Kasus: Tipikor

  • 7
                    
                        Eks Petinggi Telkom Didakwa Rugikan Negara Rp 464,9 M, Buat Pengadaan Fiktif untuk Capai Target Bisnis
                        Nasional

    7 Eks Petinggi Telkom Didakwa Rugikan Negara Rp 464,9 M, Buat Pengadaan Fiktif untuk Capai Target Bisnis Nasional

    Eks Petinggi Telkom Didakwa Rugikan Negara Rp 464,9 M, Buat Pengadaan Fiktif untuk Capai Target Bisnis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     General Manager Enterprise Divisi Enterprise Service (DES) Telkom 2017-2020, August Hoth Mercyon Purba dan 10 terdakwa lainnya didakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 464,9 miliar dalam kasus korupsi pemberian pembiayaan dari PT Telkom untuk sejumlah pengadaan proyek fiktif yang melibatkan beberapa anak perusahaan dan pihak swasta.
    “Perbuatan terdakwa August Hoth bersama-sama dengan Siti Choirinah selaku Executive Vice President Divisi Enterprise Service
    PT Telkom
    Indonesia, dkk telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 464,9 miliar,” ujar salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (24/11/2025).
    Jaksa menyebutkan, perbuatan August Hoth telah memperkaya beberapa pihak, termasuk dirinya sendiri.
    Selain August, ada 10 orang lain yang sama-sama didakwa melakukan korupsi, yaitu Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom 2015-2017, Herman Maulana dan Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara 2016-2018, Alam Hono.
    Sementara, dari kluster swasta ada, Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara, Andi Imansyah Mufti; Direktur Utama PT International Vista Quanta, Denny Tannudjaya; Direktur Utama PT Japa Melindo Pratama, Eddy Fitra.
    Lalu, Pengendali PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa, Kamaruddin Ibrahim; Direktur Utama PT Ata Energi, Nur Hadiyanto.
    Serta, Direktur Utama PT Green Energy Natural Gas, Oei Edward Wijaya; Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri, RR Dewi Palupi Kentjanasari; dan Direktur Utama PT Batavia Prima Jaya, Rudi Irawan.
    Dalam kasus ini ada sejumlah pihak yang diperkaya, yaitu:
    Nur Hadiyanto diperkaya sebesar Rp 113,1 miliar.
    Sementara itu, terdakwa yang merupakan pegawai Telkom juga menerima sejumlah keuntungan dalam pengadaan fiktif yang dilakukan.
    August Hoth menerima sejumlah fee dari hasil kerja sama PT Telkom dengan beberapa perusahaan swasta. Dalam kerja sama dengan PT Ata Energy, August menerima fee sebesar Rp 800 juta.
    Kemudian, dalam kerja sama dengan PT Batavia Prima Jaya, August menerima fee senilai Rp 180 juta.
    Selain itu, Herman Maulana selaku Account Manager Tourism Hospitality Service PT Telkom 2015-2017 sekaligus pengendali salah satu perusahaan swasta diperkaya senilai Rp 44 miliar.
    Jaksa mengatakan, proyek-proyek pengadaan fiktif ini merupakan langkah para terdakwa untuk mencapai target performa bisnis yang ditentukan oleh Siti Choirinah.
    August Hoth, Herman, dan Alam Hono melakukan sejumlah cara untuk mendapatkan pelanggan baru, mengembangkan produk baru, hingga mencari potensi proyek-proyek baru.
    Tindakan pengembangan ini tidak sesuai dengan keputusan direksi PT Telkom. Di satu sisi, pencarian pelanggan baru bukan kewenangan dari Divisi Enterprise Service (DES), tapi merupakan tugas Divisi Business Services.
    Namun, tiga pegawai PT Telkom ini tetap melakukan perbuatan yang melanggar aturan untuk memenuhi target performa bisnis sales.
    Dalam perjalanannya, para terdakwa menyetujui pembiayaan modal kepada beberapa perusahaan swasta.
    Berhubung DES tidak bergerak di bidang pembiayaan, August Hoth dkk membuat sejumlah pengadaan fiktif agar PT Telkom bisa mencairkan dana kepada perusahaan swasta.
    “Namun pada kenyataannya, semua tahapan dalam proses pelaksanaan pengadaan barang tersebut adalah tidak benar atau fiktif,” lanjut jaksa.
    Pengadaan barang fiktif ini kemudian dihitung untuk memenuhi target performa bisnis.
    Dalam periode 2016-2019, minimal ada sembilan pengadaan fiktif yang disetujui terdakwa. Pengadaan diatasnamakan dengan sejumlah produk. Mulai dari baterai lithium ion hingga genset.
    Atas perbuatannya, para terdakwa diancam diancam pidana Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Alasan Nadiem Tidak Lagi Pakai Hotman Paris, Tunjuk Pengacara Tom Lembong Bela di Sidang

    Alasan Nadiem Tidak Lagi Pakai Hotman Paris, Tunjuk Pengacara Tom Lembong Bela di Sidang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengacara kondang Hotman Paris tidak akan mendampingi eks Mendikbudristek Nadiem Makarim dalam sidang kasus Chromebook di PN Tipikor, Jakarta Pusat.

    Pengacara Nadiem, Dodi S Abdulkadir mengatakan Hotman sudah tidak diminta pihak keluarga Nadiem lantaran disibukkan mengurus perkara lain.

    “Berdasarkan keputusan keluarga yang memberikan kesempatan, pak Hotman kan juga sedang menangani case [lain],” ujar Dodi kepada wartawan, dikutip Senin (24/11/2025).

    Dia menambahkan, pihak keluarga juga telah memilih tim pengacara Ari Yusuf Amir untuk menjalani serangkaian persidangan yang akan datang.

    Adapun, Ari Yusuf Amir sendiri merupakan pengacara yang sempat membela eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong dalam sidang impor gula.

    “Nah sekarang pada saat penuntutan yang dapat kuasa itu adalah dari kantor MRP dan kantor Pak Ari Yusuf,” tambahnya.

    Di lain sisi, Ari Yusuf menyampaikan penunjukan dirinya itu terjadi saat keluarga Nadiem Makarim mengajak dirinya dalam rapat bersama tim hukum Dodi Abdulkadir. 

    Singkatnya, Ari Yusuf mendapatkan kuasa dari kubu Nadiem Makarim per Senin (17/11/2025). Ari juga menyatakan dalam persidangan nantinya tim pengacara akan dipimpin oleh Dodi.

