Kasus: Tipikor

  • Skandal Korupsi BBM Rp193,7 Triliun Bermuara Sampai Mana?

    Skandal Korupsi BBM Rp193,7 Triliun Bermuara Sampai Mana?

    Bisnis.com, JAKARTA – Publik dibuat geger dengan temuan skandal kasus korupsi tata kelola migas di lingkungan PT Pertamina (Persero) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Tidak tanggung-tanggung, total nilai kerugian negara atas pemufakatan jahat tersebut ditaksir mencapai Rp193,7 triliun. Hitungan itu bahkan baru merupakan kerugian dalam satu tahun, sedangkan praktik tersebut telah dijalankan sejak 2018 hingga 2023.

    Kejagung yang menangani kasus ini menyatakan, pada mulanya Tim Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan 7 Orang tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023. 

    Para tersangka tersebut yakni RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.

    Selain itu, tersangka lainnya adalah AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Dalam perkembangan terbaru, Tim Penyidik pada Jampidsus menetapkan 2 orang tersangka pada perkara tersebut. Kali ini, Kejagung meringkus MK selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga dan EC selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.

    Dengan demikian, Kejagung telah meringkus sebanyak 9 orang dalam pusaran kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina.

    Persongkolan Tersangka

    Kejagung membeberkan bahwa para tersangka telah terbukti melakukan pemufakatan jahat dalam periode 2018–2023 pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.

    Berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, tersangka SDS, dan tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.

    Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak. Produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS, produk minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai kualitas kilang, tetapi faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

    Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor.

    Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

    Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi.

    Sementara itu, tersangka RS, tersangka SDS dan tersangka AP berperan dalam memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. Tersangka DM dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka RS untuk impor produk kilang.

    Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

    Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan komisi sebesar 13%–15% secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.

    Sementara itu, dua tersangka baru yang diringkus diketahui memiliki melakukan skenario untuk mengimpor BBM yang tidak sesuai dengan spesifikasi. Tersangka MK dan tersangka EC atas persetujuan tersangka RS melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang.

    Tersangka MK memerintahkan dan memberikan persetujuan kepada tersangka EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88  dengan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKAR dan tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92. 

    Tersangka MK dan tersangka EC melakukan pembayaran impor produk kilang yang seharusnya dapat menggunakan metode term/pemilihan langsung (waktu berjangka) sehingga diperoleh harga wajar tetapi dalam pelaksanaannya menggunakan metode spot/penunjukan langsung (harga yang berlaku saat itu) sehingga PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha/DMUT.

    Tersangka MK dan tersangka EC mengetahui dan menyetujui adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping sehingga PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13%–15% secara melawan hukum dan fee tersebut diberikan kepada tersangka MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa.

  • 6
                    
                        Hukuman Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Diperberat Jadi 13 Tahun
                        Nasional

    6 Hukuman Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Diperberat Jadi 13 Tahun Nasional

    Hukuman Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan Diperberat Jadi 13 Tahun
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Mahkamah Agung
    (MA) memperberat hukuman mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias
    Karen Agustiawan
    , dari 9 tahun menjadi 13 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG).
    Putusan diketok oleh majelis kasasi MA yang dipimpin Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto dengan anggotanya, Sinintha Yuliansih Sibarani dan Achmad Setyo Pudjoharsoyo, Jumat (28/2/2025) hari ini.
    “Pidana penjara 13 tahun,” sebagaimana dikutip dari situs resmi MA, Jumat.
    Majelis kasasi menyatakan menolak permohonan kasasi dari pihak Karen dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Meski demikian, majelis kasasi menyatakan mengubah putusan pengadilan tingkat banding yang tetap menghukum Karen 9 tahun penjara. 
    Selain itu, dalam putusannya, majelis kasasi memperbaiki kualifikasi dan pidana.
    Karen, yang oleh pengadilan sebelumnya dinilai melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kini dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 pada undang-undang yang sama.
    Adapun Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor berlaku pada setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan merugikan negara.
    Pasal ini berlaku bagi penyelenggara negara maupun swasta.
    Sementara, Pasal 3 menyangkut perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan berlaku bagi penyelenggara negara.
    Selain hukuman 13 tahun bui, Karen juga dihukum membayar denda Rp 650 juta subsidair 6 bulan kurungan. “Terbukti Pasal 3 TPK juncto Pasal 55 juncto Pasal 64,” sebagaimana dikutip dari putusan tersebut.
    Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan hukuman Karen 9 tahun penjara.
    Karen dinilai bersalah melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor.
    “Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 12/Pid.Sus-TPK/2024/PN.JKT.PST, tanggal 24 Juni 2024,” demikian bunyi amar putusan banding yang dikutip di situs Mahkamah Agung (MA), Senin (2/9/2024).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Usut Korupsi Rumah Bersubsidi, Kejati Bali Segel Alat Berat dan Puluhan Rumah
                
