Kasus: Tipikor

  • MA Sebut Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Hak Prerogatif Prabowo: Untuk Kepentingan Besar

    MA Sebut Rehabilitasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Cs Hak Prerogatif Prabowo: Untuk Kepentingan Besar

    Mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi divonis penjara 4 tahun dan 6 bulan dalam kasus dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). Ira dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi.

    “Menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif kedua,” kata Hakim Ketua Sunoto pada sidang pembacaan vonis majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2025).

    Selain Ira, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono juga dijatuhi pidana masing-masing 4 tahun penjara. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda.

    Untuk Ira Puspadewi, denda yang dikenakan sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

    Sementara untuk Yusuf Hadi dan Harry Muhammad dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.

    Ketiga terdakwa dinyatakan telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sebelum menjatuhkan putusan, majelis hakim mempertimbangkan perbuatan para terdakwa yang tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sebagai hal pemberat.

    Begitu pula dengan perbuatan para terdakwa yang menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan negara sebagai direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta dampak perbuatan para terdakwa yang mengakibatkan ASDP terbebani utang dan kewajiban yang besar, menjadi pertimbangan memberatkan.

    Sementara hakim ketua menyatakan perbuatan para terdakwa yang bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tetapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur serta tata kelola aksi korporasi ASDP dipertimbangkan sebagai alasan meringankan vonis.

    Selain itu, hal meringankan lainnya yang dipertimbangkan, yakni para terdakwa berhasil memberikan warisan untuk ASDP, tidak terbukti menerima keuntungan finansial, memiliki tanggungan keluarga, serta terdapat beberapa aksi korporasi yang dapat dioperasikan untuk kepentingan publik.

     

  • Kasus Ira Puspadewi, Kriminalisasi atau Korban Pasal Karet Korupsi?

    Kasus Ira Puspadewi, Kriminalisasi atau Korban Pasal Karet Korupsi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Putusan hakim terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi memantik polemik hukum. Ada isu kriminalisasi dan berbagai macam tetek bengeknya, kendati putusan pengadilan tingkat pertama menyatakan Ira telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

    Adapun vonis terhadap Ira adalah imbas dari keberadaan pasal 2 dan pasal 3 atau ‘pasal karet’ di Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

    Pasal 2 UU Tipikor mengatur bahwa: ‘Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar.”

    Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor menekankan bahwa koruptor adalah setiap orang yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 – 20 tahun. 

    Adapun Ira menjadi tersangka kemudian berstatus terdakwa karena diduga melanggar pasal 3 UU Tipikor. Hakim pengadilan tindak pidana korupsi bahkan telah memutus Ira terbukti melakukan tindak pidana korupsi, meskipun tidak ada bukti keuntungan pribadi dalam perkara tersebut.

    Dalam catatan Bisnis, eksistensi kedua pasal itu selain dianggap multitafsir, juga bisa berimplikasi menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi, kalau merujuk kepada dua pasal itu, korupsi tidak sebatas pada tindakan menguntungkan diri sendiri, tetapi orang lain atau korporasi. 

    Selain itu, korupsi juga didefinisikan sebagai sebuah tindakan penyalahgunaan kewenangan yang dapat menimbulkan kerugian negara.

    Dalam catatan Bisnis, polemik tentang penerapan Pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor pernah terjadi saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka eks Mantan Perdagangan Thomas Lembong dan mantan petinggi BUMN, RJ Lino. Lino bahkan menyandang status tersangka selama hampir 6 tahun. Dia menjadi tersangka pada tahun 2015 dan baru divonis pengadilan pada tahun 2021. 

    Selain RJ Lino, polemik juga sempat terjadi di kasus mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Karen pernah bebas dalam kasusnya di Kejaksaan Agung. Namun pada 2024 lalu, Karen divonis penjara selama 9 tahun dalam kasus pembelian gas alam cair alias LNG.

    Karen terbukti bersalah. Dia dinyatakan telah melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Menariknya, dalam vonis yang dijatuhkan, hakim memutuskan bahwa Karen tidak memperoleh hasil dari tindakan korupsi yang dijatuhkan kepadanya. Karen dipenjara karena kebijakannya terkait pembelian LNG terbukti merugikan negara hingga US$113,87 juta.

    Selain RJ Lino dan Karen, tentu masih banyak lagi pejabat atau direksi BUMN yang masuk penjara karena keberadaan ‘pasal karet’ di UU Tipikor. Yang paling baru tentu nama bekas Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong. Sama seperti Karen, Tom terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.

