Kasus: Teroris

  • Waduh, Trump Akan Tempatkan 30.000 Migran di Teluk Guantanamo

    Waduh, Trump Akan Tempatkan 30.000 Migran di Teluk Guantanamo

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada hari Rabu (29/01) mengumumkan akan menandatangani perintah eksekutif untuk mendirikan fasilitas penampungan di Teluk Guantanamo untuk 30.000 migran ilegal dan kriminal yang rencananya akan dideportasi.

    Trump mengatakan akan mengarahkan Departemen Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri untuk memulai persiapan penempatan ini. Ia mengatakan dalam sebuah acara ketika menandatangani undang-undang tentang tindakan penahanan imigrasi lainnya, atau yang disebut Laken Riley Act.

    Menurut Trump, fasilitas penahanan milik militer AS di Teluk Guantanamo akan digunakan untuk menahan imigran ilegal dengan catatan kriminal terburuk, yang mengancam keamanan rakyat Amerika.

    Deportasi besar-besaran di era Trump

    Selama kampanye pilpres tahun 2024 lalu, Donald Trump memang berjanji untuk secara signifikan mengurangi imigrasi dan memperkuat kontrol perbatasan.

    Trump telah menandatangani serangkaian perintah eksekutif, yang menargetkan penjagaan perbatasan dan penegakan hukum sejak menjabat. Semua itu ia lakukan dengan sangat terang-terangan, seperti dengan menampilkan foto pesawat militer AS membawa migran dan mendarat di Amerika Tengah.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Meski deportasi serupa juga terjadi di bawah pemerintahan Joe Biden, tapi kala itu AS tidak menggunakan pesawat militer.

    Trump mengatakan, tidak bisa tetap menjamin beberapa orang yang dideportasi ke negara asal mereka untuk tetap tinggal di sana.

    “Beberapa dari mereka catatan kriminalnya sangat buruk, sehingga kami bahkan tidak percaya negara-negara itu akan menahan mereka, dan karena kami tidak ingin mereka kembali, jadi kami akan mengirim mereka ke Guantanamo,” kata Trump.

    Kamp Guantanamo terkenal karena tuduhan penyiksaan

    Penjara militer di Teluk Guantanamo dibuka pada bulan Januari 2002 di pangkalan Angkatan Laut AS yang terletak di tenggara Kuba.

    Saat melancarkan perang melawan terorisme setelah serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan George W. Bush memilih penjara Guantanamo untuk menahan orang-orang yang dituduh sebagai teroris dan ditangkap oleh AS.

    Tempat ini dipilih karena posisinya yang unik, berada di bawah kendali AS, tetapi secara teknis tidak berada di wilayah kedaulatan AS. Dengan demikian, ratusan orang yang dikirim ke Teluk Guantanamo akhirnya memasuki wilayah yang tidak jelas, di mana mereka tidak punya hak hukum.

    Selama bertahun-tahun, perlakuan terhadap tahanan seperti tuduhan interogasi melalui penyiksaan, dan upaya hukum pemerintah AS untuk menahan ratusan orang tanpa dakwaan, memicu kecaman internasional termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    ae/as (AFP, AP)

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Bakal Batalkan Visa Studi Mahasiswa Asing di AS yang Kedapatan Ikut Demo Pro-Palestina – Halaman all

    Trump Bakal Batalkan Visa Studi Mahasiswa Asing di AS yang Kedapatan Ikut Demo Pro-Palestina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Administrasi pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menerbitkan kebijakan kontroversial pada hari Rabu (29/1/2025) waktu setempat.

    Hal ini terjadi setelah Trump menandatangani perintah eksekutif untuk memerangi antisemitisme dengan mendeportasi mahasiswa asing serta individu lainnya yang terlibat dalam aksi unjuk rasa atau demo pro-Palestina.  

    Dikutip dari Reuters, perintah eksekutif dari Trump tersebut bersifat “disegerakan” oleh Departemen Kehakiman AS.

    Di dalam keterangannya, Trump mengaku kebijakan ini dikeluarkan untuk menindak ancaman teroris, pembakaran, vandalisme, dan kekerasan terhadap orang Yahudi Amerika.

    Selain itu, kebijakan ini juga digunakan untuk mengerahkan seluruh sumber daya federal AS guna memerangi apa yang disebutnya sebagai “ledakan antisemitisme di kampus dan jalan-jalan” pasca serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel oleh kelompok Hamas.  

    “Untuk semua warga asing yang bergabung dalam protes pro-jihadis, kami beri peringatan: pada 2025, kami akan menemui kalian, dan kami akan mendeportasi kalian,” kata Trump dalam rilis yang dibagikannya tersebut.  