                    
                        
                            Denpasar
                        
                        28 Februari 2025

    Usut Korupsi Rumah Bersubsidi, Kejati Bali Segel Alat Berat dan Puluhan Rumah Denpasar 28 Februari 2025

    Usut Korupsi Rumah Bersubsidi, Kejati Bali Segel Alat Berat dan Puluhan Rumah
    Tim Redaksi
    BULELENG, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali tengah mengusut kasus dugaan
    korupsi rumah bersubsidi
    yang diduga melibatkan salah satu pengembang perumahan di Kabupaten
    Buleleng
    , Provinsi Bali.
    Dalam penyidikan kasus tersebut, penyidik
    Kejati Bali
    menyita dan menyegel sejumlah alat berat serta puluhan unit rumah bersubsidi.
    Sebanyak tiga unit ekskavator, satu unit
    dump truck
    , dan satu mobil disita penyidik pada Kamis (27/2/2025) malam.
    Penyidik juga menyita satu unit rumah beserta tanah di Desa Pemaron.
    Sebelumnya, pada Rabu (26/2/2025), penyidik menyegel 26 unit rumah bersubsidi dengan rincian 23 unit di Desa Tejakula, satu unit rumah di Desa Kubutambahan, dan dua unit rumah di Desa Panji.
    Kepala Seksi (Kasi) Pengendalian Operasi Kejati Bali, Anak Agung Ngurah Jayalantara, menjelaskan bahwa seluruh aset yang disita diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi rumah bersubsidi.
    “Kata dia, Kejati Bali tengah melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi rumah bersubsidi. Penyidik menemukan indikasi penyelewengan rumah bersubsidi. Rumah tersebut seharusnya diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), namun tidak pada peruntukannya. Modusnya meminjam identitas masyarakat berpenghasilan rendah untuk rumah bersubsidi. Setelah itu dijual kepada masyarakat yang tidak berhak,” ungkap dia.
    Dalam penanganan kasus ini, kejaksaan akan berkoordinasi dengan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), yang merupakan penyelenggara program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
    “Kami akan koordinasi dengan BP Tapera selaku pemilik FLPP, bagaimana skema hukum yang bisa dilakukan. Karena yang membiayai BP Tapera bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” lanjut dia.
    Ia menambahkan bahwa seluruh aset yang disita merupakan milik perusahaan pengembang PT PPL.
    Puluhan unit rumah bersubsidi disita dengan pertimbangan agar tidak dipindahtangankan.
    “Jadi kami amankan, sita, dan segel supaya tidak berpindah tangan ke orang lain,” jelasnya.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisi XII DPR Sebut Skema Blending BBM Diperbolehkan: Enggak Ada Itu Oplosan – Halaman all

    Komisi XII DPR Sebut Skema Blending BBM Diperbolehkan: Enggak Ada Itu Oplosan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi, mengatakan bahwa skema blending dalam produksi bahan bakar minyak (BBM) diperbolehkan.

    Skema tersebut tidak dilarang selama tidak menurunkan kualitasnya.

    Dia menekankan skema blending merupakan praktik yang sah dan umum dilakukan dalam industri energi, termasuk dalam sektor batu bara dan BBM.

