Tak Hanya Ira Puspadewi, Prabowo Juga Rehabilitasi 2 Mantan Direksi ASDP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi terhadap mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi.
Sebelumnya,
Ira Puspadewi
divonis 4,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
Pemberian rehabilitasi tersebut disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Lantas, bagaimana dengan dua terdakwa lain yang juga divonis bersalah dalam kasus korupsi tersebut?
Diketahui, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT
ASDP
Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono juga divonis dalam kasus yang sama.
Keduanya dijatuhi hukuman masing-masing empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan, Presiden
Prabowo
memberikan rehabilitasi tidak hanya terhadap Ira Puspadewi, tetapi juga kepada dua terdakwa lainnya yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono.
“Bapak Presiden memberikan keputusan untuk memberikan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan. Kasus ini sebenarnya berjalan sudah cukup lama menimpa kepada Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP, atas nama saudara Ira Puspa Dewi, saudara Muhammad Yusuf Hadi, dan saudara Harry Muhammad Adhi Caksono,” kata Prasetyo.
“Berdasarkan permohonan dari Kementerian Hukum, bapak Presiden memberikan persetujuan dan Alhamdullilah baru pada sore hari ini beliau membubuhkan tanda tangan,” ujarnya melanjutkan.
Menurut Prasetyo, keputusan rehabilitasi ini selanjutnya akan diproses sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kesempatan itu, Prasetyo menjelaskan bahwa pemberian rehabilitasi tersebut berawal dari aspirasi masyarakat yang diterima DPR.
Kemudian, dikaji oleh DPR dan hasilnya disampaikan ke Kementerian Hukum (Kemenkum).
“Segala sesuatu yang berkenaan dengan kasus-kasus yang terjadi, dan itu ada jumlahnya banyak sekali, yang dalam prosesnya dilakukan pengkajian dilakukan telaah dari berbagai sisi, termasuk pakar hukum yang kemudian atas surat usulan dari permohonan dari DPR yang kemudian ditindaklanjuti dalam satu minggu ini oleh Menteri Hukum,” katanya.
Selanjutnya, Prasetyo mengatakan, pemerintah bersurat kepada Presiden Prabowo Subianto agar menggunakan hak rehabilitasi untuk Ira Puspadewi, serta dua pejabat ASDP lainnya, yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi.
Setelah itu, permohonan pemberian rehabilitasi kepada Ira Puspadewi ini dibawa ke dalam rapat terbatas (ratas) bersama Prabowo.
Hingga akhirnya, Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa lainnya.
Sebagaimana diberitakan Ira Puspadewi dijatuhi 4,5 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Sunoto saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 20 November 2025.
Eks Dirut ASDP
disebut telah melanggar dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
Menariknya, dalam putusannya, hakim menyatakan Ira tidak menerima uang hasil perbuatan korupsinya.
Namun, dia tetap dinyatakan terbukti bersalah karena karena telah memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu pemilik PT JN, Adjie sebesar Rp 1,25 triliun dari proses akusisi PT JN oleh ASDP.
“Perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP,” ujar Hakim Anggota Nur Sari Baktiana.
Dua pejabat ASDP lainnya juga menerima vonis dengan kasus serupa. Mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing dijatuhi hukuman penjara empat tahun dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2025/07/24/6881ddfc48a70.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tak Hanya Ira Puspadewi, Prabowo Juga Rehabilitasi 2 Mantan Direksi ASDP Nasional 25 November 2025
-

Prabowo Rehabilitasi Tiga Mantan Direksi ASDP
Jakarta (beritajatim.com) — Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yakni Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Ketiganya terjerat perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan, keputusan Prabowo itu merupakan hasil dari rangkaian kajian yang dilakukan pemerintah setelah menerima banyak aspirasi masyarakat terkait proses hukum yang berjalan sejak Juli 2024.
Menurutnya, baik DPR RI maupun pemerintah mendapatkan banyak masukan mengenai keberlanjatan kasus tersebut, sehingga diperlukan pendalaman secara menyeluruh. Dalam prosesnya, Kementerian Hukum lantas melakukan banyak kajian dan penelaahan.
