Sebarkan Narasi Negatif soal Kejagung, 150 Buzzer Dibayar Rp 1,5 Juta Per Orang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sejumlah
buzzer
dibayar Rp 1,5 juta untuk menyebarkan konten negatif terkait tiga perkara yang ditangani Kejaksaan Agung (
Kejagung
) yakni kasus dugaan korupsi PT Timah, kasus dugaan impor gula, dan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor
crude palm oil
(CPO).
Para
buzzer
dibayar oleh tersangka
perintangan perkara
Kejagung, M Adhiya Muzakki. Tersangka disebut sebagai pengendali para
buzzer.
Adhiya merekrut 150
buzzer
yang dibagi ke dalam lima tim. Masing-masing tim dinamai Mustafa 1, Mustafa 2, Mustafa 3, Mustafa 4, dan Mustafa 5.
“(Adhiya) merekrut, menggerakkan, dan membayar
buzzer-buzzer
tersebut dengan bayaran sekitar Rp 1,5 juta per
buzze
r untuk merespons dan memberikan komentar negatif terhadap berita-berita negatif,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Selain Adhiya, Kejagung telah menetapkan tiga tersangka lain dalam kasu perintangan perkara. Mereka adalah Marcella Santoso (MS) selaku advokat, Junaedi Saibih (JS) selaku advokat, dan Tian Bahtiar (TB) selaku Direktur Pemberitaan JAK TV non aktif.
Para
buzzer
ini diarahkan Adhiya untuk menyebarkan dan memberikan komentar pada konten-konten bernarasi negatif yang diproduksi oleh Tian Bahtiar.
Sementara, Tian membuat konten-konten ini atas arahan dan petunjuk dari Marcella dan Junaedi.
“(Tian) membuat video dan konten negatif yang diposting atau dipublikasikan melalui platform media sosial baik TikTok, Instagram, maupun Twitter berdasarkan materi yang diberikan oleh tersangka MS dan tersangka JS yang berisikan narasi-narasi mendiskreditkan penanganan perkara a quo yang dilakukan oleh Jampidsus Kejaksaan Agung pimpinan Kejaksaan Agung dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan,” lanjut Qohar.
Konten-konten ini disebarkan ke sejumlah media sosial dan media
online.
Diberitakan sebelumnya, Adhiya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat pemufakatan jahat bersama dengan tiga tersangka lain yang sudah lebih dahulu ditahan oleh penyidik.
Perbuatan para tersangka diduga sengaja untuk menjatuhkan Kejaksaan Agung dan jajaran Jampidsus dengan cara membentuk
narasi negatif
di muka umum.
Dari aksinya tersebut, Adhiya memperoleh uang totalnya Rp 864,5 juta.
Adhiya diduga melanggar Pasal 21 Undang-Undang Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang Bomor 21 Tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Ia pun langsung ditahan di rumah tahanan (rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan untuk kebutuhan penyidikan.
Sebelumnya, penyidik telah menetapkan dan menahan tiga orang tersangka, yaitu Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Tian Bahtiar.
Penetapan tersangka hari ini merupakan pengembangan dari penyidikan dalam kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) kepada tiga korporasi, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group yang bergulir di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di PN Jakarta Pusat terkait kasus vonis lepas ekspor CPO terhadap tiga perusahaan, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG), serta kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri.
Kemudian, tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO, yakni Djuyamto selaku ketua majelis, serta Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom selaku anggota.
Terbaru, Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei, ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merupakan pihak yang menyiapkan uang suap Rp 60 miliar untuk hakim Pengadilan Tipikor Jakarta melalui pengacaranya untuk penanganan perkara ini.
Kejaksaan menduga Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap Rp 60 miliar.
Sementara itu, tiga hakim, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, sebagai majelis hakim, diduga menerima uang suap Rp 22,5 miliar. Suap tersebut diberikan agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO divonis lepas atau
ontslag van alle recht vervolging.
Vonis lepas merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-

Bos Buzzer Dibayar Rp 864,5 Juta untuk Rintangi Penanganan Kasus di Kejagung
Jakarta –
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Ketua Cyber Army, MAM, sebagai tersangka perintangan penyidikan sejumlah kasus korupsi yang diusut Kejagung. MAM dibayar ratusan juta rupiah dalam melancarkan aksinya.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan MAM berperan aktif dalam merintangi penyidikan kasus korupsi minyak goreng, tata kelola timah, hingga impor gula yang menyeret Tom Lembong sebagai tersangka. MAM diketahui mendapatkan bayaran dari pengacara Marcella Santoso (MS) yang merupakan salah satu tersangka di kasus suap vonis lepas terdakwa korporasi migor.
