Kasus: Tipikor

  • Telan Miliaran Dana Desa, Damar Waterpark Blitar Kini Mangkrak

    Telan Miliaran Dana Desa, Damar Waterpark Blitar Kini Mangkrak

    Blitar (beritajatim.com) – Impian Desa Umbuldamar, Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar memiliki destinasi wisata unggulan penopang Pendapatan Asli Desa (PADes) kini tinggal puing.

    Damar Waterpark, proyek ambisius yang menelan anggaran miliaran rupiah dari Dana Desa (DD) secara multi years, kini mangkrak dengan kondisi memprihatinkan yakni tak terawat, telantar, dan dinding penyangga fasilitas utamanya ambruk.

    Kerusakan ini bukan sekadar insiden infrastruktur biasa, melainkan memicu polemik besar di tengah masyarakat. Publik mempertanyakan kualitas konstruksi proyek yang dibangun pada tahun anggaran 2018 dan 2019 tersebut, mengingat proyek ini berdiri di atas irisan sejarah kelam kasus korupsi yang pernah menjerat pimpinan desa kala itu.

    Kekecewaan warga tak terbendung melihat uang rakyat yang seharusnya menjadi aset produktif, kini justru menjadi beban visual dan potensi bahaya. Seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya menilai ada ketidakberesan serius dalam spesifikasi bangunan yang baru seumur jagung tersebut.

    “Uang desa yang harusnya jadi berkah malah jadi monumen kegagalan. Bangunan baru hitungan tahun sudah ambruk. Ini jelas-jelas ada masalah serius pada mutu konstruksi,” ujar Hanafi, tokoh pemuda setempat Kamis (20/11/2025).

    Dinding penyangga Damar Waterpark yang ambruk. (Foto: Istimewa/Beritajatim.com)

    Kecurigaan masyarakat semakin menebal lantaran proyek ini dikerjakan pada periode pemerintahan desa yang sedang “sakit”. Berdasarkan data investigasi, Mantan Kepala Desa Umbuldamar yang menjabat saat proyek ini bergulir, telah divonis bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan Dana Desa. Fakta hukum ini membuat masyarakat skeptis terhadap integritas pembangunan fisik yang dilakukan di era tersebut.

    “Bagaimana masyarakat tidak curiga? Kades yang memimpin awal proyeknya terjerat korupsi DD. Ini menjadi sinyal kuat bagi kami untuk bertanya: apakah kualitas bangunan ini dikorbankan demi keuntungan segelintir oknum?” tambah seorang aktivis lokal yang turut memantau kasus ini.

    Sekdes: “Ini Murni Bencana Alam”

    Merespons tudingan miring tersebut, Pemerintah Desa Umbuldamar memberikan klarifikasi. Sekretaris Desa (Sekdes) Umbuldamar, Maruwan, menepis dugaan bahwa ambruknya dinding penyangga waterpark disebabkan oleh kualitas konstruksi yang buruk atau imbas dari praktik rasuah masa lalu.

    Maruwan berkilah bahwa insiden tersebut adalah dampak dari faktor alam yang tidak dapat diprediksi.

    “Ambruknya dinding penyangga itu murni disebabkan bencana tanah longsor. Bukan karena kualitasnya jelek,” tegas Maruwan saat dikonfirmasi. (owi/ian)

  • KPK Bakal Terapkan Pasal Perintangan Penyidikan di Kasus Korupsi Riau

    KPK Bakal Terapkan Pasal Perintangan Penyidikan di Kasus Korupsi Riau

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menerapkan Pasal 21 UU Tipikor terkait dugaan perintangan penyidikan dalam kasus korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau Tahun Anggaran 2025. Dugaan ini muncul setelah penyidik menemukan adanya pengrusakan terhadap KPK line saat operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid dan sejumlah pihak lainnya.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan penyidik menerima informasi mengenai perusakan segel KPK saat penangkapan di lingkungan Pemprov Riau. “Tentu ini akan ditelusuri motif perbuatan tersebut, termasuk siapa pelakunya dan siapa yang meminta atau menyuruh melakukan perusakan,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).