“Termasuk meminta masukan dari para pakar hukum,” kata Prasetyo didampingi Wakil Ketua DPRI RI Sufmi Dasco Ahmad didampingi Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Istana Negara, Selasa (25/11/2025).
Praseto menambahkan, setelah menerima surat usulan dari DPR RI, Kementerian Hukum lantas menindaklanjuti dengan memberikan rekomendasi kepada Prabowo agar menggunakan hak rehabilitasi. Dan dalam rapat terbatas, Prabowo mengambil keputusan untuk membubuhi surat rehabilitasi tersebut.
“Berdasarkan permohonan dari Kementerian Hukum dan memberikan persetujuan, alhamdulillah sore ini beliau membubuhkan tanda tangan. Kami bertiga diminta menyampaikan ke publik untuk selanjutnya supaya kita proses sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Prasetyo.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyebut, keputusan Prabowo ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terdampak proses penyidikan sejak tahun 2024.
Dasco juga menegaskan bahwa jalur konstitusional telah ditempuh sepenuhnya melalui mekanisme aspirasi publik, kajian DPR, hingga pembahasan lintas kementerian.
“DPR RI menerima berbagai aspirasi dari masyarakat, kelompok masyarakat, kami kemudian meminta kepada Komisi Hukum (DPR) untuk melakukan kajian terhadap perkara yang mulai dilakukan penyelidikan sejak Juli 2024. Hasil kajian hukum itu kemudian kami sampaikan kepada pemerintah terhadap perkara No 68 Pidsus PPK 2025 PN Jakpus (Jakarta Pusat),” ujar Dasco.
Dengan telah diterbitkannya surat rehabilitasi tersebut, pemerintah menyatakan proses selanjutnya dijalankan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menjatuhkan putusan dalam perkara tindak pidana korupsi terhadap tiga mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Ketiganya adalah mantan Direktur Utama Ira Puspadewi; mantan Direktur Komersial Muhammad Yusuf Hadi; mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono.
Ketiganya terjerat kasus korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara periode 2019-2022 yang disinyalir merugikan keuangan negara senilai Rp1,25 triliun.
Ira Puspadewi dijerat pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan; Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono masing-masing dijerat empat tahun. (hen/but)
-

Sidang Dugaan Korupsi Ngawi, Keterangan Saksi Ahli Dinilai Janggal
Surabaya (beritajatim.com) – Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi kembali dilanjut di Pengadilan Tipikor Surabaya. Dua orang didudukkan sebagai Terdakwa dalam kasus ini yakni anggota DPRD Ngawi Winarto dan juga notaris Nafiaturrohmah.
Sidang yang dipimpin hakim Irlina ini mengagendakan keterangan ahli perdata dari UGM yakni Dr Taufiq El Rahman SH, MHum. Sayangnya ahli tidak bisa datang karena sakit sehingga keterangannya dibacakan oleh JPU dalam persidangan.
Dengan dibacakannya keterangan ahli ini diklaim oleh kuasa hukum Terdakwa Nafiaturrohmah penuh kejanggalan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Reza Prasetya SH dinilai memaksakan diri membawa kasus ini ke persidangan.
Hal itu disampaikan tim kuasa hukum Terdakwa Nafiaturrohmah yakni Heru Nugroho SH MH, Sugihartono SH dan Dwi Priyono SH MH.
Usai sidang Heru menyampaikan, dari awal penetapan tersangka terhadap kliennya yang kemudian dilakukan penahanan pihaknya sudah melakukan upaya hukum praperadilan, namun praperadilan yang diajukan tidak diterima karena Jaksa sudah melimpkahkan pokok perkara ke Pengadilan.
Heru menambahkan, dalam menangani perkara yang menjerat kliennya. Banyak hukum acara yang dilanggar Jaksa Penuntut Umum (JPU) diantaranya adalah surat ijin dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN).
“Karena klien kami yakni Terdakwa Nafiaturrohmah ini adalah seorang notaris, sesuai dalam UU Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014 pasal 66 jelas diatur bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib mendapatkan persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN),” ujarnya.
