Kasus: Tipikor

  • PDIP Yakin Hasto Divonis Bebas Besok

    PDIP Yakin Hasto Divonis Bebas Besok

    GELORA.CO -DPP PDIP meyakini Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat akan memvonis bebas Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pada Jumat besok, 25 Juli 2025.

    Keyakinan itu didasari dari sejumlah fakta persidangan kasus yang menjerat Hasto Kristiyanto dalam beberapa kesempatan.

    “Kalau urusan besok kami optimis bahwa Pak Hasto Insya Allah, kalau membaca dari setiap babak persidangan akan bebas,” kata Ketua DPP PDIP Said Abdullah kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 24 Juli 2025. 

    Sementara itu, Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani tidak bicara banyak. 

    Ia hanya mendoakan yang terbaik untuk Hasto Kristiyanto.

    “Yang terbaik,” ucap Puan singkat.

    Diberitakan RMOL sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat akan menggelar sidang pembacaan vonis terhadap Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pada Jumat, 25 Juli 2025. 

    Hasto menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR untuk Harun Masiku dan perintangan penyidikan. Jaksa menuntut Hasto dengan pidana penjara selama tujuh tahun

  • Kejagung Pastikan Bakal Panggil Nadiem Makarim Lagi

    Kejagung Pastikan Bakal Panggil Nadiem Makarim Lagi

    Bisnis.com, Jakarta — Penyidik Kejaksaan Agung memastikan bakal memeriksa eks Mendikbudristek Nadiem Makarim lagi di perkara korupsi pengadaan chromebook.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna mengatakan bahwa tim penyidik masih membutuhkan keterangan dari Nadiem Makarim terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan laptop berjenis chromebook tersebut dalam rangka melengkapi pemberkasan.

    Maka dari itu, Anang menegaskan penyidik bakal memanggil kembali Nadiem Makarim untuk dimintai keterangan sebagai saksi. “Jadi sepanjang diperlukan oleh penyidik untuk menambahkan keterangan, maka yang bersangkutan (Nadiem Makarim) pasti dipanggil lagi,” tuturnya di Kejaksaan Agung Jakarta, Kamis (24/7/2025).

    Anang menegaskan bahwa tidak hanya Nadiem Makarim saja yang akan dimintai keterangan, tetapi saksi-saksi pendukung lainnya untuk pemberkasan empat orang tersangka perkara korupsi pengadaan chromebook.

    “Tapi yang sekarang pemanggilan lebih pada saksi-saksi yang mendukung untuk keterangan terhadap empat tersangka. Itu saja dulu,” katanya.

    Sebelumnya, Kejagung menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada Kemendikbudristek dalam program digitalisasi pendidikan periode tahun 2019–2022. 

    Direktur Penyidikan pada Jampidsus Abdul Qohar mengungkapkan bahwa empat tersangka itu adalah JT (Jurist Tan) selaku Staf Khusus (Stafsus) Mendikbudristek tahun 2020–2024 dan IBAM (Ibrahim Arief) selaku mantan konsultan teknologi di Kemendikbudristek. 

    Kemudian, SW (Sri Wahyuningsih) selaku Direktur Sekolah Direktur Sekolah Dasar (SD) Direktorat PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020–2021 sekaligus sebagai kuasa pengguna anggaran di lingkungan Direktorat Sekolah Dasar pada tahun anggaran 2020–2021. 

    Terakhir, MUL (Mulyatsyah) selaku Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP) Direktorat PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Tahun 2020–2021 sekaligus sebagai kuasa pengguna anggaran di lingkungan Direktorat Sekolah Menengah pertama tahun anggaran 2020–2021. 

    “Dalam pelaksanaan pengadaan tersebut, SW, MUL, JT, dan IBAM telah melakukan perbuatan melawan hukum menyalahgunakan kewenangan dengan membuat petunjuk pelaksanaan yang mengarah ke produk tertentu, yaitu Chrome OS untuk pengadaan TIK pada tahun anggaran 2020–2022,” kata Qohar. 

    Akibat perbuatan para tersangka, negara diperkirakan mengalami kerugian sekitar Rp1,9 triliun.