    “Saya juga akan segera membatalkan visa mahasiswa untuk semua simpatisan Hamas di kampus-kampus, yang telah terinfeksi radikalisasi seperti tidak pernah sebelumnya,” tambah sang presiden, mengulang janji kampanyenya di tahun 2024 lalu.

    Di dalam kebijakan tersebut, Trump juga meminta inventarisasi dan analisis terhadap semua kasus unjuk rasa Pro-Palestina yang melibatkan sekolah K-12, perguruan tinggi dan universitas, serta dugaan pelanggaran hak sipil lainnya yang terkait dengan protes di kampus.

    Adapun dengan kebijakan tersebut, Trump memerintahkan tindakan untuk mengeluarkan staf atau mahasiswa asing yang terlibat. 

    Kebijakan terbaru Trump ini menuai kritik keras dari kelompok-kelompok hak asasi manusia dan para ahli hukum di AS.

    Carrie DeCell, pengacara senior di Knight First Amendment Institute di Universitas Columbia, mengatakan bahwa kebijakan baru Trump ini melanggar hak kebebasan berbicara yang dijamin konstitusi dan kemungkinan akan memicu tantangan hukum. 

    “Amandemen Pertama melindungi semua orang di Amerika Serikat, termasuk warga asing yang belajar di universitas-universitas Amerika,” kata Carrie.

    “Selain itu, mendeportasi warga asing berdasarkan pidato politik mereka adalah tindakan yang tidak konstitusional.”  sambungnya.

    Kecaman juga disampaikan Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), sebuah kelompok advokasi Muslim besar di AS.

    Dalam rilisnya menanggapi kebijakan Trump tersebut, CAIR mengatakan mereka akan mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan atas perintah tersebut di pengadilan 

    Maraknya Demo Pro-Palestina di AS

    Seperti yang diketahui sebelumnya berlarut-larutnya serangan balasan Israel terhadap Hamas di wilayah Gaza menyebabkan aksi protes pro-Palestina terjadi di kampus-kampus AS pada tahun 2024 lalu.

    Selama beberapa bulan, kelompok hak sipil di AS juga mendokumentasikan lonjakan kejahatan kebencian dan insiden yang ditujukan kepada orang Yahudi, Muslim, Arab, dan kelompok keturunan Timur Tengah lainnya akibat gelombang unjuk rasa tersebut.  

    Menanggapi temuan tersebut, banyak peserta protes pro-Palestina yang membantah aksinya mendukung Hamas dapat dikategorikan sebagai tindakan antisemitik.

    Mereka beralasan bahwa unjuk rasa mereka murni disalurkan guna menentang serangan militer Israel di Gaza, di mana otoritas PBB mengatakan lebih dari 47.000 orang telah tewas dari pihak Palestina.  

    Hal ini diungkapkan Maya Berry, selaku direktur eksekutif Arab American Institute, sebuah kelompok hak sipil nonpartisan di AS.

    Maya mengatakan kelompok tersebut sangat terganggu oleh penggabungan kritik terhadap Israel dengan tuduhan antisemitisme.

    Ia juga mengatakan bahwa kebijakan baru Trump ini akan memiliki dampak yang mengekang kebebasan berbicara di seluruh AS.

    (Tribunnews.com/Bobby)

  • Trump Akan Deportasi WNA Pro-Palestina dan Pro-Hamas yang Kritik Serangan Israel di Gaza – Halaman all

    Trump Akan Deportasi WNA Pro-Palestina dan Pro-Hamas yang Kritik Serangan Israel di Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump akan menandatangani perintah eksekutif yang dapat membatalkan visa pelajar bagi mahasiswa asing dan warga negara asing di AS yang bersimpati kepada Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) atau mengikuti demonstrasi pro-Palestina.

    Kabar ini muncul di tengah meluasnya demonstrasi pro-Palestina yang mengkritik dukungan penuh, baik militer mau pun finansial, dari pemerintah AS kepada sekutunya, Israel.

    “Kepada semua penduduk asing yang bergabung dalam protes pro-jihadis, kami memberi tahu Anda: mulai tahun 2025, kami akan menemukan Anda, dan kami akan mendeportasi Anda,” kata Donald Trump dalam lembar fakta pada perintah tersebut.

    Keputusan tersebut mencakup deportasi mahasiswa asing dan penduduk asing lainnya yang berpartisipasi dalam protes pro-Palestina selama agresi brutal Israel di Jalur Gaza.

    “Saya juga akan segera membatalkan visa pelajar semua simpatisan Hamas di kampus-kampus, yang telah dipenuhi dengan radikalisme yang belum pernah terjadi sebelumnya,” lanjutnya.