    Menurut Budi, tindakan merusak KPK line dapat dikategorikan sebagai upaya menghalangi penyidikan. Terkait hal itu KPK akan mendalami dugaan tersebut sekaligus mengimbau seluruh pihak di Pemprov Riau agar kooperatif mengikuti proses hukum yang masih berlangsung.

    Pada Senin (17/11/2025), KPK memeriksa tiga pramusaji rumah dinas Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid, yakni Alpin, Muhammad Syahrul, dan Mega Lestari, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi. Ketiganya diperiksa di Kantor Perwakilan BPKP Riau karena diduga merusak segel KPK di rumah dinas gubernur.

    “Kami menelusuri alasan ketiga pramusaji melakukan hal tersebut,” kata Budi.

    Pemeriksaan ini merupakan rangkaian awal setelah KPK melakukan penggeledahan maraton di sejumlah lokasi di Riau. KPK memastikan akan memeriksa seluruh pihak yang mengetahui atau diduga terlibat dalam perkara tersebut.

    Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka dari sepuluh orang yang diamankan dalam OTT, yaitu Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M Arief Setiawan, Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam.

    Ketiganya ditahan untuk 20 hari pertama sejak 4 hingga 23 November 2025. Abdul Wahid ditahan di Rutan ACLC KPK, sedangkan Arief dan Dani ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

    Kasus ini berkaitan dengan dugaan pemerasan menggunakan modus jatah preman terkait penambahan anggaran Dinas PUPR Riau 2025 untuk proyek jalan dan jembatan. Dari total kenaikan anggaran Rp 106 miliar, Gubernur Abdul Wahid meminta jatah sebesar 5% atau sekitar Rp 7 miliar. Dalam periode Juni hingga November 2025, para kepala UPT Dinas PUPR Riau telah mengumpulkan dana Rp 4,05 miliar.

    Para tersangka dijerat Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, dan/atau Pasal 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. KPK menegaskan penyidikan masih terus diperluas, termasuk potensi penambahan pasal terkait upaya perintangan penyidikan.

  • Pemidanaan Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dinilai Bisa Gerus Kepercayaan Profesional

    Pemidanaan Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Dinilai Bisa Gerus Kepercayaan Profesional

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemidanaan terhadap eks Dirut PT ASDP Ira Puspadewi dinilai bakal mengancam profesional di di BUMN untuk bertindak ke depannya.

    Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali mengatakan pemidaan terhadap Ira dkk dapat meninggalkan jejak negatif bagi kaum profesional di RI.

    “Penanganan perkara Ira dan direksi ASDP ini merupakan nokhtah berbahaya bagi masa depan kaum profesional muda Indonesia,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (20/11/2025).

    Di samping itu, Rhenald menuding hakim tidak mampu memahami praktik bisnis yang baik sehingga tetap menyatakan Ira dkk melakukan perbuatan pidana.

    Dengan demikian, dia menyarankan agar hakim pada tindak pidana korupsi bisa memperdalam soal materi edukasi terkait dengan proses manajemen hingga perhitungan bisnis lainnya.

    “Kalau cara kerjanya seperti ini maka sangat beresiko bagi anak-anak muda yang ingin berkontribusi bagi negara dibawah Danantara dan BUMN. Orang baik berprestasi akan menghadapi kondisi yang sama,” pungkasnya.

    Hakim Tolak Ada Kriminalisasi

    Di samping itu, Hakim PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak adanya bentuk kriminalisasi terhadap eks Dirut ASDP Ira Puspadewi di kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).

    Sebelumnya, Ira menyampaikan dalam nota pembelaan alias pleidoi bahwa dalam akuisisi PT JN ini merupakan upaya kriminalisasi terhadap profesional BUMN. Pemberitaan mengenai hal itu pun tersebar di media sosial.

    Berkaitan dengan ini, Hakim Anggota Nur Sari Baktiana menyatakan bahwa isu kriminalisasi dalam aksi korporasi ASDP dalam mengakuisisi PT JN merupakan upaya framing negatif.