  • Putusan Banding, Hukuman Eks Pejabat MA Zarof Ricar Diperberat Jadi 18 Tahun Penjara

    Putusan Banding, Hukuman Eks Pejabat MA Zarof Ricar Diperberat Jadi 18 Tahun Penjara

    Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menjadi 18 tahun penjara. Hukuman Zarof Ricar lebih lama 2 tahun dibandingkan dengan putusan pengadilan tingkat pertama yang hanya 16 tahun penjara. 

    Adapun, putusan majelis hakim tinggi Jakarta dibacakan oleh Albertina Ho yang juga mantan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembacaan putusan itu berlangsung pada hari ini, Kamis (24/7/2025). 

    Albertina saat membacakan putusan banding mengemukakan bahwa Zarof telah terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim untuk memengaruhi putusan perkara. Selain itu, Zarof juga terbukti menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya. 

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 tahun dan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” demikian dikutip dari laman resmi MA. 

    Putusan PN Tipikor

    Dalam catatan Bisnis, Zarof sebelumnya telah dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) agar dihukum maksimal menjalani pidana 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Namun majelis hakim PN Tipikor hanya memvonis eks pejabat Mahkamah Agung (MA) itu selama 16 tahun penjara.

    Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti menyatakan Zarof telah terbukti secara sah dan melakukan tindak pidana pemufakatan jahat terkait vonis bebas Ronald Tannur.

    Selain itu, Zarof juga dinilai bersalah atas dakwaan menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atas tugasnya.

    “Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun,” ujarnya di PN Tipikor, Jakarta, Rabu (18/6/2025).

    Kemudian, hakim juga membebankan denda Rp1 miliar terhadap Zarof. Adapun, jika uang itu tidak dibayar maka akan diganti dengan enam bulan pidana.

    “Dan denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti kurungan enam bulan,” pungkasnya.

  • Mahfud Harap Hasto Dapat Keadilan, Tak Bernasib Seperti Tom Lembong
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Juli 2025

    Mahfud Harap Hasto Dapat Keadilan, Tak Bernasib Seperti Tom Lembong Nasional 24 Juli 2025

    Mahfud Harap Hasto Dapat Keadilan, Tak Bernasib Seperti Tom Lembong
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
    Mahfud MD
    berharap, Sekretaris Jenderal PDI-P
    Hasto Kristiyanto
    mendapatkan keadilan pada sidang vonis
    kasus Harun Masiku
    , Jumat (24/7/2025).
    Mahfud tidak mau Hasto bernasib sama seperti eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias
    Tom Lembong
    yang menurutnya mendapatkan vonis tidak adil dalam kasus korupsi impor gula.
    “Saya tidak boleh meramal, tetapi saya berharap keadilan akan turun, tidak seperti Tom Lembong yang di mana itu putusannya memang mempunyai masalah-masalah yang sangat prinsipil,” ujar Mahfud di kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Kamis (24/7/2025).
    Mahfud berpandangan, hakim yang menangani perkara Tom Lembong tidak mengerti konsep antara norma dan asas, serta syarat dan unsur.
    Dia mengatakan, hakim yang tidak paham hal-hal seperti itu sangatlah berbahaya.
    Maka dari itu, Mahfud berharap Hasto bisa mendapat keadilan pada vonis besok.
    “Mudah-mudahan besok Mas Hasto juga mendapat keadilan. Seperti apa? Saya tidak tahu, karena itu hakim,” ujar dia.
    Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akan menggelar sidang pembacaan putusan terhadap Hasto pada Jumat besok.
    Diketahui, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Hasto selama tujuh tahun penjara.
    Dalam pertimbangannya, jaksa menilai Hasto tidak mengakui perbuatan perintangan penyidikan kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku.
    “Terdakwa tidak mengakui perbuatannya,” kata jaksa KPK Wawan Yunarwanto dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/7/2025).
    Tak hanya itu, jaksa menilai tindakan Hasto tersebut tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
    Selain pidana badan, jaksa juga menuntut Hasto dihukum membayar denda Rp 650 juta subsidair enam bulan kurungan.
    Dalam perkara ini, Hasto dinilai terbukti menyuap anggota KPU Wahyu Setiawan agar Harun Masiku menjadi anggota DPR lewat mekanisme PAW.
    Hasto juga dianggap telah menrintangi penyidikan terhadap Harun Masiku yang berstatus buron sejak 2020.
    Menurut jaksa, perbuatan Hasto telah memenuhi seluruh unsur Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jangan Sampai Bernasib Seperti Tom Lembong

    Jangan Sampai Bernasib Seperti Tom Lembong

    GELORA.CO  – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto bakal menghadapi vonis hakim terkait kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025) besok.