    “Yang harus digarisbawahi, enggak ada itu skema oplosan. Jadi, di dalam minerba adanya skema blending. Itu sah-sah saja selama tidak menurunkan kualitas,” ujar Bambang kepada wartawan, Kamis (27/2/2025)

    Dia mencontohkan skema ini dilakukan dalam industri batu bara.

    Perusahaan tambang diperbolehkan mencampur batu bara dengan nilai kalor lebih tinggi dan lebih rendah untuk mencapai spesifikasi tertentu. 

    “Misalnya batu bara dengan GAR 5.000 dicampur dengan yang 4.000 supaya menjadi 4.500, itu bisa diblending. Aturan pemerintah membolehkan,” ujar Bambang.

    Legislator Gerindra itu menegaskan bahwa istilah “oplosan” lebih identik dengan pencampuran ilegal yang menurunkan kualitas bahan bakar.

    “Oplosan itu kalau misalnya bensin dicampur minyak tanah, atau cairan lain yang mengubah kualitas, itu baru namanya oplosan,” ujar Bambang.

    Dia menjelaskan bahwa semua jenis BBM memang melalui proses blending, baik di tahap produksi maupun di kilang minyak.

    Hal ini dilakukan untuk memastikan setiap varian BBM memiliki nilai oktan atau Research Octane Number (RON) yang sesuai standar.

    “Semua jenis bensin pasti di-blending, baik di teknik produksi maupun di kilang pun akan di-blending. Kan kita ada beberapa jenis RON, ada 90, 92, 95, dan 98. Itu standar spesifikasi dunia,” kata Bambang.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung kembali menetapkan dua tersangka baru dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina periode 2018-2023 yang rugikan negara Rp 193,7 triliun.

    Adapun dua orang tersangka itu yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.

    Direktur Penyidikan pada Jampdisus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, penetapan tersangka terhadap Maya dan Edward setelah ditemukan adanya alat bukti yang cukup terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan keduanya.

    “Penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa kedua tersangka tersebut diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan tujuh tersangka kemarin,” kata Qohar dalam jumpa pers, Rabu (26/2/2025).

    Sebelum ditetapkan tersangka, penyidik lanjut Qohar sempat melakukan jemput paksa terhadap keduanya.

    Pasalnya dua petinggi PT Pertamina Patra Niaga itu tidak hadir ketika hendak dilakukan pemeriksaan sebagai saksi atas kasus korupsi tersebut.

    “Jadi kedua tersangka kita panggil dengan patut jam 10 namun demikian sampai jam 2 yang bersangkutan belum hadir sehingga kita terpaksa menjemput yang bersangkutan di kantornya,” jelas Qohar.

    Usai ditetapkan sebagai tersangka, keduanya pun ditahan selama 20 hari pertama di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung.

    Sedangkan akibat perbuatannya, Maya dan Edward pun diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo Pasal 55 Ayat 2 ke-1 KUHP.

    Alhasil kini Kejagung telah menetapkan sebanyak 9 orang tersangka dalam kasus yang merugikan negara senilai Rp 193,7 triliun.

    Adapun ketujuh orang tersangka yang sebelumnya telah ditetapkan itu yakni RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock And Produk Optimitation PT Pertamina Internasional, ZF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shiping.

    Kemudian AP selaku Vice President (VP) Feedstock, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan DRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Akibat perbuatannya, para tersangka pun diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Usai ditetapkan sebagai tersangka mereka kini ditahan selama 20 hari ke depan.

  • Jaksa Ditangkap karena Gelapkan Aset Korban Robot Trading Fahrenheit Rp11,5 Miliar

    Jaksa Ditangkap karena Gelapkan Aset Korban Robot Trading Fahrenheit Rp11,5 Miliar

    JAKARTA – Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI menangkap mantan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Barat berinisial AZ atas dugaan penggelapan aset korban kasus “Robot Trading Fahrenheit” dengan terdakwa HS.

    Kepala Kejati DKI Patris Yusrian Jaya menjelaskan kasus tersebut bermula pada 23 Desember 2023, saat dilaksanakan eksekusi pengembalian barang bukti kasus “Robot Trading Fahrenheit” sekitar Rp61,4 miliar.

