Perjalanan Panjang Kasus Korupsi CSR BI-OJK, 2 Anggota DPR Jadi Tersangka
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengumumkan dua anggota DPR RI, Heri Gunawan dan Satori, sebagai tersangka korupsi.
Heri merupakan anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, sementara Satori dari Fraksi Nasdem.
Keduanya disangka menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penyaluran dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) dan Penyuluh Jasa Keuangan (PJK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2020-2023.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan pihaknya telah mengantongi bukti yang cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka.
“Menetapkan dua orang sebagai tersangka, yaitu HG (Heri Gunawan) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 dan ST (Satori) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (7/8/2025).
Praktik culas anggota dewan menerima aliran dana CSR BI sudah terendus KPK jauh sebelum nama Heri dan Satori diumumkan secara resmi.
Sejak pertengahan 2024, sudah beredar isu bahwa lembaga antirasuah tengah mengusut dugaan korupsi dana CSR BI dan OJK yang menyeret dua nama anggota dewan.
Kabar dugaan korupsi penggunaan Dana CSR BI dan OJK saat itu sudah dikonfirmasi Asep.
“Bahwa KPK sedang menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait penggunaan dana CSR dari BI dan OJK tahun 2023,” kata Asep di Bogor, 13 September 2024.
Kasus itu kemudian menjadi sorotan publik setelah KPK mulai menggelar upaya paksa penggeledahan pada Desember 2024.
Saat itu, KPK telah meningkatkan status hukum Heri dan Satori sebagai tersangka.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK saat itu, Rudi Setiawan, mengatakan tim penyidik menggeledah beberapa ruang kerja di Kantor BI, termasuk ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo.
Ketika itu, penyidik menemukan bukti elektronik dan beberapa dokumen.
Setelah operasi penggeledahan, KPK memanggil Heri dan Satori untuk menjalani pemeriksaan pada akhir Desember 2024.
Pada 18 Februari 2024, penyidik memeriksa Satori.
Pada kurun waktu tersebut, tenaga ahli Heri juga diperiksa.
Satori kemudian kembali menjalani pemeriksaan penyidik pada 21 April 2024.
Selang dua bulan kemudian, penyidik kembali memeriksa Heri dan Satori pada 18 Juni.
Dalam perkara ini, Heri dan Satori diduga merekomendasikan yayasan yang akan menerima dana CSR BI-OJK.
Yayasan itu dikelola oleh mereka sendiri yang duduk di Komisi DPR RI dengan bidang tugas terkait perbankan.
Namun, yayasan yang mereka kelola itu tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana menjadi syarat dalam proposal bantuan dana CSR.
KPK kemudian menduga, Heri menerima uang Rp 15,86 miliar dengan rincian Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta senilai Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
Dana yang diterima yayasan itu kemudian dipindahkan ke rekening pribadi melalui transfer.
Ia juga disebut meminta anak buahnya membuka rekening baru yang akan digunakan sebagai penampungan pencairan dana melalui metode setor tunai.
“HG (Heri Gunawan) menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” ujar Asep.
Sementara itu, Satori diduga menerima dana CSR Rp 12,52 miliar dengan rincian Rp 6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta sejumlah Rp 1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lain.
Uang yang diterima itu kemudian digunakan Satori untuk deposito dan pembelian aset.
“Ia juga melakukan pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tutur Asep.
Kepada penyidik, Satori mengungkapkan sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI menerima dana CSR tersebut.
“Bahwa menurut pengakuan ST (Satori), sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan, pihaknya menghormati langkah KPK menetapkan Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka.
“Kita hormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK terkait penetapan tersangka dua anggota DPR RI yang berkaitan dengan Program Sosial Bank Indonesia,” kata Misbakhun, Kamis malam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Tipikor
-

Akal Bulus Dua Anggota DPR Tersangka CSR BI Muluskan Dana ke Kantong Pribadi
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaikkan status hukum pelaku pencucian uang dalam kasus CSR BI dan OJK menjadi tersangka. Kedua tersangka, yaitu HG dan ST, merupakan anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024.