    Ketua DPP Bidang Kehormatan PDIP Komaruddin Watubun berharap, Hasto tak bernasib seperti Tom Lembong yang divonis bersalah dan dihukum 4,5 tahun penjara terkait kasus impor gula.

    “(Harapannya) jangan bernasib seperti Tom Lembong,” kata Komaruddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/7/2025).

    Komar mengaku sudah mendengar banyak ahli atau pakar yang menyampaikan analisis terkait kasus yang menimpa Hasto tersebut. Oleh karena itu, dia berharap hakim bisa adil memberikan putusannya.

    Menurutnya, yang terpenting di negara hukum ini tidak boleh ada kasus yang direkayasa.

    “Kita berharap kasus Hasto kan sudah terbuka semua di pengadilan, dan publik sudah tahu bahwa itu kasus hukum yang direkayasa,” ujarnya.

    Sebelumnya, Hasto meyakini tuntutan tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta terhadapnya tidak murni berasal dari pertimbangan jaksa. Menurutnya, tuntutan tersebut merupakan orderan dari pihak tertentu. 

    Akan tetapi, dia tidak mengungkap secara jelas pihak tertentu yang dimaksud.

    “Saya bersama tim penasihat hukum meyakini bahwa putusan untuk mengajukan tuntutan tujuh tahun tersebut tidak dari penuntut umum ini, melainkan sebagai suatu order kekuatan di luar kehendak penuntut umum,” kata Hasto saat membacakan duplik di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (18/7/2025).

  • Cerita Corsec Diminta Dirut ASDP Antar Emas ke Pejabat BUMN
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Juli 2025

    Cerita Corsec Diminta Dirut ASDP Antar Emas ke Pejabat BUMN Nasional 24 Juli 2025

    Cerita Corsec Diminta Dirut ASDP Antar Emas ke Pejabat BUMN
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Corporate Secretary (Corsec) PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry, Imelda Aldini Pohan mengaku pernah diminta
    Ira Puspadewi
    mengantarkan emas ke asisten Deputi di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    Ira merupakan Direktur Utama (Dirut) PT ASDP 2017-2024 yang menjadi terdakwa dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh perusahaan negara tersebut.
    Pada persidangan perkara itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi, apakah Imelda pernah diminta menyerahkan emas ke pihak BUMN.
    “Apakah saudara pernah mengumpulkan uang untuk pembelian emas yang ditujukan untuk asisten deputi di Kementerian BUMN?” tanya jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).
    Imelda membantah mengumpulkan uang dari jajaran direksi untuk membeli emas guna diserahkan pada asisten deputi di Kementerian BUMN.
    Imelda menjelaskan, saat itu ia baru bergabung menjadi Corsec di PT ASDP pada awal 2018. Sebelumnya, ia bekerja di perusahaan swasta.
    Pada satu waktu, kata Imelda, Ira menghubunginya melalui sambungan telepon dan memintanya untuk mengantar bingkisan ke asisten deputi di perusahaan BUMN.
    “Saya diminta untuk mengantar, saya by phone oleh Bu Ira, saya telepon tapi saya tolak karena pada saat itu saya masih baru,” kata Imelda.
    “Mengantar apa?” tanya jaksa KPK.
    “Mengantarkan bingkisan,” jawab Imelda.
    “Bingkisan apa?” timpal jaksa KPK.
    “Emas,” jawab Imelda.
    Menurut Imelda, ia menerima penjelasan bahwa penyerahan bingkisan berisi emas itu merupakan cara PT ASDP untuk menjaga hubungan dengan pihak ketiga.
    Namun, Imelda tetap pada pendiriannya dan menolak melaksanakan perintah tersebut karena takut terjerat korupsi.
    Ia juga menyampaikan penolakannya pada tim Corsec.
    Imelda bahkan menyampaikan pada Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) 2017-2019 yang merekrutnya, Wing Antariksa, ingin mengundurkan diri.
    “Setelah itu, saya, karena Pak Wing yang merekrut saya waktu interview, saya sampaikan saya hampir mau resign pada saat itu,” jelas Imelda.
    Sebelumnya, saat dicecar jaksa KPK, Wing menyebut jajaran direksi dimintai uang Rp 50 juta hingga Rp 100 juta oleh Ira yang baru menjabat Dirut PT ASDP.
    Saat itu disebutkan, uang yang dikumpulkan akan digunakan untuk membeli emas dan diserahkan kepada pihak Kementerian BUMN.
    “Seingat saya itu di awal periode Ibu Ira sebagai direktur utama. Sempat ada diskusi bahwa yang bersangkutan ingin menyampaikan terima kasih kepada kementerian BUMN karena telah diangkat di PT ASDP,” jawab Wing.
    “Saat itu yang bersangkutan menyampaikan akan memberikan emas,” ujar Wing.
    Keterangan ini kemudian dibantah oleh kuasa hukum Ira, Soesilo Aribowo. Menurutnya, tidak ada pungutan uang Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.
    Soesilo juga mengeklaim, pemberian itu bukan gratifikasi maupun suap dan tidak terkait KSU PT ASDP dengan PT JN.
    “Fakta yang ada, tidak ada pengumpulan uang sampai Rp 50 juta per orang. Setahu saya seperti itu,” kata Soesilo.
    “Itu bukan bagian dari gratifikasi atau penyuapan, saya kira karena waktu itu empati saja kepada orang yang waktu itu sakit, dan beliau (pejabat deputi BUMN) itu sudah meninggal,” tambahnya.
    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direktur PT ASDP melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
    Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.
    “Berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
    Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie Rp 1,25 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cerita Corsec Diminta Dirut ASDP Antar Emas ke Pejabat BUMN
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Juli 2025