    Seharusnya, uang tersebut dikembalikan sepenuhnya kepada korban yang diwakili oleh kuasa hukum korban yakni BG dan OS. Namun ternyata, kedua kuasa hukum korban tersebut menyusun rencana dan membujuk jaksa berinisial AZ untuk menggelapkan dana.

    “Atas bujuk rayu kuasa hukum korban yaitu BG dan OS, sebagian di antaranya senilai Rp11,5 miliar diberikan kepada oknum Jaksa inisial AZ yang saat ini menjabat selaku Kasi Intel Kejaksaan Negeri Landak Kalimantan Barat, dan sisanya diambil oleh dua orang kuasa hukum itu,” kata Patris dilansir ANTARA, Kamis, 27 Februari

    Patris menjelaskan, saat pengembalian aset, kedua kuasa hukum dan jaksa berinisial AZ hanya mengembalikan sebesar Rp38,2 miliar.

    Kemudian, sisa senilai Rp23,2 miliar dibagikan kepada Jaksa inisial AZ dengan nilai Rp11,5 miliar dan sisanya untuk kuasa hukum korban.

    “Atas tindakan tersebut, Penyidik Kejati DKI telah memeriksa beberapa pihak pada tanggal 24 Februari 2025 yaitu satu orang oknum Jaksa inisial AZ telah ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya.

    Dalam penetapan tersebut, Kejati DKI juga memblokir rekening, menyita aset rumah dan uang yang dititipkan kepada istri tersangka.

    Adapun kuasa hukum inisial BG telah dimintai keterangan dan diperoleh alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka.

    Sementara itu, satu orang kuasa hukum korban inisial OS berstatus saksi dinyatakan belum memenuhi panggilan.

    “Untuk itu kuasa hukum korban, OS, diimbau agar kooperatif menjalani proses hukum dengan memenuhi panggilan penyidik,” imbuh Patris.

    Saat ini, tersangka BG sedang dilakukan pemeriksaan dan tersangka Jaksa AZ telah ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.

    Pasal yang disangkakan terhadap Jaksa  yaitu Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf e, Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

     

  • Tegas! Dikontak Pertamina, Fitra Eri Tolak Tawaran untuk Bantah Isu Pertamax Oplosan

    Tegas! Dikontak Pertamina, Fitra Eri Tolak Tawaran untuk Bantah Isu Pertamax Oplosan

    GELORA.CO – Industri bahan bakar minyak (BBM) tengah diguncang isu serius terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau KKKS tahun 2018-2023.

    Modus yang dilakukan dalam kasus ini adalah mengoplos Pertalite (Ron 90) menjadi Pertamax (Ron 92). Dugaan ini pertama kali diungkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Harli Siregar, Selasa, 25 Februari 2025. 

    Kejagung mengungkap, berdasar penghitungan awal, dalam kasus ini kerugian keuangan negara mencapai Rp193,7 triliun hanya di 2023. Sementara modus ini telah berjalan sejak 2018.

    Di tengah isu yang berkembang, influencer otomotif ternama, Fitra Eri, mengaku dihubungi oleh pihak Pertamina dan diminta untuk menyampaikan ke publik bahwa tidak ada bensin oplosan. Namun, dengan tegas ia menolak permintaan tersebut karena merasa tidak memiliki data yang cukup untuk memastikan kebenarannya.

    “Hari ini saya dihubungi Pertamina untuk bilang bahwa bukan bensin oplosan. Saya sendiri tidak berani karena saya tidak tahu faktanya seperti apa, saya masyarakat biasa, saya konsumen,” ujar Fitra Eri dalam program Indonesia Business Forum tvOne, dilihat Kamis, 27 Februari 2025.

    Ia menegaskan bahwa masyarakat saat ini mendapatkan dua informasi yang saling bertolak belakang—di satu sisi Kejaksaan Agung mengungkap adanya bensin oplosan, sementara di sisi lain dalam rapat DPR disebutkan bahwa tidak ada pengoplosan BBM. Hal ini membuat kebingungan di kalangan konsumen.

