Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut Kejaksaan Agung (
Kejagung
) harus memiliki bukti yang bisa menunjukkan adanya gangguan terhadap proses penegakan hukum karena menggunakan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menjerat Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB).
Sebab, dalam pandangannya, pengunaan
Pasal 21 UU Tipikor
tentang
perintangan penyidikan
atau
obstruction of justice
, kurang tepat.
“Yang menjadi perdebatan adalah apakah ketika seorang tersangka itu berusaha untuk memengaruhi pendapat publik dengan melakukan upaya-upaya untuk menyebarkan informasi kasus yang sedang dialaminya, itu kemudian bisa berujung pada
obstruction of justice
? Saya lihat belum tentu,” kata Zaenur kepada
Kompas.com
, Rabu (23/4/2025).
Bahkan, menurut Zaenur, belum tentu Pasal 21 UU Tipikor tepat dipakai jika ada tersangka menggunakan uangnya untuk membuat media memuat berita dengan tujuan menguntungkan dirinya dan mendeskriditkan proses penegakan hukum.
Pasalnya, Zaenur mengatakan, perbuatan bisa dikatakan
obstruction of justice
jika disengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penegakan hukum di tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan.
“Saya masih bertanya-tanya, apakah kalau sebuah berita negatif itu bisa berdampak misalnya, pada gagalnya atau terganggungnya, atau tercegahnya upaya penyidikan itu hingga tuntas? Saya melihat ini masih
debatable
ya. Saya melihat ini kok agak jauh ketika yang seperti ini kemudian dijerat menggunakan (pasal)
obstruction of justice
,” ujarnya.
Zanur lantas mencontohkan kasus yang mungkin bisa dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor, yakni jika seorang tersangka membayar media atau jurnalis untuk terus menerus menyudutkan seorang saksi. Padahal, sanksi itu merupakan saksi yang memberatkan untuk tersangka.
Kemudian, akibat pemberitaan masif tersebut, saksi yang memberatkan itu menjadi enggan bahkan takut untuk memberikan kesaksian.
“Sehingga, saksi itu menjadi tidak kooperatif dan kemudian penyidik mengalami hambatan karena saksinya dibunuh karakternya oleh media dengan sedemikian rupa hasil bayaran oleh tersangka. Menurut saya, mungkin itu bisa masuk pada
obstruction of justice
,” katanya.
“Untuk kasus ini, saya katakan, kecuali kejaksaan punya bukti yang menunjukkan adanya gangguan terhadap aspek penegakan hukumnya melalui jalur pemberitaan,” ujar Zaenur.
“Seharusnya kan yang menjadi poin
obstruction of justice
adalah merusak alat bukti, kemudian membantu melarikan diri, membantu merusak alat bukti. Tapi, kalau membangun opini media dengan cara membeli awak media atau pejabat media, menurut saya itu belum tentu merupakan
obstruction of justice
,” katanya lagi.
Menurut Zaenur, penting bagi Kejagung memperlihatkan bukti tersebut karena bukan hanya mengacam kebebasan pers tetapi juga kebebasan berpendapat.
“Nanti bagaimana dengan kritik yang bersifat murni terhadap penegakan hukum. Bagaimana dengan gugatan-gugatan para pakar, para ahli, atau LSM terhadap proses penegakan hukum yang misalnya dipertanyakan. Berisiko kalau Pasal 21 itu tidak digunakan dengan ketat,” ujarnya.
Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, ”
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
”.
Sebagaimana diberitakan, Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB) disangkakan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah undang-undang nomor 21 tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar menyebut, Tian diduga membuat berita-berita berdasarkan pesanan dari Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) selaku advokat para tersangka maupun terdakwa kasus-kasus yang diusut oleh Kejagung.
“Tersangka MS dan JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara
a quo
, baik di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan,” ujar Qohar di Kantor Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.
Untuk hal itu, Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 yang masuk kantong pribadi setelah memuat konten-konten negatif terkait Kejagung. Perbuatan Tian itu dilakukan tanpa sepengetahuan jajaran JAK TV.