    “Terdapat upaya framing negatif di media sosial yang seolah-olah aparat penegak hukum memaksakan kasus ini,” ujar Nur Sari di PN Tipikor, Kamis (20/11/2025).

    Dia menambahkan, majelis hakim tidak dalam koridor mengadili opini publik atau narasi yang beredar di media sosial. Sebab, hakim hanya mengadili fakta berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam 184 KUHAP.

    Selanjutnya, hakim juga telah menimbang bahwa Ira Puspadewi dkk telah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam proses akuisisi PT JN sebagaimana dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 3 UU 31 1999 Jo UU 20 Tahun 2001

    “Dengan demikian, pertimbangan keseluruhan unsur tindak pidana tersebut meniadakan dalil kriminalisasi dan membuktikan adanya tindak pidana,” imbuhnya.

    Majelis hakim, kata Nur Sari, berpendapat narasi kriminalisasi hanyalah upaya para terdakwa untuk mengaburkan fakta hukum dan proses hukum yang berjalan.

    “Oleh karenanya, pembelaan para terdakwa yang menyatakan dirinya korban kriminalisasi atau korban framing media sosial adalah pembelaan yang tidak menyentuh substansi perkara sehingga tidak beralasan hukum dan harus ditolak seluruhnya,” pungkasnya.

  • Peringatan Anomali Diabaikan Ira Puspadewi Berujung Vonis 4,5 Tahun Bui

    Peringatan Anomali Diabaikan Ira Puspadewi Berujung Vonis 4,5 Tahun Bui

    Peringatan Anomali Diabaikan Ira Puspadewi Berujung Vonis 4,5 Tahun Bui
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ada peringatan soal anomali yang terbaca dari gelagat PT Jembatan Nusantara (JN) yang dulu diabaikan Ira Puspadewi.
    Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) itu telah dinyatakan bersalah karena proses akuisisi PT JN menyebabkan sejumlah permasalahan.
    Adanya beban baru dan kewajiban yang memberatkan
    PT ASDP
    membuat Ira dinyatakan bersalah dan berujung divonis 4,5 tahun penjara.
    Sebelum diakuisisi PT ASDP, PT JN disebutkan memiliki beban utang senilai Rp 583 miliar kepada sejumlah bank. Utang ini menjadi kewajiban ASDP selaku pemilik baru PT JN.
    “Bahwa pengalihan kewajiban utang yang cukup besar, yaitu diketahui bahwa PT JN memiliki utang perbankan sekitar Rp 583 miliar per 31 Desember 2020 pada BNI, BRI, dan BSI melalui berita acara likuidasi dan kesepakatan final,” ujar Hakim Anggota Nur Sari Baktiana saat membacakan pertimbangan hukum putusan dalam sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).
    Selain beban utang bank, PT ASDP juga mewarisi beban perawatan dan perbaikan kapal milik PT JN.
    Berdasarkan fakta persidangan, PT JN disebutkan menunda docking rutin untuk 12 kapal agar biaya ini menjadi tanggung jawab PT ASDP usai akuisisi dilaksanakan.
    “Bahwa pengalihan beban perawatan kapal dengan penundaan
    docking
    (perbaikan kapal) rutin tahunan 12 kapal milik PT JN dengan tujuan agar beban pemeliharaan terjadwal tahun 2021 dialihkan kepada PT ASDP sebagai pemilik baru PT JN,” lanjut Hakim Ana.
    Selain itu, PT JN disebutkan punya riwayat perawatan kapal yang buruk.
    Dari 53 kapal milik PT JN yang kemudian menjadi milik PT ASDP, banyak dari kapal-kapal ini yang ternyata rusak.
    Kondisi kapal yang rusak ini disembunyikan PT JN agar akuisisi tetap berlangsung.
    “Kapal-kapal yang diakuisisi ternyata memiliki riwayat perawatan yang buruk dan banyak kerusakan tersembunyi, termasuk kapal yang kondisinya kandas atau karam, seperti KMP Jembatan Musi II dan KMP Marisa Nusantara,” kata Hakim Ana.
    Biaya perawatan dan perbaikan kapal rusak dan karam ini seharusnya menjadi tanggung jawab PT JN selaku manajemen lama.
    Namun, pada kenyataannya, biaya ini justru ditanggung PT ASDP selaku pemilik baru PT JN.
    “Meskipun perjanjian menyebutkan biaya perbaikan Kapal Marisa Nusantara seharusnya menjadi kewajiban manajemen lama PT JN, faktanya, PT ASDP atau PT JN manajemen baru yang harus membiayai biaya perbaikan dan docking tersebut,” imbuh hakim.
    Selain itu, majelis hakim juga menyoroti adanya penolakan rencana akuisisi dari para komisaris PT ASDP.
    Hakim pun mengutip pernyataan dari Komisaris ASDP pada saat itu, Nandang, yang menyoroti anomali yang dia cermati dari PT Jembatan Nusantara atau JN.
    “Pada pertemuan di BOD (Board of Directors), disampaikan (oleh Nandang) kepada dewan direksi, ‘Belum pernah ada pengusaha di republik ini yang mau berbagi hasil dengan pemerintah. Jika pengusaha tersebut mau berbagi, maka pengusaha tersebut sedang dalam kesulitan,’” kata hakim.
    Peringatan dari Nandang ini diabaikan oleh Ira dan dua terdakwa lainnya.
    Eks Komisaris Utama PT ASDP Lalu Sudarmadi juga pernah menolak rencana akuisisi PT JN.
    Risiko akuisisi dan kerja sama usaha antara PT ASDP dan PT JN juga pernah dilaporkannya kepada Menteri BUMN 2020, Erick Thohir.
    Namun, setelah melaporkan potensi kerugian ini, Lalu Sudarmadi justru dicopot dari kursi Komut PT ASDP.
    Saiful Haq Manan pun dipilih untuk mengisi posisi itu sebelum akhirnya diganti lagi pada tahun 2024.
    Setelah pergantian komisaris ini, proses akuisisi PT JN berlangsung sesuai rencana Ira dkk.
    Hal ini kemudian berujung pada kasus yang menimpanya.
    Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero)
    Ira Puspadewi
    divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
    Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan
    Korupsi
    yakni 8,5 tahun penjara.
    Majelis hakim menilai, Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun melalui proses akuisisi PT JN oleh PT ASDP.
    Meski terbukti memperkaya orang lain atau korporasi, Ira dinilai tidak menerima keuntungan pribadi sehingga tidak dikenakan pidana berupa uang pengganti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Beberkan Alasan Hanya Terima Rampasan Rp883 Miliar dari Kasus PT Taspen

