Kasus: Tipikor

  • Tom Lembong Tak Pegang Sepeserpun Uang Korupsi Gula Rp565 M, tapi Tetap Diselidiki

    Tom Lembong Tak Pegang Sepeserpun Uang Korupsi Gula Rp565 M, tapi Tetap Diselidiki

    PIKIRAN RAKYAT – Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) tidak termasuk ke daftar sembilan tersangka yang harus membayar kerugian dalam kasus korupsi impor gula. Ia sejauh ini terbukti tidak memegang sepeserpun uang ratusan miliar rupiah yang sudah disita Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menyebut, Tom Lembong tak diminta ikut bayar kerugian negara sebab kerugian itu tak terjadi saat dirinya menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Mendag).

    Adapun kerugian negara imbas korupsi importasi gula itu mencapai Rp578 miliar. Nilai itu merupakan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Ini adalah kerugian di tahun 2016, yang pada saat itu pejabatnya bukan Pak Menteri Perdagangan saat itu, bukan Pak Thomas Lembong,” kata Abdul Qohar, dalam jumpa pers, Selasa, 25 Februari 2025.

    “Jadi karena bukan pada masa beliau, maka kerugian itu tidak dibebankan kepada para tersangka yang disangkakan melanggar ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dengan Pak Thomas Lembong,” ujarnya menambahkan.

    Meski begitu, Qohar belum menyatakan ada tidaknya keuntungan bagi Tom Lembong dalam dugaan korupsi tersebut. Ia menyatakan, semuanya akan terbuka dalam persidangan.

    “Bahwa apakah ada aliran uang Pak TTL. Ini nanti akan kita lihat bersama di depan persidangan. Perkara ini untuk dua tersangka yang terdahulu saat ini sudah dalam tahap penuntutan dan insyaallah dalam minggu ini akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk disidangkan,” ujar dia.

    Dalam perkara ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 11 orang sebagai tersangka, termasuk Tom Lembong, yang diduga terlibat dalam impor gula yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

    Tom sebelumnya juga mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan karena status tersangka yang dijatuhkan kepadanya oleh Kejaksaan Agung telah sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

    Rincian 9 Tersangka Sumber Uang Sitaan Kejagung

    Qohar mengungkapkan bahwa uang ratusan miliar tersebut berasal dari sembilan tersangka yang berasal dari perusahaan gula swasta, yaitu:

    Tonny Wijaya N.G. (TW) selaku Direktur Utama PT Angels Products (AP) sebesar Rp150.813.450.163,81. Wisnu Hendraningrat (WN) selaku Presiden Direktur PT Andalan Furnindo (AF) sebesar Rp60.991.040.276,14. Hansen Setiawan (HS) selaku Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya (SUJ) sebesar Rp41.381.685.068,19. Indra Suryaningrat (IS) selaku Direktur Utama PT Medan Sugar Industry (MSI) sebanyak Rp77.212.262.010,81. Then Surianto Eka Prasetyo (TSEP) selaku Direktur Utama PT Makassar Tene (MT) sebesar Rp39.249.282.287, 52. Hendrogianto Antonio Tiwon (HAT) selaku Direktur PT Duta Sugar International (DSI) sebanyak Rp41.226.293.608,16. Ali Sanjaya B. (ASB) selaku Direktur Utama PT Kebun Tebu Mas (KTM) sebesar Rp47.868.288.631,28. Hans Falita Hutama (HFH) selaku Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur (BMM) sebesar Rp74.583.958.290,79. Eka Sapanca (ES) selaku Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU) Rp32.012.811.588,55. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Surat Dakwaan Tuntas, Tom Lembong Segera Disidang

    Surat Dakwaan Tuntas, Tom Lembong Segera Disidang

    Jakarta

    Berkas perkara mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong di kasus dugaan korupsi impor gula akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tom Lembong akan segera disidang.

    Hal itu disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar. Selain Tom, Mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) Charles Sitorus yang juga merupakan tersangka pada kasus tersebut juga dilimpahkan hari ini.

    “Hari ini kami sampaikan kepada media bahwa jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) akan melimpahkan ke Pengadilan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam importasi gula atas nama TTL dan CS,” kata Harli kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (26/2/2025).

    “Kami sekarang sedang berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan proses pelimpahannya ke Pengadilan Tipikor,” lanjutnya.

    Saat ditanya mengenai kemungkinan uang pengganti yang akan dibebankan terhadap Tom Lembong dalam kasus itu, Harli menyebut perihal itu harus melihat pada poin-poin yang didakwakan jaksa terhadap Tom.

    “Karena ini kan masih berproses. Misalnya, apakah JPU mendakwakan yang bersangkutan menerima sesuatu? Nah ini kan harus dikonteks lagi, diverifikasi,” ucap Harli.

    “Ini susahnya. Misalnya di dalam surat dakwaan, dia ada menerima sesuatu, misalnya. Berarti kan harus ada kewajiban terhadap pembayaran uang pengganti. Tapi bahwa kemarin pengembalian itu sudah memenuhi uang penggantinya, kerugiannya seluruhnya, mungkin itu bisa ditaksirkan seperti itu. Makanya harus kita lihat dulu surat dakwaannya seperti apa,” jelasnya.

