Kasus: Tipikor

  • Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara
    Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
    BEBERAPA
    bulan terakhir publik sempat menarik napas lega setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara kebijakan impor gula. Meski tidak terbukti memperkaya diri, kebijakan yang ia ambil dinilai merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.
    Putusan itu memicu kontroversi nasional: apakah seorang pejabat publik harus dipidana meski niatnya adalah menjaga stabilitas pasokan pangan dan mencegah lonjakan harga di tengah ancaman krisis global?
    Di tengah proses banding itu, Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya untuk menghentikan penuntutan, yang oleh sebagian pihak dibaca sebagai bentuk koreksi terhadap kekakuan hukum formal.
    Di tengah refleksi publik terhadap kasus Tom Lembong itulah, bangsa ini kembali diguncang oleh vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Direktur Utama PT
    ASDP
    Indonesia Ferry,
    Ira Puspadewi
    .
    Vonis tersebut bukan hanya soal satu orang, satu kasus, atau satu keputusan akuisisi korporasi. Ia menjelma menjadi cermin lebih besar tentang cara negara ini memperlakukan para profesional yang bekerja di sektor publik, tentang batas kabur antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi, serta tentang ketakutan baru yang mengancam keberanian melakukan transformasi di tubuh Badan Usaha Milik Negara.
    Kasus ini menjadi perhatian luas setelah konten kreator dan analis kebijakan publik, Ferry Irwandi, membacakan surat pribadi Ira dari balik Rutan KPK. Dalam surat tersebut, Ira menyampaikan kepedihan yang mencabik nalar publik, dimana dirinya divonis meski tidak ditemukan satu rupiah pun aliran dana pribadi dari keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).
    PPATK, KPK, hingga penggeledahan kantor dan rumah tidak menemukan bukti penerimaan pribadi atau indikasi memperkaya diri. Namun hukuman tetap jatuh atas dasar kelalaian yang dianggap menguntungkan pihak lain.
    Paradoks inilah yang membuat peristiwa ini mengguncang kepercayaan publik. Sebab selama kepemimpinan Ira, ASDP mencatatkan laba tertinggi dalam sejarah perusahaan, keluar dari kondisi “mati suri” menjadi perusahaan feri negara yang agresif, modern, dan berdaya saing.
    Transformasi itu tidak tercapai melalui retorika, tetapi melalui keputusan bisnis yang berani dan penuh risiko. Dan di saat keberanian itu membawa keuntungan bagi negara, keterlibatan hukum pidana justru menghentikannya dengan palu vonis.
    Di sinilah ironi terbesar muncul. Aksi korporasi yang didesain untuk memperkuat kemampuan ASDP dalam menjaga layanan publik bagi daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar kini ditafsirkan sebagai tindakan melawan hukum.
    ASDP selama ini melayani lebih dari 300 lintasan kapal feri, di mana lebih dari 70 % di antaranya merupakan rute rugi, tetapi tetap harus dijalankan demi logistik pangan, obat-obatan, pendidikan, dan stabilitas harga di wilayah 3T.
    Dalam suratnya, Ira menulis, “Kalau ASDP berhenti melayani daerah 3T, harga telur bisa naik tiga kali lipat.” Artinya, setiap keputusan bisnis ASDP tidak semata soal laba, tetapi soal pengabdian dan mandat konstitusional negara.
    Namun keputusan akuisisi PT JN yang bertujuan memperkuat portofolio kapal untuk menjaga keberlanjutan lintasan subsidi, berakhir menjadi dakwaan kerugian negara. Bagian paling janggal terletak pada perbedaan valuasi yang nyaris tak masuk akal. Konsultan internasional seperti Deloitte dan PYC menilai nilai PT JN berada di kisaran Rp 1,2 triliun, sementara auditor KPK menilai nilai perusahaan tersebut hanya Rp 19 miliar.
    Bagaimana mungkin perusahaan dengan pendapatan sekitar Rp 600 miliar per tahun dinilai hanya Rp 19 miliar? Di sinilah letak persoalan mendasarnya. Apakah kita sedang menilai kerugian negara atau sedang memproduksi kerugian logika publik?
    Majelis hakim dalam amar putusannya mengakui tidak ada indikasi motif memperkaya diri maupun aliran dana pribadi. Namun tetap menjatuhkan vonis berdasarkan argumentasi bahwa keputusan tersebut termasuk kelalaian yang menguntungkan pihak lain. Pada titik ini, garis pemisah antara tindak pidana dan risiko manajerial menjadi kabur.
    Jika semua keputusan bisnis harus bebas dari risiko, maka bisnis tidak lagi mungkin dilakukan. Jika pemimpin dipenjara karena keputusan yang memberikan manfaat tetapi berada dalam wilayah interpretasi berbeda, maka tidak ada ruang untuk