Kejanggalan kedua lanjut Heru adalah tentang berkas perkara dalam perkara ini dipisah (splitsing) yakni Terdakwa Nafiaturrohmah dan Winarto.
“Tidak ada larangan pemisahan berkas (splitsing), tapi dalam perkara ini pemeriksaan saksi-saksi tidak dilakukan yang seharusnya karena hanya mengkopi paste dari berkas Winarto ke berkas Nafiaturrohmah. Padahal dalam hukum acara pidana kan tidak boleh seperti itu,” ujarnya.
Pun demikian dengan keterangan saksi yang mengaudit kerugian negara. Dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 25 tahun tahun 2016 bahwa kerugian negara itu harus nyata.
“Minggu kemarin JPU menghadirkan saksi dari auditor Ngawi, kami tanya apakah juga melakukan audit untuk terdakwa Nafiaturrohmah? Saksi tersebut mengatakan bahwa dia tidak mengaudit untuk terdakwa Nafiaturrohmah namun hanya mengaudit untuk terdakwa Winarto,” ujarnya.
Heru menyayangkan sikap JPU yang menabrak hukum acara sesuai aturan yang ada dan lebih prihatin lagi hal itu juga diakomodir oleh pengadilan Tipikor Surabaya yang melanjutkan perkara sampai saat ini.
“Karena ini adalah perkara pidana maka harusnya hukum acara ditegakkan, klien kami sudah direnggut kemerdekaannya dengan dilakukan penahanan sejak Juli 2025, ujarnya.
Terkait ahli yang didatangkan JPU juga semuanya tidak hadir ada yang melalui zoom dan ada yang hanya dibacakan, sehingga pihak Terdakwa tidak bisa menggali lebih jauh dengan apa yang diterangkan ahli.
“Waktu ahli yang diambil keterangannya melalui zoom, kami masih bisa bertanya. Contohnya kami tanyakan soal audit, apakah audit bisa dipakai terdakwa 1 kemudian dipakai terdakwa 2. Ahli menjawab tidak bisa, tapi ketika ditanya majelis hakim ahli menjawab bisa, ini kan tidak konsisten,” ujarnya.
Untuk persidangan hari ini di Pengadilan Tipikor, JPU Reza Prasetya SH mendatangkan ahli perdata dari UGM Dr Taufiq El Rahman SH, MHum. Ahli tidak bisa datang karena sakit, namun sayangnya keterangan sakit yang disampaikan JPU sudah dua bulan lalu.
“Dengan keterangan ahli yang dibacakan maka banyak keterangan ahli yang tidak sesuai. Contohnya, ahli mengatakan apabila ada akta yang tidak ditandatangani maka itu batal demi hukum, padahal faktanya tidak ada satupun akta yang tidak ditandatangani. Saat pada saksi penjual tanah yang di hadirkan di persidangan, faktanya mereka bilang bahwa mereka tanda tangan, ” ujar Heru.
Dengan pertanyaan yang diajukan JPU terhadap ahli perdata tersebut, Heru menduga adanya upaya framing yang dilakukan JPU bahwa Terdakwa Nafiaturrohmah saat menjalankan tugas sebagai notaris tidak dilakukan dengan benar.
“Kalau menurut kami ini adalah bentuk kriminaliasi terhadap klien kami sebagai seorang notaris yang sudah melakukan tugasnya sebagai pejabat umum,” ucap Heru.
Heru juga menyinggung terkait dakwaan Jaksa tentang kekurangan bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Terkait kekurangan bayar BPHTB menurut Heru harusnya masuk peradilan umum bukan peradilan korupsi karena subjek hukumnya adalah wajib pajak.
“Tapi setelah persidangan tepatnya dua Minggu lalu yang mana Jaksa mendatangkan saksi dari Badan Keuangan Ngawi yakni Muhammad Arwan, saya tanya kepada saksi, apabila ada kekurangan bayar apa yang dilakukan Basan Keuangan? Saksi menjawab, pihaknya akan menerbitkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar. Untuk perkara ini, saksi mengaku tidak menerbitkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tersebut karena memang tidak menemukan kekurangan bayar dalam perkara ini,” beber Heru. [uci/but]
-

Gerindra Sidoarjo Warning Risiko Pelanggaran Hukum dalam Kebijakan BUMD
Sidoarjo (beritajatim.com) – Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Sidoarjo menyampaikan peringatan keras terkait potensi pelanggaran hukum dalam tata kelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), khususnya Perumda Delta Tirta, saat menyetujui APBD Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2026 dalam Rapat Paripurna, Selasa (25/11/2025).