    Mengenai itu, kata dia, akan berproses sampai adanya putusan hakim dalam perkara itu. Karena itu, pihaknya masih akan menunggu putusan pengadilan atas perkara itu berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

    “Oh iya dong, sampai putusan itu inkrah, karena kan itu yang saya sebutkan tadi. Kalau ternyata jaksa penuntut umum misalnya membuat dalam surat dakwaannya bahwa yang bersangkutan menerima atau menikmati, sekian misalnya,” ucap Harli kembali menerangkan.

    “Kita kan belum lihat surat dakwaannya. Nah ini diverifikasi ternyata benar. Berarti kan beban itu kan tetap ada. Tetapi karena pengembaliannya misalnya sudah penuh, maka kan nggak perlu. Itu yang dimaksudkan kemarin,” pungkas dia.

    Sebagai informasi, dalam kasus ini, Tom Lembong dan Charles Sitorus telah ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian Kejagung kembali menetapkan 9 tersangka lainnya. Sehingga total tersangka kasus impor gula menjadi 11 orang.

    Tom juga sempat mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan. Namun, gugatan praperadilan Tom ditolak Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Artinya status tersangka Tom Lembong sudah sah dan sesuai aturan hukum.

    Perbuatan Tom Lembong dkk diduga telah merugikan keuangan negara hingga Rp 578 miliar. Atas perbuatannya, Tom Lembong dkk dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

    (yld/dhn)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Skandal Mega Korupsi Beruntun: Rp 271 Triliun Belum Usai, Muncul Rp 193,7 Triliun

    Skandal Mega Korupsi Beruntun: Rp 271 Triliun Belum Usai, Muncul Rp 193,7 Triliun

    Skandal Mega Korupsi Beruntun: Rp 271 Triliun Belum Usai, Muncul Rp 193,7 Triliun
    Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
    INDONESIA
    kembali diguncang kasus korupsi besar. Setelah skandal PT Timah yang merugikan negara Rp 271 triliun belum selesai, kini muncul kasus di Pertamina dengan kerugian mencapai Rp 193,7 triliun.
    Angka ini belum termasuk kerugian yang harus ditanggung masyarakat pengguna BBM jenis Pertamax yang dimanipulasi.
    Kasus-kasus ini menegaskan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Meski disebut sebagai
    extraordinary crime
    (kejahatan luar biasa), upaya pemberantasannya masih berjalan biasa saja.
    Hukuman yang dijatuhkan sering kali ringan dan tidak sebanding dengan dampak finansial yang ditimbulkan, sehingga tidak memberikan efek jera.
    Salah satu kelemahan utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah ketimpangan antara besarnya kerugian negara dengan hukuman yang diberikan.
    Banyak koruptor hanya divonis beberapa tahun penjara, bahkan ada yang mendapatkan remisi dan bebas lebih cepat.
    Pada 2023, misalnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memberikan remisi kepada 2.136 narapidana korupsi bertepatan dengan peringatan HUT RI ke-78, di mana 16 orang diantaranya langsung bebas.
    Kemudian, pada momen Lebaran tahun yang sama, sebanyak 271 narapidana kasus korupsi juga mendapat remisi khusus.
    Dari segi hukuman yang diterima koruptor, Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 mencatat bahwa dari 1.649 putusan perkara korupsi dengan 1.718 terdakwa, mayoritas hanya dijerat Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Hukuman minimum untuk Pasal 2 hanya 4 tahun penjara, sedangkan Pasal 3 lebih ringan lagi, hanya 1 tahun.
    ICW bahkan mengategorikan hukuman ini sebagai ringan jika di bawah 4 tahun, sedang jika 4–10 tahun, dan berat di atas 10 tahun.
    Sebagai contoh, dalam kasus korupsi PT Timah, salah satu pelaku utama awalnya hanya divonis 6,5 tahun, sebelum akhirnya diperberat menjadi 20 tahun di tingkat banding.
    Namun, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan, hukuman ini masih terbilang ringan.
     
