan melihat potensi perbuatan melawan hukum maupun penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat terkait dengan menunjukkan adanya kerugian keuangan negara akibat penerbitan HGB tersebut.

    Mengingat adanya potensi hak keuangan negara pada kawasan tersebut. 

    “Pada pendekatan ini, perbuatan melawan hukum telah berpotensi dilakukan sebagai petunjuk awal,” kata ketua Indonesia Memanggil atau IM57+ Institute ini.

    Selain itu, kata Lakso, Kejaksaan Agung perlu menunjukkan independensi dan integritas pada penanganan kasus ini. 

    Jangan sampai penanganan kasus ini tidak tuntas sehingga menimbulkan pertanyaan bagi publik terkait komitmen penyelesaian kasus tersebut. 

    “Mengingat kasus ini berpotensi melibatkan political exposed person (PEP) sehingga rawan terjadinya intervensi pada saat penanganan,” katanya.

    Didalami Kejaksaan Agung

    Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung mendalami dugaan korupsi di balik penerbitan SHGB dan SHM pagar laut di pesisir Tangerang.

    Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan saat ini pihaknya ikut memantau perkembangan dari instansi terkait yang menangani fenomena tersebut.

    “Kami sedang mengikuti secara seksama perkembangannya di lapangan, dengan mengedepankan instansi atau lembaga leading sector yang sedang menangani,” kata Harli saat dihubungi, Sabtu (25/1/2025).

    Meski begitu, Harli mengatakan secara bersamaan, pihaknya juga melakukan kajian apakah ada dugaan tindak pidana korupsi dalam hal ini.

    “Dan secara proaktif melakukan kajian dan pendalaman apakah ada informasi atau data yang mengindikasikan peristiwa pidana terkait tipikor,” tuturnya.

     

  • Eks Wakapolri Ungkap 7 UU Berpotensi Dilanggar Pemilik Pagar Laut, Bareskrim Pegang Bola Panas

    Eks Wakapolri Ungkap 7 UU Berpotensi Dilanggar Pemilik Pagar Laut, Bareskrim Pegang Bola Panas

    TRIBUNJAKARTA.COM – Eks Wakapolri, Komjen Pol (Purn) Oegroseno, mengungkap adanya potensi tujuh pelanggaran Undang-Undang (UU) pada kasus pagar laut di Tangerang.

    Seperti diketahui, pagar laut sepanjang 30,16 kilometer terpasang di laut daerah Kabupaten Tangerang, Banten.

    Setelah viral, aparat penegak hukum hingga instansi kementerian terkait baru buka suara dan melakukan penyelidikan.

    Pemiliknya pun belum benar-benar terungkap.

    Pagar laut yang menghalangi nelayan mencari ikan itu tidak berizin, bahkan area laut yang terpagari itu sudah dikapling dalam bentuk sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) sejak 2023.

    Ada 263 bidang dalam bentuk SHGB, dengan rinciannya atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, dan atas nama perorangan sebanyak 9 bidang. 

    Selain SHGB, terdapat pula SHM yang terbit di kawasan pagar laut Tangerang dengan jumlah 17 bidang.

    Oegroseno menyebutkan UU apa saja yang berpotensi dilanggar pemilik pagar laut itu.

    “Setelah dilihat pemagaran laut ini hampir 30 km lebih, saya melihat. Beberapa Undang-Undang itu yang potensi dilanggar itu cukup banyak.”

    “Jadi yang pertama, Undang-Undang berkaitan dengan KUHP, pasal-pasal KUHP, kemudian Undang-Undang pokok agraria nomor 5 tahun 60, Undang-Undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup nomor 32 Tahun 2009, ada juga Undang-Undang tentang kelautan nomor 32 tahun 2014, kemudian ada juga bekaitan dengan Undang-Undang sumber daya air, kemudian Undang-Undang  ciptakerja, dan ada lagi Undang-Undang tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999,” papar Oegroseno saat berbicara di channel Youtube Abraham Samad Speak Up, tayang, Selasa (28/1/2025).

    Dengan banyaknya potensi pelanggaran UU, menurut Oegroseno, Polri lah yang paling tepat menindak dan menangani kasus pagar laut itu.