Pandangan tersebut disampaikan oleh juru bicara Fraksi Gerindra, Pratama Yudhianto, S.H. Ia menegaskan bahwa sejumlah kebijakan dalam pengelolaan BUMD berpotensi menimbulkan konsekuensi yuridis apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terutama terkait reklasifikasi utang usaha meragukan menjadi laba bersih Perumda Delta Tirta tahun buku 2024 yang bernilai lebih dari Rp 11 miliar.
Menurut Pratama Yudhianto, hingga rapat pembahasan terakhir, eksekutif belum memberikan dasar hukum yang memadai atas langkah tersebut, termasuk kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, regulasi pengelolaan BUMD, maupun ketentuan dalam PP 54/2017 dan aturan turunannya.
Kekosongan penjelasan itu, menurutnya, bukan hanya persoalan administratif, tetapi berpotensi menyeret pihak terkait pada konsekuensi hukum.
Ia menegaskan bahwa perubahan status utang menjadi laba tanpa landasan aturan yang kuat dapat menimbulkan risiko bagi Bupati Sidoarjo selaku Kuasa Pemilik Modal (KPM) maupun Direksi Perumda Delta Tirta.
Jika di kemudian hari terbukti tidak sesuai ketentuan, kebijakan tersebut dapat masuk kategori maladministrasi, penyalahgunaan wewenang, bahkan berpotensi mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi apabila menimbulkan kerugian keuangan daerah.
“APBD bukan sekadar dokumen anggaran, tetapi instrumen hukum. Ketika proyeksi PAD dibangun dari data yang tidak sah atau tidak akurat, maka seluruh bangunan fiskal daerah ikut terancam,” tegas Pratama Yudhianto.
Fraksi Gerindra juga menyoroti ketidakjelasan kebijakan revitalisasi PT Aneka Usaha Perseroda sebagai BUMD pangan. Minimnya arah kebijakan dinilai dapat menciptakan risiko hukum lain terkait efektivitas belanja daerah, akuntabilitas kinerja BUMD, dan kewajiban penyusunan rencana bisnis yang seharusnya diverifikasi sesuai ketentuan.
Meski memberikan catatan hukum yang tegas, Fraksi Gerindra tetap menyetujui APBD 2026, dengan syarat pemerintah daerah segera membuka klarifikasi resmi terkait reklasifikasi utang, memperbaiki tata kelola BUMD, memastikan belanja prioritas ketahanan pangan berjalan sesuai regulasi, serta menyampaikan laporan triwulanan kepada DPRD.
“Persetujuan Fraksi Gerindra bukanlah bentuk pembiaran, melainkan langkah konstitusional untuk menjaga fungsi pengawasan DPRD dan memastikan tidak ada kebijakan daerah yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum di masa mendatang,” tutupbya. (isa/but)
-
/data/photo/2024/07/03/668507d351ce0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ira Puspadewi Dapat Rehabilitasi, Pengacara Ungkap Peluang Bebas Malam Ini Nasional 25 November 2025
Ira Puspadewi Dapat Rehabilitasi, Pengacara Ungkap Peluang Bebas Malam Ini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pengacara eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, Soesilo mengatakan, kliennya bisa bebas malam ini selama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima surat Keputusan Presiden (keppres) yang akan diantar oleh Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi.
“Tentunya, begitu surat itu diterima oleh
KPK
, malam ini pun seharusnya sudah bisa dibebaskan. Mensesneg akan bersurat ke KPK,” ujar Soesilo saat dihubungi Selasa (25/11/2025).
Soesilo mengatakan, rehabilitasi yang diberikan oleh
Presiden Prabowo Subianto
otomatis mengembalikan hak dan martabat Ira serta dua terdakwa lainnya seperti semula.