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan kasus ini bermula ketika Komisi XI membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas Pendapatan dan Pengeluaran rencana anggaran yang diajukan oleh mitranya, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Asep, KPK mengatakan HG dan ST masuk dalam kepanitiaan itu. Setelah melakukan rapat bersama pimpinan BI dan OJK pada bulan November di setiap tahunnya (2020, 2021, dan 2022), Panja melaksanakan rapat tertutup
“Dalam rapat tersebut, para pihak sepakat bahwa BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI, dengan alokasi kuota yaitu dari BI sekitar 10 kegiatan per tahun dan OJK sekitar 18 sampai 24 kegiatan per tahun,” ujarnya konferensi pers KPK pada Kamis (7/8/2025) malam.
Asep menuturkan dana CSR tersebut disalurkan melalui Yayasan yang dikelola oleh anggota DPR Komisi XI. Mekanisme penyaluran dibahas oleh Tenaga Ahli (TA) dari masing-masing anggota DPR Komisi XI dan pelaksana dari BI dan OJK dalam rapat lanjutan.
Adapun, pembahasan dalam rapat lanjutan berupa jumlah yayasan, teknis pengajuan proposal, teknis pencarian uang, dokumen laporan pertanggungjawaban, serta alokasi dana yang diperoleh dari setiap anggota Komisi XI per tahunnya. Asep mengatakan dari sini lah akal bulus HG dan ST dilancarkan.
“HG menugaskan Tenaga Ahli, sementara ST menginstruksikan orang kepercayaannya untuk membuat sekaligus mengajukan proposal kepada BI dan OJK agar penyaluran dana melalui empat yayasan yang dikelola HG dan delapan yayasan yang dikelola ST,” ujarnya.
Tak hanya BI dan OJK, dia mengungkapkan HG-ST mengajukan permohonan ke mitra Komisi XI lainnya. Alhasil mereka mendapatkan persetujuan dari mitra kerja untuk melaksanakan kegiatan sosial.
“Namun, mereka tidak menggunakan sesuai perjanjian, melainkan mengantongi untuk kebutuhan pribadi, di mana dugaannya adalah tindak pidana pencucian uang,” jelasnya.
HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
Asep menambahkan HG memiliki trik untuk melancarkan aksinya. Dia meminta anak buahnya membuka rekening baru untuk menampung dana pencairan, yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti pembangunan rumah makan, pembelian tanah dan bangunan, pembelian mobil, hingga pengelolaan outlet minuman
“Begitupun ST menerima total Rp12,52 miliar dengan rincian Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain,” tuturnya.
ST diduga mengakali penyaluran dana dengan meminta salah satu bank menyamarkan transaksi penempatan deposito dan pencairannya, sehingga tidak teridentifikasi di rekening koran.
“Dia menggunakan dana CSR untuk membeli motor, pembangunan showroom, pembelian tanah, deposito, dan aset lainnya,” kata Asep.
Dua Alat Bukti
Asep Guntur Rahayu mengatakan penyidik KPK telah mengantongi dua alat bukti untuk menjerat tersangka HG dan ST dalam kasus korupsi dana CSR BI dan OJK.
“Penyidik telah menemukan sekurang-sekurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” paparnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
Asep menjelaskan HG diduga melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer.
HG kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru, yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.
“HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya.
Lalu, tersangka berinisial ST menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.
Sama seperti HG, ST menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset lainnya.
ST melakukan rekayasa perbankan dengan cara meminta salah satu bank menyamarkan penempatan deposito sehingga pencairan tidak teridentifikasi di rekening koran.