    “Setelah satu pemahaman baru kita diangkat resmi oleh mereka dengan diberikan kuasa per 17 November,” tutur Ari 

  • 10
                    
                        Bagaimana agar Uang Rampasan Koruptor Bisa Dipakai Prabowo Biayai Negara?
                        Nasional

    10 Bagaimana agar Uang Rampasan Koruptor Bisa Dipakai Prabowo Biayai Negara? Nasional

    Bagaimana agar Uang Rampasan Koruptor Bisa Dipakai Prabowo Biayai Negara?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS
    – Presiden RI Prabowo Subianto ingin menggunakan uang hasil rampasan dari koruptor untuk membiayai program pemerintah. Bagaimana caranya?
    Prabowo ingin dana hasil penyitaan koruptor akan diarahkan ke sektor-sektor prioritas, termasuk pendidikan, bahkan untuk membayar utang kereta cepat Whoosh.
    Lalu, bagaimana mekanisme atau alur penggunaan uang hasil sitaan korupsi untuk dapat digunakan membiayai program pemerintah?
    Pakar hukum pidana dan perdata Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan bahwa penggunaan uang rampasan korupsi mengikuti mekanisme atau aturan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (
    APBN
    ) yang berlaku.
    Alur penggunaan uang hasil rampasan korupsi untuk membiayai proyek pemerintah tetap harus tunduk pada mekanisme APBN. Yakni, meliputi siklus perencanaan, pengajuan, pembahasan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
    “Boleh digunakan, tapi harus tetap memakai mekanisme APBN. Artinya, uang sitaan itu masuk dulu ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP), lalu dikeluarkan kembali melalui RAPBN,” ujar Fickar kepada
    Kompas.com
    , Jumat (21/11/2025).
    Selama ini, kata dia, mayoritas pendapatan negara berasal dari pajak. Namun uang sitaan korupsi yang masuk sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sah digunakan untuk membiayai program pemerintah, selama melalui pintu anggaran yang benar.
    “Selama ini pendapatan negara yang mayoritas itu dari pajak, karena aktivitas kita apapun pasti kena pajak melalui PPN 11 persen,” lanjut dia.
    Menurut Fickar, mekanisme penggunaan uang rampasan kasus korupsi untuk digunakan dalam membiayai program pemerintah sudah memiliki alur yang baku.
    Dia mengatakan, uang sitaan hasil korupsi itu dipulihkan dulu dalam proses hukum, baik oleh penyidik KPK maupun Kejaksaan Agung atau Kejagung.
    Setelah itu, dananya wajib disetor ke kas negara melalui Direktorat Jenderal Anggaran.
    “Dari KPK atau Kejagung, langsung masuk kas negara atau ke Dirjen Anggaran, ya alurnya biasa melalui pengesahan RAPBN ke DPR,” lanjutnya.
    Ia menegaskan bahwa penggunaan dana tersebut tidak bisa langsung dieksekusi pemerintah begitu saja.
    Perlu ada pengajuan RAPBN ke DPR dan kemudian dibahas oleh parlemen.
    “RAPBN itu berisi macam-macam rencana pembiayan semua program pemerintah. Jadi tidak bisa semaunya uang masuk lantas diambil keluar oleh Presiden,” kata Fickar.
    Dengan demikian, jika dana sitaan ingin digunakan rakyat dalam berbagai program pemerintah, maka anggaran tersebut harus melalui usulan dari kementerian/lembaga terkait kepada Kementerian Keuangan, dibahas bersama DPR, dan baru kemudian bisa dieksekusi.
    Fickar menegaskan bahwa dalam APBN tidak ada kategori khusus yang membuat uang rampasan korupsi dapat digunakan secara instan.
    Semua tetap tunduk pada mekanisme yang sama.
    “Tidak ada yang khusus. Semua ada aturan dan mekanismenya. Tidak bisa seenaknya,” tegas Fickar.
    Ia juga menyinggung sikap ketat pemerintah dalam memastikan efisiensi penggunaan dana negara. Jika suatu anggaran tidak dipakai oleh kementerian, maka bisa ditarik kembali.
    Dana-dana tersebut juga tidak boleh mengendap dan dibungakan di bank.
    Sebelumnya, Presiden
    Prabowo Subianto
    berjanji bahwa uang negara hasil rampasan koruptor tidak akan dibiarkan mengendap. Dana yang berhasil dipulihkan itu akan segera dikembalikan ke rakyat melalui program-program pemerintah.
    Pertama, uang hasil korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dapat dipakai untuk merevitalisasi ribuan sekolah. Hal ini disampaikan Prabowo Oktober lalu usai menyaksikan seremonial penyerahan uang Rp 13 triliun hasil korupsi ekspor CPO dari Kejaksaan Agung (Kejagung) ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
    Menurut Prabowo, uang senilai Rp 13 triliun ini bisa dipakai untuk memperbaiki 8.000 sekolah, jika tidak dikorupsi.
    “Rp 13 triliun ini kita bisa memperbaiki renovasi 8.000 sekolah lebih, 8.000 lebih sekolah,” ucap Prabowo dalam sambutannya di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (20/10/2025).
    Prabowo juga berjanji bahwa uang belasan triliun itu juga akan digunakan untuk membangun sekitar 600 kampung nelayan dengan fasilitas yang modern.
    “Rencananya sampai akhir 2026, kita akan dirikan 1.100 desa nelayan. Tiap desa itu anggarannya 22 miliar. Jadi 13 triliun ini berarti kita bisa membangun 600 kampung nelayan,” kata Prabowo.
    Prabowo juga menyatakan agar sebagian uang sitaan kasus korupsi CPO disisihkan untuk beasiswa LPDP.
    “Mungkin yang Rp 13 triliun disumbangkan atau diambil oleh Jaksa Agung hari ini diserahkan ke Menteri Keuangan. Mungkin Menteri Keuangan, mungkin, sebagian kita taruh di LPDP untuk masa depan,” lanjut Prabowo.
    Tak hanya itu, uang pengembalian dari para koruptor juga akan dipakai untuk membayar utang Whoosh. Prabowo memastikan pemerintah punya uang untuk membayar utang Whoosh.
    “Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi (setelah diambil negara) saya hemat. Enggak saya kasih kesempatan. Jadi, saudara saya minta bantu saya semua. Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita. Untuk rakyat semua,” ujar Prabowo.
    Juga, Prabowo memastikan uang korupsi tersebut akan digunakan untuk mendanai program pendidikan, termasuk digitalisasi pendidikan, melalui smartboard atau panel interaktif digital (PID) untuk setiap kelas di sekolah.
    “Ya kita rencananya nanti tiap kelas insya Allah di Indonesia akan kita taruh interaktifnya. Nanti itu semua (dari) uang-uang koruptor (yang) kita kejar,” tegas Prabowo dalam peluncuran program Digitalisasi Pembelajaran di SMPN 4 Bekasi, Jawa Barat (17/11/2025).
    Jaksa Agung Burhanuddin juga mendukung penggunaan uang sitaan korupsi untuk digunakan mendukung program pemerintah. Burhanuddin menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan penindakan berbagai kasus korupsi, dan seluruhnya menyangkut hajat hidup masyarakat.
    Dia menegaskan bahwa uang penyitaan korupsi, khususnya perkara korupsi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) telah diserahkan kepada Kementerian Keuangan.
    “Tentunya dalam perkara ini, barang rampasan negara berupa uang akan kami serahkan kepada Kemenkeu, dan sebagai instansi yang berwenang mengelola keuangan negara,” kata dia.
    “Kemarin kami telah melakukan eksekusinya, secara resmi hari ini akan kami serahkan keseluruhannya,” lanjut Burhanuddin.
    Tidak hanya Kejagung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyatakan dukungannya terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto yang akan menggunakan uang rampasan dari para koruptor untuk kepentingan bangsa.
    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, KPK mendukung penggunaan uang rampasan hasil korupsi untuk pengadaan smartboard atau papan interaktif pintar di seluruh sekolah Indonesia.
    “KPK mendukung penuh komitmen Presiden untuk mengoptimalkan asset recovery (pengembalian kerugian keuangan negara) karena memang salah satu akibat dari tindak pidana korupsi adalah kerugian negara, bahkan kerugian ekonomi,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (18/11/2025), mengutip dari
    ANTARA
    .
    Budi menjelaskan bahwa KPK saat ini terus berupaya memulihkan keuangan negara dari setiap penanganan perkara melalui penyitaan sejumlah aset pada tahap awal penyidikan.
    “Tentunya penyitaan aset itu tidak hanya untuk kebutuhan proses pembuktian, tetapi sekaligus menjadi langkah awal yang positif untuk
    asset recovery
    nantinya,” ujarnya.
    Dia menegaskan bahwa sebelum uang sitaan korupsi digunaan untuk program pemerintah, tentunya aset yang disita harus berkekuatan hukum tetap atau inkrah, untuk kemudian dilakukan lelang.
    “Dari hasil lelang itu lah yang kemudian masuk ke kas negara, masuk ke dalam siklus APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” kata Budi.
    Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan rencana pembayaran utang kereta cepat Whoosh menggunakan uang rampasan korupsi masih dalam diskusi internal pemerintah
    “Masih didiskusikan, masih didiskusikan nanti detailnya. Itu yang ada adalah masih garis-garis besarnya,” kata Purbaya ketika berada di Universitas Airlangga (Unair), Senin (10/11/2025).
    Purbaya mengatakan rencananya tim Kemenkeu akan diberangkatkan ke China untuk membahas mekanisme pembayaran utang proyek Whoosh secara spesifik. Purbaya berharap dapat ikut dalam proses diskusi itu.
    “Tapi nanti akan diskusikan dan mungkin Indonesia akan kirim tim ke China lagi kan, untuk diskusi seperti apa nanti pembayaran persisnya,” ujarnya.
    “Kalau itu saya diajak biar saya tahu diskusinya seperti apa nanti,” tambahnya.
    Menanggapi rencana Prabowo, anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo meminta kepada KPK untuk terus memperkuat fungsi pemulihan aset koruptor, agar kasus korupsi tidak hanya berhenti pada penindakan hukum saja.
    “Pemulihan aset adalah bagian penting dari pemberantasan korupsi,” kata Rudianto di Jakarta, mengutip
    ANTARA
    , Jumat.
    “Publik butuh bukti nyata. Ketika KPK menunjukkan secara terbuka uang sitaan itu, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin meningkat,” tambah dia.
    Rudianto menegaskan bahwa Komisi III DPR RI akan terus mendukung langkah-langkah KPK dalam memperkuat pemulihan aset hasil korupsi dan memastikan dana negara kembali ke tempat yang semestinya.
    Rudianto bilang bahwa dana itu merupakan bagian dari uang sitaan perkara korupsi yang merugikan keuangan negara dan dana pensiunan.
    “Ini langkah penting dan harus menjadi standar dalam setiap penyelesaian kasus korupsi,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tersangka Korupsi PLTU Kalbar Hartanto Yohanes Lim Ajukan Praperadilan

