Anies: Saya Sahabat Tom Lembong, Saya Ikuti Terus Perjalanan Sidang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Mantan Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan
mengaku terus mengikuti sidang kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Anies mengaku terus mengikuti jalannya persidangan tersebut karena ia menanggap
Tom Lembong
sebagai seorang sahabat.
“Saya datang sebagai sahabat dari Tom, selama ini juga mengikuti terus seluruh perjalanan persidangan,” kata Anies usai menghadiri
sidang Tom Lembong
di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (24/6/2025).
Anies mengatakan, ia mengikuti persidangan melalui rekaman dan data-data fakta sidang.
Namun, kali ini ia hadir secara langsung di sidang Tom Lembong.
Pertemuannya dengan Tom Lembong hari ini pun dimanfaatkannya untuk saling berbagi kabar, salah satunya soal Anies yang kini sudah mempunyai seorang cucu.
Hal itu pun membuat Tom Lembong tampak terkejut dan tertawa berbahagia.
“Jadi saya mau cerita langsung ke Tom bahwa Tia (putri Anies) dan Ali sudah mempunyai anak, tadi saya sampaikan kepada Tom,” ujar Anies.
Menurut Anies, keluarganya dengan keluarga Tom Lembong memang dekat.
Namun, karena menjalani masa penahanan, Tom Lembong tidak bisa mengikuti kabar keluarganya.
“Kami ini bersahabat dalam artian sesungguhnya, dan keluarga kita dekat,” ujar Anies.
Diketahui, Anies dan Tom Lembong sama-sama pernah menjadi menteri pada Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo.
Anies dan Tom Lembong juga berada dalam satu kubu pada Pemilihan Presiden 2024.
Tom Lembong merupakan salah satu anggota tim sukses Anies Baswedan yang maju sebagai calon presiden.
Sementara itu, diketahui bahwa Tom Lembong kini berstatus terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
“Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak menunjuk Perusahaan BUMN untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula, melainkan Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, SKKP TNI-Polri,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-
/data/photo/2025/06/24/685a7b7f38c63.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anies: Saya Sahabat Tom Lembong, Saya Ikuti Terus Perjalanan Sidang Nasional 24 Juni 2025
-

Kejagung Soal Ahli Minta Jokowi Jadi Saksi di Sidang Tom Lembong
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyerahkan kepada hakim soal pemanggilan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi importasi gula.
Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung atau Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan pemanggilan saksi di tengah persidangan sudah menjadi kewenangan penuh dari majelis hakim.
“Itu berpulang kepada dari sikap majelis hakim. Karena ini kan sudah dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan,” ujarnya di Kejagung, dikutip Selasa (24/6/2025).
Dia menambahkan, apabila hakim memang sudah menetapkan untuk memanggil Jokowi dalam persidangan. Maka, jaksa penuntut umum (JPU) dipastikan bakal menjalankan ketetapan hakim tersebut.
“JPU menjalankan penetapan, jaksa menjalankan putusan, nanti bagaimana terkait dengan itu, ya kita serahkan bagaimana pertimbangan majelis, apa yang menjadi perintah atau penetapan,” jelasnya.
Jokowi Harus Hadir
Sebelumnya, Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Wiryawan Chandra menyatakan Jokowi harus hadir di persidangan impor gula Tom Lembong.
Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, harus dihadirkan dalam sidang dugaan korupsi impor gula, dengan terdakwa Menteri Perdagangan 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, untuk memberikan keterangan.
Menurutnya, dalam fakta persidangan, terdapat salah satu saksi yang menyatakan bahwa ada arahan presiden yang menunjuk Induk Koperasi Kepolisian (INKOPPOL) untuk membantu proses pemenuhan gula.
“Kalau memang ada arahan Presiden dan Menteri melaksanakan tugas, perintah arahan Presiden. Maka sebaiknya ada bukti, bahwa memang Presiden membuat arahan, apakah mungkin ada nota dinas dan seterusnya. Kalau tidak, sebaiknya Presiden dihadirkan, Pak, untuk memberikan keterangan di sini bahwa memang dia memberikan arahan. Itu lebih clear, lebih objektif dan juga nanti akan jelas pertanggungjawabannya,” ujar Wiryawan saat menjadi saksi di PN Tipikor, Senin (23/6/2025).
-

KPK Usut Kasus Baru Dugaan Gratifikasi di Lingkungan MPR, Sudah Ada Tersangka
Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus baru berupa dugaan penerimaan gratifikasi di lingkungan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).