Adapun, para tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-
/data/photo/2025/07/09/686e5f8621d30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Heri Gunawan dan Satori Diduga Terima Rp 28,38 Miliar Terkait Korupsi CSR BI-OJK Nasional 7 Agustus 2025
Heri Gunawan dan Satori Diduga Terima Rp 28,38 Miliar Terkait Korupsi CSR BI-OJK
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, dua Anggota DPR, Heru Gunawan (HG) dan Satori (ST), menerima uang total sebesar Rp 28,38 miliar terkait kasus Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan penyaluran dana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tahun 2020-2023.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut pada Kamis (7/8/2025).
“Menetapkan 2 orang sebagai tersangka, yaitu HG (Heri Gunawan) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024 dan ST (Satori) selaku Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
Asep mengatakan, Heri Gunawan diduga menerima uang Rp 15,86 miliar.
Rinciannya, sebanyak Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta senilai Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
Heri Gunawan juga diduga melakukan dugaan pencucian uang dengan memindahkan seluruh penerimaan melalui yayasan yang dikelolanya ke rekening pribadi melalui metode transfer.
“Di mana HG kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai,” ujar dia.
Di sisi lain, Satori diduga menerima uang senilai Rp 12,52 miliar.
Rinciannya, sejumlah Rp 6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta sejumlah Rp 1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
KPK mengatakan, dari seluruh uang yang diterima, Satori diduga melakukan pencucian uang dengan menggunakannya untuk keperluan pribadi.
“Seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tutur dia.
KPK menduga Satori melakukan rekayasa transaksi perbankan dengan meminta salah satu bank daerah untuk menyamarkan penempatan deposito serta pencairannya agar tidak teridentifikasi di rekening koran.
“Bahwa menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Tak hanya itu, keduanya juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK Ungkap Tersangka Kasus CSR BI dan OJK Terima Suap hingga Rp15,86 Miliar
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan dua tersangka terkait kasus dugaan Program Sosial Bank Indonesia (BI) dan Penyuluh Jasa Keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Adapun, keduanya merupakan anggota Komisi Keuangan atau XI DPR periode 2019-2024. Hal ini disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers, Kamis (7/8/2025).
“Penyidik telah menemukan sekurang-sekurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” paparnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
Asep menjelaskan HG diduga melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer.
HG kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru, yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.
“HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya.
Lalu, tersangka berinisial ST menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.
Sama seperti HG, ST menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset lainnya.
ST melakukan rekayasa perbankan dengan cara meminta salah satu bank menyamarkan penempatan deposito sehingga pencairan tidak teridentifikasi di rekening koran.
Adapun para tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-

Anggota DPR Heri Gunawan Diduga Pakai CSR BI-OJK Beli Rumah dan Mobil
Jakarta –
Anggota DPR RI Heri Gunawan ditetapkan sebagai tersangka perkara dugaan korupsi terkait penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Heri Gunawan diduga menggunakan dana CSR BI dan OJK untuk bangun rumah makan hingga membeli mobil.
Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan kasus bermula saat BI dan OJK sepakat memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI untuk 10 kegiatan per tahun dari BI dan 18 sampai 24 kegiatan dari OJK per tahun. Di mana, Komisi XI DPR memiliki kewenangan terkait penetapan anggaran untuk BI dan OJK.
Kesepakatan itu dibuat usai rapat kerja Komisi XI DPR bersama pimpinan BI dan OJK pada November 2020, 2021 dan 2022. Rapat itu pun digelar tertutup.
KPK mengatakan dana itu diberikan kepada anggota Komisi XI DPR untuk dikelola lewat yayasan masing-masing anggota Komisi XI DPR saat itu. Penyaluran itu dibahas lebih lanjut oleh tenaga ahli masing-masing anggota Komisi XI DPR dan pelaksana dari OJK dan BI.
Uang tersebut pun kemudian dicairkan. KPK menduga Heri Gunawan dan Satori tidak menggunakan uang itu sesuai ketentuan.