    Dengan ancaman hukuman yang tidak sebanding, korupsi menjadi kejahatan yang berisiko rendah, tetapi memiliki keuntungan luar biasa besar. Bahkan jika tertangkap, seorang koruptor tetap bisa menikmati hasil kejahatannya setelah menjalani hukuman.
    Selain hukuman yang ringan, lemahnya pemulihan aset semakin memperburuk masalah ini, karena uang hasil korupsi sering kali tetap bisa dinikmati para pelaku.
    Lemahnya mekanisme pemulihan aset semakin memperparah keadaan. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang dapat menjadi dasar hukum untuk mengembalikan hasil kejahatan korupsi hingga kini belum disahkan.
    Setiap periode, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi tidak pernah benar-benar dibahas hingga disahkan.
    Urgensi untuk mengatasi masalah ini tidak bisa diabaikan. Kasus mega korupsi terbaru menegaskan perlunya tindakan tegas dari pemerintah.
    Salah satu solusi yang dapat segera diambil adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Perampasan Aset.
    Regulasi ini akan mempercepat pemulihan aset negara yang hilang dan mengirimkan sinyal kuat bahwa pemerintah serius dalam memberantas korupsi.
    Syarat “hal ihwal kegentingan yang memaksa” untuk menerbitkan Perpu jelas telah terpenuhi, mengingat besarnya kerugian negara akibat dua kasus korupsi besar baru-baru ini.
    Lemahnya penegakan hukum juga memperkuat budaya impunitas di kalangan pejabat korup. Ketidaktegasan dalam menjatuhkan hukuman menimbulkan persepsi bahwa korupsi dapat dilakukan tanpa konsekuensi serius, menciptakan lingkungan yang membiarkan praktik tidak etis terus berlangsung.
    Masalah ini diperparah keterkaitan pejabat publik dengan kepentingan politik dan ekonomi yang kuat, sehingga sulit menuntut pertanggungjawaban mereka.
    Oleh karena itu, selain memperberat hukuman, langkah-langkah pencegahan juga harus dioptimalkan melalui reformasi regulasi dan transparansi birokrasi.
    Pemerintah harus memprioritaskan pengesahan undang-undang anti-korupsi yang lebih komprehensif. Ini mencakup tidak hanya
    RUU Perampasan Aset
    , tetapi juga kebijakan peningkatan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa di sektor publik.
    Penguatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menyelidiki dan menuntut kasus korupsi sangat penting.
    Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sumber daya tambahan, pelatihan, dan dukungan bagi lembaga anti-korupsi agar mereka dapat menjalankan tugasnya secara efektif.
    Melihat lambannya proses legislasi terhadap pembentukan RUU ini, bila memang pemerintah memiliki komitmen pemberantasan korupsi, Presiden dapat mengeluarkan Perpu.
    Terungkapnya dua mega korupsi dalam waktu berdekatan menunjukkan bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Hal ikhwal kepentingan memaksa sebagaimana yang menjadi prasyarat diterbitkannya Perpu seharusnya sudah terpenuhi.
    Tanpa regulasi yang kuat, penegakan hukum yang tegas, dan keterlibatan publik, korupsi akan terus merajalela.
    Pemerintah harus segera bertindak untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar di masa depan.
    Upaya yang terkoordinasi dalam memperkuat kerangka hukum, meningkatkan kapasitas penegakan hukum, dan mendorong transparansi adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah korupsi yang mengakar dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Vonis Banding, Hukuman Bos Smelter Timah Cs Diperberat!

    Vonis Banding, Hukuman Bos Smelter Timah Cs Diperberat!

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta telah menjatuhkan vonis di tingkat banding terhadap sejumlah terdakwa dalam perkara korupsi timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS).

    Salah satu yang telah divonis PT Jakarta yaitu Direktur Utama PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto. Hukuman Robert diperberat menjadi 18 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar subsider enam bulan. Sebelumnya, Robert hanya divonis pidana 8 tahun oleh PN Tipikor.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Robert Indarto dengan pidana penjara selama 18 tahun dan denda sejumlah Rp1 miliar,” dalam amar putusan PT Jakarta dikutip Rabu (26/2/2025).

    Selain pidana badan, terdakwa kasus yang merugikan negara Rp300 triliun itu juga harus membayar uang pengganti Rp1,9 triliun subsider 10 tahun penjara.

    Emil Ermindra

    Hakim PT Jakarta telah menambah vonis mantan Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra menjadi 20 tahun penjara dengan denda Rp1 miliar subsider enam bulan. Sebelumnya, Emil Ermindra hanya divonis 8 tahun oleh PN Tipikor.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Emil Ermindra dengan pidana penjara selama 20 tahun dan pidana denda kepada terdakwa Rp1 miliar,” dalam amar putusan PT Jakarta dikutip Rabu (26/2/2025).

    Selain itu, mantan pejabat direksi PT Timah ini diwajibkan membayar uang pengganti Rp493 miliar dengan ketentuan apabila tidak bisa dibayar maka akan diganti enam tahun penjara.

    Kwang Yung

    Selain Emil dan Robert, hakim PT Jakarta juga memutuskan untuk menambah hukuman mantan Komisaris CV Venus Inti Perkasa (VIP) Kwang Yung alias Buyung telah ditambah menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp750 juta dengan subsider enam bulan.

    Dalam catatan Bisnis, hukuman itu lebih tinggi dibandingkan dengan vonis PN Tipikor yang memutuskan untuk menghukum Buyung selama 5 tahun penjara.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Kwan Yung alias Buyung tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 tahun,” dalam amar putusan PT Jakarta dikutip Rabu (26/2/2025).

  • Melacak Skandal Rasuah Minyak Mentah di Perusahan Pelat Merah

    Melacak Skandal Rasuah Minyak Mentah di Perusahan Pelat Merah

    Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Kejaksaan Agung atau Kejagung menggeledah rumah tiga lantai di Jalan Jenggala No.2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

    Bangunan rumah yang digeledah tampak mencolok dengan pagar hitam dan dinding tebal warga putih. Informasi yang dihimpun di lapangan menyebut bahwa rumah itu milik taipan minyak, Muhammad Riza Chalid.

    Saat Bisnis tiba di lokasi sekitar pukul 18.15 WIB, sejumlah penyidik kejaksaan berpakaian serba hitam hilir mudik keluar masuk rumah. Mereka memeriksa sejumlah ruangan. Penyidik kemudian menyegel pintu rumah Riza Chalid dengan segel berwarna merah putih bertuliskan Kejaksaan RI.

    Segel kejaksaan di rumah Riza Chalid./JIBI-Anshary Madya SukmaPerbesar

    Sayangnya, tidak banyak informasi yang diperoleh dari lapangan. Penggeledahan juga masih berlangsung pada Selasa kemarin pukul 21.00 WIB. Sejumlah pejabat kejaksaan belum mau memberikan keterangan terkait barang bukti yang diperoleh dari penggeledahan tersebut.

    “Penyidik sekarang [kemarin] sedang melakukan upaya penggeledahan,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, Selasa kemarin.