    Fitra Eri pun menyarankan agar Pertamina melakukan komunikasi publik yang lebih baik dan tidak hanya mengandalkan influencer untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat. 

    “Kalau pun Pertamina mau mengembalikan kepercayaan masyarakat, menurut saya harus melakukan komunikasi publik yang tepat, tidak harus melalui influencer,” tambahnya.

    Terlepas dari itu, hingga saat ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus BBM oplosan ini. 

    Ketujuh orang tersebut adalah, RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Dirut PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International, dan MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.

    Lalu dua lainnya yakni, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan YRJ, selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera. Mereka pun langsung ditahan Korps Adhyaksa.

  • Oknum Jaksa Jadi Tersangka Usai Tilap Uang Eksekusi Kasus Investasi Bodong

    Oknum Jaksa Jadi Tersangka Usai Tilap Uang Eksekusi Kasus Investasi Bodong

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta telah menetapkan Kasi Intel Kejaksaan Negeri Landak Kalimantan Barat, Azam Akhmad Akhsya (AZ) sebagai tersangka kasus dugaan suap atau gratifikasi.

    Kepala Kejati Jakarta, Patris Yusrian Jaya mengatakan kasus AZ ini berkaitan dengan penanganan perkara kasus investasi bodong Robot Trading Fahrenheit.

    “Tanggal 24 Februari 2025, terhadap saudara AZ sudah ditetapkan tersangka dan dilaksanakan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejagung,” ujarnya di Kejati Jakarta, Kamis (27/2/2025).

    Dia menjelaskan, kasus ini bermula saat Azam menjadi jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara tersebut. Singkatnya, JPU kemudian melaksanakan eksekusi pengembalian barang bukti kurang lebih Rp61,4 miliar pada 23 Desember 2023. Namun, uang itu kemudian dikondisikan oleh kuasa hukum korban berinisial BG dan OS dengan JPU Azam Akhmad sebanyak dua tahap.

    Awalnya, Azam diduga mendapatkan uang Rp8,5 miliar dari pembagian dengan OS sebesar Rp23,2 miliar. OS juga mendapatkan jatah Rp8,5 miliar. Sementara, sisanya dikembalikan kepada korban sebesar Rp6,2 miliar.

    “Kedua penasehat hukum ini juga mendapat bagian dari manipulasi pengembalian barang bukti ini yaitu sebesar Rp17 miliar yang dikembalikan melalui OS dari 17 miliar ini dibagi 2 dengan saudara AZ masing-masing Rp8,5 miliar,” tambahnya.

    Kemudian, Azam kembali lagi menerima jatah Rp3 miliar dari pembagian dengan kuasa hukum korban berinisial BG. Dalam hal ini, BG mendapatkan juga Rp3 miliar dari jumlah yang harus dikembalikan Rp38,2 miliar.

    “Kemudian sejumlah Rp38 miliar dimanipulasi lagi sebesar Rp6 miliar oleh penasihat hukum BG dan dari Rp6 miliar ini dibagi dua lagi dengan JPU AZ,” imbuhnya.

    Di samping itu, Patris menambahkan bahwa Azam telah menyimpan uang bagiannya di salah satu honorer Kejari Jakarta Barat. Uang itu juga sudah digunakan untuk kepentingan pribadi.

    “Dan saudara Asep uang ini digunakan untuk kepentingan pribadi, beli aset, dan sebagian lagi masuk di rekening istri,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, Azam dan Kuasa Hukum BG telah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung. Sementara terhadap OS masih dilakukan pengejaran.

    Atas perbuatannya, Azam disangkakan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf e, Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • BREAKING NEWS: Tilap Barang Bukti Rp61,4 M Korban Penipuan Robot Trading Fahrenheit, Jaksa Ditangkap – Halaman all

    BREAKING NEWS: Tilap Barang Bukti Rp61,4 M Korban Penipuan Robot Trading Fahrenheit, Jaksa Ditangkap – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menangkap mantan Jaksa Penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Azam Akhmad Akhsya terkait kasus penerimaan suapdan gratifikasi saat proses eksekusi aset sitaan sekitar 1500 orang korban penipuan investasi Robot Trading Fahrenheit.