“Sementara yang saat ini prosesnya sedang berlangsung di pengadilan dengan biaya sebesar Rp 478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” kata Qohar.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa perbuatan pidana yang disangkakan kepada Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar, murni merupakan tindakan pribadi yang tidak berkaitan dengan aktivitas jurnalistik maupun institusi media tempatnya bekerja.
“Perbuatan yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan itu adalah perbuatan personal, yang tidak terkait dengan media. Itu tegas,” ujar Harli di Kejagung Jakarta, Selasa.
Harli juga menegaskan bahwa yang menjadi perhatian Kejagung bukan soal pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.
“Yang dipersoalkan oleh Kejaksaan bukan soal pemberitaan, karena kita tidak anti kritik,” kata Harli.
“Tetapi yang dipersoalkan adalah tindak pidana permupatatan jahatnya antar pihak-pihak ini, sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Harli memastikan bahwa Kejagung menghormati otoritas Dewan Pers dalam menilai dan menangani persoalan etik atau dugaan pelanggaran dalam karya jurnalistik.
“Ada rekayasa disitu, dan setelah mendapat penjelasan-penjelasan itu tentu terkait dengan penegakan hukum, Dewan Pers sangat menghormati itu,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2023/12/12/65786bf7ced74.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu Nasional 23 April 2025
-

PPATK: Aliran Dana Dugaan Korupsi Capai Rp984 Triliun, Tertinggi Sepanjang Sejarah!
Bisnis.com, JAKARTA — Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatatkan total transaksi aliran dana pada kasus dugaan tindak pidana korupsi selama 2024 mencapai Rp984 triliun.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana membeberkan bahwa besaran aliran dana itu menjadi nilai terbesar dalam nominal transaksi dugaan tindak pidana.
Hal itu disampaikannya dalam acara Peringatan Gerakan nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) ke-23, Kamis (17/4/2025).
“Nominal transaksi terkait dugaan tindak pidana korupsi memiliki nilai terbesar dengan total nominal transaksi sebesar Rp984 triliun,” katanya dikutip melalui siaran pers, Rabu (23/4/2025).
Selain besaran kasus dugaan tindak pidana korupsi, disebutkan juga selama 2024 dugaan tindak pidana di bidang perpajakan sebesar Rp301 triliun, perjudian sebesar Rp68 triliun dan narkotika sebesar Rp68 triliun.
Dengan demikian totalnya mencapai Rp1.459 triliun.
“Selama periode Januari sampai dengan Desember diketahui bahwa nominal transaksi yang diidentifikasi transaksi dugaan tindak pidana sebesar Rp1.459 triliun,” ujar Ivan.
Dalam kesempatan itu, dia juga diakui bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan PPATK sudah lama menjalin kerja sama lintas sektor sejak lama.
“Dukungan hasil analisis dan hasil pemeriksaan PPATK sangat membantu KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi hingga akarnya, tutur Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam keterangan yang sama.
-

Idrus Marham Divonis Tiga Tahun Penjara Imbas Korupsi dalam Memori Hari Ini, 23 April 2019
JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 23 April 2019, mantan Menteri Sosial (Mensos), Idrus Marham divonis hukuman penjara tiga tahun. Idrus dianggap sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama.
Sebelumnya, Idrus tersandung dengan kasus dugaan suap proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt, PLTU Riau-1 di Provinsi Riau. Kasus itu membawa kehebohan. Ia lalu mundur dari jabatannya sebagai Mensos. Kemudian, Idrus ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus korupsi elite politik kerap menghiasi pemberitaan di media massa. Berita itu membuat nada pesimisme negara peduli dengan hajat hidup orang banyak. Kasus korupsi bahkan bukan cuma dilakukan kalangan bawah. Namun, sekelas petinggi parpol dan menteri melakukannya.
Ambil contoh dalam kiprah petinggi Golkar, Idrus Marham. Idrus mulanya dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Mensos pada Januari 2018. Harapannya, Idrus mampu meningkat hajat hidup rakyat Indonesia.
Belakangan borok masa lalu Idrus muncul. Idrus tersandung kasus korupsi. Idrus dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Golkar diduga telah menerima hadiah atau janji dari dari Johannes Budisutrisno Kotjo pada 2017.