    Tersangka Korupsi PLTU Kalbar Hartanto Yohanes Lim Ajukan Praperadilan

    Tersangka Korupsi PLTU Kalbar Hartanto Yohanes Lim Ajukan Praperadilan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Direktur PT Praba Indopersada, Hartanto Yohanes Lim, mengajukan praperadilan usai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Mempawah, Kalimantan Barat.
    Gugatan praperadilan
    ini tercatat di sistem Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor 152/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL.
    Pihak tergugat adalah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo cq Bareskrim Polri cq Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Polri (Kortas Tipikor).
    “Klasifikasi perkara, sah atau tidaknya penetapan tersangka. Pemohon
    Hartanto Yohanes Lim
    ,” dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Jaksel pada Minggu, (23/11/2025).
    Gugatan perdana untuk perkara ini akan diadakan pada Selasa (2/12/2025) pada pukul 09.00 WIB.
    Dalam kasus ini, penyidik Kortas Tipikor Polri telah menetapkan empat orang tersangka.
    Mereka adalah Presiden Direktur PT Bakrie Rachmat Nusantara (BRN), Halim Kalla; Direktur PT Praba Indopersada, Hartanto Yohanes Lim; Dirut PLN 2008-2009 Fahmi Mochtar; dan Direktur PT Bakti Reka Nusa, RR.
    Penyidikan ini merupakan kelanjutan dari penelusuran Polri atas dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek PLTU 1 Mempawah.
    Kasus ini diduga melibatkan kerja sama antara sejumlah perusahaan swasta dan pihak terkait di lingkungan BUMN sektor energi.
    Berdasarkan perhitungan saat ini,
    kerugian negara
    mencapai 64.410.523 dollar AS dan Rp 323.199.898.518, atau total Rp 1,3 triliun bila dikonversikan ke rupiah.
    Keempat tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Efektivitas Coretax dan Pemajakan Transaksi Digital untuk Target 2026 hanya Bisa Dijawab oleh Waktu

    Efektivitas Coretax dan Pemajakan Transaksi Digital untuk Target 2026 hanya Bisa Dijawab oleh Waktu

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal memperkuat sistem administrasi perpajakan Coretax serta memperluas basis penerimaan yakni terhadap transaksi digital guna mendorong target penerimaan 2026. 