    Kepala Kejati DKI Jakarta Patris Yusrian Jaya mengatakan, Azam diduga menerima suap berupa aset itu usai berkongkalikong dengan dua kuasa hukum para korban yakni BG dan OS, saat eksekusi pengembalian 

    “Salah satu oknum Jaksa inisial AZ ditetapkan sebagai tersangka,” kata Patris dalam jumpa pers, Kamis (27/2/2025).

    Azam masih menjabat sebagai Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat saat melakukan suap dan gratifikasi itu. Sementara itu, Azam kini telah menjadi Kasi Intel di Kejaksaan Negeri Landak Kalimantan Barat.

    Patris menjelaskan, bahwa Azam menerima suap itu ketika dirinya yang saat itu menjabat sebagai JPU di Kejari Jakarta Barat mendapat perintah melakukan eksekusi terhadap aset milik korban sejumlah Rp 61,4 miliar pasca-putusan pengadilan.

    Namun, jaksa Azam dibujuk oleh pengacara BG dan OS agar tidak mengembalikan seluruhnya aset-aset para korban.

    Dari total aset senilai Rp61,4 miliar yang seharusnya diserahkan ke para korban, justru hanya dikembalikan sebesar Rp38,2 miliar.

    Sementara, sisanya yakni Rp23,2 miliar dinikmati oleh Azam bersama kuasa hukum korban BG dan OS. Rinciannya yakni Azam sebesar Rp11,5 miliar dan pengacara OS sebesar Rp8,5 miliar dan pengacara BG sebesar Rp3 miliar.

    “Kuasa hukum bekerja sama dengan oknum Jaksa inisial AZ dengan hanya mengembalikan sebesar Rp 38,2 M,” ucap Patris.

    Akibat perbuatannya ini ketiga orang itu pun kini ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan usai diduga terbukti melakukan korupsi berupa suap.

    “Tanggal 24 Februari 2025 terhadap saudara AZ sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dilaksanakan penahanan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung,” jelasnya.

    Sementara itu untuk tersangka OS dijelaskan Patris bahwa yang bersangkutan saat ini masih dalam pengejaran pihaknya.

    “Dan OS kami himbau untuk menyerahkan diri,” pungkasnya.

    Terhadap Azam Kejati menerapkan Pasal Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf e, Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sedangkan BG diterapkan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

     

  • Mantan JPU Jakbar Tilap Rp 11,5 Miliar dari Barbuk Perkara, Uangnya untuk Kebutuhan Pribadi dan Beli Aset
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Februari 2025

    Mantan JPU Jakbar Tilap Rp 11,5 Miliar dari Barbuk Perkara, Uangnya untuk Kebutuhan Pribadi dan Beli Aset Megapolitan 27 Februari 2025