Budi sendiri merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited yang notabene akan mendapat mandat membangun PLTU Riau-1. Berita keterlibatan Idrus yang memuluskan penunjukkan mandat mengemuka.
Keterlibatan itu ditemukan KPK dari sejumlah fakta baru: saksi, surat, dan pentunjuk. Idrus sendiri mencium aroma dirinya bakal ditangkap KPK. Kondisi itu membuatnya segera mengundurkan diri dari jabatan Mensos pada 24 Agustus 2018.
Malam harinya giliran KPK yang menetapkan Idrus sebagai tersangka korupsi. Ia resmi jadi tahanan KPK pada 31 Agustus 2018. Penetapan itu membuat heboh seisi Indonesia. Idrus dianggap menteri pertama dari kabinet kerja yang jadi tersangka korupsi.
“Pengumuman Idrus itu lebih cepat dibanding KPK, yang menyatakan dia menjadi tersangka pada malam harinya. KPK menduga Idrus telah menerima janji duit 1,5 juta dolar AS dari pemilik BlackGold Asia Resources Pte Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo, jika membantu perusahaannya mendapat proyek PLTU Riau-1 senilai 900 juta dolar AS.”
“Saat itu, ia pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar. Kasus ini membelit orang dekat Idrus, Eni Maulani Saragih, yang juga politikus partai beringin,” ungkap Hussein Abri Dongoran dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Mantan Menteri Sosial, Idrus Marham: Saya Tidak Terima Uang (2018).
Idrus Marham yang pernah menjabat sebagai Mensos era 17 Januari 2018-24 Agustus 2018 usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. (ANTARA)
Kasus Idrus pun segera diadili ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Perjalanan sidang pun akhirnya mencapai puncak pada 23 April 2019. Majelis hakim lalu memutuskan Idrus bersalah secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Untuk itu, Idrus lalu divonis dengan hukuman tiga tahun penjara. Keputusan itu membuat Idrus pikir-pikir kembali untuk mengajukan banding. Kondisi itu karena hukuman yang diterimanya tak relatif besar hanya tiga tahun saja.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Idrus Marham dengan pidana penjara selama tiga tahun dan pidana denda sebesar Rp150 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan,” isi putusan Idrus sebagaimana dikutip laman BBC Indonesia, 23 April 2019.
-

Fantastis, Transaksi Aliran Dana Kasus Dugaan Korupsi selama 2024 Capai Rp984 Triliun
loading…
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyebut transaksi aliran dana kasus dugaan korupsi selama 2024 mencapai Rp984 triliun
JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ) mengungkap aliran dana kasus dugaan korupsi pada 2024 yang nilainnya mencapai Rp984 triliun. Data tersebut merupakan hasil dari National Risk Assesment (NRA).
“Jumlahnya mencapai Rp 984 triliun. Negara harus fokus memberantas tindak pidana korupsi,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, dikutip Rabu (23/4/2025).
Ivan menyebut, PPATK juga mengidentifikasi transaksi dugaan tindak pidana sebesar Rp1.459 triliun. Selain kasus dugaan korupsi, kata Ivan, perbuatan hukum di bidang perpajakan juga nominalnya cukup besar yakni Rp301 triliun, judi senilai Rp68 triliun, dan narkotika Rp9,75 triliun.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menyebut, hasil analisis PPTK sangat membantu KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dia menambahkan, hasil tersebut merupakan kolaborasi antara lembaganya dengan PPATK yang sudah terjalin sejak lama.
“Hasil analisis dan pemeriksaan PPATK sangat membantu KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya,” ucapnya.
(cip)
-

3 Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Dituntut 9-12 Tahun, Mengapa Tuntutan Heru Hanindyo Paling Tinggi? – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, menggelar sidang tuntutan untuk tiga terdakwa hakim non aktif PN Surabaya Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo dalam perkara vonis bebas Ronald Tannur, Selasa (22/4/2025)
Dalam surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum, menuntut tiga terdakwa dengan hukuman penjara berbeda-beda.