“Bahwa pada periode tahun 2021 sampai dengan 2023, yayasan-yayasan yang dikelola oleh HG (Heri Gunawan) dan ST (Satori) telah menerima uang dari mitra Kerja Komisi XI DPR RI, namun tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana dipersyaratkan dalam proposal permohonan bantuan dana sosial,” ujar Asep saat jumpa pers di kantor KPK, Jakarta Selatan, Kamis (7/8/2025).
Asep mengatakan Heri Gunawan diduga menerima Rp 15,86 miliar. Dari jumlah tersebut rinciannya Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan program bantuan sosial Bank Indonesia, Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan penyuluhan keuangan dan Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
Heri Gunawan diduga meminta anak buahnya membuka rekening baru untuk memindahkan seluruh pencarian uang itu ke rekening pribadi. Heri Gunawan diduga menggunakan uang itu untuk membeli rumah makan, outlet minuman, rumah, hingga mobil.
“HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” ujar Asep.
KPK menjerat Heri dengan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.
Selain Heri, KPK juga menetapkan Anggota DPR RI Satori sebagai tersangka. Satori diduga menerima total mencapai Rp12,52 miliar.
Halaman 2 dari 2
(whn/haf)
-

Panjang Lebar Penjelasan Pimpinan KPK Tanak Usai Bupati Koltim Bantah Kena OTT
Jakarta –
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak kini mengeluarkan pernyataan terbaru terkait kabar operasi tangkap tangan (OTT) yang menyeret nama Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Aziz. Usai sebelumnya menyebut KPK menangkap Bupati Koltim dalam OTT, Tanak kini membantah pernyataannya tersebut.
“Hingga saat ini pihak KPK tidak pernah menginformasikan bahwa Abdul Aziz terjaring operasi tangkap tangan (OTT),” kata Tanak kepada wartawan, Kamis (7/8/2025).
Tanak lantas menjelaskan panjang lebar mengenai penanganan kasus korupsi di KPK, termasuk pelaksanaan OTT. Dia mengatakan KPK melakukan pengusutan kasus dugaan korupsi salah satunya melalui laporan masyarakat.
“Sepengetahuan saya, aparat penegak hukum, khusus KPK, telah melaksanakan tugas penegakkan hukum dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan baik dan benar serta penuh rasa tanggung jawab,” jelas Tanak.
“KPK melakukan tindakan hukum terukur setelah mendapat laporan informasi dari masyarakat sesuai dengan peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 41 UU Tipikor yang mengatur tentang peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,” sambungnya.
Tanak melanjutkan penjelasannya mengenai mekanisme pengusutan kasus dugaan korupsi di KPK. Berbekal laporan dari masyarakat, sambung Tanak, KPK lalu membentuk tim untuk menganalisis laporan tersebut.
“Bila hasil analisis yuridis yang dibuat ternyata perbuatan terlapor terindikasi sebagai perbuatan tindak pidana korupsi, maka KPK akan membentuk tim penyelidik yang professional yang didukung oleh personel operator intersep/alat sadap yang dimiliki KPK agar dapat melakukan pengumpulan data dan informasi dengan lebih teliti dan cermat,” paparnya.
“Hingga dapat mengetahui dengan pasti adanya perbuatan tindak pidana korupsi yang didukung dengan bukti awal yang cukup tentang adanya peristiwa pidana. Dan tugas tersebut dilaksanakan secara professional dan proporsional dengan mengedepankan hak asasi manusia,” sambung Tanak.
Tanak tidak menjelaskan lebih lanjut informasi yang disampaikannya mengenai Bupati Koltim terjaring OTT. Saat ditanya keterangan awal yang disampaikannya keliru, Tanak membantah menyampaikan Abdul Azis sebagai pihak yang ditangkap KPK.
“Saya tidak pernah menulis nama beliau. Kalau ada pertanyaan tentang OTT, saya jawab iya ada, tapi tidak pernah saya menulis nama orang,” ujar Tanak.