    Penjelasan KPK

    Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi polemik perhitungan kerugian negara di kasus dugaan korupsi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang dianggap janggal karena tidak melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

    Kejanggalan itu disampaikan oleh terdakwa sekaligus mantan Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi dalam pledoinya beberapa waktu lalu sebelum divonis 4,5 tahun penjara. 

    Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo perhitungan kerugian negara dilakukan oleh accounting forensik (AF) KPK yang sebelumnya sudah sering terlibat dalam menghitung kerugian negara dan diterima oleh hakim

    “Artinya ini memang sudah firm bahwa AF di KPK ini punya kewenangan dalam menghitung kerugian negara. Dalam proses persidangannya juga KPK sudah menghadirkan ahli dari BPK yang juga menyatakan bahwa hitungan yang dilakukan oleh accounting forensik KPK ini sudah sesuai,” kata Budi kepada jurnalis, Senin (24/11/2025).

    Budi menegaskan proses perhitungan kerugian negara telah melibatkan sejumlah ahli seperti ahli perkapalan. Menurutnya, akuisisi kapal PT JN oleh PT ASDP berisiko terhadap faktor keselamatan karena kapal yang diakuisisi berusia tua sehingga memengaruhi kualitas kapal.

    Pihaknya turut membandingkan kapal milik PT JN dengan PT ASDP mulai dari usia hingga volume kapal. Termasuk valuasi kapal-kapal tersebut. “Ya mungkin ASDP secara keseluruhan itu laba atau untuk tapi kan itu ekosistem besarnya. Sedangkan akuisisi atas PT JN sampai dengan hari ini ekosistem bisnisnya masih merugi,” ujar Budi.

    Budi menyebutkan jika PT ASDP tidak melakukan akuisisi, maka berpeluang untung lebih besar. Sebab, PT JN memiliki permasalahan keuangan yang salah satunya adalah utang. 

    Dalam hal ini, selain mengakuisisi kapal, PT ASDP harus membayar utang yang ditanggung PT JN. Selain itu, Budi menegaskan penetapan tersangka terhadap Ira telah memenuhi kecukupan alat bukti.

    Rehabilitasi dari Prabowo

    Setelah menjadi polemik, Presiden Prabowo Subianto resmi meneken surat rehabilitasi bagi tiga terdakwa kasus korupsi terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry. 

    Tiga terdakwa tersebut, yakni eks Dirut ASDP Ira Puspadewi, mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan eks Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi.

    Rehabilitasi dari Prabowo diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Istana, Selasa (25/11/2025). 

    “Alhamdulillah pada hari ini Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap 3 nama tersebut,” kata Dasco dalam konferensi pers di Istana, Selasa (25/11/2025).

    Di samping itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa pemberian rehabilitasi terhadap tiga mantan pejabat PT ASDP Indonesia Ferry pada dasarnya setara dengan pembebasan.

    “Kira-kira begitulah [pembebasan], oke,” tutur Prasetyo.

    Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, pemberian rehabilitasi merupakan kewenangan presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung,” bunyi Pasal 14.

    Kemudian, penjelasan rehabilitasi secara eksplisit tertera dalam Pasal 1 (23) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

    Dalam beleid itu, rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang.

    Selain diadili tanpa alasan, rehabilitasi juga merupakan hak pemulihan karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

    Adapun, pada Pasal 95 ayat (1) KUHAP mengatur soal hak penerima rehabilitasi. Dalam hal ini, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

  • Usai Kasus Kolaka Timur, KPK Usut Dugaan Korupsi di 31 RSUD

    Usai Kasus Kolaka Timur, KPK Usut Dugaan Korupsi di 31 RSUD

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan korupsi di 31 proyek Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Dugaan ini setelah KPK menetapkan 8 tersangka di kasus dugaan korupsi pembangunan RSUD Kolaka Timur.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan pihaknya tengah mendalami proyek-proyek dari Kementerian Kesehatan.

    “Kita juga mendalami untuk yang 31 rumah sakit yang lainnya, karena kami menduga juga tidak hanya di perkara yang Kolaka Timur ini, ada peristiwa pidana seperti ini,” kata Asep, dikutip Selasa (25/11/2025).

    Termasuk, kata Asep, penyidik lembaga antirasuah akan memeriksa pihak-pihak di Kementerian Kesehatan mulai dari jajaran bawah ke jajaran atas atau dari pegawai hingga tingkat Dirjen. Hal ini sekaligus mengusut aliran dana yang diduga diterima oleh beberapa pihak.