Terdakwa Erintuah Damanik dan Mangapul dituntut 9 tahun penjara serta denda sebesar Rp 750 juta.
Sementara itu untuk terdakwa Heru Hanindyo dituntut dengan hukuman paling berat penjara selama 12 tahun. Serta denda sebesar Rp 750 juta dalam perkara tersebut.
Dalam surat tuntutannya, jaksa menyatakan perbuatan para terdakwa telah mencederai kepercayaan masyarakat khususnya terhadap institusi lembaga peradilan.
Sementara itu khusus untuk terdakwa Heru Hanindyo, jaksa menilai terdakwa tidak bersikap kooperatif dan tidak mengakui perbuatannya.
Hal itu memperberat tuntutan hukuman untuk terdakwa Heru Hanindyo.
Adapun untuk hal-hal yang meringankan para terdakwa belum pernah dihukum.
Jaksa dalam tuntutannya meyakini ketiga terdakwa melanggar Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sidang selanjutnya bakal digelar Selasa (20/4/2025) agenda pembelaan dari pada terdakwa dan kuasa hukumnya.
Ditemui setelah persidangan, kuasa hukum Erintuah Damanik dan Mangapul, Philipus Harapanta Sitepu sejatinya menginginkan kliennya mendapatkan hukuman paling ringan.
Hal itu lantaran kedua kliennya menjadi justice collaborator dalam perkara tersebut.
“Sebagai pembela tentu kami berharap pidana minimal. Pidana minimal tadi disebutkan kan pasal 6 ayat 2, pidana minimalnya itu adalah 3 tahun,” kata Philipus kepada awak media setelah persidangan.
Sementara itu kuasa hukum Heru Hanindiyo, Farih Romdoni mempertanyakan kliennya mendapatkan tuntutan penjara paling lama.
Padahal kata Farih, kliennya tidak pernah menerima uang secara langsung dari Lisa Rachmat dan Erintuah.
“Kami nanti dalam pledoi akan menunjukkan bukti bagi-bagi itu tidak pernah ada. Karena Pak Heru tidak pernah di lokasi pada saat diduga bagi-bagi uang tersebut,” jelas Farih.
Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Dalam sidang tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.
Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.
Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.
“Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.
Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.
Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.
Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.
“Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.
Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.
“Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.
Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-

Dewan Pers Akan Analisis Berita Direktur JakTV yang Diduga Menyudutkan Kejagung
PIKIRAN RAKYAT – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menegaskan pihaknya akan mengumpulkan dan menelaah sejumlah berita yang dipublikasikan Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar (TB), yang menurut Kejaksaan Agung diduga digunakan untuk melakukan permufakatan jahat. Langkah tersebut disampaikan Ninik Rahayu usai pertemuan dengan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa, 22 April 2025.
Menurutnya, Dewan Pers akan menilai secara cermat apakah berita-berita yang disebutkan memenuhi standar kode etik jurnalistik, baik dari segi substansi maupun prosedur penulisan. Sebelumnya, Kejagung menetapkan Tian Bahtiar (TB) sebagai tersangka kasus dugaan perintangan penyidikan dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) dan tata niaga komoditas timah.
“Berita-berita itulah yang nanti akan kami nilai apakah secara substansial atau secara prosedural itu menggunakan parameter kode etik jurnalistik atau bukan,” kata Ninik dalam konferensi pers di kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa, 22 April 2025.
Dewan Pers tidak hanya akan melakukan analisis berita, namun juga membuka peluang untuk memanggil pihak-pihak terkait sebagai bagian dari proses klarifikasi dan verifikasi.
“Kami ingin memastikan terlebih dahulu. Jadi, dalam konteks pemeriksaan itu bisa jadi nanti kami memanggil para pihak,” ucap Ninik.
Dua Advokat dan Direktur Pemberitaan JakTv Tersangka
Kejagung menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan obstruction of justice atau perintangan penyidikan. Tiga tersangka adalah Marcella Santoso (MS) dan Junaidi Saibih (JS) selaku advokat serta Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar (TB).