Informasi Awal OTT
Informasi mengenai OTT ini awalnya dibenarkan oleh Tanak siang tadi. Saat ditanya tentang adanya OTT di Sultra, Tanak mengamini.
“Iya (benar),” kata Tanak.
Setelahnya, Tanak mengamini pula ketika wartawan bertanya lebih lanjut tentang siapa yang terjaring OTT, apakah seorang bupati atau bukan. “Koltim,” kata Tanak melalui pesan singkat ketika ditanya identitas bupati yang terjaring OTT.
Kubu Bupati Koltim Membantah
Namun belakangan Abdul Azis dan partai yang menaunginya yaitu NasDem menepis. Abdul Azis tengah berada di Makassar mengikuti kongres NasDem.
“Kami menghormati hukum dan proses penyelidikan, tapi jangan lakukan drama dalam ruang terbuka di media sosial. Abdul Azis ada di sebelah saya dan sedang mengikuti Rakernas. Kalau berita yang tidak ada menjadi ada, itu jadi pertanyaan. Sangat disayangkan jika drama ini dimainkan oleh pihak yang kita tidak tahu maksud dan tujuannya,” tegas Ahmad Sahroni dalam kesempatan yang sama.
Bendahara NasDem Ahmad Sahroni menilai bahwa OTT semestinya terjadi dalam satu tempat dan waktu saat tindak pidana dilakukan. Dalam kasus ini, menurut dia, pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak tidak sesuai dengan fakta karena Abdul Azis sedang berada di Makassar untuk mengikuti agenda partai secara resmi.
Sahroni juga menyayangkan framing yang menciptakan kegaduhan publik, padahal belum ada proses hukum yang berjalan secara formal. “Kalau Bupati ini menjadi target penegakan hukum, silakan lakukan sesuai proses. Tapi jangan buat kegaduhan seolah-olah OTT. Orang sekarang lebih pintar, tidak bisa dibodohi,” imbuh Sahroni.
Berkaitan dengan hal itu, Ketua KPK juga sempat memberikan penjelasan. Ketua bilang saat OTT di Sultra berlangsung, Bupati Koltim tidak ada di tempat.
“Memang Bupati sedang tidak di tempat, tapi ada beberapa pihak (swasta dan PNS) yang diamankan,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto kepada wartawan, Kamis (7/8/2025).
Setyo menegaskan OTT tersebut memang benar terjadi. Dia belum menjelaskan kasus yang membuat KPK melakukan OTT itu.
“Penjelasan awal KPK hanya membenarkan adanya OTT, belum menyebutkan orang yang terlibat,” ucapnya.
Halaman 2 dari 3
(ygs/dhn)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5299080/original/098079800_1753779565-Screenshot_20250729_154713_WhatsApp.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bendahara KONI Lampung Tengah Diduga Palsukan Tanda Tangan untuk Cairkan Dana Hibah Rp1 Miliar
Liputan6.com, Jakarta Belum tuntas perkara korupsi dana hibah tahun 2022, Bendahara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Lampung Tengah, ES (40), kembali dijerat pidana. Kali ini, ES ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan tanda tangan Ketua Harian KONI demi mencairkan dana hibah senilai Rp1 miliar.
Kasatreskrim Polres Lampung Tengah AKP Devrat Aolia Afran, menyebut pemalsuan tanda tangan itu terjadi pada tahun 2024. Dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Lampung, kerugian negara akibat pencairan dana tersebut mencapai Rp800 juta.
“ES diduga memalsukan tanda tangan Ketua Harian KONI untuk mencairkan dana hibah. Dana itu kemudian digunakan tanpa persetujuan pengurus lainnya,” ujar Devrat, Kamis (7/8).
Kasus itu terkuak ketika Ketua Harian KONI berinisial SO hendak mencairkan dana untuk salah satu cabang olahraga pada Juni lalu. Namun, saat mengakses rekening organisasi, saldo telah nihil.