    Namun, Asep tengah bekerja sama dengan Deputi Pencegahan untuk mencegah tindak pidana korupsi, khsusunya pada proyek pembangunan RSUD.

    “Nah ini kan kickback-nya tidak langsung ke top managernya, dan ini melalui orang-orang atau bawahannya,” ujar Asep.

    Diketahui proyek pembangunan RSUD masuk program Quick Wins di bidang kesehatan dirancang meningkatkan akselerasi implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, di mana salah satu poinnya adalah menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan gratis, menuntaskan kasus TBC, dan membangun rumah sakit lengkap berkualitas di kabupaten.

    Adapun dana alokasi Kemenkes tahun 2025 untuk program peningkatan kualitas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dari tipe D menjadi tipe C mencapai Rp4,5 triliun, diantaranya untuk proyek peningkatan kualitas pada 12 RSUD dengan menggunakan dana Kemenkes dan 20 RSUD yang menggunakan dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan.

    Pada Kabupaten Kolaka Timur mendapatkan DAK Rp126,3 miliar. Namun terjadi kasus dugaan suap penerimaan yang melibatkan Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis karena telah mengatur penentuan perusahan yang akan menggarap proyek tersebut, sehingga dirinya menjadi tersangka.

  • Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi Pertanda Potret Buram Peradilan RI?

    Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi Pertanda Potret Buram Peradilan RI?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah baru saja membebaskan Ira Puspadewi, karena adanya tuduhan merugikan negara saat ASDP mengakuisi PT Jembatan Nusantara.

    Ira dituduh karena dianggap merugikan negara hingga Rp1,25 triliun. Namun, dia tidak terima telah dituduh merugikan negara, sebab dia mengklaim tidak ada uang sepeserpun masuk ke pribadinya.

    Pada 6 November 2025, terdakwa Ira Puspadewi dalam persidangan mengatakan tidak terima disebut merugikan negara. Ira meyakini akuisisi tersebut tidak merugikan negara, tetapi menguntungkan karena mendapatkan 53 kapal dengan izin operasi.

    Kasus Ira mendapatkan banyak perhatian masyarakat di Indonesia dan menjadi viral. Kasus ini dianggap mirip kasus Tom Lembong dalam kasus gula. Saat di pengadilan, Tom juga mengaku bahwa tidak ada mengantongi dana sepeserpun dan tidak ditemukan mens rea.

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP tahun 2019–2022.

    Empat tersangka tersebut adalah Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono, dan pemilik PT JN bernama Adjie.

    Lalu, pada 20 November 2025, majelis hakim memvonis Ira selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, sementara Yusuf dan Harry dijatuhi pidana 4 tahun penjara. Mereka divonis merugikan keuangan negara senilai Rp1,25 triliun.

    Walaupun demikian, Hakim Ketua Sunoto sempat menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dengan memandang perbuatan ketiga terdakwa bukan tindak pidana korupsi.

    Pada 25 November 2025, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengumumkan Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa kasus tersebut.

    Rehabilitasi dari Presiden Prabowo

    Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Ferry Indonesia (Persero) Ira Puspadewi setelah divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa hari lalu. 

    Rehabilitasi dari Prabowo diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Istana, Selasa (25/11/2025). 

    Dasco mengungkapkan permasalahan yang terjadi di PT ASDP yang terjadi pada periode Juli 2024, berbagai pengaduan dan aspirasi kepada DPR RI. 

    “Kami kemudian meminta kepada komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap perkara untuk mulai dilakukan penyelidikan sejak bulan Juli 2024. Hasil kajian hukum kemudian kami sampaikan kepada pemerintah. Terhadap perkara 68 Pidsus/ TPK/2025/PN/Jakarta Pusat atas nama Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono, dengan komunikasi dengan pihak pemerintah Alhamdulillah pada hari ini, Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap ketiga nama tersebut,” ujar Dasco.

    Alur Pembebasan Ira Puspadewi

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons pemberian rehabilitasi kepada tiga mantan Direksi PT ASDP yang sebelumnya terseret kasus korupsi akusisi kapal milik PT Jembatan Nusantara (PT JN).

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan pemberian rehabilitasi merupakan hak prerogatif presiden dan menghormati putusan tersebut.