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengungkapkan ketiga tersangka diduga telah melakukan permufakatan jahat untuk merintangi penyidikan, penuntutan, dan persidangan atas kasus korupsi yang sedang ditangani. Ia menyebut, penyidik telah menyita dokumen, barang bukti elektronik seperti ponsel maupun laptop yang diduga digunakan sebagai alat untuk melakukan perintangan penyidikan.
“Penyidik Jampidsus Kejagung mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan tiga tersangka,” kata Abdul Qohar dalam konferensi pers, Selasa, 22 April 2025, dini hari.
Bagaimana Modus Obstruction of Justice?
Penyidik menemukan bukti bahwa Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS), dan Tian Bahtiar (TB) mengoordinasikan pembuatan serta penyebaran konten-konten negatif yang menyudutkan Kejagung. Adapun Tian menerima Rp478,5 juta dari dua advokat tersebut.
“Dengan biaya sebesar Rp478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” ucap Abdul Qohar.
Abdul Qohar menjelaskan, Marcella Santoso (MS) dan Junaidi Saibih (JS) membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast, dan talkshow di beberapa media online, dengan mengarahkan narasi-narasi negatif dalam pemberitaan untuk mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan.
“Kemudian diliput oleh tersangka TB dan menyiarkannya melalui Jak Tv dan akun-akun official Jak Tv, termasuk di media TikTok dan YouTube,” tutur Abdul Qohar.
Lebih lanjut, Abdul Qohar menyebut, Marcella Santoso (MS) dan Junaidi Saibih (JS) Juga membiayai demonstrasi untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di persidangan. Lalu, Tian mempublikasikan narasi-narasi demonstrasi tersebut secara negatif.
“Kemudian, tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya yaitu MS dan JS, kemudian membuat metodolgi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan,” ucap Abdul Qohar.
Abdul Qohar menuturkan, tindakan Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS), dan Tian Bahtiar (TB) bertujuan membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan maupun Jampidsus dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah maupun tata niaga gula saat penyidikan maupun di persidangan yang saat ini sedang berlangsung.
“Sehingga kejaksaan dinilai negatif masyarakat, dan perkaranya tidak dilanjuti, atau tidak terbukti di persidangan,” kata Abdul Qohar.
“Jadi tujuan mereka jelas dengan membentuk opini negatif, seolah yang ditangani penyidik tidak benar, mengganggu konsentrasi penyidik. Sehingga diharapkan, atau harapan mereka perkaranya dapat dibebaskan atau minimal mengganggu konsentrasi penyidikan,” ucapnya menambahkan.
Selain itu, lanjut Abdul Qohar, para tersangka juga melakukan perbuatan menghapus beberapa berita, beberapa tulisan yang ada di barang bukti elektronik mereka. Barang bukti tersebut sudah disita penyidik.
“Sehingga dapat disampaikan bahwa terhadap beberapa hal yang dilakukan tadi, maka termasuk unsur sengaja merusak bukti dalam perkara korupsi. Kedua juga masuk orang yang memberikan informasi palsu atau informasi yang tidak benar selama proses penyidikan,” ujarnya.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Junaedi Saibih ditahan selama 20 hari ke terhitung mulai hari ini di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Kemudian, Tian ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung.
“Sedangkan tersangka MS tidak dilakukan penahanan karena yang bersangkutan sudah ditahan dalam perkara lain,” kata Abdul Qohar.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-

Sosok Junaedi Saibih, Advokat Jadi Tersangka Kasus Perintangan Penyidikan, Pernah Bela Rafael Alun – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM – Kejaksaan Agung atau Kejagung menetapkan advokat Junaedi Saibih sebagai tersangka atas dugaan merintangi penyidikan dan penuntutan atau obstruction of justice tiga perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Junaedi Saibih diduga merintangi mulai dari perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) dengan terdakwa tiga korporasi, tata kelola komoditas timah, dan perkara importasi gula yang melibatkan eks Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Selain Junaedi Saibih, Kejagung juga menetapkan advokat lainnya yaitu Marcella Santoso dan Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar dalam kasus serupa.