    Untuk diketahui, pemerintah tahun depan menargetkan penerimaan pajak hingga Rp2.357,7 triliun sebagaimana diatur pada Undang-Undang (UU) APBN 2026. 

    Otoritas pajak telah menjadikan Coretax sebagai tumpuan utama sistem administrasi pajak berbasis teknologi. Sistem tersebut pun sudah diperbaiki dan dipersiapkan sedemikian rupa untuk digunakan dalam penyampaian SPT tahun depan. 

    Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menjelaskan penggunaan Coretax didasari oleh logika bahwasanya banyak negara yang sudah menerapkan digital tax administration atau IT-based tax administration system. 

    Harapannya, Coretax memiliki kemampuan interoperabilitas untuk akan lebih mampu mengawasi kepatuhan pajak berdasarkan database yang lebih banyak, namun dengan lebih cepat dan akurat. Akan tetapi, Prianto menilai hanya waktu yang akan mampu menjawab seberapa besar efektivitas Coretax terhadap penerimaan pajak. 

    “Ketika masih berupa rencana, logika dasarnya adalah bahwa rencana tersebut akan berjalan efektif 100%. Jadi, DJP membuat ekspektasi bahwa penguatan Coretax dan perluasan basis penerimaan ke transaksi digital memang bertujuan untuk mengejar penerimaan pajak,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (23/11/2025).

    Menurut Prianto, efektivitas Coretax maupun rencana pemajakan terhadap transaksi digital untuk mendulang penerimaan negara tahun depan hanya bisa dijawab setelah implementasi. Hasilnya nanti akan disandingkan dengan target penerimaan pajak senilai Rp2.357,7 triliun tahun depan. 

    Namun, dia mengakui bahwa transaksi bisnis digital saat ini semakin meningkat secara signifikan. Coretax pun diharapkan bisa membantu rencana ekstensifikasi penerimaan pajak oleh fiskus di 2026 mendatang. 

    “Karena transaksi bisnis secara digital semakin meningkat signifikan, Coretax menjadi sebuah kebutuhan karena DJP memerlukan proses bisnis yang andal di sistem administrasi pajaknya,” terang Prianto.

    Sebelumnya pada konferensi pers APBN KiTa November 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan pihaknya bakal fokus memperkuat sistem pelayanan elektronik pajak yakni Coretax. Sistem administrasi perpajakan itu bakal digunakan untuk mengawal kepatuhan pembayaran pajak tahun berjalan maupun tahun-tahun sebelumnya. 

    Bimo juga mengungkap arahan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mulai memperluas basis penerimaan pajak, supaya tidak lagi mempraktikkan ‘berburu di kebun binatang’. Perluasan atau ekstensifikasi dilakukan dengan basis data yang ada. 

    “Apakah itu nanti untuk melalui sistem elektronik misalnya, kemudian juga digital transaction yang lain nanti akan kami lihat sesuai dengan arahan pimpinan,” terang Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu, Kamis (20/11/2025). 

    Adapun, untuk mengejar target pajak tahun ini, Bimo mengatakan bakal memaksimalkan seluruh instrumen yang ada. Untuk diketahui, realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir Oktober 2025 baru Rp1.459 triliun atau 70,2% dari outlook laporan semester I/2025.

    Dengan demikian, otoritas pajak masih harus mengejar sisa target pemasukan Rp614,9 triliun. Bimo menyebut pihaknya masih akan menggali seluruh potensi penerimaan dengan beragam strategi yang sudah dicanangkan. 

    Misalnya, dengan mirroring data internal antarunit Kemenkeu seperti Direktorat Jenderal Bea Cukai maupun Direktorat Jenderal Anggaran untuk PNBP. 

    “Kemudian data-data yang akan habis untuk audit dan juga untuk penegakan hukum akan kami selesaikan sampai Desember. Selain itu tentu ada strategi kami untuk penegakan hukum yang multi-door approach dengan semua aparat penegak hukum, kemudian menggabungkan antara tindak pidana perpajakan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang,” terang Bimo.

  • Bukan Soal ASDP, Netizen Malah Kaitkan IKN dan Whoosh: Itu yang Bikin Negara Rugi Berat

    Bukan Soal ASDP, Netizen Malah Kaitkan IKN dan Whoosh: Itu yang Bikin Negara Rugi Berat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Sebuah unggahan dari netizen bernama Cak Khum di X mendadak menyedot perhatian publik.

    Ia menyinggung vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi.

    Bukan hanya itu, ia juga mengaitkannya dengan kebijakan era Presiden ke-7, Jokowi.

    “Seharusnya yang paling merugikan negara dan layak dihukum seberat-beratnya akibat kebijakannya adalah Jokowi,” ujar akun tersebut di X (23/11/2025).

    Cak Khum menilai ada kebijakan negara yang menurutnya jauh lebih besar dampaknya terhadap keuangan negara.

    “Karena (Jokowi) membuat IKN dan kereta cepat Whoosh. Jelas sekali itu kerugian Negara. IKN 89 triliun, Whoosh total utang 542,7 juta dollar AS,” tandasnya.

    Sebelumnya, Ira Puspadewi dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dalam perkara dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) untuk periode 2019-2022.

    Putusan tersebut dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam sidang yang digelar Kamis (20/11/2025).

    “Menyatakan, terdakwa satu terbukti bersalah dengan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim, Sunoto, saat membacakan amar putusan.

    Selain hukuman badan, Ira diwajibkan membayar denda Rp500 juta. Apabila tidak dibayar, denda itu diganti dengan kurungan selama tiga bulan.