    inovasi
    . Dan jika setiap keputusan berani dapat dihadapkan pada ancaman pidana, maka akan jauh lebih aman untuk tidak mengambil keputusan sama sekali.
    Reaksi publik pun terbagi tajam. Aparat penegak hukum menyambut putusan sebagai aksi pemberantasan korupsi, sementara akademisi dan praktisi manajemen justru melihatnya sebagai sinyal berbahaya bagi iklim profesionalisme di
    BUMN
    .
    Salah satu suara paling keras datang dari Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, yang mengaku heran dan sedih. Menurutnya, keputusan akuisisi adalah aksi korporasi yang wajar dan strategis, bukan tindakan kriminal. Ia memperingatkan bahwa keputusan seperti ini akan membuat para profesional terbaik enggan kembali mengabdi pada negara.
    Bayangkan seorang diaspora Indonesia yang sudah sukses di New York diminta pulang untuk membenahi BUMN yang sedang sekarat, mengerahkan kemampuan terbaiknya, menghasilkan laba tertinggi sepanjang sejarah, tetapi kemudian dipenjara karena perbedaan tafsir nilai aset. Apakah setelah menyaksikan kasus seperti ini, masih ada orang yang mau kembali?
    Dampak kasus ini tidak berhenti pada satu tokoh. Ia berpotensi melumpuhkan keberanian para direksi dan pemimpin manajemen di BUMN. Jika setiap aksi transformasi berujung risiko penjara, maka pilihan paling aman adalah bersikap pasif, menjaga status quo, menghindari inovasi, dan membiarkan perusahaan berjalan tanpa arah.
    Akibatnya, BUMN kembali tenggelam dalam pola lama, yaitu bersifat birokratis, lamban, dan tanpa terobosan. Negara akan kehilangan kemampuan bersaing, dan masyarakat akan menjadi korban dari stagnasi itu.
    Kasus ini juga menguji sejauh mana hukum di Indonesia mampu menimbang keadilan substantif di atas keadilan prosedural. Keadilan tidak boleh hanya sebatas aturan hitam di atas putih, tetapi harus mempertimbangkan niat, dampak publik, dan konteks sosial. Kasus Ira adalah contoh nyata dari apa yang pernah digambarkan Lon L. Fuller dalam karyanya
    The Morality of Law
    (1964) sebagai benturan antara aturan hukum yang prosedural dengan moralitas kebijakan publik.
    Fuller mengingatkan bahwa hukum tidak boleh hanya benar secara tekstual dan prosedural, tetapi harus mengabdi pada tujuan moral dan rasionalitas publik. Jika seorang pengambil kebijakan bertindak dalam itikad baik, berlandaskan kepentingan umum dan prinsip tata kelola yang baik, memidana tindakan tersebut justru bertentangan dengan moralitas hukum itu sendiri.
    Dalam teori administrasi publik modern, Michael Lipsky (1980) menjelaskan bahwa kebijakan publik sering lahir di zona abu-abu, di tengah kondisi tekanan dan kompleksitas di mana kepatuhan mekanistik terhadap aturan tidak selalu menghasilkan keputusan yang paling baik bagi masyarakat. Para pengambil keputusan publik kerap menghadapi dilemma, memilih tindakan aman secara birokratis, atau mengambil keputusan berisiko demi menyelamatkan kepentingan publik yang lebih besar.
    Karena itu, perlu koreksi terhadap penggunaan hukum pidana yang terlalu mekanistik, sebagai penegasan bahwa hukum tidak boleh melukai akal sehat dan tujuan keadilan substantif. Jika manajemen profesional yang berintegritas dihukum tanpa bukti keuntungan pribadi, maka hukum kehilangan arah moralnya.
    Penegakan hukum anti korupsi memang mutlak penting, tetapi lebih penting lagi kemampuan untuk membedakan korupsi yang nyata dengan kegagalan atau risiko bisnis yang tidak memiliki motif kriminal. Tanpa perbedaan itu, kita mengorbankan esensi pembangunan nasional dan menakut-nakuti para pembawa perubahan.
    Kasus Ira Puspadewi kini telah menjadi metafora perjalanan bangsa. Apakah Indonesia ingin membangun BUMN progresif yang berani mengambil risiko demi kepentingan nasional, atau memilih untuk mengekang transformasi dan memerangkap mereka yang berniat baik? Apakah negara ingin pemimpin visioner yang berlari cepat, atau birokrat penakut yang hanya menjaga keamanan jabatan?
    Peristiwa ini mengajukan pertanyaan paling penting yang harus dijawab bersama: Apakah kita siap kehilangan orang-orang terbaik yang masih berani memperbaiki negeri ini? Jika aksi korporasi dipidana dan inovasi dibalas dengan penjara, maka masa depan BUMN hanya akan berisi ketakutan, bukan keberanian. Dan di titik itu, bangsa ini bukan hanya menghukum seorang individu, tetapi menghukum dirinya sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Vonis 4,5 Tahun Penjara Eks Dirut ASDP jadi Sorotan usai Putusan Majelis Hakim Tak Bulat