    Donald Trump mengklaim perintah tersebut untuk memerangi “anti-Semitisme” yang bertujuan melindungi Yahudi Amerika.

    “Presiden AS akan mengarahkan perintah kepada Kementerian Kehakiman untuk menindak tegas ancaman teroris, pembakaran, vandalisme, dan kekerasan terhadap orang Yahudi Amerika,” menurut laporan Reuters, Rabu (29/1/2025) mengutip lembar fakta yang tercantum dalam perintah tersebut.

    Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan Donald Trump mungkin akan menandatangani perintah tersebut pada Rabu malam.

    Dewan Hubungan Amerika-Islam, sebuah kelompok advokasi muslim besar, akan mempertimbangkan untuk menantang perintah tersebut di pengadilan jika Trump mencoba menerapkannya.

    Perintah ini muncul beberapa hari setelah Donald Trump kembali ke Gedung Putih setelah upacara pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 pada 20 Januari 2025.

    Sehari sebelumnya, Israel dan Hamas mulai menerapkan perjanjian gencatan senjata di Jalur Gaza dengan membebaskan tiga tahanan wanita Israel dengan imbalan 90 tahanan Palestina.

    Amerika Serikat menyaksikan protes mahasiswa yang meluas untuk mendukung rakyat Palestina di Jalur Gaza, yang menjadi sasaran perang genosida yang dilakukan oleh pendudukan Israel selama 15 bulan setelah 7 Oktober 2023.

    Pemerintah AS merupakan sekutu utama Israel dan pendonor terbesar untuk militer Israel sejak pendirian negara tersebut di Palestina pada 1948 dan menyalurkan bantuan militer per tahun ke Israel.

    Saat ini proses pencarian korban tewas di Jalur Gaza masih berlangsung sejak gencatan senjata Israel-Hamas mulai berlaku pada 19 Januari lalu, yang menambah jumlah kematian warga Palestina.

    Jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 47.417 jiwa dan 111.571 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Rabu (29/1/2025) menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sementara itu pencarian korban yang tertimbun reruntuhan masih berlanjut, menurut laporan Anadolu Agency.

    Sebelumnya, Israel mulai menyerang Jalur Gaza setelah Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) memulai Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023), untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak pendirian Israel di Palestina pada 1948.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Laskar Merah Putih Kecam Keras Penembakan 5 PMI di Malaysia

    Laskar Merah Putih Kecam Keras Penembakan 5 PMI di Malaysia

    loading…

    Ketua Umum Laskar Merah Putih (LMP) M Arsyad Cannu mengecam keras insiden penembakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) oleh Otoritas Maritim Malaysia. FOTO/IST

    JAKARTA – Ketua Umum Laskar Merah Putih (LMP) M Arsyad Cannu mengecam keras insiden penembakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) oleh Otoritas Maritim Malaysia. Penembakan oleh Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) yang menyebabkan 1 WNI meninggal dunia terjadi pada Jumat (24/1/2025) sekitar pukul 03.00 WIB di perairan Tanjung Rhu, Malaysia.

    Dalam insiden tersebut, lima orang PMI menjadi korban, satu orang di antaranya meninggal dunia dan empat orang luka-luka. KBRI di Kuala Lumpur telah mengirimkan nota diplomatik meminta agar peristiwa penembakan terhadap lima PMI diusut tuntas.

    “Atas nama Laskar Merah Putih, kami mengucapkan turut berduka cita yang mendalam atas meninggalnya seorang pekerja migran kita dan mendoakan agar empat orang yang saat ini tengah dirawat bisa segera diberikan kesembuhan,” kata Arsyad Cannu di Markas Besar LMP, Jakarta Barat, Selasa (28/1/2025).

    Arsyad mengecam tindakan berlebihan APMM yang diduga terjadi karena pekerja migran tersebut akan keluar dari Malaysia melalui jalur ilegal. “Pemerintah Malaysia harus bertanggungjawab dan mengusut tuntas penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam kasus ini,” tandasnya.

    KBRI Kuala Lumpur akan terus memantau penanganan peristiwa sangat tragis dan meminta akses kekonsuleran untuk menjenguk jenazah dan menemui para korban. Sebagai Ketua Umum Markas Besar Laskar Merah Putih, Arsyad memberikan tanggapan keras terkait tindakan APMM yang berlebihan terhadap Warga Negara Indonesia di Perairan Tanjung Rhu, Malaysia.