    Usut punya usut, penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang mencari bukti kasus skandal korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina. Belum dapat dipastikan apakah penggeledahan itu ada kaitannya dengan keterlibatan Riza Chalid atau tidak. Namun yang jelas, penyidik kejaksaan telah menetapkan salah satu putra Riza Chalid, sebagai tersangka.

    “Pertama apakah ada keterlibatan terhadap Muhammad Riza Chalid yang anaknya tadi malam sudah ditetapkan sebagai tersangka, sabar ya ini kan sedang berproses,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar.

    Rumah Riza Chalid yang digeledah Kejagung./JIBI-Anshary Madya SukmaPerbesar

    Kendati demikian, Qohar menekankan bahwa pihaknya bakal mengusut secara tuntas perkara korupsi itu. Dia akan memeriksa siapapun yang terlibat, termasuk bila diperlukan memeriksa Riza Chalid.

    “Semuanya akan dimintai keterangan sebagai saksi apabila terkait dengan perkara ini penyidik juga sedang mengumpulkan alat bukti apakah memang ada orang lain yang ikut terlibat tidak terkecuali Muhammad Riza Chalid,” tegasnya.

    Sekadar informasi, Kejagung telah menetapkan sejumlah pejabat perusahaan subholding sebagai tersangka perkara korupsi tata kelola minyak mentah dan kilang Pertamina. Mereka diduga merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.

    Namun demikian, jumlah kerugian negara kemungkinan bisa bertambah karena penyidik Kejagung sedang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit secara lebih detail kasus tersebut.

    Adapun pejabat subholding Pertamina yang menjadi tersangka antara lain, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shiping Yoki Firnandi, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan VP Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional. 

    Selain tersangka dari pihak subholding Pertamina, penyidik kejaksaan juga menahan tersangka dari swasta sebanyak tiga orang.

    Mereka antara lain, Gading Ramadhan Joedo selaku Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara dan MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistima.

    “Jadi terhadap ketujuh orang tersangka ini langsung kita tahan selama 20 hari ke depan,” tutur Qohar.

    Bisnis masih berupaya untuk mengonfirmasi pihak Riza Chalid terkait penggeledahan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Salah satunya dengan mendatangai lokasi rumah Riza Chalid pada hari Selasa kemarin pukul 18.15 WIB 

    Modus Korupsi Minyak Mentah

    Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap bahwa modus Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.

    Direktur Penyidikan Jaksa Tindak Pidana Khusus alias Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengemukakan bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga seolah-olah melakukan impor produk kilang Ron 92.

    Namun, setelah diusut ternyata RS diduga malah membeli bahan bakar dengan oktan minimum sebesar 90 atau sejenis pertalite. Produk kilang itu kemudian dicampur sedemikian rupa untuk menjadi Ron 92 atau sejenis pertamax.

    “Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” ujar Qohar di Kejagung, dikutip Selasa (25/2/2025).

    Kejaksaan AgungPerbesar

    Qohar menjelaskan, dalam kasus ini pengadaan impor minyak mentah dilakukan PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga.

    Kasus ini melibatkan, sejumlah tersangka penyelenggara negara bersama-sama dengan tersangka DMUT/Broker. Pada intinya, kedua belah pihak bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang.

    “Sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/Broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan,” tambahnya.

    Adapun, Qohar mengungkap, tersangka Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping diduga melakukan mark up kontrak pengiriman saat pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang

    Setelah itu negara mengeluarkan fee sebesar 13%-15% dan diduga menguntungkan tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa.

    “Saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” jelasnya.

    Jawaban Pertamina dan ESDM 

    PT Pertamina (Persero) menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Kendati demikian, mereka tetap memegang azas praduga tidak bersalah dalam perkara dugaan korupsi tersebut.

    Di sisi lain, Pertamina meluruskan soal isu BBM oplosan. Mereka memastikan bahwa Pertamax (RON 92) yang beredar di masyarakat bukan BBM oplosan. Hal ini merespons kegaduhan masyarakat di media sosial yang menyebut Pertamax yang dibeli sebenarnya berkualitas RON 90 atau setara Pertalite.

    Tudingan masyarakat itu tak lepas dari kasus dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang melibatkan subholding Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2018—2023.

    VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menegaskan kualitas BBM yang dijual ke masyarakat sesuai dengan ketentuan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    Dengan kata lain, Pertamax yang dibeli masyarakat tetap dengan kualitas RON 92. “Bisa kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing. RON 92 [adalah] Pertamax, RON 90 adalah Pertalite,” kata Fadjar di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (25/2/2025).

    Dia juga memastikan tidak ada praktik pengoplosan BBM untuk menjadi Pertamax yang dijual ke masyarakat. Fadjar menyebut yang menjadi pokok pemeriksaan dari Kejaksaan Agung adalah praktik impor RON 90 yang seharusnya RON 92.

    “Jadi bukan adanya oplosan sehingga mungkin narasi yang keluar yang tersebar sehingga ada misinformasi di situ,” ucap Fadjar.

    Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya akan menghormati proses yang tengah dijalankan oleh aparat hukum dan bersedia untuk bekerja sama. Pihaknya juga terus berupaya untuk memperbaiki tata kelola pemanfaatan minyak mentah dalam negeri. 

    “Kita menghormati proses hukum,” kata Dadan saat ditemui di Kantor ESDM, Selasa (25/2/2025). 