    Nasib serupa juga dialami dua mantan pejabat ASDP lainnya, yakni mantan Direktur Komersial dan Pelayanan Yusuf Hadi serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono.

  • GENTA Indonesia Peringatkan Risiko Korupsi dari Rekomendasi Pelepasan Aset EV Pertamina di Surabaya

    GENTA Indonesia Peringatkan Risiko Korupsi dari Rekomendasi Pelepasan Aset EV Pertamina di Surabaya

    Surabaya (beritajatim.com) – Aktivis ’98 yang tergabung dalam Gerakan Nasional Penyelamat Aset dan Anti-korupsi Indonesia (GENTA Indonesia) meluncurkan seruan aksi dan kajian strategis terkait penyelesaian sengketa lahan Eigendom Verponding (EV) Pertamina di Surabaya.

    Mereka menilai rekomendasi pelepasan aset negara menjadi hak milik (SHM) membawa risiko politik, hukum, dan korupsi yang sangat besar.

    Koordinator GENTA Indonesia, Trio Marpaung, menegaskan bahwa status lahan EV 1305 dan EV 1278 telah berubah menjadi aset negara sejak nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda melalui Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958.

    Menurutnya, sekalipun Pertamina lalai mengubah status lahan sesuai ketentuan modern pasca UUPA 1960, tanah tersebut tetap menjadi aset negara yang tidak otomatis dapat dimiliki warga.

    “Tanah tersebut tidak otomatis menjadi milik warga yang menduduki, melainkan harus menunggu keputusan negara untuk redistribusi,” tegasnya, Minggu (23/11/2025).

    Peringatan kepada Presiden Prabowo: Jangan Buka “Kotak Pandora”

    GENTA Indonesia meminta Presiden Prabowo Subianto agar tidak tergesa-gesa menanggapi desakan politik jangka pendek terkait penyelesaian sengketa EV.

    Trio Marpaung menyampaikan bahwa pemberian SHM kepada warga di atas aset Pertamina berpotensi membuka efek domino secara nasional.

    “Kami sangat menghargai niat baik Presiden untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Namun jika dilakukan secara gegabah, misalnya melalui skema hibah atau pemberian SHM gratis, akan memicu risiko hukum dan politik besar yang bisa menjatuhkan marwah Presiden,” ujar Trio.

    Ia menambahkan bahwa keputusan melepas aset Pertamina bisa menjadi preseden bagi jutaan hektare tanah milik PT KAI, PTPN, Pelindo, hingga TNI yang saat ini ditempati masyarakat.

    “Jika tanah Pertamina dilepas, seluruh pendudukan di tanah aset negara akan menuntut hal serupa. Presiden akan dicatat sejarah sebagai pemimpin yang meruntuhkan aset strategis negara. Tapi kami percaya Presiden tidak akan terjebak dalam hal ini,” lanjutnya.

    Risiko Kerugian Negara hingga Rp 267 Triliun

    Dalam kajian GENTA Indonesia, total luas lahan sengketa mencapai 534 hektare. Dengan asumsi nilai tanah Rp 50 juta per meter persegi, negara berpotensi mengalami kerugian fantastis mencapai Rp 267 triliun. Bahkan pada asumsi paling rendah, Rp 10 juta/m², potensi kerugian tetap berada di angka Rp 53,4 triliun.

    Trio Marpaung juga mengungkap adanya indikasi keterlibatan pengembang dan spekulan yang diduga ingin mengambil keuntungan besar melalui skema legalisasi massal SHM.

    “Kami mencermati bahwa kasus ini bukan hanya melibatkan warga miskin, tetapi juga pengembang yang mencoba menguasai tanah negara dengan harga murah. Kami mendesak aparat untuk menginvestigasi dugaan pejabat yang paling getol mendorong pelepasan SHM, namun justru memiliki properti di lokasi sengketa,” tegas Trio.

    Kritik untuk Wali Kota Surabaya

    GENTA Indonesia turut menyoroti peran aktif Wali Kota Surabaya dalam mendampingi warga. Mereka menilai sikap tersebut kontradiktif karena Pemerintah Kota Surabaya selama bertahun-tahun justru menghambat ribuan warga dalam menaikkan status Surat Ijo menjadi SHM.

    “Yang dilakukan Wali Kota Surabaya itu sungguh ironi. Surabaya satu-satunya daerah yang masih ngotot mempertahankan Surat Ijo. Jelas sekali ini tidak fair,” ujar Indra Agus, Sekjen Forum Aktivis ’98 Jatim.

    Keputusan RDP Dianggap Berbahaya

    Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang melibatkan Komisi II DPR RI, Pemkot Surabaya, FATWA, BPN, dan Pertamina telah menghasilkan rekomendasi pelepasan hak, pembukaan blokir aset, dan delisting. Namun GENTA Indonesia menilai implementasi rekomendasi tersebut rawan menjadi ladang korupsi.

    “Jika aset negara dilepas tanpa filter ketat, ini bukan lagi soal risiko, tapi desain korupsi yang sempurna,” jelas Trio.

    GENTA Indonesia menguraikan tiga fase rawan korupsi: pra-pelepasan, proses pelepasan, dan pasca-pelepasan, yang disebut dapat dimanfaatkan spekulan dan oknum pejabat.

    Dasar Hukum yang Menguatkan Status Aset Negara

    GENTA Indonesia menegaskan bahwa lahan EV Pertamina merupakan aset negara berdasarkan tiga undang-undang:

    UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda.
    UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
    UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

    Dengan demikian, pelepasan aset negara tanpa prosedur hukum yang benar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

    Empat Seruan GENTA Indonesia kepada Pemerintah

    Dalam pernyataannya, GENTA Indonesia menyampaikan empat tuntutan resmi:

    Presiden RI diminta menolak skema pelepasan SHM atas aset pertamina EV di Surabaya.
    KPK dan Kejaksaan Agung diminta melakukan investigasi mendalam terkait data warga penghuni lahan.
    Menolak praktik “serakahnomics” yang memanfaatkan warga untuk kepentingan pihak tertentu.
    Mendesak Presiden untuk menerbitkan Keppres skema HGB di atas HPL sebagai solusi legal tanpa mengorbankan aset negara.

    Trio menegaskan bahwa Presiden hanya perlu menjamin legalitas hunian, bukan memberikan hak kepemilikan atas aset negara.