    Vonis 4,5 Tahun Penjara Eks Dirut ASDP jadi Sorotan usai Putusan Majelis Hakim Tak Bulat

    Bisnis.com, JAKARTA — Vonis hukuman pidana penjara 4,5 tahun yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi menjadi sorotan publik di dunia maya. 

    Hukuman 4,5 tahun di balik jeruji besi kepada Ira setelah berbulan-bulan masa persidangan menyita perhatian publik khususnya karena putusan tiga hakim yang tak bulat. Salah satu hakim, yang tidak lain adalah Ketua Majelis Hakim yang memimpin persidangan yaitu Sunoto, justru memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. 

    Berbeda dengan dua anggota majelis hakim lainnya, Sunoto justru berpendapat bahwa Ira dan dua orang terdakwa lainnya yakni dua bekas direktur ASDP Harry MAC dan Muhammad Yusuf Hadi, harusnya divonis bebas.

    I feel you ibu Ira Puspadewi .. You don’t deserve this. Sy setuju dgn hakim dissenting opinion: Keputusan bisnis yg keliru tidak berarti korupsi. Sebagai pejuang diaspora, sy himbau kpd semua diaspora agar keep believing in Indonesia. Tidak ada Idealisme yg bebas risiko. pic.twitter.com/5Osp92m0Ru

    — Dino Patti Djalal (@dinopattidjalal) November 22, 2025

    Beberapa figur di dunia maya menyoroti kasus Ira yang sudah memperoleh vonis pengadilan tingkat pertama itu. Misalnya, pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal turut menyampaikan simpatinya kepada Ira. 

    Pria yang juga bekas Wakil Menteri Luar Negeri era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu turut menggarisbawahi dissenting opinion dari Ketua Majelis Hakim. 

    “I feel you ibu Ira Puspadewi .. You don’t deserve this. Sy setuju dgn hakim dissenting opinion: Keputusan bisnis yg keliru tidak berarti korupsi. Sebagai pejuang diaspora, sy himbau kpd semua diaspora agar keep believing in Indonesia. Tidak ada Idealisme yg bebas risiko,” ujarnya, dikutip dari akun X @dinopattidjalal, Sabtu (22/11/2025). 

    Masih di media sosial X, politisi Partai Demokrat yang juga kini Komisaris Independen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Andi Arief juga menyatakan bahwa Ira adalah korban kezaliman pemberantasan korupsi. 

    Bahkan, Andi membandingkan kasus Ira seperti kasus mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. 

    “Eks Dirut ASDP menurut saya korban kezaliman pemberantasan korupsi. Persidangan tidak bisa membuktikan yang bersangkutan korupsi. Sebaiknya Pak Prabowo kembali menggunakan kewenangannya seperti dalam kasus Tom Lembong,” dikutip dari akun X @Andiarief__. 

    Sebelumnya, dissenting opinion dari Ketua Majelis Hakim Sunoto menjelaskan bahwa harusnya ketiga terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan jaksa. 

    “Para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag,” ujar Sunoto di ruang sidang PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).

    Dia menambahkan pemidanaan terhadap Ira Puspadewi dan terdakwa lain bakal menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha Indonesia, khususnya BUMN. Dia menilai penjatuhan pidana kepada Ira, Harry dan Yusuf berpotensi membuat jajaran direksi perusahaan takut mengambil keputusan bisnis karena peluang untuk bisa dikriminalisasi. 

    “Profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi pimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi,” imbuhnya.

    Oleh sebab itu, dia memandang bahwa keputusan Ira dan dua mantan anak buahnya untuk mengakuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) bukan merupakan perbuatan pidana. 

    Namun, proses akuisisi itu lebih kepada keputusan bisnis yang dilindungi oleh aturan business judgment rule atau BJR. “Bahwa oleh karena itu perbuatan para terdakwa terbukti dilakukan tapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana karena keputusan bisnis yang dilindungi oleh business judgement rule,” pungkasnya.

    Namun demikian, ketiganya tetap dijatuhkan vonis bersalah lantaran lebih banyak hakim yang berpendapat para terdakwa bersalah. Ketiganya divonis terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

    Ira dalam hal ini dijatuhi hukuman pidana 4,5 tahun penjara dengan denda Rp500 juta. Sementara itu, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi masing-masing dijatuhi pidana bui 4 tahun beserta denda Rp250 juta.

  • Purbaya Respons Mantan Bos Pajak Dicekal, Singgung Kasus Tax Amnesty

    Purbaya Respons Mantan Bos Pajak Dicekal, Singgung Kasus Tax Amnesty

    Jakarta

    Mantan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi dicekal (cegah & tangkal) bepergian ke luar negeri mulai 14 November 2025 hingga 14 Mei 2026. Pencekalan tersebut terkait kasus dugaan korupsi pajak tahun 2016-2020 yang sedang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pun buka suara merespons hal itu. Purbaya mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi dari Kejagung.

    Namun, Purbaya menduga pencekalan terkait kasus kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty)

    “Saya belum dapat laporan, belum dapat pemberitahuan dari Pak Jaksa Agung. Tapi saya pikir biar saja proses itu berjalan. Ini kan kasus tax amnesty, kan? Mungkin ada beberapa penilaian yang nggak terlalu akurat, saya nggak tahu,” kata Purbaya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (20/11/2025).

    Sebagai informasi, mengutip detikNews, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna membeberkan bahwa pihaknya telah menggeledah sejumlah tempat terkait kasus dugaan korupsi pajak tahun 2016-2020.

    “Benar, ada tindakan hukum berupa penggeledahan di beberapa tempat terkait dugaan tindak pidana korupsi memperkecil kewajiban pembayaran perpajakan perusahaan/wajib pajak tahun 2016-2020,” kata Anang di Jakarta.