Sosok Junaedi Saibih
SOSOK JUNAEDI SAIBIH – Junaedi Saibih saat menjadi Pengacara Baiquni Wibowo dan Arif Rachman Arifin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (27/2/2023). (Tribunnews.com/Ibriza)
Junaedi Saibih adalah seorang pengacara yang beberapa kali menangani kasus besar.
Di antaranya dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) pembunuhan berencana Brigadir Yosua.
Saat itu, Junaedi Saibih menjadi pengacara eks anak buah Ferdy Sambo yaitu Baiquni Wibowo dan Arif Rachman Arifin.
Kemudian, Junaedi Saibih juga pernah membela Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Saat itu, Rafael Alun terjerat kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Selain membela Rafael Alun, Junaedi Saibih juga membela Harvey Moeis yang terjerat kasus korupsi pengelolaan timah.
Mengutip dari situs resminya, pengacara dengan gelar Dr Junaedi Saibih SH MSI LL.M ini biasa disapa Bang Juned.
Ia adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pembinaan Lingkungan Kampus (PLK) Universitas Indonesia (UI) dan Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Mitra Justitia.
Junaedi Saibih juga dikenal sebagai staf pengajar di Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum UI sejak tahun 2002.
Ia meraih gelar Sarjana Hukum dan Magister Sains dalam bidang Kajian Eropa Bidang Kekhususan Hukum Eropa dari (UI).
Sementara gelar Magister Hukum (LLM) didapat Junaedi Saibih dari Universitas Canberra dengan beasiswa Australian Development Scholarship Awards.
Selanjutnya ia meneruskan pendidikan tingkat Doktor Ilmu Hukum di Universitas Canberra dan menempuh Program Doktor pada Pasca Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Pada 2023, Junaedi Saibih lulus dengan predicate summa cum laude.
Jadi Tersangka
Kini, Junaedi Saibih ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama dengan Marcella Santoso. Keduanya disebut membiayai demonstrasi untuk menggagalkan penyidikan sejumlah kasus.
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan, upaya perintangan tersebut diduga mereka lakukan dalam penyidikan kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015-2022.
Tak hanya kasus itu, mereka juga disebut terlibat merintangi penyidikan perkara importasi gula yang menjerat eks Mendag Tom Lembong.
“Tersangka MS dan JS membiayai demonstrasi-demonstrasi dalam upaya untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara a quo di persidangan,” kata Qohar, dalam konferensi pers, Selasa (22/4/2025).
Abdul Qohar juga menyebut, Marcella dan Junaedi membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast, dan talk show mengenai kasus-kasus tersebut di beberapa media online.
Kegiatan-kegiatan itu diduga untuk menarasikan secara negatif dalam pemberitaan guna mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan.
“Kemudian diliput oleh tersangka TB dan menyiarkannya melalui JakTV dan akun-akun official JakTV, termasuk di media Tik Tok dan YouTube,” jelasnya.
Konten-konten negatif tersebut, menurut Qohar, merupakan pesanan langsung dari Marcella dan Junaedi kepada Tian Bahtiar.
“Tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya, yaitu MS dan JS.”
“Kemudian membuat metodologi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan,” ucapnya.
Selain itu, keduanya juga sempat memberikan keterangan tidak benar atau palsu saat diinterogasi oleh penyidik.
Keterangan itu, kata Qohar, berkaitan dengan draft putusan kasus ekspor CPO yang dimana kedua tersangka merupakan kuasa hukum dari tiga terdakwa korporasi.
Bahkan penyidik Kejagung juga beranggapan, Junaedi dan Marcella telah melakukan perusakan terhadap barang bukti dalam perkara tindak pidana korupsi.
“Keduanya juga termasuk orang yang memberikan informasi palsu atau informasi yang tidak benar selama proses penyidikan,” katanya.
(Tribunnews.com/Sri Juliati/Ibriza Fasti Ifhami/Fahmi Ramadhan)
-
/data/photo/2025/04/22/68074416427ec.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Jurnalis TV Pertanyakan “Berita Negatif” yang Dasari Perkara Direktur JAKTV Nasional 22 April 2025
Jurnalis TV Pertanyakan “Berita Negatif” yang Dasari Perkara Direktur JAKTV
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ikatan
Jurnalis
Televisi Indonesia (
IJTI
) mempertanyakan penjelasan Kejaksaan Agung (
Kejagung
) soal “berita negatif” sebagai dasar penersangkaan Direktur
Pemberitaan
JAKTV, Tian Bahtiar.