    “Terkait dengan rehabilitasi tentunya KPK menghormati ya keputusan rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden sebagai hak preoregatif dari Presiden ya kepada tiga direksi PT ASDP tersebut,” kata Asep kepada jurnalis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025).

    KPK menjelaskan alur pembebasan ketiga terdakwa kasus dugaan korupsi dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022, termasuk Ira Puspadewi, usai pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan lembaga antirasuah harus menerima terlebih dahulu surat keputusan pemberian rehabilitasi dari pemerintah, yakni Kementerian Hukum.

    “Setelah itu, kami segera melakukan proses terhadap surat tersebut,” ujar Asep dikutip dari Antara, Rabu (26/11/2025).

    Dia kemudian menjelaskan bahwa pimpinan KPK akan mengeluarkan surat keputusan untuk membebaskan ketiga terdakwa tersebut setelah seluruh proses telah selesai dilakukan.

    “Jadi, ada proses. Kita tunggu saja petugas dari Kementerian Hukum mengantarkan surat keputusan tersebut,” katanya.

    Kendati demikian, pihaknya masih menunggu surat dari Kementerian Hukum untuk nantinya ditindak lanjuti. Asep menjelaskan, wewenang jaksa lembaga antirasuah adalah saat proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan.

  • Apa Alasan Presiden Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 November 2025

    Apa Alasan Presiden Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi? Nasional 26 November 2025

    Apa Alasan Presiden Prabowo Rehabilitasi Ira Puspadewi?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI Prabowo Subianto memutuskan untuk memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi. Apa alasannya?
    Ira sebelumnya divonis penjara 4,5 tahun dalam kasus korupsi terkait kerja sama usaha (KSU) dan proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada periode 2019–2022.
    Selain Ira, ada juga mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Muhammad Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono yang turut mendapatkan rehabilitasi dari Kepala Negara.
    Dengan rehabilitasi dari Prabowo ini, maka hak dan martabat mereka akan dipulihkan.
    Sebab, status terpidana otomatis gugur ketika Ira dan kawan-kawan direhabilitasi.
    “Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah alhamdullilah pada hari ini Presiden RI
    Prabowo Subianto
    telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut,” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam jumpa pers di Istana, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
    Lantas, apa alasan Prabowo memberikan rehabilitasi kepada
    Ira Puspadewi
    ?
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan alasan Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi, Harry Muhammad Adhi Caksono, dan Muhammad Yusuf Hadi.
    Prasetyo menjelaskan, pemberian rehabilitasi ini diawali dari aspirasi masyarakat yang ditampung oleh DPR.
    Selain itu, kata dia, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum (Kemenkum) juga menerima aspirasi terkait kasus-kasus hukum, termasuk apa yang menimpa Ira Puspadewi.
    “Segala sesuatu yang berkenaan dengan kasus-kasus yang terjadi, dan itu ada jumlahnya banyak sekali, yang dalam prosesnya dilakukan pengkajian dilakukan telaah dari berbagai sisi, termasuk pakar hukum yang kemudian atas surat usulan dari permohonan dari DPR yang kemudian ditindaklanjuti dalam satu minggu ini oleh Menteri Hukum,” ujar Prasetyo.
    Selanjutnya, pemerintah bersurat kepada Presiden Prabowo Subianto agar kepala negara menggunakan hak rehabilitasi untuk Ira Puspadewi, serta dua pejabat ASDP lainnya, yakni Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi.
    “Dan Bapak Presiden memberikan keputusan untuk menggunakan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan kasusnya, sudah berjalan cukup lama kepada menimpa kepada Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP,” jelasnya.
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan usulan rehabilitasi terhadap ketiga orang itu sampai dibawa ke rapat terbatas (ratas).
    Walhasil, Prabowo pun memberikan persetujuan untuk menggunakan haknya dalam merehabilitasi ketiga orang tersebut.
    “Dibicarakan dalam rapat terbatas, dan Bapak Presiden memberikan keputusan untuk menggunakan hak beliau di dalam kasus yang tadi sudah disebutkan kasusnya sudah berjalan cukup lama kepada menimpa Dirut ASDP beserta beberapa orang jajaran di ASDP,” ujar Prasetyo.
    Lalu, Prasetyo menjelaskan, Prabowo baru membubuhkan tanda tangan terhadap surat rehabilitasi itu pada Selasa sore kemarin.
    Adapun keputusan rehabilitasi ini selanjutnya akan diproses sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Ira Puspadewi dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) tahun 2019-2022.
    “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan penjara, dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Sunoto saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta pada Kamis, 20 November 2025.
    Hakim menyatakan, eks Dirut ASDP itu terbukti menguntungkan orang lain atau suatu korporasi, yakni PT JN.
    Terhadap Ira dinyatakan telah melanggar dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.
    Namun, dalam putusannya, hakim menyatakan Ira Puspadewi tidak menerima uang hasil perbuatan korupsinya.
    Meskipun demikian, Ira tetap dinyatakan terbukti bersalah karena karena telah memperkaya orang lain atau suatu korporasi, yaitu pemilik PT JN, Adjie sebesar Rp 1,25 triliun dari proses akusisi PT JN oleh ASDP.
    “Perbuatan terdakwa bukan kesalahan murni untuk melakukan korupsi, tapi kelalaian berat tanpa kehati-hatian dan iktikad baik dalam prosedur dan tata kelola aksi korporasi PT ASDP,” ujar Hakim Anggota Nur Sari Baktiana.
    Merespons putusan hakim, Ira Puspadewi menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi.
    “Kami ingin sedikit mengulang kembali, seperti yang dinyatakan majelis hakim, kami tidak korupsi sama sekali,” ujar Ira usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
    Menurut dia, akuisisi PT JN bukanlah hal yang merugikan negara atau menguntungkan pihak tertentu, tetapi strategis untuk mendukung operasional ASDP.
    “Dengan adanya akuisisi ini, maka posisi ASDP yang melayani wilayah-wilayah 3T, terpinggir, terluar, terdepan, itu akan menjadi lebih kuat,” katanya.
    Ira juga mengatakan, ASDP diuntungkan karena mendapatkan 53 kapal yang sudah memiliki izin di trayek komersial, dari akuisisi PT JN.
    “Kami perlu akuisisi di mana akuisisi PT JN ini adalah perusahaan yang memiliki izin 53 kapal berlayar di trayek komersial semua. Ini memperkuat trayek komersial maka kekuatan ASDP untuk mensubsidi silang akan lebih mudah,” katanya.
    Untuk itu, Ira meminta perlindungan hukum kepada Presiden Prabowo Subianto.
    “Kami mohon perlindungan hukum dari Presiden RI bagi profesional, khususnya BUMN yang melakukan proposal besar untuk bangsa, bukan hanya untuk perusahaan tapi untuk bangsa Indonesia,” ujar Ira Puspadewi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Beberkan Alur Pembebasan Ira Puspadewi Usai Terima Rehabilitasi Prabowo