“Tersangka MAM memperoleh uang sebesar Rp 697.500.000 dari tersangka MS melalui Indah Kusumawati yaitu staf di bagian keuangan kantor hukum AALF,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (8/5/2025) malam.
Qohar mengatakan MAM menerima dua kali pemberian dari Marcella. Dalam pemberian kedua, ia mendapatkan uang Rp 167 juta.
“Sehingga jumlah total uang yang diterima oleh MAM dari MS sebanyak Rp 864.500.000,” tutur Qohar.
Peran Bos Buzzer
Kejagung juga mengungkap peran dari MAM. Tersangka diketahui membentuk tim buzzer.
“Membuat video dan konten negatif yang diposting atau dipublikasikan melalui platform media sosial baik TikTok, Instagram, maupun Twitter berdasarkan materi yang diberikan oleh tersangka MS dan tersangka JS (Junaedi Saibi) yang berisikan narasi-narasi mendiskreditkan penanganan perkara a quo yang dilakukan oleh Jampidsus Kejaksaan Agung pimpinan Kejaksaan Agung dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan,” jelas Qohar.
Konten-konten bikinan tim MAM juga menuding bahwa metodologi penghitungan kerugian keuangan negara oleh ahli yang dihadirkan oleh penyidik penuntut umum adalah tidak benar, menyesatkan, dan telah merugikan hak para tersangka atau terdakwa.
“Termasuk mereka juga mengerahkan 150 orang buzzer untuk membenarkan isi video komentar negatif yang ditujukan kepada penyidikan, penuntutan perkara aquo yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia baik berupa TikTok, Instagram, maupun Twitter,” ujar Qohar.
“Yang dibuat oleh MAM maupun TB yang bertujuan untuk mencegah merintangi atau menggagalkan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi minyak goreng, tata niaga komoditas timah maupun tindak pidana korupsi importasi gula, baik di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan maupun di tingkat persidangan,” tuturnya.
(ygs/isa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-
/data/photo/2025/05/08/681b98789cd53.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kejagung Ungkap Peran Bos Buzzer dalam Rintangi Penanganan 3 Perkara
Kejagung Ungkap Peran Bos Buzzer dalam Rintangi Penanganan 3 Perkara
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menjelaskan peran
M Adhiya Muzakki
(MAM) dalam kasus dugaan perintangan penanganan tiga perkara yang tengah ditangani
Kejagung
.
Ketiga perkara itu yakni dugaan korupsi PT Timah, impor gula yang menyeret eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan perkara dugaan suap ekspor crude palm oil (CPO).
Qohar menjelaskan, Muzakki berperan sebagai Ketua Tim Cyber Army yang bertugas mengendalikan 150 orang buzzer untuk memberikan respon dan komentar negatif atas berita-berita negatif yang dibuat oleh Direktur Pemberitaan nonaktif JAK TV, Tian Bahtiar, yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara yang sama.
“Tersangka MAM atas permintaan tersangka MS (Marcella Santoso) bersepakat membuat Tim Cyber Army dan membagi tim tersebut menjadi lima yaitu Tim Mustafa I, Tim Mustafa II, Tim Mustafa III, Tim Mustafa IV, dan Tim Mustafa V yang berjumlah sekitar 150 orang buzzer,” kata Qohar saat memberikan keterangan di Kejagung, Rabu (7/5/2025) malam.
Tak hanya berkomentar pada berita negatif, para buzzer itu juga ditugaskan untuk membuat video dan konten negatif berdasarkan materi yang diberikan Marcella dan advokat, Junaedi Saibih, yang dipublikasikan melalui media sosial seperti TikTok, Instagram maupun Twitter.
Mereka juga diwajibkan untuk memberikan komentar yang membenarkan video dan konten negative yang diunggah di ketiga platform media sosial itu.
“Narasi-narasi mendiskreditkan penanganan perkara a quo yang dilakukan oleh Jampidsus Kejaksaan Agung pimpinan Kejaksaan Agung dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan,” ujarnya.