Investigasi internal pun membawa temuan mengejutkan, dana telah dicairkan lebih dulu oleh ES tanpa sepengetahuan pengurus.
Penyidik Polres Lampung Tengah telah memeriksa 64 saksi dalam perkara ini.
“ES kini dijerat Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 jo Pasal 18 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara,” tegas dia.
Sebelumnya, pada akhir Juli 2025, Kejaksaan Negeri Lampung Tengah menetapkan ES bersama Ketua KONI Lampung Tengah, DW, sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana hibah tahun anggaran 2022. Kala itu, keduanya diduga menggelapkan dana senilai Rp 1,1 miliar dari total hibah sebesar Rp 5,8 miliar.
-

Hutama Karya hormati proses hukum terkait dugaan korupsi lahan JTTS
Mantan Direktur Utama PT Hutama Karya (HK) (Persero) BP (kedua kanan) bersama mantan Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi PT HK (Persero) RS (kedua kiri) dikawal petugas KPK saat dihadirkan sebagai tersangka pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (6/8/2025). KPK menahan dua tersangka yaitu mantan Dirut PT HK (Persero) BP dan mantan Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi PT HK (Persero) RS terkait dugaan kasus korupsi pengadaan lahan di sekitar Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) tahun anggaran 2018-2020, yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp205,14 miliar. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/YU)
Hutama Karya hormati proses hukum terkait dugaan korupsi lahan JTTS
Dalam Negeri
Editor: Novelia Tri Ananda
Kamis, 07 Agustus 2025 – 11:29 WIBElshinta.com – PT Hutama Karya (Persero) menghormati proses hukum yang sedang berlangsung terkait kasus dugaan korupsi pengadaan lahan proyek Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) pada tahun anggaran 2018–2020.
“Hutama Karya menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan akan bersikap kooperatif serta transparan dalam proses penyidikan kasus ini,” ujar EVP Sekretaris Perusahaan Hutama Karya Adjib Al Hakim dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.
Hutama Karya juga mendukung program bersih-bersih BUMN dan berkomitmen untuk memenuhi setiap tahapan pemeriksaan yang berjalan. Selain itu, Hutama Karya juga memastikan penerapan tata kelola perusahaan yang baik dalam setiap proses bisnisnya. Sebagai informasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan proyek Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) pada tahun anggaran 2018–2020, yakni BP dan RS.
KPK mengatakan BP selaku Direktur Utama PT Hutama Karya atau HK (Persero), dan RS selaku Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Investasi PT HK sekaligus Ketua Tim Pengadaan Lahan JTTS.
Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, KPK selanjutnya akan melakukan penahanan terhadap kedua tersangka untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 6 Agustus 2025 sampai dengan 25 Agustus 2025 di Rumah Tahanan Cabang KPK Gedung Merah Putih.
Sementara itu, Asep menjelaskan tersangka lain dalam kasus tersebut, yakni pemilik PT Sanitarindo Tangsel Jaya atau STJ berinisial IZ yang tidak ditahan oleh KPK.
“Yang bersangkutan telah meninggal dunia pada 8 Agustus 2024, sehingga perkaranya dihentikan,” ujarnya.
Adapun tersangka lain kasus tersebut adalah PT STJ sebagai tersangka korporasi.
Dia mengatakan kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, para tersangka yang ditahan adalah mantan Direktur Utama PT HK BP, mantan Kadiv di PT HK RS, dan pemilik PT STJ IZ.
Sumber : Antara
-
/data/photo/2024/11/25/6744152db45f8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kesaksian Eks Direktur ASDP soal Patungan Emas untuk Orang BUMN Nasional 7 Agustus 2025
Kesaksian Eks Direktur ASDP soal Patungan Emas untuk Orang BUMN
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencecar soal dugaan pengumpulan uang atas perintah eks Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi untuk
dibelikan emas
yang nantinya diberikan kepada seseorang di Kementerian BUMN.