    Dadan juga menerangkan bahwa Kementerian ESDM telah memperbarui aturan tersebut melalui Peraturan Menteri (Permen) No. 18/2021. Adapun, dalam beleid tersebut, badan usaha tetap diwajibkan untuk memanfaatkan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. 

    “Kita tidak ngomong tidak wajib di situ, sudah ada [pembaruan] di Permen 2021, memang kata wajibnya tidak ada, tapi kan itu diartikannya bukan tidak wajib, kan ada proses harus ditawarkan, dan itu juga sudah ditawarkan, semua diikutin di situ,” terang Dadan.

    Lebih lanjut, Dadan juga menerangkan bahwa berdasarkan arahan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, pemerintah akan terus memaksimalkan minyak mentah domestik untuk diolah di kilang dalam negeri.

    “Kasusnya kan baru kemarin, tetapi saya waktu jadi Plt dirjen migas kan yang kemarin itu ada yang pengurusan itu, kita coba maksimumkan untuk semua produksi dalam negeri, dan arahan dari Pak Menteri semaksimal mungkin diolah dalam negeri, untuk diolah di kilang dalam negeri,” ujarnya. 

  • Ketua KPK Ingatkan Kepala Daerah Harus Miliki Sikap Antikorupsi

    Ketua KPK Ingatkan Kepala Daerah Harus Miliki Sikap Antikorupsi

    loading…

    Ketua KPK Setyo Budiyanto memberikan keterangan kepada media usai menjadi pembicara pada Retret Kepala Daerah 2025 di Lembah Tidar Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, Selasa (25/2/2025) malam. FOTO/BINTI MUFARIDA

    MAGELANG – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) Setyo Budiyanto menegaskan sikap antikorupsi perlu dimiliki oleh kepala daerah . Pasalnya kepala daerah memiliki tanggung jawab besar kepada rakyat, khususnya dalam memacu pertumbuhan ekonomi, perdagangan, hingga swasembada pangan.

    Untuk itu, Ketua KPK mewanti-wanti kepala daerah agar mampu menjaga nama baik bangsa dan negara. “Jabatan yang diemban oleh para kepala daerah merupakan sesuatu yang sementara,” katanya saat menjadi pembicara pada Retret Kepala Daerah 2025 di Lembah Tidar Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, Selasa (25/2/2025) malam.

    Setyo berharap kepala daerah mampu melaksanakan kinerjanya dengan baik serta patuh terhadap peraturan yang berlaku. “Saya berharap semuanya yang baik menjadi lebih baik. Yang patuh menjadi lebih patuh, yang hormat menjadi lebih hormat, yang menghargai terhadap atasan, presiden, pimpinan, siapa pun bisa lebih baik lagi,” ujarnya.

    Setyo mengingatkan kepala daerah bahwa kekuasaan dapat menjadi celah terjadinya tindak pidana korupsi. Di samping itu, ia meminta kepala daerah agar tidak tergiur dengan politik balas budi. Dengan begitu, penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat terhindar dari persoalan hukum.

    “Kekuasaan ada masanya. Kewenangan ada batasnya. Jika tiba waktunya, kekuasaan dan kewenangan yang disalahgunakan akan mencari jalan untuk meminta pertanggungjawaban melalui cara penegakan hukum,” tandasnya.

    (abd)

  • Kejagung: Kerugian Negara Rp193,7 T Korupsi Pertamina hanya Tahun 2023, Prakiraan Tembus Rp968,5 T – Halaman all

    Kejagung: Kerugian Negara Rp193,7 T Korupsi Pertamina hanya Tahun 2023, Prakiraan Tembus Rp968,5 T – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kaspuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar menyebut kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun dari kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina Patra Niaga hanya hitungan untuk tahun 2023 saja.

    Harli menyebut tempus delicti atau rentang waktu terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) untuk tahun 2018-2023 belum dihitung.

    Bahkan, sambung Harli, kerugian negara untuk tahun 2023 baru hitungan sementara.

    Dia menjelaskan hitungan kerugian negara tersebut meliputi beberapa komponen seperti rugi impor minyak, rugi impor BBM lewat broker, dan rugi akibat pemberian subsidi.

    “Jadi kalau apa yang kita hitung dan kita sampaikan kemarin (Senin) itu sebesar Rp193,7 triliun, perhitungan sementara ya, tapi itu juga sudah komunikasi dengan ahli. Terhadap lima komponen itu baru di tahun 2023,” katanya dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).

    Harli mengungkapkan, jika dihitung secara kasar dengan perkiraan bahwa kerugian negara setiap tahun sebesar Rp193,7 triliun, maka total kerugian selama 2018-2023 mencapai Rp968,5 triliun.

    “Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan sebesar kerugian negara,” katanya.

    Harli menyebut pihaknya saat ini juga tengah berfokus untuk menghitung kerugian negara dari tahun 2018-2023 terkait kasus mega korupsi ini.

    Dia mengatakan penyidik Kejagung turut menggandeng ahli untuk melakukan perhitungan kerugian negara.

    “Kita ikuti perkembangnya nanti,” ujarnya singkat.

    Temuan Kasus Berawal dari Keluhan Masyarakat soal Kualitas Pertamax Jelek

    Harli menjelaskan temuan kasus dugaan mega korupsi ini berawal dari keluhan masyarakat di beberapa daerah terkait kandungan dari bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dianggap jelek.

    Setelah adanya temuan tersebut, Harli mengungkapkan pihaknya langsung melakukan kajian mendalam.