    KPK Beberkan Alur Pembebasan Ira Puspadewi Usai Terima Rehabilitasi Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan alur pembebasan ketiga terdakwa kasus dugaan korupsi dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tahun 2019-2022, termasuk Ira Puspadewi, usai pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan lembaga antirasuah harus menerima terlebih dahulu surat keputusan pemberian rehabilitasi dari pemerintah, yakni Kementerian Hukum.

    “Setelah itu, kami segera melakukan proses terhadap surat tersebut,” ujar Asep dikutip dari Antara, Rabu (26/11/2025).

    Ia kemudian menjelaskan bahwa pimpinan KPK akan mengeluarkan surat keputusan untuk membebaskan ketiga terdakwa tersebut setelah seluruh proses telah selesai dilakukan.

    “Jadi, ada proses. Kita tunggu saja petugas dari Kementerian Hukum mengantarkan surat keputusan tersebut,” katanya.

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP tahun 2019–2022.

    Empat tersangka tersebut adalah Direktur Utama PT ASDP periode 2017–2024 Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019–2024 Muhammad Yusuf Hadi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020–2024 Harry Muhammad Adhi Caksono, dan pemilik PT JN bernama Adjie.

    Sementara itu, KPK telah melimpahkan berkas perkara untuk tiga tersangka dari PT ASDP ke jaksa penuntut umum.

    Pada 6 November 2025, terdakwa Ira Puspadewi dalam persidangan mengatakan tidak terima disebut merugikan negara.

    Ira meyakini akuisisi tersebut tidak merugikan negara, tetapi menguntungkan karena mendapatkan 53 kapal dengan izin operasi.

    Pada 20 November 2025, majelis hakim memvonis Ira selama 4 tahun dan 6 bulan penjara, sementara Yusuf dan Harry dijatuhi pidana 4 tahun penjara. Mereka divonis merugikan keuangan negara senilai Rp1,25 triliun.