    “Sehingga di sini sebetulnya yang paling tepat menangani dan punya kewenangan penuh adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia,” Jelasnya.

    Oegroseno juga menyebut Bareskrim Polri jadi satuan yangmemegang nola panas kasus ini. Sebab, area pagar laut meliputi dua wilayah Polda.

    “Mudah-mudahan penanganan pagar laut ini karena berkaitan dengan Undang-Undang yang cukup banyak ya. Saya berharap Polri segera mengambil alih dan karena itu menyangkut dua Polda, ya setidaknya Bareskrim,” uajarnya.

    Seperti diketahui, mulai Jumat (24/1/2025), Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid, mulai membatalkan puluhan SHGB yang ketahuan berada di laut.

    Nusron minta diberi waktu untuk meninjau ulang seluruh bidang SHGB dan SHM yang  terkait pagar laut tersebut.

    Sementara, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono masih menyelidiki dugaan pelanggaran pada pagar laut tersebut berdasarkan aturan yang berlaku di wilayah tanggung jawabnya.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • 100 Hari Prabowo, Presiden Diminta Hilangkan Budaya Korupsi di Lingkungan Aparat Penegak Hukum

    100 Hari Prabowo, Presiden Diminta Hilangkan Budaya Korupsi di Lingkungan Aparat Penegak Hukum

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Laode M Syarif meminta Presiden Prabowo Subianto yang sudah genap 100 hari memimpin pemerintahan, agar memberantas praktik korupsi yang makin membudaya di lingkup aparat penegak hukum.

    “Kita sangat berharap, presiden untuk merapikan lebih dahulu korupsi di tingkat aparat para penegak hukum Indonesia, termasuk KPK, polisi dan kejaksaan yang memiliki kuasa menegakkan hukum,” kata Laode saat konferensi pers Gerakan Nurani Bangsa (GNB) Merespons 100 Hari Presiden Prabowo di Griya Gus Dur, Pegangsaan, Jakarta, Selasa (28/1/2025).

    Laode mengatakan pemberantasan korupsi di lingkungan lembaga penegak hukum wajib dilakukan, jika Prabowo ingin Indonesia bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

    Laode berharap Presiden Prabowo menjadi panglima dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya kepala negara punya kuasa untuk memberantas korupsi dan memperbaiki politik di Indonesia. 

    “Beliau bisa menjadi panglima perlindungan lingkungan di Indonesia. Jadi kita berharap Presiden Prabowo menjadi panglima pemberantasan korupsi,” tegasnya mengomentari 100 hari pemerintah Prabowo-Gibran.

    Laode mencontohkan vonis yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa kasus korupsi timah Harvey Moeis tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (MA) yang berlaku. Harvey divonis 6,5 tahun penjara terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah.

    “Sudah ada peraturan MA tentang panduan untuk pemberian hukuman, termasuk khususnya yang berhubungan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Memang putusan yang pertama tidak mengikuti panduan yang MA,” ucapnya.

    Disebutkan dalam panduan peraturan MA telah diatur hukuman yang ideal berdasarkan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari korupsi tersebut.

    Maka dari itu, ia mengkritik adanya pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman terhadap narapidana kasus korupsi. 

    Selain itu, pihaknya juga mendukung pemerintah sebagai lembaga eksekutif bersama DPR menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset kepada koruptor. Hal itu jauh lebih baik akan kesungguhan dalam memberantas korupsi.

  • Mahfud Minta Menteri Jangan Takut Bongkar Aktor Intelektual di Balik Pagar Laut Tangerang

    Mahfud Minta Menteri Jangan Takut Bongkar Aktor Intelektual di Balik Pagar Laut Tangerang

    GELORA.CO  – Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD meminta para menteri yang terkait dengan kasus pagar laut di pesisir Tangerang, Banten, tidak takut untuk mengungkapkan siapa pelaku di balik kasus tersebut. Ia menegaskan, harus ada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam aksi tersebut.

     

    “Menteri-menteri yang kementeriannya terlibat dalam pembuatan izin dan HGU Laut tak harus takut. Yang bertanggung jawab secara pidana adalah aktor intelektual, pelaku, dan peserta yang ada niat,” kata Mahfud dalam akun media sosial X, Senin (27/1).