Kasus tersebut berupa dugaan penerimaan gratifikasi terkait dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan MPR. Lembaga antirasuah telah menetapkan satu orang tersangka.
“Sudah ada tersangka. Penyidik masih terus mendalami perkara ini dengan memeriksa para saksi,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Senin (23/6/2025).
Adapun terdapat dua orang saksi yang telah dipanggil oleh penyidik KPK pada hari ini. Dua orang itu adalah pejabat di lingkungan Sekretariat Jenderal (Setjen) MPR.
Mereka adalah Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Pengiriman dan Penggandaan Setjen MPR 2020-2021, Cucu Riwayati. Kemudian, Kelompok Kerja Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa Setjen MPR 2020, Fahmi Idris.
Adapun Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah dalam pernyataannya, Sabtu (21/6/2025), telah menyampaikan bahwa menyampaikan klarifikasi kasus yang tengah diusut KPK itu merupakan perkara lama yang terjadi antara rentang waktu 2019-2021.
Siti menyebut tidak ada keterlibatan unsur pimpinan MPR, baik yang lama maupun yang saat ini menjabat.
Selain itu, kasus tersebut merupakan kelanjutan yang sebelumnya telah dilakukan proses penyelidikan dan saat ini naik menjadi penyidikan.
“Perlu kami tegaskan bahwa kasus tersebut merupakan perkara lama yang terjadi pada masa 2019 sampai dengan 2021. Dalam hal ini, tidak ada keterlibatan pimpinan MPR RI, karena perkara tersebut merupakan tanggung jawab administratif dan teknis dari sekretariat, dalam hal ini Sekretaris Jenderal MPR RI pada masa itu, yaitu Bapak Dr. Ma’ruf Cahyono, SH, MH,” ujar Siti, dikutip dari keterangan tertulis, Senin (23/6/2025).
Dia juga menambahkan, proses yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi itu telah dan akan sepenuhnya diserahkan kepada KPK.
“MPR RI menghormati proses hukum yang berjalan dan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk menindaklanjuti sesuai kewenangan dan ketentuan hukum yang berlaku,” katanya.
-

Kasus Pertamina Masuk Tahap II, Riva Siahaan Cs Segera Disidang
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah melimpahkan barang bukti dan sembilan tersangka (tahap II) kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2019-2023.
Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mengatakan sembilan tersangka dan barang bukti perkara Pertamina dilimpahkan ke Kejari Jakarta Pusat.
“Hari ini [kasus] Pertamina tahap 2 ke Kejaksaan Negeri Jakpus,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (23/6/2025).
Sembilan tersangka itu mulai dari Dirut Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS); Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS), dan Direktur PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF).
Kemudian, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR); VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono (AP); dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo (GRJ).
Selanjutnya, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati (DW); Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK); dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne (EC).
Setelah pelimpahan ini, tim jaksa penuntut umum (JPU) bakal menyiapkan surat dakwaan untuk nantinya bakal dibacakan pada sidang perdana di PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat
Sekadar informasi, pada intinya kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker. Kedua belah pihak diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang periode 2018-2023.
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung mengungkap bahwa negara dirugikan sekitar Rp193,7 triliun.
-

Buron KPK Paulus Tannos Jalani Persidangan Ekstradisi di Singapura Hari Ini (23/6)
Bisnis.com, JAKARTA — Buron tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik atau e-KTP, Paulus Tannos menjalani committal hearing atau sidang perdana sebagai rangkaian proses ekstradisi yang diajukan pemerintah Indonesia, di Singapura, Senin (23/62025).
Sidang ini digelar mulai hari ini, 23 Juni sampai dengan 25 Juni 2025. Proses committal hearing ini dilaksanakan setelah Pengadilan Singapura menolak permohonan penangguhan penahanan (bail hearing) yang diajukan Paulus.
Kementerian Hukum, selaku otoritas pusat Pemerintah Indonesia yang menangai proses ekstradisi Paulus, menyebut koordinasi terus dilakukan dengan pihak Singapura, yakni Attorney General Chambers (AGC) atau Kejaksaan Singapura.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum, Widodo mengatakan AGC Singapura hingga saat ini terus berkoordinasi aktif dengan Kementerian Hukum RI untuk menyiapkan materi dan informasi pendukung yang terkait lainnya.