    Walaupun demikian, Hakim Ketua Sunoto sempat menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dengan memandang perbuatan ketiga terdakwa bukan tindak pidana korupsi.

    Pada 25 November 2025, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya mengumumkan Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa kasus tersebut.

  • Anak Riza Chalid Tulis Surat dari Dalam Sel, Bela Ayah di Kasus Korupsi Minyak

    Anak Riza Chalid Tulis Surat dari Dalam Sel, Bela Ayah di Kasus Korupsi Minyak

    Bisnis.com, JAKARTA — Anak tersangka Mohammad Riza Chalid, Muhamad Kerry Adrianto Riza menyatakan ayahnya tidak terlibat dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah.

    Kerry mengaku kegiatan sewa menyewa antara terminal BBM dengan Pertamina merupakan kegiatan usaha dirinya sendiri tanpa melibatkan Riza Chalid.

    “Jadi kegiatan saya ini, hanya sewa-menyewa terminal BBM antara saya dengan Pertamina. Usaha ini adalah usaha saya sendiri dan tidak ada keterlibatan ayah saya,” ujar Kerry di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025).

    Dia menyatakan kegiatan sewa menyewa terminal BBM ini justru telah menguntungkan PT Pertamina. Sebab, perusahaan plat merah itu bisa melakukan efisiensi Rp145 miliar per bulan.

    Bahkan, berdasarkan klaim Kerry, kegiatan penyewaan terminal BBM masih berlangsung atau digunakan Pertamina.

    “Usaha ini memberikan manfaat yang besar kepada Pertamina, sebagaimana saksi dari Pertamina di persidangan yang menyatakan bahwa dengan menggunakan terminal saya, Pertamina mendapatkan efisiensi sampai Rp 145 miliar per bulan,” Imbuhnya.

    Di samping itu, Kerry mengemukakan telah menumpahkan isi pikirannya terkait dalam perkara ini melalui surat yang telah ditulisnya saat berada di sel tahanan.

    Berikut isi surat lengkap yang ditulis Kerry di tahanan pada Senin  (24/11/2025):

    Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Dengan kerendahan hati, izinkan saya menulis surat ini sebagai warga negara, pengusaha, suami, anak dan ayah, yang kini diperlakukan seolah musuh negara.

    Saya bukan pejabat publik, dan tidak pernah mengambil uang negara. Nama saya dicitrakan sebagai penjahat besar, seakan saya adalah sumber masalah negeri. Di mana keadilan? Rumah saya digeledah. Saya dibawa dan diperiksa tanpa didahului panggilan atau prosedur yang benar. Lalu, tiba-tiba ditahan sejak 25 Februari 2025. Hampir delapan bulan saya mendekam, menunggu kepastian hukum.

    Selama penahanan, nama baik saya dihancurkan dan keluarga saya yang menanggung stigma. Mirisnya, tuduhan liar terus bergulir di ruang publik. Bukan hanya saya yang menjadi korban, ayah saya juga dituduh sebagai dalang dan mendanai demonstrasi ‘Bubarkan DPR’ Agustus lalu tanpa ada satupun bukti.

    Ayah saya tidak mungkin melakukan hal tersebut, ayah saya bahkan dijadikan tersangka, dituduh sebagai beneficial owner OTM, padahal namanya tidak tercatat dan tidak pernah terlibat di perusahaan.

    Perlu saya tegaskan, fakta inti yang sering dipelintir. Saya tidak merugikan negara, tidak menjual beli minyak, apalagi mengoplos BBM secara ilegal. Bisnis saya hanyalah menyewakan tangki penyimpanan BBM kepada Pertamina. Tuduhan kerugian negara Rp 285 triliun adalah fitnah keji. Angka ini tanpa dasar audit resmi dan tidak logis, sebab aktivitas saya justru membantu negara mengamankan cadangan energi.

    Faktanya, kegiatan saya membantu negara menghemat dan memperkuat distribusi energi, dengan manfaat hingga Rp145 miliar per bulan, terbukti di persidangan.

    Terminal tangki BBM ini saya beli dengan menggunakan pinjaman bank, bukan warisan, dan sampai kini setelah lebih dari 10 tahun pinjaman bank OTM pun belum lunas. Jika tangki BBM saya bermasalah, mengapa masih digunakan oleh Pertamina? Mengapa saya dikorbankan?

    Saya juga difitnah bermain golf di Thailand dengan uang korupsi Rp 170 miliar. Padahal, saya tidak pernah bermain golf. Ini adalah pembunuhan karakter.