     

    Mantan Menko Polhukam ini menegaskan, harus ada pihak yang bertanggung jawab secara pidana dalam kasus yang menjadi sorotan publik itu. Ia menyebut, pejabat bawahan yang menerima delegasi wewenang menerbitkan sertifikat pagar laut, seharusnya mengerti adanya penerbitan hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM).

     

     

    “Jadi, kalau merasa tak terlibat ya bongkar saja, Pak Menteri. Kan banyak kasus yang dihukum hanya dirjen atau pegawai bawahnya yang langsung berkolusi,” tegas Mahfud.

     

    Lebih lanjut, Mahfud juga meminta para menteri menyerahkan terduga pelaku dalam kasus pagar laut ke aparat penegak hukum. Ia meyakini, para pelaku itu telah melanggar hukum.

     

    “Serahkan mereka yang melanggar hukum beserta bukti-buktinya ke aparat penegak hukum. Tak perlu menutupi kasus dengan alasan demi marwah institusi,” ujar Mahfud.

     

    Sebelumnya, Mahfud MD juga mengungkapkan ratusan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di luar garis pantai Tangerang, Banten adalah perkara yang mudah untuk diusut sampai tuntas. Ia menyatakan, semakin ke sini, pengungkapan atas persoalan tersebut semakin mudah. 

     

    Menurutnya, yang dibutuhkan hanya komitmen dan kesungguhan untuk mengungkap dan menyelesaikan. Sebab, fakta-fakta yang bermunculan belakangan ini hanya membutuhkan pembuktian. Menurut Mahfud pembuktian itu tidak sulit.

     

    ”Itu gampang sebenarnya. Kan semua ini, pendirian sebuah PT, akuisisinya dan sebagainya, itu kan sudah terdaftar di Kemenkumham. Siapa yang melakukan, tanggal berapa, yang menandatangani siapa, pemegang saham siapa saja, iya di Dirjen AHU, Administrasi Hukum Umum, itu gampang kok,” tutur Mahfud, Kamis (23/1).

     

    Mahfud pun menambahkan, pagar laut di Tangerang dan SHGB serta SHM di atas laut tidak bisa dikategorikan ringan. Sebab, sudah masuk tindak pidana korupsi.

     

    “Karena, ini kayaknya ini hanya satu model kolusi atau penggarongan terhadap sumber daya alam, baru di laut, di depan mata pula, lautnya juga baru di Banten, Tangerang. Bagaimana yang di sana, di Maluku, di Bali, Kalimantan, kan banyak sekali, terutama Kepri. Kan banyak sekali yang begitu,” pungkasnya

  • Kortastipidkor Polri Usut Dugaan Korupsi Rusun di Cengkareng, Rugikan Negara Rp649 Miliar

    Kortastipidkor Polri Usut Dugaan Korupsi Rusun di Cengkareng, Rugikan Negara Rp649 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA – Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortastipidkor Polri tengah mengusut kasus dugaan korupsi pembangunan rumah susun di Cengkareng, Jakarta Barat. 

    Kepala Kortastipidkor Polri, Irjen Cahyono Wibowo mengatakan kasus ini terkait dengan proyek Dinas Perumahan dan Gedung Pemda Provinsi Jakarta pada tahun anggaran 2015.

    “Ini diduga melibatkan suap kepada penyelenggara negara, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp649,89 miliar,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (27/1/2025).

    Cahyono menambahkan, saat ini pihaknya tengah melakukan penyidikan untuk menemukan dua alat bukti dalam kasus pembangunan rumah susun di Jakarta Barat.

    Penyidikan itu dilakukan dengan memeriksa sejumlah saksi maupun ahli yang berkaitan dengan kasus ini. Selain itu, korps teranyar Polri ini juga mengaku telah menyita sejumlah aset dalam kasus tersebut.

    “Proses hukum akan terus berjalan dengan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli, serta pengamanan sejumlah aset terkait kasus ini,” tambahnya.

    Adapun, jenderal polisi bintang dua ini menekankan bahwa pihaknya akan terus mengusut tuntas perkara rasuah tersebut secara transparan dan akuntabel.

    “Kami terus mengusut tuntas perkara ini dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi,” pungkasnya.