    Jaksa Tilap Rp 11,5 Miliar dari Bukti Perkara, Uangnya untuk Beli Aset
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jaksa bernama Azam Akhmad Akhsya (AZ) diduga menilap uang Rp 11,5 miliar ketika mengembalikan barang bukti kasus investasi bodong Robot Trading Fahrenheit.
    Uang tersebut diduga digunakan oleh Azam untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
    “Saudara AZ, uang ini digunakan untuk kepentingan pribadi, beli aset, dan sebagian lagi masuk ke rekening istrinya,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Patris Yusian Jaya dalam jumpa pers, Kamis (27/2/2025) malam.
    Pengungkapan kasus ini bermula saat Azam masih menjabat sebagai jaksa penuntut umum (JPU) di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.
    Azam dibujuk rayu oleh kuasa hukum korban berinisial BG dan OS untuk memanipulasi barang bukti Rp 61,4 miliar yang seharusnya diberikan kepada 1.500 nasabah atau korban.
    “Barang bukti Rp 61,4 miliar ini dieksekusi oleh AZ, kemudian atas bujuk rayu BG dan OS, sebagian di antaranya diserahkan ke AZ dengan tujuan kedua penasehat hukum juga mendapat bagian dari manipulasi,” ungkap Patris.
    Pada pengembalian pertama, Azam memanipulasi barang bukti sebesar Rp 17 miliar untuk dibagi rata dengan OS, yakni masing-masing menerima Rp 8,5 miliar.
    “Kemudian (di pengembalian kedua) sejumlah Rp 38 miliar, dimanipulasi lagi sebesar Rp 6 miliar oleh BG. Dan dari Rp 6 miliar dibagi dua lagi dengan AZ,” ujar Patris.
    Diperkirakan, Azam mentransfer uang yang ditilap ke rekening salah satu honorer di Kejari Jakarta Barat.
    “Dari hasil pemeriksaan, uang yang didapat AZ juga mengalir ke beberapa oknum jaksa yang sekarang sedang ditelusuri penyidik untuk dibuktikan keterangan itu,” terang Patris.
    Setelahnya, Azam sekarang menjabat sebagai Kasi Intel Kejari Landak, Kalimantan Barat.
    Patris menambahkan, Azam sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung.
    Selain Azam, BG juga ditetapkan sebagai tersangka dan OS sedang dalam tahapan pemeriksaan sebagai saksi, tetapi mangkir.
    Azam dikenakan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf e, Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasintel Kejari di Kalbar Gelapkan Aset Korban Kasus Robot Trading Fahrenheit

    Kasintel Kejari di Kalbar Gelapkan Aset Korban Kasus Robot Trading Fahrenheit

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta menangkap mantan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Barat berinisial AZ yang menggelapkan aset korban kasus robot trading Fahrenheit dengan terdakwa HS.

    “Atas bujuk rayu kuasa hukum korban yaitu BG dan OS, sebagian di antaranya senilai Rp 11,5 miliar diberikan kepada oknum jaksa inisial AZ yang saat ini menjabat selaku kasi intel Kejaksaan Negeri Landak Kalimantan Barat, dan sisanya diambil oleh dua orang kuasa hukum itu,” kata Kepala Kejati Jakarta Patris Yusrian Jaya dalam konferensi pers di Jakarta. 

    Patris menjelaskan, pada 23 Desember 2023 dilaksanakan eksekusi pengembalian barang bukti kasus robot trading Fahrenheit sebesar kurang lebih Rp 61,4 miliar.

    Seharusnya, uang tersebut dikembalikan sepenuhnya kepada korban yang diwakili oleh kuasa hukum korban yakni BG dan OS. Namun ternyata, kedua kuasa hukum korban tersebut menyusun rencana dan membujuk sang JPU berinisial AZ untuk menggelapkan dana.

    Saat pengembalian aset, kedua kuasa hukum dan jaksa berinisial AZ hanya mengembalikan sebesar Rp 38,2 miliar. Kemudian, sisanya senilai Rp 23,2 miliar dibagikan kepada oknum jaksa inisial AZ dengan nilai Rp 11,5 miliar dan uang lainnya untuk kuasa hukum korban.

    “Atas tindakan tersebut, penyidik Kejati Jakarta telah memeriksa beberapa pihak pada 24 Februari 2025 yaitu satu orang oknum jaksa berinisial AZ telah ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya.

    Dalam penetapan tersebut, Kejati DKI juga memblokir rekening, menyita aset rumah, dan uang yang dititipkan kepada istri tersangka. Kini kuasa hukum inisial BG telah dimintai keterangan dan diperoleh alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka. 

    Sementara itu, satu orang kuasa hukum korban inisial OS berstatus saksi dinyatakan belum memenuhi panggilan. “Untuk itu kuasa hukum korban, OS diimbau agar kooperatif menjalani proses hukum dengan memenuhi panggilan penyidik,” ucapnya.

    Saat ini, tersangka BG sedang diperiksa dan tersangka oknum jaksa AZ telah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan. 

    Pasal yang disangkakan terhadap jaksa bernisial A yaitu Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf e, Pasal 12B Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Pasal yang disangkakan terhadap kuasa hukum berinisial BG dalam kasus robot trading Fahrenheit yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.