“IJTI mempertanyakan penetapan tersangka terhadap insan
pers
jika dasar utamanya adalah aktivitas
pemberitaan
atau konten jurnalistik, khususnya yang dikategorikan sebagai ‘berita negatif’ yang merintangi penyidikan terkait penanganan perkara oleh Kejaksaan,” tulis Pengurus Pusat IJTI dalam siaran persnya, Selasa (22/4/2025).
IJTI mendukujng pemberantasan korupsi, termasuk pengungkapan dugaan suap terhadap Tian Bahtiar senilai Rp 478 juta. Namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah penersangkaan
jurnalis
didasarkan pada “berita negatif” yang dibikin oleh yang bersangkutan.
“Menyampaikan informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang,” tulis IJTI.
Berita merupakan produk jurnalistik. Maka sudah seharusnya perkara ini dikoordinasikan dengan Dewan
Pers
karena demikianlah mekanisme yang diatur di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Penilaian atau suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers,” tulis IJTI.
IJTI khawatir penersangkaan jurnalis karena si jurnalis membuat “berita negatif” menjadi preseden berbahaya terkait memburuknya kemerdekaan pers di Indonesia.
“Pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi,” kata IJTI.
IJTI mendukung pengungkapan dugaan aliran suap perkara tersebut. IJTI juga mengingatkan agar penanganan kasus seperti ini juga harus melibatkan Dewan Pers sejak awal, bukan langsung menggunakan proses pidana.
“Kami menyerukan kepada seluruh insan pers untuk tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik serta menjaga independensi dalam menjalankan tugas. Di saat yang sama, kami meminta aparat penegak hukum untuk menghormati kemerdekaan pers dan tidak menggunakan pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik,” kata IJTI.
Istilah “berita negatif” dalam penjelasan Kejagung
Tian Bahtiar alias TB yang merupakan Direktur Pemberitaan JAKTV menjadi tersangka, bersama pula pengacara Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS). Mereka semua disangkakan dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Dini hari tadi, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menjelaskan bahwa tersangka MS dan JS yang merupakan pengacara meminta Tian Bahtiar untuk memproduksi berita yang disebut Abdul Qohar bersifat “negatif” alias merugikan citra Kejagung.
“Tersangka MS dan tersangka JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait penanganan perkara aquo, baik ketika di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan,” kata Abdul Qohar.
Kejagung merasa berita-berita negatif tersebut telah membentuk persepsi masyarakat yang tidak baik terhadap Kejagung. Mereka sedang mengusut kasus korupsi timah dan korupsi impor gula dengan tersangka Tom Lembong.
“Tindakan yang dilakukan oleh tersangka MS, tersangka JS, dan tersangka TB dimaksudkan bertujuan membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan maupun Jampidsus dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah maupun tindak pidana korupsi tata niaga gula, baik di penyidikan maupun di persidangan yang saat ini sedang berlangsung, sehingga Kejaksaan dinilai negatif oleh masyarakat, dan perkaranya tidak ditindaklanjuti ataupun tidak terbukti di persidangan,” tutur Abdul Qohar.
Sore harinya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Harli Siregar tampil dalam konferensi pers setelah mengadakan pertemuan dengan Dewan Pers. Harli menjelaskan bahwa perkara Tian Bahtiar merupakan perbuatan pribadi Tian.
Harli menegaskan bahwa yang menjadi perhatian Kejaksaan bukanlah soal pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.
“Yang dipersoalkan oleh Kejaksaan bukan soal pemberitaan, karena kita tidak anti kritik,” kata Harli di Kejagung, tadi.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan pihaknyalah yang mengurusi etik jurnalistik.
“Saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan dan masing-masing menjalankan tugasnya, sebagaimana mandat yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kami,” kata Ninik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