    KPK Beberkan Alasan Hanya Terima Rampasan Rp883 Miliar dari Kasus PT Taspen

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyerahkan lebih dari Rp883 miliar dari kasus PT Taspen (Persero). Uang tersebut berasal dari rampasan terdakwa kasus investasi fiktif bernama Ekiawan Heri Primaryanto selaku Direktur Utama PT Insight Investment Management (IIM).

    Pada hari ini, Kamis (20/11/2025) KPK secara simbolis menyerahkan Rp300 miliar di Gedung Merah Putik KPK, Jakarta Selatan. Dari kasus tersebut Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa kerugian negara mencapai Rp1 triliun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK RI Nomor 14/LHP/XXI/04/2025 tanggal 22 April 2025.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan sisa uang yang belum dikembalikan masih menunggu status inkrah dari terdakwa lainnya atas nama Antonius Kosasih (ANS) selaku mantan Direktur Utama PT Taspen.

    Pasalnya, Kosasih mengajukan banding atas vonis yang diberikan oleh hakim tipikor sehingga status hukumnya belum tetap atau inkrah.

    “KPK juga berharap dari perkara ANS yang masih dalam proses banding di pengadilan tinggi DKI Jakarta akan ada penambahan nilai aset recovery. Jadi saat ini selain dari saudara Ekiawan adalah saudara ANS yang saat ini masih mengajukan banding,” kata Asep.