    1 Saksi Sebut Dirut BUMN Minta Direksi Patungan Beli Emas, Diserahkan ke Kementerian BUMN Nasional

    Saksi Sebut Dirut BUMN Minta Direksi Patungan Beli Emas, Diserahkan ke Kementerian BUMN
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jajaran direksi PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry disebut diminta patungan membeli
    emas
    dan diserahkan kepada pihak Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    Informasi ini disampaikan mantan Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan Layanan Korporasi
    PT ASDP
    , Wing Antariksa.
    Ia dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan
    korupsi
    kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP.
    “Pernah enggak saudara diminta untuk, direksi itu (diminta) patungan dimintain uang. Itu untuk dibelikan emas, dan itu akan diberikan kepada pejabat di Kementerian BUMN. Pernah enggak seperti itu?” tanya jaksa Komisi Pemberantasan
    Korupsi
    (KPK) Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).
    Wing lalu menjelaskan, di awal periode
    Ira Puspadewi
    menjabat Direktur Utama PT ASDP pada 2017, jajaran direksi diminta patungan.
    “Seingat saya itu di awal periode Ibu Ira sebagai direktur utama. Sempat ada diskusi bahwa yang bersangkutan ingin menyampaikan terima kasih kepada kementerian BUMN karena telah diangkat di PT ASDP,” jawab Wing.
    Jaksa Wawan pun mendalami motif Ira, terdakwa pertama dalam kasus korupsi ini, ingin menyampaikan ucapan terima kasih dalam bentuk pemberian.
    “Saat itu yang bersangkutan menyampaikan akan memberikan emas,” ujar Wing.
    Jaksa Wawan lalu meminta Wing menjelaskan bagaimana pengumpulan uang tersebut.
    Menurut Wing, pihak yang pertama kali diminta mengumpulkan uang adalah dirinya dan Direktur Keuangan PT ASDP.
    Kemudian, Direktur Komersial dan Direktur Operasi juga diminta patungan.
    “Jadi kami diminta mengumpulkan uang. Seingat saya jumlahnya 50 sampai dengan 100 juta untuk dibelikan emas,” kata Wing.
    Saat itu, Wing mengaku menolak ikut patungan.
    Ia juga meminta direksi lain, Yusuf Hadi, untuk tidak memenuhi permintaan Ira karena merupakan bentuk gratifikasi.
    Akhirnya, terdapat tiga direksi yang menolak ikut patungan, yakni Wing, Yusuf, dan Direktur Perencanaan dan Pembangunan, Christin Hutabarat.
    Meski demikian, Wing mengaku tidak tahu kepada siapa nantinya emas itu akan diberikan di lingkungan Kementerian BUMN.
    “Saya menyampaikan per telepon pada hari libur kepada saudara Yusuf Hadi untuk tidak ikut menyetorkan uang karena itu merupakan gratifikasi,” tutur Wing.
    Menurutnya, saat itu pihak yang aktif bergerak mengumpulkan uang adalah Direktur Keuangan PT ASDP, DS.
    Wing lalu menerima laporan dari Corporate Secretary (Corsec) saat itu bahwa dirinya diminta untuk membeli emas.
    Namun, beberapa waktu kemudian, pemberian emas itu terendus Kementerian BUMN.
    Jajaran direksi dikumpulkan pada suatu hotel setelah buka bersama pada bulan Ramadhan 2018.