    Saya masih dituduh merugikan negara Rp 285 triliun, padahal di dalam dakwaan saya dituduh merugikan negara atas penyewaan OTM senilai Rp 2,4 triliun dan ini adalah total nilai kontrak sewa nilai selama 10 tahun. Selama 10 tahun periode kontrak ini, tangki BBM OTM dipakai secara maksimal dan memberikan manfaat kepada negara. Bagaimana bisa saya didakwa merugikan negara senilai kontrak sewa sedangkan tangki BBM saya dipakai dengan maksimal oleh Pertamina, bukan sebuah kontrak fiktif melainkan kontrak sah. Menurut berbagai dokumen resmi, yaitu BPKP dan KPK, sama sekali tidak ditemukan pelanggaran dalam kerja sama ini yang melanggar hukum.

    Bahkan saksi Karen Agustiawan mantan dirut Pertamina menyatakan tidak tahu OTM dimiliki siapa. Saksi Hanung juga membantah pernah ditekan oleh ayah saya. Tapi framing tetap berjalan, opini tetap digoreng. Terminal merak yang saya sewakan kepada Pertamina terbukti meningkatkan kapasitas stok BBM nasional, menekan biaya impor, menambah efisiensi distribusi. Ini manfaatnya nyata, bukan korupsi.

    Semoga apa yang saya tulis dalam surat ini, terdengar oleh pemimpin negara kita. Saya tidak minta perlakuan istimewa atau pembebasan tanpa proses. Saya hanya memohon proses hukum yang adil, yang tidak didikte oleh fitnah, opini, atau kepentingan tersembunyi. Biarkan keadilan berdiri di atas fakta, bukan gosip. Izinkan saya dan keluarga mendapatkan kembali hak kami sebagai warga negara yang dilindungi hukum.

  • KPK Tetapkan 2 Tersangka Kasus Proyek Fiktif PT PP, Langsung Ditahan 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 November 2025

    KPK Tetapkan 2 Tersangka Kasus Proyek Fiktif PT PP, Langsung Ditahan Nasional 25 November 2025

    KPK Tetapkan 2 Tersangka Kasus Proyek Fiktif PT PP, Langsung Ditahan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka terkait kasus dugaan korupsi proyek fiktif di lingkungan PT Pembangunan Perumahan (PT PP) pada Selasa (25/11/2025).
    Kedua tersangka adalah
    Didik Mardiyanto
    selaku Kepala Divisi (Kadiv) Engineering, Procurement, and Construction (EPC) PT PP dan
    Herry Nurdy
    selaku Senior Manager, Head of Finance & Human Capital Department Divisi EPC PT PP.
    “Setelah dilakukan serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, berdasarkan kecukupan alat bukti, KPK kemudian menetapkan 2 tersangka yaitu DM selaku Kadiv EPC PT PP, dan HNN selaku senior manager Head of Finance & Human Capital Department Divisi EPC PT PP,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
    Asep mengatakan, para tersangka ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 25 November sampai 14 Desember 2025, di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK.
    Asep mengatakan, kasus ini bermula selama periode 2022-2023, saat Divisi EPC PT PP memiliki beberapa proyek pekerjaan baik yang dikerjakan sendiri ataupun yang bersifat konsorsium atau
    joint operation
    .
    Dia mengatakan, Didik Mardiyanto memerintahkan Herry Nurdy menyediakan dana sebesar Rp 25 miliar yang diklaim untuk keperluan Proyek Cisem dari tender yang dimenangkan oleh Divisi EPC PT PP.
    Kemudian untuk membuat pengeluaran terlihat wajar, terjadi pengaturan penggunaan vendor atas nama PT AW dengan menggunakan nama
    office boy
    , untuk dibuatkan dokumen
    purchase order
    beserta tagihan fiktifnya dan validasi atas dokumen pembayaran tersebut.
    “Setelah dana dibayarkan kepada masing-masing vendor fiktif, DM (Didik) dan HNN (Herry) menerima dana pencairan dari vendor fiktif tersebut, melalui stafnya dalam bentuk valas,” ujarnya.
    Asep mengatakan, selain menggunakan vendor fiktif atas nama korporasi dan perseorangan, terdapat vendor fiktif lainnya pada beberapa proyek pekerjaan lain dengan nilai proyek Rp 10,8 miliar.
    Asep mengatakan, perbuatan melawan hukum dengan modus penggunaan vendor fiktif ini, kembali dilakukan Didik dan Herry secara berulang kali.
    “Dalam kurun Juni 2022 sampai dengan Maret 2023 terdapat 9 proyek fiktif dengan total mencapai Rp 46,8 miliar,” ujarnya.
    Asep mengatakan, perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara setidaknya senilai Rp 46,8 miliar.
    “Akibat adanya pengeluaran dari kas perusahaan untuk pembayaran vendor fiktif yang tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi perusahaan,” tuturnya.
    Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tetapkan 2 Tersangka dalam Kasus Proyek Fiktif PTPP Senilai Rp46,8 Miliar