    Sedangkan, Ekiawan tidak mengajukan banding sehingga vonis yang diberikan berkekuatan hukum tetap. Asep menyebut bahwa kerugian negara dari Kosasih masih ada sekitar Rp100 miliar. Nantinya total kerugian negara menjadi Rp1 triliun.

    “Hal tersebut agar kerugian negara benar-benar dapat dipulihkan dari perkara Taspen ini. Selain itu pada saat ini KPK juga masih melakukan penyelidikan untuk tersangka korporasi yaitu PT IIM dalam kasus yang serupa,” ujar Asep.

    Selain itu, KPK juga menyerahkan sejumlah 6 unit Efek yang telah dipindahkan pada tanggal 17 November 2025 ke rekening efek Taspen.

    Direktur Utama PT Taspen, Rony Hanityo Aprianto, mengatakan uang Rp883 triliun akan dikembalikan ke Tabungan Hari Tua (THT) yang kemudian dikelola melalui investasi berupa Surat Berharga Negara (SBN).

    “Nah, akan ditaruh di mana investasi tersebut? Kami tetap konservatif. Kami pasti akan pilih either masuk ke SBN atau masuk ke kelas aset saham,” katanya.

    Dia menilai pengelolaan investasi ke SBN tidak lepas dari kebijakan pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Purbaya yang dianggap efektif untuk dikelola di pasar uang.

    Pada dasarnya, kata Rony, 60% investasi Taspen disalurkan ke SBN. KPK juga menyerahkan enam unit efek, diantaranya adalah KLK EBA Garuda, 2 seri obligasi WIKA, dan 3 seri obligasi PT PP.

    Rony menjelaskan untuk saat ini, enam efek tersebut belum dikelola karena dari ketiga efek masih dalam kondisi restruct sehingga tidak memperoleh nilai penuh.

    Sekadar informasi, Kosasih divonis pada Senin, 6 Oktober 2025. Selain kurungan 10 tahun, dia juga diminta hakim untuk 

    membayar uang pengganti sebesar Rp 29,152 miliar, 127.057 dolar Amerika Serikat (AS), 283.002 dolar Singapura, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 30 Poundsterling, 128 ribu yen Jepang, 500 dolar Hong Kong, dan 1,262 juta won Korea, dan Rp 2.877.000.

    Sedangkan mantan Direktur Utama PT Insight Investments Management Ekiawan Heri Primaryanto divonis 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider 6 bulan penjara. tetap.

  • Hakim Sunoto Nilai Pemidanaan Eks Dirut ASDP Ira Dkk Bisa Pengaruhi Aktivitas BUMN

    Hakim Sunoto Nilai Pemidanaan Eks Dirut ASDP Ira Dkk Bisa Pengaruhi Aktivitas BUMN

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Majelis Hakim Sunoto menyatakan proses hukum terhadap eks Dirut ASDP Ira Puspadewi dkk bisa berpengaruh pada jalannya dunia usaha, khususnya BUMN.

    Hal tersebut diungkap Sunoto dalam dissenting opinion saat memutus perkara Ira Dkk. Dia mengatakan setelah Ira dkk dipidana maka bakal berpotensi mempersempit gerak jajaran direksi untuk mengambil keputusan.

    Sebab, para direksi BUMN nantinya bakal memiliki rasa takut saat melakukan aksi korporasi atau mengambil keputusan bisnis bagi perusahaan.

    “Menimbulkan dampak yang sangat luas bagi dunia usaha Indonesia, khususnya BUMN. Direktur akan menjadi sangat takut untuk mengambil keputusan bisnis,” ujar Ira di ruang sidang PN Tipikor, Jakarta, Kamis (20/11/2025).

    Padahal, kata Sunoto, aksi korporasi ini dibutuhkan untuk perkembangan perusahaan ke depannya. Namun, dengan adanya pemidanaan Ira dkk ini malah membuat preseden “buruk” bagi dunia usaha.

    Nantinya, jajaran profesional BUMN akan sangat berhati-hati saat ingin mengambil keputusan bisnis. Sebab, apabila keputusan itu tidak optimal maka dikhawatirkan bakal dikriminalisasi.

    “Profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi,” imbuhnya.