Untuk melancarkan aksinya, Qohar menambahkan, para buzzer itu kemudian mendapatkan bayaran sebesar Rp 1,5 juta per orang dari Muzakki.
Agar terhindar dari penanganan perkara, Muzakki merusak dan menghilangkan barang bukti berupa handphone yang berisi percakapan dengan Marcella dan Junaedi terkait isi video konten negative tersebut.
Atas perbuatannya, MAM dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, MAM langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan untuk kebutuhan penyidikan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Ketua KPK: UU BUMN Bisa Batasi Kewenangan Usut Korupsi Para Direksi
Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto akhirnya menyampaikan tanggapan resmi lembaga soal sejumlah aturan pada Undang-Undang (UU) No. 1/2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Setyo menyebut pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang ingin memperkuat peran BUMN dalam mengelola sektor-sektor penting demi kesejahteraan rakyat. Dia menyebut lembaganya memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pemberantasan korupsi.
Meski demikian, Setyo mengakui terdapat sejumlah aturan baru di beleid tersebut yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi.
“KPK memaknai ada beberapa ketentuan yang dianggap akan membatasi kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang terjadi di BUMN,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).
Untuk itu, lanjut Setyo, KPK menyampaikan tanggapannya secara khusus pada dua pasal di UU BUMN. Yaitu terkait dengan hilangnya status penyelenggara negara bagi direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN, serta mengenai kerugian BUMN dianggap bukan kerugian negara.
Mengenai aturan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN bukan status penyelenggara negara, yang diatur dalam pasal 9G UU No. 1/2025, Setyo menyebut ketentuan itu kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Utamanya, pasal 1 angka 1 serta pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya yang tertuang dalam UU No. 28/1999.
Perwira tinggi Polri bintang tiga itu menjelaskan, UU No.28/1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Oleh sebab itu, dia menegaskan penegakan hukum kasus korupsi berkenaan dengan penyelenggara negara akan berpedoman pada UU tersebut.
Di sisi lain, pasal 9G UU BUMN yang baru dalam penjelasannya menyebut: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”
Ketentuan demikian, lanjut Setyo, dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
“Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Setyo.
Oleh sebab itu, dengan sikap tersebut, maka direksi/komisaris/dewan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta penerimaan gratifikasi.
Sementara itu, mengenai pasal 4B UU BUMN yang mengatur bahwa kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara, serta pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.
Atas aturan tersebut, KPK menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan. Putusan MK dimaksud yakni No.48/PUU-XXI/2013 dan No.62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan dengan masing-masing putusan No.59/PUU-XVI/2018 dan No.26/PUU-XIX/2021.
Setyo menerangkan bahwa MK telah memutuskan bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN, yang merupakan derivasi penguasaan negara.
“Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan Negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN,” lanjut Setyo.
Meski demikian, Setyo mengingatkan bahwa kerugian keuangan negara di BUMN dapat dipidanakan sesuai UU Tipikor selama itu akibat dari perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgement Rule (BJR).
Prinsip BJR itu tertuang pada pasal 3Y dan 9F UU No.1/2025, di mana diatur bahwa kerugian keuangan negara yang dapat dipidanakan harus diakibatkan oleh fraud, suap, ketiadaan itikad baik, konflik kepentingan serta kelalaian dalam mencegah timbulnya kerugian keuangan negara oleh para petinggi BUMN.
“Dari uraian tersebut, KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan TPK yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas di BUMN,” pungkas Setyo.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku berkoordinasi dengan berbagai lembaga untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya UU BUMN. Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara.
Erick menjelaskan kementeriannya saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan KPK.
Lebih lanjut, Menteri BUMN sejak 2019 itu memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU.
Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan.
“Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, daripada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan,” kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu.
-
/data/photo/2025/05/07/681b8e0792cfc.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bos Buzzer Kerahkan 150 Orang untuk Rintangi Penanganan 3 Perkara Kejagung
Bos Buzzer Kerahkan 150 Orang untuk Rintangi Penanganan 3 Perkara Kejagung
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kejaksaan Agung menetapkan MAM, Ketua Tim Cyber Army, sebagai tersangka perintangan tiga perkara yang tengah ditangani
Kejagung
.
Ketiga perkara itu yakni dugaan korupsi PT Timah, impor gula yang menyeret eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dan perkara dugaan suap ekspor crude palm oil (CPO).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar menjelaskan, MAM bertindak sebagai
bos buzzer
yang menerima order dari seorang advokat bernama Marcella Santoso (MS).