    “Dirut menyampaikan bahwa laporan dari Kementerian BUMN terendus ada pemberian emas oleh ASDP kepada Kementerian BUMN. Dan kementerian BUMN meminta kepada, menurut pengakuan Bu Ira, itu untuk bisa merapikan,” tutur Wing.
    Kompas.com telah meminta konfirmasi perihal pungutan pada direksi dan penyerahan emas ini kepada Ira.
    Namun, ia memilih bungkam.
    Kuasa hukum Ira, Seosilo Aribowo, membantah kliennya memungut uang dengan jumlah Rp 50 juta per orang kepada para direksi.
    Selain itu, kata dia, saat itu pungutan dilakukan bukan untuk menyuap atau gratifikasi kepada pihak BUMN, melainkan uang empati.
    “Itu bukan bagian dari gratifikasi atau penyuapan saya kira karena itu empati saja pada orang yang waktu itu sakit, dan sekarang beliaunya meninggal, yang dari BUMN,” kata Ari di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direktur PT ASDP melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi; mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi; dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
    Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.
    “Berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
    Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie, Rp 1,25 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejari Jakut ungkap korupsi pemberian kredit senilai Rp35,6 miliar

    Kejari Jakut ungkap korupsi pemberian kredit senilai Rp35,6 miliar

    Jakarta (ANTARA) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara mengungkap kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit modal kerja pada salah satu Himpunan Bank Negara (Himbara) di Sunter, Jakarta Utara pada periode 2022-2023 senilai Rp35.656.387.573 atau Rp35,6 miliar.

    Kejari Jakut pun telah menetapkan pimpinan cabang salah satu Himpunan Bank Negara (Himbara) periode 2021-2023 berinisial MS sebagai tersangka korupsi pemberian fasilitas kredit modal kerja itu.

    “Pemberian fasilitas kredit modal kerja tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp35,6 miliar lebih,” kata Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Nurhimawan melalui Kasi Intel Kejari Jakarta Utara Sudi Haryansyah di Jakarta, Rabu.

    Menurut dia, dengan pemberian fasilitas ini pelaku mendapatkan hadiah dari sejumlah debitur mulai dari fasilitas-fasilitas kebutuhan pribadi, mobil Toyota Alphard dan uang sekitar Rp400 juta.

    “Semua itu diterima sebagai tanda terima kasih dari nasabah yang berkepentingan,” katanya.

    Sudi menjelaskan tanda terima kasih tersebut ditemukan petugas Kejaksaan Negeri Jakarta Utara setelah melakukan penyelidikan.

    Dalam penyelidikan itu, ditemukan fakta tersangka MS melakukan perbuatan melawan hukum seperti memutus kredit atas kreditur yang terafiliasi dengan kreditur lain yang tidak sesuai ketentuan Konsep Hubungan Total Penerima Kredit (KHTPK)

    Tersangka juga tidak melakukan verifikasi berkaitan dengan analisa yang dilakukan oleh “relationship manager”. Selain itu, tersangka MS juga tidak melakukan verifikasi berkaitan dengan “pre-screening” yang dilakukan oleh “relationship manager”.