    Dengan demikian, kata Sunoto, hal tersebut bakal merugikan aktivitas usaha BUMN yang seharusnya bisa membuat terobosan untuk berkembang dan bersaing di tingkat global.

    “Hal ini pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional karena kepentingan BUMN memerlukan keberanian untuk berorganisasi dan berkembang agar bersaing di tingkat global,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, dalam perkara akuisisi PT JN ini Ira dkk telah dinyatakan bersalah dan melakukan korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999.

    Ira divonis 4,5 tahun dengan denda Rp500 juta. Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.

  • Divonis 4,5 Taun, Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Minta Perlindungan Hukum ke Prabowo

    Divonis 4,5 Taun, Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Minta Perlindungan Hukum ke Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Eks Dirut PT ASDP Ira Puspadewi meminta perlindungan kepada Presiden Prabowo Subianto agar memberikan perlindungan hukum bagi profesional BUMN.

    Hal tersebut diungkap oleh Ira usai menjalani sidang vonis di PN Tipikor Jakarta, Kamis (20/11/2025). Menurut Ira, perlindungan hukum harus diberikan kepada profesional BUMN yang ingin melakukan terobosan.

    “Kami mohon perlindungan hukum dari Presiden RI bagi profesional, khususnya BUMN yang melakukan terobos besar untuk bangsa,” ujar Ira.

    Dia menegaskan perlindungan itu jangan serta merta diberikan kepada profesional BUMN. Namun, perlindungan hukum itu spesifik diberikan kepada profesional yang ingin berdedikasi untuk bangsa.

    Ira pun menyinggung terobosan itu salah satunya dilakukan oleh dirinya bersama pejabat ASDP lain dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). Menurut Ira, akuisisi PT JN ini bertujuan agar bisa memperkuat layanan di daerah 3 T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal.

    “Bukan hanya untuk perusahaan tapi untuk bangsa Indonesia. dan, itulah motif kami melakukan akuisisi ini. sekali lagi dalam rangka memperkuat posisi ASDP untuk melayani daerah 3 T,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, dalam perkara akuisisi PT JN ini Ira Puspadewi dan terdakwa lainnya telah dinyatakan bersalah. Ira kemudian divonis 4,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta. 

    Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.

  • Kejati NTB Tahan 2 Tersangka Kasus Dana Siluman DPRD NTB

    Kejati NTB Tahan 2 Tersangka Kasus Dana Siluman DPRD NTB

    NTB, Beritasatu.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) menahan dua tersangka kasus dugaan gratifikasi dana siluman DPRD NTB. Kedua tersangka yaitu IJU alias IJU dan MNI alias Acip. Penahanan dilakukan setelah keduanya menjalani pemeriksaan intensif selama hampir lima jam.

    Berdasarkan pantauan, IJU dan Acip tiba di kantor Kejati NTB dan menjalani pemeriksaan tertutup di ruang pidana khusus (Pidsus). Sekitar pukul 14.50 Wita, IJU merupakan ketua DPW Partai Demokrat NTB digiring menuju mobil tahanan. Ia bungkam saat ditanya awak media.

    Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Zulkifli Said membenarkan penahanan keduanya.

    “Hari ini kami melakukan penahanan terhadap dua tersangka dalam kasus gratifikasi DPRD NTB, berinisial IJU dan MNI,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (20/11/2025).

    Zulkifli Said menjelaskan sebelum penetapan tersangka, penyidik melakukan pengesahan saksi, kemudian menaikkan status keduanya menjadi tersangka setelah seluruh unsur alat bukti terpenuhi.

    “Setelah diperiksa sebagai tersangka, akhirnya kita lakukan penahanan untuk 20 hari ke depan,” tegasnya.

    IJU dititipkan di rumah tahanan (Rutan) Kuripan, Lombok Barat, sementara Acip ditempatkan di Rutan Lombok Tengah. Keduanya dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terkait pemberian atau penerimaan gratifikasi.

    Penahanan ini dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan dan menelusuri kemungkinan bukti tambahan.