“Tersangka MAM atas permintaan MS bersepakat untuk membuat tim cyber army,” kata Qohar saat konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Ia menambahkan, ada lima tim yang dibentuk oleh MAM untuk menjalankan aksinya dalam membuat narasi jahat terhadap Kejagung yang tengah mengusut sejumlah perkara rasuah.
“(Anggota MAM) berjumlah sekitar 150 orang buzzer,” ujarnya.
Oleh MAM, para buzzer ini diperintahkan untuk menyebarkan dan memberikan komentar di sejumlah konten negative yang dibuat oleh Direktur Pemberitaan nonaktif JAK TV, Tian Bahtiar (TB).
Atas perbuatannya, MAM disebut memperoleh uang sebesar Rp 864.500.000.
Adapun penetapan status tersangka MAM merupakan hasil pengembangan yang dilakukan Kejagung sebelumnya dalam menangani kasus
perintangan penyidikan
, penuntutan, hingga pengadilan untuk tiga perkara.
Ada tiga tersangka yang telah ditetapkan. Selain Marcella dan Tian, Kejagung juga telah menetapkan Junaedi Saibih sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Atas perbuatannya, MAM dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, MAM langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan untuk kebutuhan penyidikan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK tegaskan kerugian BUMN merupakan kerugian negara
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto saat memberikan keterangan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis (24/4/2025). ANTARA/Rio Feisal/am.
KPK tegaskan kerugian BUMN merupakan kerugian negara
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Rabu, 07 Mei 2025 – 21:48 WIBElshinta.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan bahwa kerugian badan usaha milik negara (BUMN) merupakan kerugian negara.
Setyo mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 serta Nomor 62/PUU-XI/2013, dan dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 serta Nomor 26/PUU-XIX/2021 menjadi acuan bagi KPK, dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.
“Telah diputuskan oleh Majelis Hakim MK bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara. Dengan demikian, segala pengaturan di bawah Undang-Undang Dasar NRI 1945 tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK,” ujar Setyo dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (6/5).
Oleh sebab itu, kata dia KPK menyimpulkan kerugian BUMN tetap dianggap sebagai kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana, khususnya tindak pidana korupsi, kepada direksi, komisaris, maupun pengawas BUMN.
Walaupun demikian, kata dia, pejabat BUMN dapat bertanggung jawab terhadap kerugian keuangan negara bila terdapat perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, hingga penyimpangan atas prinsip business judgment rule (BJR).
“Vide Pasal 3Y dan 9F UU BUMN, misalnya diakibatkan adanya fraud, suap, tidak dilakukan dengan iktikad baik, terdapat konflik kepentingan, dan lalai mencegah timbulnya keuangan negara,” jelasnya.
Sebelumnya, Pasal 4B UU BUMN berbunyi, “Keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan atau kerugian BUMN.”
Dengan demikian, KPK sempat melakukan kajian terkait kerugian tersebut tetap termasuk kerugian negara atau hanya kerugian BUMN.
Pasal 3Y maupun Pasal 9F UU BUMN mengatur menteri, organ, anggota direksi, hingga pegawai BUMN tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian jika dapat membuktikan kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Selain itu, telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan berhati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, serta tidak memperoleh keuntungan pribadi.
Sumber : Antara
-

Setyo Budiyanto Tegaskan KPK Tetap Berwenang Tangani Tindak Pidana Korupsi di BUMN – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan lembaganya tetap berwenang menangani tindak pidana korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Hal ini disampaikan Setyo terkait telah disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Di mana dalam UU BUMN yang baru itu disebutkan Pasal 9G bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan Penyelenggara Negara.
Sehingga banyak narasi yang menyimpulkan KPK tidak lagi berwenang mengusut kasus korupsi bila menyentuh bos BUMN karena bukan lagi berstatus sebagai penyelenggara negara.
“KPK berpandangan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas di BUMN,” kata Setyo dalam keterangan tertulis, Rabu (7/5/2025).
“Karena dalam konteks hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara, dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR),” imbuhnya.
Setyo menyebut bahwa ketentuan Pasal 9G UU BUMN kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Menurutnya, keberadaan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang memang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN.
“Maka sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan penyelenggara negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999,” kata Setyo.