Sebelumnya Ira dinyatakan terlibat dan bersalah dalam kasus korupsi terkait proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
“Karena ini bentuk pemberian hak prerogatif presiden berbentuk rehabilitasi, maka tentu rehabilitasi itu memulihkan kedudukan hak dan martabat Ibu Ira seperti sebelum terjadi perkara ini karena ada kesalahan hukum di situ,” lanjut Soesilo.
Diberitakan, Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi untuk eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero),
Ira Puspadewi
.
Selain Ira, dua terdakwa lain dalam perkara korupsi ASDP, yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, juga diberikan rehabilitasi.
“Setelah DPR RI menerima berbagai aspirasi dari masyarakat, kelompok masyarakat, kami kemudian meminta ke komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap penyelidikan yang mulai dilakukan sejak Juli 2024,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Istana, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
“Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap 3 nama tersebut,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ira divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi dalam proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Sunoto saat membacakan amar putusan dalam sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).
Sementara, dua terdakwa lainnya, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, dan Mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara.
Ketiganya diyakini telah melanggar dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
Para terdakwa dinyatakan melakukan korupsi karena telah memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu pemilik PT JN, Adjie.
Proses akuisisi ini telah memperkaya Adjie sebesar Rp 1,25 triliun. Angka ini dianggap sebagai kerugian keuangan negara.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebutkan kalau tindakan para terdakwa bukan korupsi murni melainkan kelalaian yang menyebabkan negara rugi.
“Perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP,” ujar Hakim Anggota Nur Sari Baktiana.
Para terdakwa tidak terbukti menerima sepeser pun uang hasil korupsi dalam kasus ini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/20/691ed4476dc67.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Istana Ungkap Alasan Prabowo Beri Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Nasional
Istana Ungkap Alasan Prabowo Beri Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan alasan Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi.
Prasetyo menjelaskan, pemberian
rehabilitasi
ini diawali dari aspirasi masyarakat yang ditampung oleh DPR.
Selain itu, kata dia, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum (Kemenkum) juga menerima aspirasi terkait kasus-kasus hukum, termasuk apa yang menimpa
Ira Puspadewi
.
“Segala sesuatu yang berkenaan dengan kasus-kasus yang terjadi, dan itu ada jumlahnya banyak sekali, yang dalam prosesnya dilakukan pengkajian dilakukan telaah dari berbagai sisi, termasuk pakar hukum yang kemudian atas surat usulan dari permohonan dari DPR yang kemudian ditindaklanjuti dalam satu minggu ini oleh Menteri Hukum,” ujar Prasetyo di Istana, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Selanjutnya, Kemenkum bersurat kepada Presiden
Prabowo Subianto
agar kepala negara menggunakan hak rehabilitasi untuk Ira Puspadewi, serta dua pejabat ASDP lainnya, yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi.
Kemudian, isu pemberian rehabilitasi Ira Puspadewi ini dibawa ke dalam rapat terbatas (ratas) bersama Prabowo.
“Dan Bapak Presiden memberikan keputusan untuk menggunakan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan kasusnya, sudah berjalan cukup lama kepada menimpa kepada Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP,” jelasnya.
“Berdasarkan permohonan dari Kementerian Hukum, Bapak Presiden memberikan persetujuan dan alhamdulillah baru pada sore hari ini beliau membubuhkan tanda tangan dan kami bertiga diminta menyampaikan ke publik,” imbuh Prasetyo.
Prasetyo menjelaskan, keputusan rehabilitasi ini selanjutnya akan diproses sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara.
Ira Puspadewi dinyatakan bersalah dalam perkara
korupsi
terkait kerja sama usaha (KSU) dan proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada periode 2019–2022.
“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” kata Hakim Ketua Sunoto, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dikutip pada Selasa (25/11/2025).
Selain Ira, dua pejabat ASDP lainnya juga menerima vonis dengan kasus serupa.
Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing dijatuhi hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5423634/original/017854000_1764070442-WhatsApp_Image_2025-11-25_at_18.29.06.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polemik Kasus Ira Puspadewi, Presiden Prabowo Turun Tangan Keluarkan Surat Rehabilitasi
Hakim Ketua Sunoto menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan tersebut. Menurut Sunoto, perbuatan ketiga terdakwa dalam kasus tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan keputusan bisnis yang tidak optimal, namun diambil dengan iktikad baik, yang dilindungi oleh Business Judgement Rule, serta tidak ada niat jahat merugikan keuangan negara.
“Pertanggungjawaban yang tepat atas keputusan bisnis tersebut adalah melalui mekanisme gugatan perdata, sanksi administratif, dan perbaikan sistem tata kelola perusahaan,” ucap Sunoto.
Dia menegaskan hukuman pidana merupakan ultimum remedium (upaya terakhir) yang hanya boleh digunakan untuk perbuatan yang benar-benar memenuhi unsur tindak pidana dan dilakukan dengan niat jahat.
Dengan demikian, Sunoto menilai pemidanaan para terdakwa dalam kondisi faktual seperti itu akan menimbulkan dampak yang sangat luas bagi dunia usaha Indonesia, khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selain itu, direktur dinilai akan menjadi sangat takut untuk mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko meskipun keputusan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan.
“Profesional-profesional terbaik akan berpikir berkali-kali untuk menerima posisi kepimpinan di BUMN karena khawatir setiap keputusan bisnis yang tidak optimal dapat dikriminalisasi,” tuturnya.
Sunoto berpendapat hal itu pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional karena BUMN memerlukan keberanian untuk berorganisasi dan berkembang guna bersaing di tingkat global.
Oleh karena itu, kata dia, meski perbuatan para terdakwa terbukti dilakukan, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana lantaran unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan tidak terpenuhi secara meyakinkan.
“Maka berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, para terdakwa seharusnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag van rechtsvervolging,” ucap Sunoto, dilansir Antara.
-
/data/photo/2025/11/20/691ed4b15b184.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Prabowo Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi yang Divonis 4,5 Tahun Penjara Nasional
Prabowo Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi yang Divonis 4,5 Tahun Penjara
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Presiden RI Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi.
Selain Ira, dua terdakwa lain dalam kasus korupsi di ASDP yang menjerat Ira, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, juga diberikan rehabilitasi.
“Setelah DPR RI menerima berbagai aspirasi dari masyarakat, kelompok masyarakat, kami kemudian meminta ke komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap penyelidikan yang mulai dilakukan sejak Juli 2024,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Istana, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
“Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap 3 nama tersebut,” imbuhnya.
Sebelumnya, mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero),
Ira Puspadewi
, dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara.
Ira Puspadewi dinyatakan bersalah dalam perkara korupsi terkait kerja sama usaha (KSU) dan proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada periode 2019–2022.
“Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” kata Hakim Ketua Sunoto, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dikutip pada Selasa (25/11/2025).
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi yakni 8,5 tahun penjara.
Majelis hakim menilai, Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun melalui proses akuisisi PT JN oleh PT ASDP.
Meski terbukti memperkaya orang lain atau korporasi, Ira dinilai tidak menerima keuntungan pribadi sehingga tidak dikenakan pidana berupa uang pengganti.
Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry Muhammad Yusuf Hadi dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry Harry Muhammad Adhi Caksono juga divonis bersalah dalam perkara yang sama.
Keduanya masing-masing dihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara.
Perbuatan ketiga terdakwa ini diyakini telah melanggar dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
Seusai divonis, Ira meminta perlindungan dari Prabowo karena ia merasa telah berbuat baik untuk bangsa dan negara Indonesia.
“Kami mohon perlindungan hukum dari Presiden RI bagi profesional, khususnya BUMN yang melakukan proposal besar untuk bangsa, bukan hanya untuk perusahaan tapi untuk bangsa Indonesia,” ujar Ira usai sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).