    Pimpinan cabang salah satu Bank Himbara memberikan fasilitas modal kerja kepada salah satu bank Himbara yang beralamat di Sunter Jakarta Utara pada 2022-2023 kepada sejumlah perusahaan.

    “Pemberian modal kerja itu diberikan kepada PT. BLA, PT. OKE, PT. ITS, PT. BJM, PT. BNS, CV. CM, PT. TPP, PT.SMW, dan PT. DP,” papar Sudi.

    Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diperoleh dalam proses penyidikan, termasuk hasil pemeriksaan saksi, dokumen, dan alat bukti lainnya dan setelah dilakukan gelar perkara maka MS ditetapkan sebagai tersangka.

    Pelaku MS dijerat pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 3 Jo pasal 18 ayat Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

    Hingga saat ini tersangka MS ditahan selama 20 hari mulai dari 21 Juli hingga 9 Agustus 2025 di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun, Elit Demokrat: dari Dulu Saya Tidak Percaya Hakim itu Wakil Tuhan di Dunia

    Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun, Elit Demokrat: dari Dulu Saya Tidak Percaya Hakim itu Wakil Tuhan di Dunia

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Elite Partai Demokrat, Andi Arief, kembali memberikan komentar menohok terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong.

    Andi mempertanyakan dasar ideologis di balik vonis tersebut. Pasalnya, sepanjang perjalanan kasus, Tom tidak didapatkan merugikan negara.

    “Dari dulu saya tidak pernah percaya bahwa hakim itu wakil Tuhan di dunia,” kata Andi di X @Andiarief_ (20/7/2025).

    Dikatakan Andi, vonis terhadap Tom Lembong tidak berdiri di atas pertimbangan hukum semata, melainkan sarat muatan ideologi.

    Ia mengutip bunyi putusan yang menyebut Lembong dihukum karena mengedepankan ekonomi kapitalis.

    “Putusan sangat ideologis, pasti hakimnya marxis,” sindirnya.

    Sebelumnya, Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, akhirnya dijatuhi vonis dalam kasus dugaan korupsi impor gula.

    Putusan dibacakan langsung oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, yang menyatakan bahwa Tom dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

    Atas dasar itu, pria yang pernah menjabat di era Presiden Jokowi tersebut divonis hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan serta dikenai denda sebesar Rp750 juta, dengan ketentuan pengganti kurungan selama 6 bulan jika tidak dibayar.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan dan pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika, saat membacakan amar putusan di ruang sidang Tipikor, Jumat (18/7/2025) malam.

  • Vonis Sudah Diskenario, Tom Lembong Korban Kriminalisasi

    Vonis Sudah Diskenario, Tom Lembong Korban Kriminalisasi

    GELORA.CO –  Penggiat demokrasi Geisz Chalifah menyoroti vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi impor gula.

    Dia menyebut putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025 sebagai keputusan yang mengecewakan.

    Geisz Chalifah menilai vonis tersebut bukan hasil dari proses hukum yang murni, melainkan bentuk kriminalisasi terhadap tokoh oposisi.

    “Kasus Tom Lembong hanya menambah daftar kejahatan. Para hipokrit dan oportunis tak berani bersuara walau mereka tau. Tom adalah korban kriminalisasi,” tegas Geisz kepada RMOL, Minggu, 20 Juli 2025.

    Menurutnya, pengadilan hanya menjadi formalitas untuk memenjarakan Lembong yang dinilai sebagai lawan politik. Ia menyebut vonis tersebut telah disiapkan jauh sebelum proses persidangan berlangsung.

    “Sidang hanya formalitas belaka untuk memenjarakan lawan politik,” ungkap mantan komisaris Ancol tersebut.

    Selain divonis hukuman 4,5 tahun penjara, Hakim juga membebankan Tom membayar denda Rp750 juta dan jika tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan.

    Tom Lembong dianggap bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hakim tak membebankan uang pengganti kepada Tom Lembong karena tidak menerima uang dari kasus importasi gula.

    Hakim juga memerintahkan agar jaksa mengembalikan iPad dan Macbook Tom Lembong yang sempat disita selain memerintahkan Tom membayar uang pengganti sidang sebesar Rp10.000.