Setyo turut menyoroti penjelasan Pasal 9G UU BUMN yang berbunyi, “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”
Menurut Setyo, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
“Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa anggota direksi/dewan komisaris/dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Setyo, sebagai penyelenggara negara, maka direksi/komisaris/pengawas BUMN tetap memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan penerimaan gratifikasi.
Kerugian BUMN sebagai Kerugian Negara
KPK juga merespons soal Pasal 4B UU BUMN berkenaan dengan Kerugian BUMN bukan Kerugian Keuangan Negara, serta Pasal 4 ayat (5) berkenaan dengan modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.
Setyo menyatakan bahwa Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan Nomor 26/PUU-XIX/ 2021 menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.
Telah diputuskan oleh majelis hakim MK bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara.
Sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.
“Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara yang dapat dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana (tindak pidana korupsi) kepada direksi/komisaris/pengawas BUMN,” kata Setyo.
Pengusutan tindak pidana korupsi dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum/penyalahgunaan wewenang/penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) vide Pasal 3Y
dan 9F UU No.1 Tahun 2025.Misalnya diakibatkan adanya fraud, suap, tidak dilakukan dengan iktikad baik, terdapat konflik kepentingan, dan lalai mencegah timbulnya keuangan negara, yang dilakukan oleh direksi/komisaris/pengawas BUMN.
Setyo mengatakan, kewenangan KPK untuk tetap bisa mengusut tindak pidana korupsi di BUMN juga sejalan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta Putusan MK Nomor 62/PUU-XVII/2019.
Di mana kata “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif.
“Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” katanya.
KPK berpandangan bahwa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di BUMN merupakan upaya untuk mendorong BUMN dalam menerapkan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
Sehingga pengelolaan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai.
-

KPK: Direksi dan Komisaris BUMN Tetap Penyelenggara Negara, Bisa Dijerat Korupsi
Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN tetap merupakan penyelenggara negara kendati adanya Undang-Undang (UU) Nomor 1/2025 tentang BUMN.
Sebagaimana diketahui, pada beleid tersebut, anggota direksi, dewan komisaris, serta dewan pengawas perusahaan pelat merah dinyatakan bukan penyelenggara negara. Hal itu dianggap bisa mencegah KPK dalam mengusut kasus korupsi yang menjerat para petinggi BUMN.
Meskipun demikian, melalui pernyataan sikap secara resmi, Setyo mengatakan bahwa pasal 9G UU BUMN itu kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara yang diatur dalam UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
“Ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup Penyelenggara Negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (7/5/2025).
Perwira tinggi Polri bintang tiga itu menjelaskan, UU 28/1999 merupakan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Untuk itu, dia menyebut KPK berpedoman pada UU 28/1999 dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh penyelenggara negara.
“Maka sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan Penyelenggara Negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999,” lanjut Setyo.
Di sisi lain, pasal 9G UU BUMN yang baru dalam penjelasannya menyebut: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang.”
Ketentuan demikian, lanjut Setyo, dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
“Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” tegas Setyo.
Oleh sebab itu, dengan sikap tersebut, maka direksi/komisaris/dewan pengawas BUMN tetap wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta penerimaan gratifikasi.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku berkoordinasi dengan berbagai lembaga untuk membahas sederet perubahan di tubuh perusahaan pelat merah menyusul lahirnya UU BUMN. Salah satunya mengenai posisi komisaris hingga direksi BUMN yang diatur bukan merupakan penyelenggara negara.
Erick menjelaskan kementeriannya saat ini masih berkoordinasi untuk menyinkronkan berbagai aturan baru di UU BUMN, termasuk mengenai status penyelenggara negara pada petinggi pelat merah. Dia menyebut koordinasi dilakukan salah satunya dengan KPK.
Lebih lanjut, Menteri BUMN sejak 2019 itu memastikan bakal ada peraturan turunan yang akan mendefinisikan lebih lanjut aturan mengenai status penyelenggara negara bagi komisaris-direksi BUMN sebagaimana tertuang di dalam UU.
Menurutnya, beleid tersebut belum sepenuhnya dijalankan dan masih dirapikan sebelum seutuhnya diterapkan.
“Iya pasti, ini kan namanya baru lahir. Baru lahir, belum jalan. Justru kita rapikan sebelum jalan, daripada nanti ikut geng motor tabrak-tabrakan, mendingan kita rapikan,” kata pria yang merangkap sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara itu.