Ira menegaskan, tidak ada motif korupsi pada proses akuisisi PT JN oleh PT ASDP, melainkan murni untuk menguatkan operasional ASDP di wilayah-wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
-
/data/photo/2025/11/25/69254ab0cf3a5.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kubu Paulus Tannos: KPK Ujug-ujug Terbitkan DPO padahal Tahu Keberadaannya Nasional 25 November 2025
Kubu Paulus Tannos: KPK Ujug-ujug Terbitkan DPO padahal Tahu Keberadaannya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pengacara tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP, Paulus Tannos, Damian Agata Yuvens, mengatakan, status daftar pencarian orang (DPO) yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada kliennya tidak relevan.
Sebab, menurut dia,
KPK
selalu mengetahui keberadaan
Paulus Tannos
.
“Faktanya pula di bulan November 2021, Pemohon (Paulus Tannos) berkomunikasi dengan penyidik Termohon (KPK) yang bahkan sempat bersurat dengan Termohon, namun ujug-ujug Termohon memasukkan Pemohon dalam
DPO
pada tanggal 19 Oktober 2021,” kata Damian, dalam sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Damian mengatakan, KPK tidak hanya mengetahui keberadaan Paulus Tannos, melainkan juga pernah memeriksa kliennya sebagai saksi untuk perkara Andi Agustinus alias Andi Narogong sebelum 2017.
“Yang mana hasil pemeriksaannya dibacakan pada persidangan, yaitu pada Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Nomor 100/2017 tanggal 21 Desember 2017,” ujar dia.
Oleh karenanya, menurut Damian, jika benar KPK tak mengetahui keberadaan kliennya, tak mungkin Paulus Tannos saat ini ditahan di Singapura.
“Hal ini menyebabkan status DPO pada Pemohon menjadi tidak relevan karena kedudukan Pemohon jelas ada di mana,” ucap dia.
Sebelumnya, KPK mengatakan, Paulus Tannos tak bisa mengajukan gugatan praperadilan karena masih berstatus DPO.
KPK menyoroti aturan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018.
Surat edaran tersebut melarang DPO mengajukan peradilan.
“Berdasarkan uraian tersebut, secara jelas sampai saat ini, permohon dalam status daftar pencarian orang (DPO) sehingga pemohon dilarang mengajukan praperadilan diskualifikasi in person. Dengan demikian, pemohon praperadilan selanjutnya ditolak sejak awal karena diajukan oleh tersangka dalam status DPO yang dilarang mengajukan praperadilan,” kata Tim Biro Hukum KPK, Ariansyah, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).
“Atau setidaknya (praperadilan) dinyatakan tidak dapat diterima,” sambung dia.
Ariansyah mengatakan bahwa dalam proses penyidikan, KPK beberapa kali memanggil Paulus Tannos sebagai saksi dan tersangka dengan mengirimkan surat panggilan di Indonesia dan Singapura.
Dia mengatakan bahwa ketidakhadiran Paulus Tannos membuat KPK mengambil langkah berikutnya, yaitu meminta bantuan pencarian dan penangkapan ke Kepolisian RI, sampai akhirnya diterbitkan status daftar pencarian orang (DPO).
“Meskipun telah diterbitkan Surat Perintah Penangkapan Nomor 8, tanggal 6 November 2024, namun Termohon (KPK) belum berhasil menangkap Pemohon (Paulus Tannos) sehingga sampai saat ini belum ada Berita Acara Penangkapan yang membuktikan Pemohon (Paulus Tannos) telah ditangkap,” ujar dia.
Diketahui, buronan kasus proyek
e-KTP
, Paulus Tannos, mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Gugatan ini dilayangkan Paulus Tannos pada Jumat (31/10/2025) dengan nomor perkara 143/Pid.Pra/PN JKT.SEL. “Klasifikasi Perkara: Sah atau tidaknya penangkapan,” demikian dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel, pada Senin (3/11/2025).
Adapun Paulus Tannos ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura pada 17 Januari 2025.
Penangkapan tersebut berawal dari pengajuan penahanan sementara oleh KPK melalui Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri.
Surat permohonan ini kemudian diteruskan kepada Interpol Singapura hingga sampai ke CPIB.
Namun, Tannos tidak bisa langsung dibawa ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Saat ini, Paulus Tannos menjalani sidang ekstradisi di Pengadilan Singapura.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4575470/original/029945300_1694680958-Ira-3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)