    Selain itu, Direktorat Jenderal Imigrasi juga membenarkan permintaan cekal ke luar negeri oleh Kejaksaan Agung. Ada lima orang yang dicegah ke luar negeri sejak 14 November 2025 hingga enam bulan ke depan.

    “Yang diajukan cekal oleh Kejagung atas nama Ken Dwijugiasteadi,” kata Plt Dirjen Imigrasi, Yuldi Yusman.

    Kelima orang yang dicegah adalah Ken Dwijugiasteadi selaku mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Victor Rachmat Hartono, Karl Layman, Heru Budijanto Prabowo, dan Bernadette Ning Dijah Prananingrum.

    (aid/hns)

  • Komisi III DPR Nilai KPK Pamerkan Uang ke Publik Bentuk Akuntabilitas

    Komisi III DPR Nilai KPK Pamerkan Uang ke Publik Bentuk Akuntabilitas

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana Soediro, mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penjelasan terkait uang Rp 300 miliar yang dipamerkan saat konferensi pers bukan pinjaman bank. Dede mengatakan penjelasan dari KPK sebagai bentuk ketegasan.

    “Kinerja KPK harus kita apresiasi. Transparansi dan ketegasan dalam pengungkapan kasus merupakan bagian dari integritas lembaga,” kata Dede kepada wartawan, Sabtu (22/11/2025).

    Dede menyoroti langkah KPK dalam melakukan aset recovery dari tindak pidana korupsi. Menurutnya, upaya pengembalian kerugian negara merupakan poin yang sama pentingnya dengan penegakan hukum terhadap pelaku.

    “KPK tidak hanya menjalankan fungsi penindakan, tetapi juga berhasil mengembalikan aset negara yang sebelumnya hilang akibat korupsi. Ini langkah yang sangat strategis,” ucapnya.

    Ia menyebut pencegahan tindak pidana korupsi dan pemulihan aset menjadi dua pilar penting dalam pemberantasan korupsi. Politikus PDIP ini berharap KPK konsisten dalam setiap kinerja yang ditampilkan kepada publik.

    “Harapan kita bersama, kinerja KPK semakin baik dan konsisten mengedepankan pencegahan serta pengembalian aset kepada negara,” sambungnya.

    Dikonfirmasi terpisah, anggota Komisi III Fraksi NasDem Rudianto Lallo mengatakan publikasi uang sitaan oleh KPK ke masyarakat adalah bentuk pembuktian. Rudianto mengatakan KPK menjaga akuntabilitas dalam memproses perkara.

    Rudianto Lallo juga menilai bahwa langkah KPK menampilkan uang tunai Rp 300 miliar dalam konferensi pers merupakan bentuk komunikasi publik yang efektif. Wakil Ketua Mahkamah Partai NasDem ini menyebut KPK memberikan bukti bahwa proses pengembalian aset benar dilakukan.

    “Publik butuh bukti nyata. Ketika KPK menunjukkan secara terbuka uang sitaan itu, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin meningkat,” imbuhnya.

    Ketua KPK: Dari Dulu Uang Sitaan Sering Ditampilkan

    Ketua KPK, Setyo Budiyanto, buka suara terkait tumpukan uang ratusan miliar terkait kasus investasi fiktif PT Taspen yang dipamerkan ke publik. Setyo mengatakan setiap uang yang dipublikasikan ke masyarakat sebagai bentuk transparansi.

    “Dari dulu sudah sering ditampilkan uang sitaan sebagai bentuk transparansi,” kata Setyo kepada wartawan, Sabtu (22/11).

    (dwr/jbr)

  • Belum Tetapkan Tersangka, Ini yang Masih Digali KPK Terkait Kasus Kuota Haji

    Belum Tetapkan Tersangka, Ini yang Masih Digali KPK Terkait Kasus Kuota Haji

    Jakarta

    Kasus dugaan korupsi kuota haji tahun 2024 masih bergulir di KPK. Meski telah naik ke tingkat penyidikan, KPK belum menetapkan dan mengumumkan adanya sosok tersangka dalam kasus ini.

    Jubir KPK Budi Prasetyo mengungkapkan sampai saat ini KPK masih melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak, termasuk Penyelenggara Ibadah Haji Khusus alias PIHK. Budi menyampaikan KPK menemukan beberapa PIHK yang tidak memiliki izin untuk menyelenggarakan haji khusus namun bisa memberangkatkan jemaah haji khusus.

    “Jadi terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji ini, dan juga fakta-fakta yang ditemukan oleh penyidik, ada sejumlah PIHK yang belum mempunyai izin untuk bisa menyelenggarakan ibadah haji khusus, tapi kemudian dalam praktiknya menyelenggarakan,” kata Budi kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (21/11/2025).

    Dia menjelaskan, persoalan ini berkaitan dengan pemeriksaan pendalaman yang dilakukan oleh KPK terkait jual beli kuota. Dia menyebut KPK masih terus mengulik proses jual beli kuota yang terjadi, apakah dijual langsung ke calon jamaah atau ke biro-biro travel.

    “Kemudian pertanyaannya dari mana dia mendapatkan kuota khusus tersebut? Nah ini relevan dengan penjelasan di awal, bahwa dalam pemeriksaan terhadap PIHK ini, penyidik mendalami bagaimana proses jual beli kuota itu,” ungkap Budi.