    “Kalau ingat beberapa peristiwa di Papua dan Palembang terkait dugaan kandungan minyak yang jelek. Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat kenapa kandungan Pertamax yang begitu jelek,” jelasnya.

    Selain itu, adapula temuan bahwa pemerintah menganggarkan subsidi terkait BBM yang dirasa janggal yang ternyata akibat kelakuan para tersangka.

    “Sampai pada akhirnya, ada liniernya atau keterkaitan antara hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait misalnya mengapa harga BBM harus naik dan ternyata ada beban negara yang seharusnya tidak perlu.”

    “Tapi, karena ada sindikasi oleh para tersangka ini, jadi negara harus mengemban beban kompensasi yang begitu besar,” jelas Harli.

    7 Tersangka Ditetapkan

    Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dari kasus mega korupsi tersebut.

    Mereka adalah Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.

    Lalu, tersangka lainnya ada Dirut PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, beneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menuturkan kasus ini bermula pada tahun 2018 ketika pemerintah tengah mencanangkan pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari produksi dalam negeri.

    Namun, tiga tersangka yaitu Riva, Sani, dan Agus, justru tidak melakukannya dan memutuskan untuk pengkondisian saat rapat organisasi hilir (ROH).

    Hal itu, kata Qohar, dilakukan demi melakukan impor minyak mentah.

    “Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (24/2/2025).

    Selain itu, adapula modus di mana mereka kongkalikong dengan broker yaitu Riza, Dimas, dan Gading selaku broker terkait kegiatan ekspor minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

    Kongkalikong itu berupa pengaturan harga yang diputuskan dengan melanggar peraturan demi kepentingan pribadi masing-masing.

    “Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” jelasnya.

    Lalu, deretan pelanggaran hukum kembali dilakukan ketika Riva, Sani, dan Agus memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang.

    Selanjutnya, adapula Dimas dan Gading yang melakukan komunikasi ke Agus untuk memperoleh harga tinggi meski secara syarat belum terpenuhi.

    Riva juga melakukan pelanggaran di mana justru membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 meski yang dibutuhkan adalah RON 92.

    Tak cuma itu, Yoki juga diduga melakukan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor.

    Apa yang dilakukan Yoki ini membuat negara harus menanggung biaya fee mencapai 13-15 persen. Namun, Riza justru memperoleh keuntungan.

    “Sehingga tersangka MKAR (Riza) mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ungkap Qohar.

    Qohar mengatakan rangkaian perbuatan tersangka ini membuat adanya gejolak harga BBM di masyarakat lantaran terjadi kenaikan.

    Hal ini membuat pemerintah semakin tinggi dalam memberikan kompensasi subsidi.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

  • Ini Cara Kerja Orang Pertamina Beli Pertalite di Luar Negeri Jual ke Masyarakat Jadi Pertamax – Halaman all

    Ini Cara Kerja Orang Pertamina Beli Pertalite di Luar Negeri Jual ke Masyarakat Jadi Pertamax – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk pada PT Pertamina, Sub Holding, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. 

    Tujuh tersangka itu terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta.

    Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. 

    Kemudian, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.

    Selanjutnya, pihak swasta mencakup MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, ⁠DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan ⁠YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

    Kapuspen Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli. Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. 

    “Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut,” ujar Harli dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Senin (24/2) malam.

    Sementara Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023. 

    Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor. 

    “Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri,” kata Qohar.

    Namun kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International). 

    Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap, sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.

    Qohar menyebut produksi minyak mentah oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam negeri juga ditolak setelah produksi kilang diturunkan. 

    Penolakan dilakukan dengan membuat berbagai alasan. Pertama, produksi minyak mentah KKKS dinilai tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk rentang harga perkiraan sendiri (HPS). 

    Alasan kedua, spesifikasi dianggap tidak sesuai kualitas kilang. Padahal, minyak dalam negeri tersebut seharusnya masih memenuhi kualitas jika diolah kembali dan kadar merkuri atau sulfurnya dikurangi.

    Qohar menjelaskan saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, Pertamina kemudian mengimpor minyak mentah. 

    “Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” kata Qohar.

    Kemudian, Qohar menjelaskan ada dugaan pemufakatan jahat (mens rea) dalam proses impor minyak mentah tersebut oleh tersangka SDS, AP, RS, YF, bersama tersangka pihak swasta MK, DW, dan GRJ. 

    “Sebelum tender dilaksanakan, dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” tutur dia.

    Ia menjelaskan rencana pemufakatan jahat itu dilakukan dengan mengatur proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Melalui pengaturan tersebut pengondisian pemenangan broker seolah-olah sesuai dengan ketentuan. 

    Pengondisian itu dilakukan oleh tersangka RS, SDS, dan AP yang memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. 

    Lalu, tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP agar memperoleh harga tinggi saat syarat belum terpenuhi.

    Tersangka RS kemudian diduga menyelewengkan pembelian spek minyak. RS disebut melakukan pembelian untuk jenis Roin 92 (Pertamax) padahal yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite). 

    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” jelas Qohar.

    Qohar menjelaskan Kejagung juga menemukan dugaan markup kontrak pengiriman oleh tersangka YF dalam melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. 

    Ia menuturkan negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. Lebih lanjut, Qohar menyebut korupsi ini berdampak luas pada harga BBM di Indonesia. 

    Karena sebagian besar kebutuhan minyak nasional dipenuhi dari impor ilegal, harga dasar BBM menjadi lebih mahal. Hal ini berdampak pada penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM, yang menjadi acuan subsidi dan kompensasi BBM dari APBN setiap tahunnya.