“Seperti terkait kelengkapan informasi mengenai saksi-saksi dan sanggahan atau tanggapan atas pernyataan PT yang disampaikan dalam bail hearing mengenai fakta-fakta dalam tindak pidana korupsi yang dituduhkan Pemerintah RI kepada yang bersangkutan,” ungkapnya melakui keterangan tertulis, dikutip Senin (23/6/2025).
Untuk diketahui, Paulus disebut telah menjalani beberapa kali penangguhan penahanan sejak 22 April 2025. Berdasarkan hukum yang berlaku di Singapura, pria bernama asli Thian Po Tjhin itu masih berhak untuk mengajukan penangguhan penahanan sepanjang didukung dengan alasan dan bukti yang mendukung.
Adapun setelah persidangan yang diselenggarakan dua hari ke depan, Pengadilan Singapura akan memutuskan apabila Paulus bisa diekstradisi ke Indonesia.
Namun demikian, masing-masing pihak nantinya masih memiliki satu kali kesempatan upaya hukum banding atas putusan pengadilan, sebelum akhirnya putusan memeroleh kekuatan hukum tetap.
Widodo menyebut, hingga persidangan berlangsung, Paulus masih belum secara sukarela menyerahkan diri untuk diekstradisi.
“Sampai saat ini PT belum menyampaikan kesediaannya untuk diserahkan secara sukarela kepada Pemerintah RI,” ujar Widodo.
Untuk diketahui, pihak otoritas Singapura yakni Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) melakukan penahanan sementara dengan jaminan (provisional arrest) terhadap Paulus pada awal 2025 ini.
Penahanan dilakukan setelah proses panjang sejak 2018, ketika Polri atas nama Pemerintah RI melalui Interpol Channel mengajukan provisional arrest terhadap Paulus.
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebut proses pemulangan Paulus masih panjang. Namun, dia memastikan pemerintah Indonesia telah melengkapi seluruh syarat dan dokumen ekstradisi yang dibutuhkan pemerintah Singapura di pengadilan.
Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, hal itu lantaran para pihak masih bisa mengajukan upaya hukum banding satu kali sebelum putusan memeroleh kekuatan hukum tetap.
“Ini prosesnya masih panjang teman-teman semua, karena setelah keputusan kalau ternyata nanti dinyatakan permohonan ekstradisi kita diterima, masing-masing pihak baik kita sebagai pemohon maupun yang bersangkutan masih memungkinkan untuk mengajukan upaya banding sekali dan karena itu kita tunggu,” tutur mantan Ketua Baleg DPR itu.
Untuk diketahui, Tannos menggugat penahannya secara sementara oleh otoritas di Singapura usai ditangkap pada 17 Januari 2025. Dia merupakan satu dari lima buron yang kini belum ditahan atau masih dikejar KPK.
Sementara itu, di Indonesia, proses penyelesaian kasus e-KTP masih berlangsung. Penyidik KPK masih mengusut dugaan korupsi e-KTP terhadap dua orang tersangka, yakni Tannos dan mantan anggota DPR, Miryam S. Haryani.
-

Pedagang Pecel Lele di Trotoar Bisa Kena UU Tipikor, Eko Kuntadhi Geram: Sekalian Pakai Saja UU Subversif
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial Eko Kuntadhi menyentil pernyataan salah satu pakar hukum yang menyebut bahwa pedagang pecel lele di trotoar bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pernyataan tersebut muncul dalam sebuah sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), dan memicu reaksi publik.
“Sekalian gunakan UU Subversif aja. Agar pecel lele di seluruh dunia dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikelelean dan perikepecelan,” kata Eko di X @EkoKuntadhi (22/6/2025).
Komentar tersebut mewakili kekhawatiran bahwa pendekatan hukum yang terlalu ekstrem bisa berujung pada kriminalisasi warga kecil yang mencari nafkah di sektor informal.
Sebelumnya, pakar hukum Chandra Hamzah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurutnya, ketentuan ini terlalu luas dan berpotensi menjerat pihak yang tidak semestinya, termasuk pedagang kecil seperti penjual pecel lele di trotoar jalan.
Dalam sidang perkara nomor 142/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/6/2025), Chandra menegaskan pentingnya kejelasan dalam perumusan tindak pidana.
Ia menolak adanya pasal yang kabur atau membuka ruang penafsiran luas, karena bisa melanggar asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (kejelasan hukum).
Ia menjelaskan bahwa jika Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dipahami secara ketat, maka seorang penjual pecel lele yang berjualan di trotoar dapat dianggap melanggar hukum.
“Penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ucap Chandra, seperti dikutip dari laman resmi MK.
-
/data/photo/2019/11/18/5dd22a67325d3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Eks Pimpinan KPK Sebut Penjual Pecel Lele di Trotoar Bisa Terjerat Korupsi, Mengapa? Nasional
Eks Pimpinan KPK Sebut Penjual Pecel Lele di Trotoar Bisa Terjerat Korupsi, Mengapa?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mantan Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi
(KPK) 2007-2009,
Chandra Hamzah
, menyebut
penjual pecel lele
di trotoar bisa dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (
UU Tipikor
).
Keterangan ini disampaikan Chandra saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang gugatan uji materiil di
Mahkamah Konstitusi
(MK) dengan Nomor Perkara 142/PUU-XXII/2024, Rabu (18/6/2025).
Dalam keterangan itu, Chandra tidak bermaksud mendorong pemidanaan penjual pecel lele, melainkan mempersoalkan ambiguitas atau ketidakjelasan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
“Maka penjual pecel lele bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana
korupsi
; ada perbuatan memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, sebagaimana dikutip dari situs resmi MK, Minggu (22/6/2025).
Untuk diketahui, Pasal 2 Ayat (1) mengatur tentang pidana bagi setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Ancaman pidananya minimal 20 tahun dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Sementara, Pasal 3 mengatur tentang setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Hukumannya paling singkat 1 tahun dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Kedua pasal itu, kata Chandra, dinilai menimbulkan persoalan karena tidak jelas.
Chandra menuturkan, dalam perumusan delik, tidak boleh ambigu dan ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas
legalitas lex certa
, bahwa undang-undang harus jelas dan pasti.
Selain itu, delik juga tidak boleh melanggar
lex stricta
, asas pidana yang menyatakan rumusan pidana harus dimaknai dengan ketat (tidak karet).
Menurut Chandra, dalam kasus penjual pecel lele di trotoar, sang penjual sudah memenuhi unsur setiap orang dan melakukan perbuatan melawan hukum. Sebab, pemerintah melarang trotoar digunakan untuk berjualan.
Unsur memperkaya diri sendiri dan merugikan negara juga terpenuhi karena penjual meraup keuntungan dan merugikan publik karena fasilitas negara bisa rusak.
“Kesimpulannya adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor, kalau saya berpendapat, untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas
lex certa
, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi,” ujar Chandra.
Sementara, Pasal 3 UU Tipikor menjadi persoalan karena memuat frasa “setiap orang” yang dinilai bisa mengingkari esensi korupsi. Sebab, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang korup.
Di sisi lain, pasal ini juga menegaskan jabatan atau kedudukan yang bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Chandra kemudian berpendapat agar Pasal 3 UU Tipikor bisa direvisi dan disesuaikan dengan Article 19 United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC).
“‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” ujar Chandra.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2022/12/10/6393e3120caa1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Kasus Dugaan Gratifikasi Diselidiki KPK, Sekjen MPR: Itu Perkara Lama Nasional
Kasus Dugaan Gratifikasi Diselidiki KPK, Sekjen MPR: Itu Perkara Lama
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal (Sekjen)
MPR
RI,
Siti Fauziah
menanggapi
dugaan korupsi
pemberian
gratifikasi
yang menyeret institusi MPR.
Siti menegaskan bahwa kasus yang tengah diusut
Komisi Pemberantasan Korupsi
(
KPK
) itu merupakan perkara lama yang terjadi pada rentang waktu 2019-2021.
Dia juga memastikan tidak ada keterlibatan unsur pimpinan MPR, baik yang lama maupun yang saat ini menjabat.
Selain itu, menurut Siti, kasus tersebut merupakan kelanjutan dari proses penyelidikan sebelumnya yang saat ini naik menjadi penyidikan.
“Perlu kami tegaskan bahwa kasus tersebut merupakan perkara lama yang terjadi pada masa 2019 sampai dengan 2021,” kata Siti Fauziah dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (22/6/2025).
“Dalam hal ini, tidak ada keterlibatan pimpinan MPR RI, karena perkara tersebut merupakan tanggung jawab administratif dan teknis dari sekretariat, dalam hal ini Sekretaris Jenderal MPR RI pada masa itu, yaitu Bapak Dr. Ma’ruf Cahyono, SH, MH,” lanjutnya.