    Kasus gratifikasi dana siluman DPRD NTB disebut memiliki potensi melebar. Informasi internal Kejati menyebutkan bahwa penyidik sudah memeriksa sejumlah pihak lain, dan tidak menutup kemungkinan munculnya tersangka baru.

    Penyidik memastikan penanganan kasus dilakukan tanpa tebang pilih, termasuk jika aliran dana mengarah pada pejabat aktif di pemerintahan maupun legislatif.

    Dengan penahanan dua tersangka selama 20 hari, penyidik menargetkan pendalaman bukti tambahan, termasuk menelusuri dugaan aliran dana ke pihak lain.

    Skandal dana siluman DPRD NTB diprediksi menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang menyita perhatian publik hingga akhir tahun.

  • Disenting Opinion! Hakim Ini Nilai Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Harusnya Bebas

    Disenting Opinion! Hakim Ini Nilai Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Harusnya Bebas

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Majelis Hakim Sunoto menyatakan bahwa seharusnya eks Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dan beberapa orang divonis onslag atau bebas dalam perkara korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).

    Hal tersebut diungkap Sunoto dalam dissenting opinion saat memutus perkara Ira Puspadewi. Menurut Sunoto bahwa tindakan akuisisi PT JN oleh ASDP itu tidak sepenuhnya meyakinkan merupakan tindak pidana korupsi.

    “Para terdakwa [Ira Puspadewi] seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” ujar Sunoto di ruang sidang PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).

    Dia menambahkan jika perangkat hukum mempidanakan Ira Puspadewi dan terdakwa lain bakal menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha Indonesia, khususnya BUMN.

    Pasalnya, kata dia, dengan adanya proses pidana ini menjadikan jajaran direksi perusahaan akan takut mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pasalnya, berpotensi untuk dikriminalisasi.

    “Profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi,” imbuhnya.

    Oleh sebab itu, dis memandang bahwa keputusan Ira dkk untuk mengakuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) bukan merupakan perbuatan pidana. Namun, proses akuisisi itu lebih kepada keputusan bisnis yang dilindungi oleh aturan Business Judgment.

    “Bahwa oleh karena itu perbuatan para terdakwa terbukti dilakukan tapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana karena keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgement rule,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, dalam perkara akuisisi PT JN ini Ira dkk telah dinyatakan bersalah dan melakukan korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999.

    Ira divonis 4,5 tahun dengan denda Rp500 juta. Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.

  • Disenting Opinion! Hakim Ini Nilai Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Harusnya Bebas

    Disenting Opinion! Hakim Ini Nilai Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Harusnya Bebas

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Majelis Hakim Sunoto menyatakan bahwa seharusnya eks Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dan beberapa orang divonis onslag atau bebas dalam perkara korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).

    Hal tersebut diungkap Sunoto dalam dissenting opinion saat memutus perkara Ira Puspadewi. Menurut Sunoto bahwa tindakan akuisisi PT JN oleh ASDP itu tidak sepenuhnya meyakinkan merupakan tindak pidana korupsi.

    “Para terdakwa [Ira Puspadewi] seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” ujar Sunoto di ruang sidang PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).

    Dia menambahkan jika perangkat hukum mempidanakan Ira Puspadewi dan terdakwa lain bakal menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha Indonesia, khususnya BUMN.

    Pasalnya, kata dia, dengan adanya proses pidana ini menjadikan jajaran direksi perusahaan akan takut mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pasalnya, berpotensi untuk dikriminalisasi.

    “Profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi,” imbuhnya.

    Oleh sebab itu, dis memandang bahwa keputusan Ira dkk untuk mengakuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) bukan merupakan perbuatan pidana. Namun, proses akuisisi itu lebih kepada keputusan bisnis yang dilindungi oleh aturan Business Judgment.

    “Bahwa oleh karena itu perbuatan para terdakwa terbukti dilakukan tapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana karena keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgement rule,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, dalam perkara akuisisi PT JN ini Ira dkk telah dinyatakan bersalah dan melakukan korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999.

    Ira divonis 4,5 tahun dengan denda Rp500 juta. Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi divonis 4 tahun dan denda Rp250 juta.