    Sederet perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan negara merugi sekitar Rp193,7 triliun. 

    Total kerugian itu bersumber dari beberapa komponen yakni Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun; Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun; Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. 

    Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Kerugian negara akibat dugaan korupsi ini sekitar Rp193,7 triliun.

    Terpisah, PT Pertamina (Persero) mengaku menghormati Kejaksaan Agung menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan pada kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang perusahaan periode 2018-2023. 

    “Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangan resmi, Selasa (25/2).

    Fadjar menegaskan Pertamina Grup menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.(tribun network/fhm/dod)

  • 9
                    
                        Saat Ronald Tannur Tak Merasa Bersalah…
                        Nasional

    9 Saat Ronald Tannur Tak Merasa Bersalah… Nasional

    Saat Ronald Tannur Tak Merasa Bersalah…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gregorius
    Ronald Tannur
    mengaku tidak pernah melakukan tindakan apa pun sehingga menyebabkan
    Dini Sera Afrianti
    tewas.
    Pernyataan ini disampaikan Ronald saat memberikan kesaksian dalam sidang
    dugaan suap
    tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
    Mulanya di persidangan itu, Ronald menjawab pertanyaan tim hukum Erintuah Damanik yang menanyakan tanggapan dirinya yang diputus bebas oleh tiga hakim PN Surabaya tersebut.
    “Saudara diputus bebas, bagaimana tanggapan Saudara? Apakah memang ya harusnya saya bebas gitu atau saya harusnya dihukum? Apa tanggapan Saudara?” tanya kuasa hukum Erintuah, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2025).
    Lantaran pertanyaan itu dianggap menggiring, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung pun melayangkan keberatan.
    Jaksa menilai, tim hukum Erintuah bukan menanyakan fakta, melainkan pendapat.
    “Keberatan, Yang Mulia, pendapat Yang Mulia,” timpal jaksa sebelum Ronald Tannur menjawab.
    Kuasa hukum Erintuah pun mengganti pertanyaan dengan menanyakan bagaimana perasaan Ronald atas meninggalnya Dini Sera.
    “Apakah Saudara merasa bersalah atas adanya meninggalnya Saudari Dini yang melakukannya? Saudara merasa bersalah enggak?” tanya kuasa hukum Erintuah.
    Bukan mengakui kesalahannya, Ronald justru membantah dugaan-dugaan yang dialamatkan kepadanya.
    Ronald bilang, dia tidak pernah melakukan tindakan apa pun yang menyebabkan Dini Sera meninggal dunia.
    Di sisi lain, anak dari Edward Tannur, mantan anggota DPR RI Komisi IV Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), itu hanya merasa bersalah lantaran kasus yang menjeratnya telah merugikan banyak orang.
    “Saya tidak pernah merasa melakukan apa pun pada Saudari Dini, saya hanya merasa bersalah karena saya telah merugikan orang banyak,” kata Ronald Tannur.
     
    Dalam sidang ini, Ronald Tannur mengaku merasa bersalah karena telah membuat keluarga sedih dengan perkara yang menjeratnya.
    “Kan saudara didakwa ya di persidangan, dibacakan dakwaannya ya. Sewaktu jaksa penuntut umum membacakan, mendakwa saudara itu, saudara merasa bersalah enggak?” tanya kuasa hukum.
    “Merasa bersalah,” kata Ronald Tannur.
    Mendengar jawaban itu, tim hukum Erintuah pun menggali perasaan salah yang dirasakan Ronald.
    “Merasa bersalahnya bagaimana? Apa yang buat saudara merasa bersalah?” tanya Philipus.
    Alih-alih menyatakan rasa salah atas tindakannya terhadap Dini Sera, Ronald hanya menyatakan dirinya bersalah lantaran membuat kedua orangtuanya menjadi sedih.
    Bahkan, Ronald mengaku merasa bersalah lantaran membuat netizen atau pengguna media sosial menjadi heboh.
    “Karena saya telah merepotkan orangtua saya, membuat sedih orangtua saya, terus membuat heboh jagat netizen Indonesia,” kata Ronald Tannur.
    “Itu saudara merasa bersalahnya?” tanya tim hukum Erintuah memastikan.
    “Betul, beban moral, Pak,” kata Ronald Tannur.
    Kuasa hukum pun menggali lebih dalam putusan bebas yang menyebabkan tiga hakim PN Surabaya menjadi terdakwa kasus dugaan suap.
    Dalam sidang ini, Ronald mengaku tidak pernah meminta kepada pengacaranya, Lisa Rachmat, untuk mendapatkan putusan bebas.
    Pernyataan itu disampaikan untuk menjawab pertanyaan tim hukum Erintuah yang mencecar Ronald Tannur saat melakukan pertemuan dengan Lisa Rachmat.
    “Saudara saksi, waktu bertemu dengan Ibu Lisa, itu pernah minta bebas enggak?” tanya kuasa hukum.
    “Tidak pernah, Pak,” jawab Ronald.
    Kuasa hukum terus mencecar komunikasi Ronald dengan Lisa Rachmat, utamanya terkait permintaan terhadap upaya pembelaan yang dilakukan oleh Lisa sebagai pengacara.
    “Jadi, tidak pernah ngomong bahwa saya mau bebas, itu tidak pernah ya?” tanya kuasa hukum lagi.
    “Tidak pernah,” kata Ronald.
     