    KPK Tetapkan 2 Tersangka dalam Kasus Proyek Fiktif PTPP Senilai Rp46,8 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka sekaligus menahan 2 orang terkait dugaan korupsi proyek fiktif senilai total Rp46,8 miliar di lingkungan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. (PTPP).

    Plt. Deputi Eksekusi dan Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan penetapan setelah penyidik menghimpun barang bukti yang cukup.

    Keduanya adalah Didik Mardiyanto (DM) selaku Kepala Divisi (Kadiv) Engineering, Procurement, and Construction (EPC) PT Pembangunan Perumahan (PT PP) dan Herry Nurdy Nasution (HNN) selaku Senior Manager, Head of Finance & Human Capital Department Divisi EPC PT PP.

    “Para tersangka ditahan untuk 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 25 November sampai dengan 14 Desember 2025, di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK,” ujar Asep saat konferensi pers, Selasa (25/11/2025).

    Divisi EPC memiliki sejumlah proyek baik bersifat konsorsium atau joint operation periode 2022-2023. Pada Juni 2022, Didik memerintahkan Herry menyediakan Rp25 miliar yang diklaim untuk keperluan proyek Cisem dan tender yang dimenangkan Divisi EPC.

    Terjadi pengkondisian penunjukan vendor atas nama PT Adipati Wijaya dengan menggunakan nama Eris Pristiawan dan Fachrul Rozi selaku office boy. Mereka diminta membuatkan purchase order beserta tagihan fiktif dan validasi atas dokumen pembayaran.

    Setelah dana dicairkan dan dibayar ke masing-masing vendor fiktif, Didik dan Herry menerima dana tersebut melalui stafnya dalam bentuk valas.

    Selain itu, terdapat proyek fiktif lainnya atas nama Karyadi selaku driver, Apriyandi selaku office boy, Kurniawan selaku Staff Keuangan Divisi EPC PT PP dengan nilai proyek Rp10,8 miliar.

    Asep menyebutkan dalam kurun waktu Juni 2022 – Maret 2023 terdapat 9 proyek fiktif dengan total mencapai Rp46,8 miliar untuk dikerjakan Divisi EPC PT PP.

    Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

  • Soroti Rehabilitasi Presiden Prabowo, Mardani Ali Sera: Berapa Lama Bisa Bertahan Kalau Kayak Gini Terus Sistem Penegakan Hukum Kita?

    Soroti Rehabilitasi Presiden Prabowo, Mardani Ali Sera: Berapa Lama Bisa Bertahan Kalau Kayak Gini Terus Sistem Penegakan Hukum Kita?

    “Tapi hrs ada pelajaran ug diambil. Sesudah Tom Kembong, Mas Hasto dan kini Mba Ira kita perlu bertanya how low can you go?,” kata Mardani Ali Sera.

    Sebelumnya, Presiden RI, Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua terdakwa lain dalam kasus korupsi yang sama, yakni Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, juga mendapatkan keputusan rehabilitasi presiden.

    Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan keputusan tersebut dikeluarkan setelah DPR menerima berbagai masukan dari publik.

    “Setelah DPR RI menerima berbagai aspirasi dari masyarakat dan kelompok masyarakat, kami kemudian meminta komisi hukum untuk melakukan kajian terhadap penyelidikan yang dimulai sejak Juli 2024,” ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Selasa (25/11).

    Ia menambahkan, “Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut.”

    Sebelumnya, Ira Puspadewi dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi terkait kerja sama usaha dan proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019–2022.

    Hakim Ketua Sunoto menyatakan Ira terbukti memperkaya pemilik PT JN, Adjie, senilai Rp 1,25 triliun melalui akuisisi tersebut. “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ira Puspadewi dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara,” kata Sunoto saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

    Majelis hakim menyebut Ira tidak menerima keuntungan pribadi sehingga tidak dikenakan kewajiban uang pengganti.