    “Apakah dijual langsung kepada para calon jemaah, apa dijual kembali kepada PIHK? Yang di antaranya tentu adalah PIHK-PIHK yang belum berizin, sehingga dia belum mendapatkan atau belum memperoleh distribusi kuota haji khusus. Sehingga para PIHK yang belum berizin, tidak mendapatkan distribusi kuota, kemudian membeli dari PIHK lain yang mendapatkan plotting kuota tersebut,” imbuh dia.

    Seiring dengan pemeriksaan yang masih berlangsung, KPK juga sebelumnya mengungkapkan telah kembali melakukan penyitaan aset dalam penyidikan kasus dugaan korupsi kuota haji 2024. Aset yang disita itu milik pihak swasta.

    “Penyidik melakukan kegiatan penyitaan berupa satu bidang rumah berlokasi di Jabodetabek beserta dengan surat bukti kepemilikannya, satu unit mobil bermerek Mazda CX-3, dua unit sepeda motor berjenis Vespa Sprint Iget 150 dan Honda PCX,” kata juru bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Rabu (19/11).

    Budi menjelaskan penyitaan dilakukan karena harta itu diduga terkait dengan korupsi kuota haji. Dia mengatakan penyitaan dilakukan untuk kepentingan penyidikan.

    “Karena diduga harta-harta tersebut diperoleh dari hasil dugaan tindak pidana korupsi terkait perkara kuota haji dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama. Penyitaan ini untuk kebutuhan penyidikan sekaligus langkah awal optimalisasi asset recovery,” jelas dia.

    Kasus dugaan korupsi yang diusut KPK ini terkait pembagian tambahan 20 ribu jemaah untuk kuota haji tahun 2024 atau saat Yaqut Cholil Qoumas menjabat Menteri Agama. Kuota tambahan itu didapat Indonesia setelah Presiden RI saat itu, Joko Widodo (Jokowi), melakukan lobi-lobi ke Arab Saudi. Kuota tambahan itu ditujukan untuk mengurangi antrean atau masa tunggu jemaah haji reguler Indonesia, yang bisa mencapai 20 tahun, bahkan lebih.

    Sebelum adanya kuota tambahan, Indonesia mendapat kuota haji sebanyak 221 ribu jemaah pada 2024. Setelah ditambah, total kuota haji RI tahun 2024 menjadi 241 ribu. Namun kuota tambahan itu malah dibagi rata, yakni 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.

    Padahal, UU Haji mengatur kuota haji khusus hanya 8 persen dari total kuota haji Indonesia. Akhirnya Indonesia menggunakan kuota 213.320 untuk jemaah haji reguler dan 27.680 untuk jemaah haji khusus pada 2024.

    KPK menyebut kebijakan era Yaqut itu membuat 8.400 orang jemaah haji reguler yang sudah mengantre lebih dari 14 tahun dan seharusnya bisa berangkat setelah ada kuota tambahan tahun 2024 malah gagal berangkat. KPK pun menyebut ada dugaan awal kerugian negara Rp 1 triliun dalam kasus ini. KPK telah menyita rumah, mobil, hingga uang dolar terkait kasus ini.

    Meski demikian, KPK belum menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi kuota haji. KPK sejauh ini mencegah tiga orang ke luar negeri, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks Stafsus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan bos Maktour, Fuad Hasan Masyhur. Pencegahan dilakukan karena ketiganya di Indonesia dibutuhkan sebagai saksi untuk penyidikan perkara tersebut.

    Halaman 2 dari 2

    (ygs/ygs)