    Tidak hanya itu, Ronald pun mengaku tidak mengetahui adanya tawaran uang damai yang disiapkan pengacaranya, Lisa Rachmat, kepada keluarga korban, Dini Sera Afrianti.
    Pengakuan ini disampaikan ketika kuasa hukum Erintuah menggali keterangan Ronald soal adanya koordinasi dengan keluarga Dini Sera terkait perdamaian.
    “Apakah Saudara ada berkoordinasi atau berkomunikasi dengan ibunya korban ini, menawarkan perdamaian atau menawarkan uang, atau menawarkan apa gitu? Ada enggak?” tanya kuasa hukum.
    Kepada tim hukum Erintuah, Ronald mengaku tidak melakukan komunikasi terkait perdamaian dengan keluarga Dini Sera.
    Ronald mengaku hanya meminta maaf dan mencium kaki ibu Dini Sera.
    “Tidak ada, Pak (komunikasi perdamaian), saya hanya meminta maaf dan mencium kaki ibunya ketika di Polrestabes,” kata Ronald.
    Mendengar pengakuan itu, tim hukum Erintuah pun kembali menanyakan apakah ada tawaran uang damai ke keluarga Dini.
    Namun, Ronald tetap mengaku tidak mengetahui adanya tawaran uang damai tersebut.
    “Kan kemarin ibu saksi sudah memberitahukan bahwa ada uang perdamaian yang kemudian ditolak oleh kuasa hukum (Dini Sera), itu Saudara tahu enggak?” tanya kuasa hukum mendalami.
    “Tidak tahu, Pak,” jawab Ronald Tannur.
    “Yang Rp 800 juta, Rp 500 juta, Saudara tidak tahu?” timpal kuasa hukum lagi.
    “Tidak tahu,” kata Ronald Tannur.
    Dalam kasus ini, Erintuah, Mangapul, dan Heru didakwa menerima suap senilai Rp 4,6 miliar untuk membebaskan Ronald Tannur dalam perkara yang disidangkan di PN Surabaya.
    Suap tersebut diberikan dalam pecahan Rp 1 miliar dan 308.000 dollar Singapura oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
    Berdasarkan surat dakwaan, uang suap itu disebut bersumber dari ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, dan telah diberikan selama proses persidangan di PN Surabaya.
    Ketiga hakim itu kemudian menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Ronald Tannur.
    Keberatan atas putusan ini, jaksa mengajukan kasasi ke MA.
    Lisa pun kembali bergerilya dan berupaya menyuap hakim agung yang menyidangkan perkara tersebut di tingkat kasasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sahroni Dukung Kejagung Usut Praktik Korupsi di Tengah Efisiensi: Harus Makin Serius Lagi

    Sahroni Dukung Kejagung Usut Praktik Korupsi di Tengah Efisiensi: Harus Makin Serius Lagi

    loading…

    Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut praktik dugaan tindak pidana korupsi di tengah efisiensi anggaran dilakukan pemerintah. FOTO/IST

    JAKARTA – Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut praktik dugaan tindak pidana korupsi di tengah efisiensi anggaran dilakukan pemerintah. Diketahui, Kejagung mengungkapkan nilai kerugian negara dari dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina periode 2018-2023.

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar pada Senin (24/2/2025), mengatakan kasus tersebut membuat negara merugi lebih dari Rp193 triliun. Dalam perkara tersebut, Kejagung sudah menetapkan tujuh tersangka yang terdiri dari empat karyawan Pertamina dan tiga dari pihak swasta.

    Kinerja Kejagung pun lantas turut mendapat apresiasi dari Ahmad Sahroni. Sahroni menilai pemberantasan korupsi menjadi aspek penting di tengah agenda efisiensi pemerintah. “Saat ini kan Presiden Prabowo tengah melakukan efisiensi anggaran, nah makanya penegak hukum harus makin serius lagi dalam melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsinya,” ujar Sahroni dalam keterangannya, Selasa (25/2/2025).

    “Bakal percuma kalau anggarannya diefisiensikan tapi praktik korupsinya dibiarkan. Jadi apa yang dilakukan oleh Kejagung ini sudah tepat, untungnya Kejagung bisa mengendus praktik tersebut. Apalagi ini menyangkut BUMN sebesar Pertamina, kalau dibiarkan bakal terus digerogoti oleh mereka para koruptor,” sambung Sahroni.

    Lebih lanjut, Sahroni pun berharap Kejagung juga bisa memaksimalkan aspek pengembalian kerugian negara dari kasus Pertamina ini. Sebab, Sahroni menilai, hal tersebut sangat penting guna menutupi kerugian negara.

    “Dan yang paling penting Kejagung harus maksimalkan aspek pengembalian kerugian negara dari kasus ini. Sita aset-aset para pelaku. Karena kalau cuma menangkap pelaku, itu masih sangat kurang. Saat ini yang paling penting ialah menutupi kerugian negara yang telah ditimbulkan. Agar nantinya bisa dikembalikan ke kas negara dan digunakan untuk program-program yang menyejahterakan rakyat,” tambah Sahroni.

    Terakhir, Sahroni juga berharap agar para aparat penegak hukum terus memaksimalkan aspek pencegahan korupsi. “Pokoknya penegak hukum harus prioritaskan aspek pencegahan dan pengawasan. Karena itu satu-satunya cara mengawal program efisiensi anggaran yang tengah berlangsung,” pungkas Sahroni.

    (abd)