    “Pemberian HGB atau Hak Pakai adalah solusi fundamental yang akan menyelamatkan martabat Presiden dari jerat hukum dan melindungi aset vital BUMN dari efek domino kerugian,” pungkasnya. (ted)

     

  • KPK Tegaskan Korupsi ASDP Terkait Ira Puspadewi Rugikan Negara Rp 1,25 T

    KPK Tegaskan Korupsi ASDP Terkait Ira Puspadewi Rugikan Negara Rp 1,25 T

    KPK Tegaskan Korupsi ASDP Terkait Ira Puspadewi Rugikan Negara Rp 1,25 T
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa kasus korupsi Kerja Sama Usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022 terbukti menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 1,25 triliun.
    Juru Bicara
    KPK
    , Budi Prasetyo, mengatakan fakta tersebut disampaikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atau Pengadilan Tindak Pidana
    Korupsi
    (Tipikor) dalam sidang putusan pada Kamis, 20 November 2025.
    “Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Terdakwa Saudari
    Ira Puspadewi
    , selaku Direktur Utama
    PT ASDP
    periode 2017–2024, terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kerja sama akuisisi PT JN oleh PT ASDP. Atas perbuatan tersebut, menimbulkan kerugian keuangan negara senilai Rp 1,25 triliun,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Minggu (23/11/2025).
    Budi menjelaskan bahwa kerugian negara yang terjadi merupakan dampak dari perbuatan melawan hukum dalam proses akuisisi, termasuk pengkondisian proses dan hasil penilaian Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang melakukan valuasi kapal dan valuasi perusahaan secara keseluruhan.
    “Pengkondisian kapal tersebut terjadi atas sepengetahuan Direksi PT ASDP, sementara nilai valuasi saham/perusahaan, KJPP menyesuaikan dengan ekspektasi Direksi ASDP, termasuk penentuan Discount on Lack of Marketability (DLOM) yang lebih rendah dari opsi yang tersedia,” ujarnya.
    Budi mengatakan bahwa selain tidak terlihat dari perubahan versi kertas kerja penilaian, perbandingan nilai kapal serupa dengan kapal PT ASDP yang setara ukuran dan usianya, serta asumsi yang digunakan konsultan, terdapat pula bukti percakapan para pihak yang menguatkan fakta pengkondisian tersebut.
    Selain itu, kondisi kesehatan keuangan PT Jembatan Nusantara atau JN sebagai perusahaan yang diakuisisi dalam periode sebelum diakuisisi (2017-2021) menunjukkan tren menurun, yang terlihat dari rendahnya dan semakin menurunnya rasio profitabilitas atau Return on Assets, serta kemampuan penyelesaian kewajiban lancar atau rasio likuiditas, yang sering disebut dengan istilah
    current ratio
    .
    “Hal tersebut tidak menjadi pertimbangan Direksi dan tidak dievaluasi bersama dengan konsultan
    due diligence
    untuk menilai kelayakan akuisisi,” tuturnya.
    Di sisi aset, Budi mengatakan bahwa lebih dari 95 persen nilai aset merupakan kapal berusia di atas 30 tahun yang nilai bukunya sudah dinaikkan sehingga
    overstated
    melalui skema akuntansi kapitalisasi biaya pemeliharaan, revaluasi nilai kapal, dan transaksi pembelian kapal antar-afiliasi tanpa transaksi pembayaran riil.
    KPK mengatakan bahwa di sisi kewajiban, masih terdapat utang bank sebesar Rp 580 miliar pada saat menjelang akuisisi.
    Dia mengatakan bahwa, selain berdasarkan analisis laporan dan data keuangan PT JN, masalah keuangan yang dihadapi PT JN tersebut juga diketahui dalam percakapan antara Manajer Akuntansi dan Keuangan PT JN dengan atasannya.
    “Proses dan hasil
    due diligence
    yang tidak obyektif tersebut tidak hanya berdampak pada harga transaksi yang kemahalan, justru pertimbangan bisnis akuisisi juga turut menjadi tanda tanya,” kata dia.
    Budi juga mengatakan bahwa, berdasarkan data-data aktual, keputusan investasi ini secara realistis tidak layak, karena sama saja seperti mengejar keuntungan sebesar 4,99 persen, dengan menggunakan modal yang tingkat bunganya sebesar 11,11 persen.
    “Kerugian akan semakin menggulung di masa depan,” ujar Budi.
    Budi mengatakan bahwa perhitungan nilai saham perusahaan PT JN oleh Tim AF dengan menggunakan metode pendapatan atau
    discounted cash flow
    atas dasar data tersebut menghasilkan nilai saham PT JN sebesar -383 miliar.
    Sementara dengan metode aset bersih atau net asset yang akhirnya digunakan dalam Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) ini, nilai saham PT JN menjadi sebesar -96,3 miliar.
    Adapun perhitungan
    net asset
    tersebut dilakukan dengan mengurangkan total aset dan total kewajiban PT JN setelah nilai kapal PT JN disesuaikan dengan valuasi ahli teknik perkapalan.
    “Dengan nilai saham/perusahaan negatif tersebut (sejalan dengan hasil analisis), maka jika ada pembayaran atas pengambilalihan saham PT JN, kerugian tidak hanya sebesar nilai pembayaran tersebut namun ditambahkan dengan nilai negatif saham, yakni sebesar Rp 96,3 miliar,” kata dia.
    Lebih lanjut, Budi mengatakan bahwa dalam akuisisi PT JN oleh PT ASDP, yang didapatkan oleh PT ASDP tidak hanya aset yang dimiliki oleh PT JN, tetapi juga termasuk kewajiban PT JN seperti utang bank, utang pembiayaan, utang usaha, dan lainnya.
    Sehingga, kata dia, nilai sebesar Rp 19 miliar bukanlah nilai kapal, melainkan nilai perusahaan setelah dikurangi kewajiban-kewajiban yang harus ditanggung oleh manajemen PT JN sebagai anak perusahaan PT ASDP.
    Budi mengatakan bahwa kewajiban PT JN tersebut juga berdampak kepada PT ASDP yang harus memberikan
    shareholder loan
    kepada PT JN agar PT JN mampu untuk melunasi sebagian kewajibannya.
    “Sampai dengan 31 Desember 2024, PT JN masih belum mampu untuk membayar kembali
    shareholder loan
    tersebut kepada PT ASDP. Singkatnya, sampai dengan saat ini PT JN sebagai anak perusahaan PT ASDP masih rugi dan masih punya kewajiban atau utang yang harus dilunasi,” ucap dia.
    Sebelumnya, Eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
    Majelis hakim menyatakan bahwa Ira terbukti bersalah dalam kasus korupsi terkait proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
    “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” ujar hakim ketua Sunoto saat membacakan amar putusan dalam sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).
    Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi yakni 8,5 tahun penjara.
    Majelis hakim menilai bahwa Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun melalui proses akuisisi PT JN oleh PT ASDP.
    Meski terbukti memperkaya orang lain atau korporasi, Ira dinilai tidak menerima keuntungan pribadi sehingga tidak dikenakan pidana berupa uang pengganti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur

    KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur

    KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami peran Sekretaris Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Andi Saguni terkait Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC).
    Materi tersebut didalami
    KPK
    saat memeriksa
    Andi Saguni
    sebagai saksi terkait kasus dugaan
    korupsi
    proyek pembangunan
    RSUD Kolaka Timur
    (Koltim), pada Jumat (21/11/2025).
    “Penyidik mendalami saksi AS (Andi Saguni) terkait perannya sebagai Sesditjen dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Minggu (23/11/2025).
    Selain itu, Budi mengatakan, KPK juga memeriksa Thian Anggy Soepaat selaku staf gudang KSO PT PCP, PT RBM, dan PT PA.
    Dia mengatakan, penyidik mendalami pengetahuan Thian terkait penyerahan uang ke salah satu tersangka kasus korupsi tersebut.
    “Sedangkan saksi TAS (Thian Anggy Soepaat), didalami pengetahuannya terkait penyerahan uang dari pemberi kepada salah satu tersangka dalam perkara ini,” ujar dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka korupsi proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, salah satunya adalah Bupati Abdul Azis.
    “KPK menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima orang sebagai tersangka,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    Berikut adalah lima orang tersangka kasus ini:
    1. Abdul Azis (ABZ) selaku Bupati Kolaka Timur atau Kotim.
    2. Andi Lukman Hakim (ALH) selaku Person In Charge (PIC) atau penanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk Pembangunan RSUD.
    3. Ageng Dermanto (AGD) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek RSUD Koltim.
    4. Deddy Karnady (DK) selaku pihak swasta PT Pilar Cerdas Putra (PCP).
    5. Arif Rahman (AR) selaku pihak swasta Kerja Sama Operasi (KSO) PT PCP.
    Berdasarkan keterangan Asep Guntur Rahayu, Deddy Karnady dan Arif Rahman dari pihak swasta diduga memberi suap.
    “Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata Asep.
    Adapun Abdul Azis dan Andi Lukman Hakim adalah pihak penerima suap.
    “Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata Asep.
    Para tersangka ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK Gedung Merah Putih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara

    Tragika Ira Puspadewi: Ketika Keberanian Berinovasi Berujung Penjara
    Pemerhati masalah politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan internasional. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung.
    BEBERAPA
    bulan terakhir publik sempat menarik napas lega setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara kebijakan impor gula. Meski tidak terbukti memperkaya diri, kebijakan yang ia ambil dinilai merugikan keuangan negara ratusan miliar rupiah.
    Putusan itu memicu kontroversi nasional: apakah seorang pejabat publik harus dipidana meski niatnya adalah menjaga stabilitas pasokan pangan dan mencegah lonjakan harga di tengah ancaman krisis global?
    Di tengah proses banding itu, Presiden Prabowo menggunakan hak prerogatifnya untuk menghentikan penuntutan, yang oleh sebagian pihak dibaca sebagai bentuk koreksi terhadap kekakuan hukum formal.
    Di tengah refleksi publik terhadap kasus Tom Lembong itulah, bangsa ini kembali diguncang oleh vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Direktur Utama PT
    ASDP
    Indonesia Ferry,
    Ira Puspadewi
    .
    Vonis tersebut bukan hanya soal satu orang, satu kasus, atau satu keputusan akuisisi korporasi. Ia menjelma menjadi cermin lebih besar tentang cara negara ini memperlakukan para profesional yang bekerja di sektor publik, tentang batas kabur antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi, serta tentang ketakutan baru yang mengancam keberanian melakukan transformasi di tubuh Badan Usaha Milik Negara.
    Kasus ini menjadi perhatian luas setelah konten kreator dan analis kebijakan publik, Ferry Irwandi, membacakan surat pribadi Ira dari balik Rutan KPK. Dalam surat tersebut, Ira menyampaikan kepedihan yang mencabik nalar publik, dimana dirinya divonis meski tidak ditemukan satu rupiah pun aliran dana pribadi dari keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN).
    PPATK, KPK, hingga penggeledahan kantor dan rumah tidak menemukan bukti penerimaan pribadi atau indikasi memperkaya diri. Namun hukuman tetap jatuh atas dasar kelalaian yang dianggap menguntungkan pihak lain.
    Paradoks inilah yang membuat peristiwa ini mengguncang kepercayaan publik. Sebab selama kepemimpinan Ira, ASDP mencatatkan laba tertinggi dalam sejarah perusahaan, keluar dari kondisi “mati suri” menjadi perusahaan feri negara yang agresif, modern, dan berdaya saing.
    Transformasi itu tidak tercapai melalui retorika, tetapi melalui keputusan bisnis yang berani dan penuh risiko. Dan di saat keberanian itu membawa keuntungan bagi negara, keterlibatan hukum pidana justru menghentikannya dengan palu vonis.
    Di sinilah ironi terbesar muncul. Aksi korporasi yang didesain untuk memperkuat kemampuan ASDP dalam menjaga layanan publik bagi daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar kini ditafsirkan sebagai tindakan melawan hukum.
    ASDP selama ini melayani lebih dari 300 lintasan kapal feri, di mana lebih dari 70 % di antaranya merupakan rute rugi, tetapi tetap harus dijalankan demi logistik pangan, obat-obatan, pendidikan, dan stabilitas harga di wilayah 3T.
    Dalam suratnya, Ira menulis, “Kalau ASDP berhenti melayani daerah 3T, harga telur bisa naik tiga kali lipat.” Artinya, setiap keputusan bisnis ASDP tidak semata soal laba, tetapi soal pengabdian dan mandat konstitusional negara.
    Namun keputusan akuisisi PT JN yang bertujuan memperkuat portofolio kapal untuk menjaga keberlanjutan lintasan subsidi, berakhir menjadi dakwaan kerugian negara. Bagian paling janggal terletak pada perbedaan valuasi yang nyaris tak masuk akal. Konsultan internasional seperti Deloitte dan PYC menilai nilai PT JN berada di kisaran Rp 1,2 triliun, sementara auditor KPK menilai nilai perusahaan tersebut hanya Rp 19 miliar.
    Bagaimana mungkin perusahaan dengan pendapatan sekitar Rp 600 miliar per tahun dinilai hanya Rp 19 miliar? Di sinilah letak persoalan mendasarnya. Apakah kita sedang menilai kerugian negara atau sedang memproduksi kerugian logika publik?
    Majelis hakim dalam amar putusannya mengakui tidak ada indikasi motif memperkaya diri maupun aliran dana pribadi. Namun tetap menjatuhkan vonis berdasarkan argumentasi bahwa keputusan tersebut termasuk kelalaian yang menguntungkan pihak lain. Pada titik ini, garis pemisah antara tindak pidana dan risiko manajerial menjadi kabur.
    Jika semua keputusan bisnis harus bebas dari risiko, maka bisnis tidak lagi mungkin dilakukan. Jika pemimpin dipenjara karena keputusan yang memberikan manfaat tetapi berada dalam wilayah interpretasi berbeda, maka tidak ada ruang untuk
    inovasi
    . Dan jika setiap keputusan berani dapat dihadapkan pada ancaman pidana, maka akan jauh lebih aman untuk tidak mengambil keputusan sama sekali.
    Reaksi publik pun terbagi tajam. Aparat penegak hukum menyambut putusan sebagai aksi pemberantasan korupsi, sementara akademisi dan praktisi manajemen justru melihatnya sebagai sinyal berbahaya bagi iklim profesionalisme di
    BUMN
    .
    Salah satu suara paling keras datang dari Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, yang mengaku heran dan sedih. Menurutnya, keputusan akuisisi adalah aksi korporasi yang wajar dan strategis, bukan tindakan kriminal. Ia memperingatkan bahwa keputusan seperti ini akan membuat para profesional terbaik enggan kembali mengabdi pada negara.
    Bayangkan seorang diaspora Indonesia yang sudah sukses di New York diminta pulang untuk membenahi BUMN yang sedang sekarat, mengerahkan kemampuan terbaiknya, menghasilkan laba tertinggi sepanjang sejarah, tetapi kemudian dipenjara karena perbedaan tafsir nilai aset. Apakah setelah menyaksikan kasus seperti ini, masih ada orang yang mau kembali?
    Dampak kasus ini tidak berhenti pada satu tokoh. Ia berpotensi melumpuhkan keberanian para direksi dan pemimpin manajemen di BUMN. Jika setiap aksi transformasi berujung risiko penjara, maka pilihan paling aman adalah bersikap pasif, menjaga status quo, menghindari inovasi, dan membiarkan perusahaan berjalan tanpa arah.
    Akibatnya, BUMN kembali tenggelam dalam pola lama, yaitu bersifat birokratis, lamban, dan tanpa terobosan. Negara akan kehilangan kemampuan bersaing, dan masyarakat akan menjadi korban dari stagnasi itu.
    Kasus ini juga menguji sejauh mana hukum di Indonesia mampu menimbang keadilan substantif di atas keadilan prosedural. Keadilan tidak boleh hanya sebatas aturan hitam di atas putih, tetapi harus mempertimbangkan niat, dampak publik, dan konteks sosial. Kasus Ira adalah contoh nyata dari apa yang pernah digambarkan Lon L. Fuller dalam karyanya
    The Morality of Law
    (1964) sebagai benturan antara aturan hukum yang prosedural dengan moralitas kebijakan publik.
    Fuller mengingatkan bahwa hukum tidak boleh hanya benar secara tekstual dan prosedural, tetapi harus mengabdi pada tujuan moral dan rasionalitas publik. Jika seorang pengambil kebijakan bertindak dalam itikad baik, berlandaskan kepentingan umum dan prinsip tata kelola yang baik, memidana tindakan tersebut justru bertentangan dengan moralitas hukum itu sendiri.
    Dalam teori administrasi publik modern, Michael Lipsky (1980) menjelaskan bahwa kebijakan publik sering lahir di zona abu-abu, di tengah kondisi tekanan dan kompleksitas di mana kepatuhan mekanistik terhadap aturan tidak selalu menghasilkan keputusan yang paling baik bagi masyarakat. Para pengambil keputusan publik kerap menghadapi dilemma, memilih tindakan aman secara birokratis, atau mengambil keputusan berisiko demi menyelamatkan kepentingan publik yang lebih besar.
    Karena itu, perlu koreksi terhadap penggunaan hukum pidana yang terlalu mekanistik, sebagai penegasan bahwa hukum tidak boleh melukai akal sehat dan tujuan keadilan substantif. Jika manajemen profesional yang berintegritas dihukum tanpa bukti keuntungan pribadi, maka hukum kehilangan arah moralnya.
    Penegakan hukum anti korupsi memang mutlak penting, tetapi lebih penting lagi kemampuan untuk membedakan korupsi yang nyata dengan kegagalan atau risiko bisnis yang tidak memiliki motif kriminal. Tanpa perbedaan itu, kita mengorbankan esensi pembangunan nasional dan menakut-nakuti para pembawa perubahan.
    Kasus Ira Puspadewi kini telah menjadi metafora perjalanan bangsa. Apakah Indonesia ingin membangun BUMN progresif yang berani mengambil risiko demi kepentingan nasional, atau memilih untuk mengekang transformasi dan memerangkap mereka yang berniat baik? Apakah negara ingin pemimpin visioner yang berlari cepat, atau birokrat penakut yang hanya menjaga keamanan jabatan?
    Peristiwa ini mengajukan pertanyaan paling penting yang harus dijawab bersama: Apakah kita siap kehilangan orang-orang terbaik yang masih berani memperbaiki negeri ini? Jika aksi korporasi dipidana dan inovasi dibalas dengan penjara, maka masa depan BUMN hanya akan berisi ketakutan, bukan keberanian. Dan di titik itu, bangsa ini bukan hanya menghukum seorang individu, tetapi menghukum dirinya sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.