Hal ini terungkap dari pemeriksaan Direktur Bidang Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP tahun 2019-2020, Christine Hutabarat, sebagai saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP, Kamis (7/8/2025).
“Selama saudara menjabat sebagai Direksi PT ASDP, apakah saudara pernah memberikan uang, hadiah, atau sumbangan lainnya kepada pihak lainnya?” tanya jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, hari ini.
Percakapan ini dibacakan jaksa dari berita acara pemeriksaan (BAP) di tahap penyidikan lalu.
Dalam BAP tersebut, Christine mengaku pernah diminta sejumlah uang oleh Corporate Secretary Imelda Alini.
Permintaan ini disebut terjadi pada tahun 2017, tidak lama setelah Ira menjabat Dirut ASDP.
“Sekitar akhir tahun 2017, saya pernah diminta oleh Corporate Secretary, Imelda Alini (setelah keluar dari PT ASDP, saya baru mengetahui bahwa permintaan tersebut atas perintah Dirut, saudara Ira Puspadewi),” kata jaksa membacakan jawaban Christine.
“Yang untuk mengumpulkan sejumlah uang untuk dibelikan logam mulia untuk diberikan kepada pejabat Kementerian BUMN (saya tidak tahu siapa),” lanjutnya.
Dalam BAP yang sama, Christine mengaku tidak pernah menyerahkan uang yang diminta melalui Imelda.
Christine juga mengaku tidak tahu apakah logam mulia itu akhirnya dikirim kepada orang BUMN yang dimaksud atau tidak.
Namun, ia mengaku tahu kalau permintaan pengumpulan uang itu dilakukan atas perintah Ira.
Ketika BAP terkait pengumpulan ini dibacakan, Christine hanya menyimak dan tidak memotong ucapan JPU.
“Betul keterangan saudara dalam BAP ini?” tanya jaksa usai membacakan BAP.
Secara garis besar, korupsi ASDP ini adalah soal akuisisi atau pembelian kapal-kapal dari PT Jembatan Nusantara. ASDP membeli 53 kapal bekas, padahal seharusnya membeli kapal baru.
Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direktur PT ASDP melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam. “Berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI, menyebut terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie, Rp 1,25 triliun.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK Gelar OTT di Sulawesi Tenggara, Tangkap Bupati Kolaka Timur
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaring Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abd Azis dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak membenarkan peristiwa yang terjadi di Sulawesi Tenggara itu.
“Ya [salah satu Bupati di Sultra diamankan dalam OTT],” katanya kepada wartawan, Kamis (7/8/2025).
Dia menuturkan saat ini tim KPK masih berada di wilayah Kolaka Timur untuk melakukan kegiatan. Namun, dia belum bisa memaparkan barang bukti yang dikumpulkan oleh penyidik karena proses OTT masih berlangsung.
Lalu, para terduga akan diperiksa 1×24 jam untuk menentukan status hukum, apakah sebagai tersangka atau saksi.
“Nanti akan kami sampaikan ya detilnya, barang buktinya apa saja, berapa pihak-pihak yang diamankan, perkaranya apa, gitu nanti akan kami sampaikan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.
Sebelumnya, KPK pernah melakukan OTT di Kolaka Timur pada Selasa, 21 September 2021. Kala itu Koltim dipimpin oleh Bupati Andi Merya Nur. OTT terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungannya Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur.KPK berhasil mengamankan Andi dan Kepala BPBD kolaka Timur, Anzarullah, serta empat orang lainnya, yakni suami Andi Merya, Mujeri Dachri, dan tiga ajudan Bupati Kolaka Timur: Andi Yustika, Novriandi, dan Muawiyah.
Adapun Anzarullah diketahui sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Andi Merya, selaku penerima, disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang yang sama.