  • KPK Jawab soal Perintah Hakim Hadirkan Bobby Nasution di Sidang

    KPK Jawab soal Perintah Hakim Hadirkan Bobby Nasution di Sidang

    KPK Jawab soal Perintah Hakim Hadirkan Bobby Nasution di Sidang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bicara perihal menghadirkan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam persidangan kasus dugaan korupsi terkait proyek pembangunan jalan di Sumut.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi
    KPK
    Asep Guntur Rahayu mengatakan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK sempat bertanya ulang kepada majelis hakim terkait mennghadirkan Bobby dalam sidang.
    “Ditanya lagi sama JPU-nya, ‘Pak, yang ini mau minta dihadirkan enggak?’ Nah itu tidak dijawab,” ujar Asep Guntur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (20/11/2025), dikutip dari Antaranews.
    Kemudian, Asep menjelaskan bahwa selama penyidikan kasus tersebut, kelima tersangka tidak pernah memberikan informasi mengenai keterlibatan
    Bobby Nasution
    , termasuk Topan Obaja Putra Ginting (TOP) yang disebut teman dekat Gubernur Sumut.
    “Begitu pun dari TOP. Penyidik periksa, minta keterangan, dan tidak ada informasi dari yang bersangkutan. Ya, orang atau beberapa pihak menyatakan bahwa ‘itu teman dekatnya, Pak’. Betul, mungkin itu teman dekatnya, tetapi kan yang kami jadikan landasan adalah informasi atau data yang dimiliki oleh saudara TOP maupun saksi lainnya yang melihat, mendengar atau mengalami,” ujarnya.
    Selain itu, dia mengatakan tersangka lain, yakni Muhammad Akhirun Piliang (KIR), tidak pernah menyebut memberikan uang secara langsung kepada Bobby Nasution
    “Sejauh ini pemeriksaan terhadap saudara KIR ya, ini sebagai pemberi, pemberi duluan yang diajukan ke pengadilan, itu tidak pernah ada informasi ya dari KIR ini bertemu. Artinya, menyerahkan uang kepada saudara BN (Bobby Nasution). Tidak ada,” katanya.
    Sebagaimana diketahui, pada 24 September 2025, Ketua Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Khamozaro Waruwu, sempat meminta JPU KPK untuk menghadirkan Bobby Nasution selaku Gubernur Sumut dan Effendy Pohan selaku Sekretaris Daerah Sumut dalam persidangan.
    Terkait Bobby Nasution, Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia (KAMI) melaporkan Penyidik KPK, AKBP Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK karena belum memanggil Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumut
    Koordinator KAMI, Yusril mengungkapkan, AKBP Rossa Purbo Bekti merupakan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) pada perkara tersebut.
    “Kami hari ini melaporkan kepada KPK, khususnya Dewan Pengawas KPK terkait dengan dugaan upaya penghambatan proses hukum terhadap Bobby Nasution yang diduga dilakukan oleh AKBP Rosa Purbo Bekti,” ujar Yusril usai membuat laporan pada Senin, 17 November 2025
    Yusril menjelaskan, laporan tersebut sekaligus mempertanyakan independensi KPK sebagai lembaga reformasi yang diberi amanat oleh undang-undang dan rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi.
    Oleh karena itu, menurut dia, KPK seharusnya sudah memanggil Bobby sesuai perintah Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Medan.
    “Saya pikir bahwa seharusnya pemanggilan terhadap saudara Bobby Nasution ini sudah dilakukan oleh KPK. Tapi sampai hari ini, yang dilakukan oleh teman-teman KPK sampai hari ini tidak memanggil daripada Bobby Nasution,” katanya.
    “Jangan sampai ada intervensi-intervensi khusus yang kemudian mengamankan Bobby Nasution,” ujar Yusril lagi.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara (Sumut) pada 28 Juni 2025.
    Mereka adalah Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting (TOP); Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut yang juga merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Rasuli Efendi Siregar (RES); Pejabat Pembuat Komitmen di Satuan Kerja PJN Wilayah I Sumatera Utara, Heliyanto (HEL); Direktur Utama PT DNG, M Akhirun Efendi Siregar (KIR); serta Direktur PT RN, M Rayhan Dulasmi Pilang (RAY).
    Penindakan ini menyeret pejabat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut.
    KPK sebelumnya menggelar dua operasi tangkap tangan (OTT) terkait proyek jalan di Sumatera Utara.
    Dari hasil penelusuran, total nilai proyek yang diduga bermasalah mencapai Rp 231,8 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Kejagung Duga Riza Chalid Terlibat dalam Pengembangan Korupsi Minyak Mentah
                        Nasional

    8 Kejagung Duga Riza Chalid Terlibat dalam Pengembangan Korupsi Minyak Mentah Nasional

    Kejagung Duga Riza Chalid Terlibat dalam Pengembangan Korupsi Minyak Mentah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kejaksaan Agung (Kejagung) mencium dugaan keterlibatan Riza Chalid dalam pengembangan kasus dugaan korupsi minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Trading Limited (Petral)/Pertamina Energy Service Pte Ltd (PES) periode tahun 2009-2015
    “Sepertinya ya, sepertinya (terlibat). Nanti kita lihat,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna di kantor Kejagung, Jakarta, Jumat (21/11/2025).
    Anang melanjutkan, kasus ini merupakan pengembangan dari kasus tata kelola minyak
    Riza Chalid
    dan kawan-kawan.
    Sejumlah pihak yang sebelumnya menjadi terdakwa dalam perkara itu kini ikut dimintai keterangan sebagai saksi dalam pengembangan kasus dugaan korupsi Petral.
    Namun, tidak semua terdakwa pada perkara terkait minyak mentah tersebut terlibat dalam penyidikan Petral.
    “Ada beberapa, tidak semua. Tidak semua. Ada beberapa yang sebagian dijadikan saksi,” kata Anang.
    Para saksi tersebut pun sudah beberapa kali diperiksa dan sebagian dari mereka mengetahui adanya tindak pidana korupsi.
    “Saya enggak bisa memastikan berapa kali. Tapi yang jelas, menurut informasi dari penyidik, sudah sebagian dari yang ada di dalam berkas, baik itu saksi, dimintai keterangan. Dan memang mengetahui peristiwa itu,” ujar dia.
    Seperti diketahui, Riza Chalid sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kerja Sama periode 2018–2023 dan tindak pidana pencucian uang.
    Namun, sampai saat ini, keberadaan Riza Chalid masih belum diketahui karena ia tercatat meninggalkan Indonesia menuju Malaysia pada Februari 2025.
    Kejagung mengungkapkan bahwa red notice untuk Riza Chalid masih belum terbit meski sudah diajukan sejak bulan September 2025 lalu.
    Kejagung mengatakan, Interpol yang bermarkas di Lyon, Prancis, belum memberikan kabar terbaru terkait permohonan red notice tersebut.
    “Sampai saat ini, dari Interpol di Lyon belum ada informasi apakah sudah
    approve
    atau belum. Tapi yang jelas, dari tim JPU dan NCB sini sudah audiensi, sudah,” ujar Anang di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Modus Lama Korupsi Pajak, Kongkalikong dengan Pengusaha Buat Kurangi Tagihan Pajak

    Modus Lama Korupsi Pajak, Kongkalikong dengan Pengusaha Buat Kurangi Tagihan Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang mengusut kasus dugaan korupsi terkait pajak yang menyeret nama Direktur Utama PT Djarum Victor Hartono dan bekas Direktur Jenderal Pajak alias Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi. 