Dia mengatakan, seluruh proses yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi itu telah dan akan sepenuhnya diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“MPR RI menghormati proses hukum yang berjalan dan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk menindaklanjuti sesuai kewenangan dan ketentuan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Siti mengatakan, penegasan ini disampaikan untuk meluruskan pemberitaan dan opini publik yang beredar.
Dia juga memastikan bahwa institusi MPR RI tetap berkomitmen menjaga integritas dan transparansi dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan.
“Sekali lagi kami sampaikan, tidak ada keterlibatan pimpinan MPR, baik yang saat ini menjabat maupun pimpinan pada periode sebelumnya. Fokus perkara ini berada pada ranah administratif sekretariat jenderal pada masa itu,” tuturnya.
Siti menegaskan bahwa MPR RI berkomitmen untuk mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut dugaan penerimaan gratifikasi terkait pengadaan di MPR RI.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo membenarkan hal tersebut.
Dia mengatakan, kasus tersebut masuk dalam tahap penyidikan baru. “Benar, ada penyidikan baru (di MPR RI),” kata Budi saat dikonfirmasi, Jumat (20/6/2025).
Meski demikian, Budi belum mengungkapkan tersangka dan penahanannya dalam perkara tersebut.
Budi juga belum mengungkapkan upaya paksa KPK dalam perkara itu, seperti penggeledahan dan penyitaan barang bukti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Saya Semakin Yakin Tak Ada Korupsi, Tak Ada Kerugian Negara
PIKIRAN RAKYAT – Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menyatakan keyakinannya bahwa tidak terdapat unsur korupsi maupun tindak pidana dalam kasus impor gula kristal mentah yang kini tengah disidangkan.
Dalam keterangannya usai sidang lanjutan, Jumat malam, 21 Juni 2025, Tom mengaku semakin percaya diri menghadapi agenda pemeriksaan ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dijadwalkan ulang.
“Saya sangat-sangat percaya diri, sangat confident, sangat mantap akan menghadapi ahli BPKP. Saya semakin yakin bahwa tidak ada kerugian negara. Saya semakin yakin bahwa tidak ada tindak pidana korupsi. Jangankan korupsi, saya semakin yakin tidak ada tindak pidana,” ujar Tom Lembong.
Sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta semestinya menghadirkan ahli dari BPKP. Namun, menurut keterangan Tom, pihak BPKP berhalangan hadir karena sakit. Pemeriksaan terhadap ahli tersebut dijadwalkan ulang pada Senin mendatang.
“Sayangnya, ahli dari BPKP hari ini berhalangan hadir, perasaan sedang sakit. Jadi ditunda sampai hari Senin (23 Juni 2025),” ujarnya.
Dalam pernyataan lengkapnya, Tom juga menyinggung peran eks Mendag Enggartiasto Lukita (Pak Enggar), serta kontinuitas kebijakan impor gula yang disebutnya telah berlangsung sejak era reformasi dan terus berlanjut hingga kini. Ia menyebut seluruh proses dilakukan transparan dan sesuai hukum.
“Semua menteri perdagangan sejak era reformasi dan setelah saya serta Pak Enggar melakukan hal yang sama. Menggunakan aturan yang sama, dasar hukum yang sama, cara yang transparan yang sama, semua ditembuskan kepada presiden dan menteri-menteri terkait,” kata dia menegaskan.
Ia pun mempertanyakan dasar dari tuduhan terhadapnya, mengingat kebijakan impor gula disebut sebagai hal yang rutin dan tak pernah bermasalah selama bertahun-tahun.
“Kebijakan impor gula adalah sebuah kebijakan yang rutin, yang sudah berjalan bertahun-tahun sebelum saya dan Pak Enggar menjabat, dan diteruskan bertahun-tahun setelah kami menjabat. Dan tidak pernah ada masalah sampai Oktober tahun lalu,” kata Tom.
Meski tak menampik kemungkinan ada kekeliruan administratif, ia menegaskan hal itu bukan termasuk ranah pidana, apalagi korupsi.
“Kalau kesalahan administrasi sampai sini bisa jadi, tapi itu bukan sebuah tindak pidana, apalagi tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Tom Lembong sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024, terkait dugaan korupsi dalam pengaturan kuota impor gula kristal mentah tahun 2015–2016, yang disebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp578 miliar.
Ia kini tengah menjalani proses persidangan dan mengajukan pembelaan terhadap dakwaan tersebut. ***