    Namun demikian, Kejagung memastikan pihaknya tidak mengusut terkait pengampunan pajak atau Tax Amnesty. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna mengatakan pihaknya hanya mengusut kasus terkait pembayaran pajak pada periode 2016-2020.

    “Yang kedua, itu bukan terkait Tax Amnesty, ya. Ini hanya memang pengurangan. Saya tegaskan, bukan Tax Amnesty, ya,” ujar Anang di Kejagung, Jumat (21/11/2025).

    Dia menambahkan kasus pembayaran pajak itu memiliki modus pengurangan kewajiban pembayaran dari wajib pajak maupun perusahaan.

    Dalam hal ini, pengurangan itu diduga dilakukan oleh oknum pada pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. “Perkara tindak pidana korupsi terkait dengan pengurangan kewajiban pembayaran perpajakan perusahaan atau wajib pajak, periode 2016-2020, yang dilakukan oleh oknum atau pegawai perpajakan di Kementerian Keuangan,” jelasnya.

    Dalam catatan Bisnis praktik dugaan pengurusan pajak tersebut merupakan modus lama yang kerap terjadi di dalam perkara pajak. Salah satu yang lazim adalah praktik suap atau korupsi terkait pengurangan pajak. 

    Kejadian Berulang

    Pengungkapan kasus suap di Ditjen Pajak menambah daftar panjang kongkalikong antara petugas pajak dengan pengusaha. Kasus bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Angin Prayitno Aji misalnya juga terkait dengan perkara pengurusan besaran pajak yang harusnya dibayarkan oleh wajib pajak. 

    Sementara itu pada 2019 lalu, misalnya, KPK juga telah mengungkap skandal suap pajak yang menyeret empat pegawai pajak dan seorang komisaris di PT Wahana Auto Ekamarga (WHE).

    Skandal tersebut juga menegaskan hipotesis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan bahwa restitusi sebagai salah satu titik rawan korupsi di sektor perpajakan.

    Sejak lama, proses pencairan restitusi memang menjadi sorotan. Tak hanya masalah administrasi. Bukan pula soal lama atau tidaknya pencairan restitusi. Pencairan restitusi justru kerap berujung suap antara petugas pajak dan pengusaha.

    Ada banyak kasus yang mencuat mulai dari PT WHE, skandal suap eks Ditgakum Ditjen Pajak Handang Soekarno, hingga kasus pemerasan terhadap PT EDMI yang juga terkait pencairan restitusi. Menariknya ketiga korporasi tersebut merupakan investor asing alias PMA.

    Khusus kasus PT WHE, sebelum diungkap KPK, pihak Kementerian Keuangan sebenarnya telah melakukan ‘penindakan’ terhadap empat orang pegawainya. Dua orang sudah dikenakan hukum disiplin,  sedangkan yang dua lainnya dibebastugaskan dan menunggu proses untuk mendapatkan sanksi.

    Namun, karena ada dugaan pidana korupsi berupa penyuapan dalam perkara empat pegawai pajak itu, lembaga antikorupsi kemudian turun tangan dan menetapkan empat pegawai pajak dan seorang komisaris PT WHE sebagai tersangka kasus pajak.

    “Alih-alih perusahaan membayar pajak ke negara, justru negara yang harus membayar klaim kelebihan bayar pada perusahaan,” ujar Saut Situmorang saat masih menjabat pimpinan KPK.

    Kasus Handang

    Terlepas bagaimana kasus ini berjalan nantinya. Bisa dibilang, upaya akal-akalan pajak PT WHE ini agak mirip dengan perkara penyuapan terhadap Handang Soekarno, eks Kasubdit Bukper Ditgakum Ditjen Pajak. 

    Handang ditangkap KPK seusai menerima ‘angpao’ dari Ramapanicker Rajamohanan Nair, Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia.

    Modusnya sama yakni dengan membantu permasalahan pajak korporasi. Di pengadilan, saat Handang disidang, dia tak hanya mengurus tax amnesty yang ditolak, dia juga mengurus pengajuan restitusi hingga bukper yang sebenarnya tengah dilakukan di KPP PMA Enam Kalibata.

    Bedanya dengan skandal PT WHE, dalam dokumen dakwaan KPK, kasus ini menyeret sejumlah pejabat di otoritas pajak dan orang dekat istana.

    Sebut saja dari eks Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, M. Haniv yang waktu itu menjabat Kakanwil DJP Jakarta Khusus, hingga ipar Presiden Joko Widodo, Arif Budi Sulistyo. Bahkan ketiganya dikabarkan pernah bertemu.

    Haniv, saat dihubungi Bisnis.com pada Februari 2017, pernah mengungkap adanya pertemuan antara ketiga tokoh tersebut. Pertemuan itu diinisiasi sendiri oleh Arif dan dia hanya membantu untuk menghubungkan dengan pejabat pusat.

    “Kalau soal apa yang dibicarakan saya tidak mau mengomentarinya. Karena saya hanya penghubung, tidak ikut pertemuan,” ungkapnya.

    Selain kasus Handang, perkara restitusi lainnya, yang sempat menjerat petugas pajak yakni pemerasan pajak PT EDMI salah satu penanaman modal asing (PMA) yang diungkap pada 2016.

    Bedanya dengan dua kasus di atas, posisi PT EDMI dalam perkara ini adalah korban pemerasan yang dilakukan oleh tiga pegawai pajak di KPP Kebayoran Baru Tiga. Ketiganya kini telah divonis karena memeras atau meminta uang lelah, setelah mengurus restitusi milik PT EDMI.

  • Tepis Purbaya, Kejagung Tegaskan Tak Usut Kasus Korupsi Terkait Tax Amnesty

    Tepis Purbaya, Kejagung Tegaskan Tak Usut Kasus Korupsi Terkait Tax Amnesty

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan pihaknya tidak mengusut terkait dugaan korupsi program pengampunan pajak atau Tax Amnesty.

    Kapuspenkum Kejagung RI Anang Supriatna mengatakan pihaknya hanya mengusut kasus terkait pembayaran pajak pada periode 2016-2020.

    “Yang kedua, itu bukan terkait Tax Amnesty, ya. Ini hanya memang pengurangan. Saya tegaskan, bukan Tax Amnesty, ya,” ujar Anang di Kejagung, Jumat (21/11/2025).

    Dia menambahkan kasus pembayaran pajak itu memiliki modus pengurangan kewajiban pembayaran dari wajib pajak maupun perusahaan.

    Dalam hal ini, pengurangan itu diduga dilakukan oleh oknum pada pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI.

    “Perkara tindak pidana korupsi terkait dengan pengurangan kewajiban pembayaran perpajakan perusahaan atau wajib pajak, periode 2016-2020, yang dilakukan oleh oknum atau pegawai perpajakan di Kementerian Keuangan,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, dalam perkara ini Kejagung telah mengajukan pencekalan terhadap lima orang. Perinciannya, mantan Dirjen Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiasteadi (KD).

    Selain Ken, empat orang lain yang telah diajukan pencekalan itu, yakni Victor Rachmat Hartono (bos Grup Djarum), Bernadette Ning Dijah Prananingrum, Heru Budijanto Prabowo, dan Karl Layman.

    Adapun, Kejagung juga telah melakukan penggeledahan maupun pemeriksaan terkait perkara ini. Hanya saja, Anang belum menjelaskan sosok maupun barang sitaan yang telah dilakukan terkait perkara ini.

  • Dua Politikus Jadi Tersangka Kasus Gratifikasi ke 15 Anggota DPRD NTB

    Dua Politikus Jadi Tersangka Kasus Gratifikasi ke 15 Anggota DPRD NTB

    Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan Ketua DPD Partai Demokrat NTB Indra Jaya Usman (IJU) dan politikus Partai Perindo Muhammad Nashib Ikroman (MNI), sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi di DPRD NTB. Keduanya berperan sebagai pemberi uang kepada 15 anggota DPRD.

    “Tim penyidik bidang pidsus melakukan penetapan terhadap dua orang sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi DPRD NTB. Mereka merupakan anggota dewan dengan inisial IJU dan MNI,” kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Muh Zulkifli Said. Dikutip dari Antara, Jumat (21/11/2025).

    Keduanya dibawa petugas menuju kendaraan tahanan jaksa untuk menjalani penahanan. Dalam kasus ini jaksa telah melakukan serangkaian pemeriksaan saksi dan ahli serta menerima titipan uang yang diduga menjadi objek perkara gratifikasi, dengan total sedikitnya Rp 2 miliar.

    Zulkifli mengungkapkan uang titipan dari belasan anggota dewan tersebut kini menjadi kelengkapan bukti kasus.

    “Uang itu dari 15 anggota dewan, sekarang kami gunakan sebagai kelengkapan alat bukti,” ucapnya.

    Saat diminta kepastian perihal status dari uang tersebut, apakah dari pihak swasta atau uang negara, Zulkifli memilih untuk tidak menjelaskan hal tersebut kepada publik.

    “Nanti saja itu karena ini masih pendalaman semua,” ujarnya seraya menolak memberikan keterangan perihal sumber uang.

    Uang yang kini menjadi objek perkara gratifikasi ini totalnya sekitar Rp 2 miliar. Nominal uang tersebut diungkap jaksa sebagai titipan dari 15 orang anggota DPRD NTB yang menerima dari kedua tersangka.

    Penahanan IJU dan MNI dilakukan penyidik di lokasi berbeda. Untuk tersangka IJU dititipkan di Lapas Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, sedangkan tersangka MNI di Rutan Lombok Tengah.

    Penahanan keduanya terhitung berjalan mulai hari ini hingga 20 hari ke depan sesuai masa penahanan pertama pada tahap penyidikan.

    Keduanya disangka Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

    “Untuk Pasal 55 KUHP (penyertaan), nanti kita lihat,” ujar dia.