    “Apalagi sampai merenggut nyawa WNI pekerja migran karena diduga akan keluar dari Malaysia melalui jalur ilegal. Kenapa main tembak, seharusnya cukup diamankan saja,” tegasnya.

    Atas kasus tersebut Laskar Merah Putih menyatakan sikap menolak penggunaan kekuatan militer yang melibihi batas wajar. Sebab,WNI yang menjadi korban tidak bersenjata dan mereka bukan teroris, bukan juga bandar narkotika.

    Tindakan represif pihak keamanan Maritim Malysia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan telah melecehkan martabat Bangsa Indonesia. “Kamimeminta agar peristiwa hukum tersebut diselidiki secara transparan dan meminta kepada Pemerintah Malaysia untuk memulihkan hak korban dan menyampaikan permintaan maaf,” ujar Arsyad.

    Laskar Merah Putihmendukung Pemerintah Republik Indonesia mengirim Nota Diplomatik, menyatakan protes, dan mengutuk keras peristiwa yang tidak berprikemanusiaan itu.

    (abd)

  • Donald Trump Tanda Tangani 4 Perintah Eksekutif Baru, Termasuk Mengamanatkan Pengembangan Iron Dome – Halaman all

    Donald Trump Tanda Tangani 4 Perintah Eksekutif Baru, Termasuk Mengamanatkan Pengembangan Iron Dome – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden AS Donald Trump menandatangani empat perintah eksekutif baru serta satu proklamasi pada Senin (27/1/2025).

    Keempat perintah eksekutif tersebut meliputi:

    – Melarang “radikalisme gender di militer.”

    – Menghapus program Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI) dari militer.

    – Mengamanatkan proses pengembangan “American Iron Dome.”

    – Mengembalikan anggota militer yang diberhentikan karena menolak vaksin.

    Selain itu, terdapat satu proklamasi yang memperingati ulang tahun ke-80 pembebasan kamp konsentrasi Auschwitz.

    Trump menyatakan bahwa ia menandatangani perintah eksekutif tersebut saat berada di dalam pesawat Air Force One dalam perjalanan kembali ke Washington dari Florida, mengutip CNN.com.

    Menteri Pertahanan Pete Hegseth diperintahkan untuk menyusun dan menerapkan kebijakan setelah Trump menandatangani perintah tersebut.

    Donald Trump menandatangani serangkaian perintah eksekutif pada hari pertamanya menjabat, Senin 20 Januari 2025 di Gedung Putih. Seminggu kemudian, Trump menandatangani perintah eksekutif baru. (Instagram @whitehouse @potus)

    Radikalisme Gender di Militer

    Mengutip France24, salah satu perintah eksekutif yang ditandatangani Trump berjudul “Penghapusan Radikalisme Gender di Militer.”

    Hal ini tampaknya merujuk pada keberadaan pasukan transgender di militer, meskipun teks lengkap dari perintah tersebut belum tersedia.

    Pada masa jabatan pertamanya, Trump pernah mengumumkan bahwa ia akan melarang pasukan transgender untuk bertugas di militer.

    Namun, larangan tersebut tidak sepenuhnya diterapkan.

    Trump hanya menghentikan perekrutan pasukan transgender tetapi tetap mengizinkan personel yang telah bertugas untuk melanjutkan tugas mereka.

    Joe Biden kemudian membatalkan keputusan tersebut setelah ia menjabat pada tahun 2021.

    Menurut data Departemen Pertahanan AS, sekitar 1,3 juta personel aktif bertugas di militer.

    Aktivis pembela hak transgender memperkirakan terdapat sekitar 15.000 anggota angkatan bersenjata yang transgender, sementara pejabat menyatakan jumlahnya hanya beberapa ribu.

    Program DEI di Militer

    Mengutip New York Post, perintah eksekutif yang membahas DEI di angkatan bersenjata mengarahkan pelarangan terhadap “sistem preferensi berbasis ras atau jenis kelamin” di seluruh elemen Angkatan Bersenjata, Departemen Pertahanan, dan Departemen Keamanan Dalam Negeri.

    Setiap contoh “diskriminasi” yang terkait dengan praktik DEI akan tunduk pada tinjauan internal oleh Menteri Pertahanan Pete Hegseth.

    Iron Dome Amerika

    Donald Trump juga menandatangani perintah eksekutif yang mengharuskan pengembangan ‘American Iron Dome,’ sebuah sistem pertahanan udara jarak pendek.

    Sistem Iron Dome awalnya dikembangkan oleh Rafael Advanced Defense Systems dari Israel dengan dukungan dari Amerika Serikat.

    Sistem ini berfungsi untuk mendeteksi apakah roket yang diluncurkan akan menghantam daerah berpenduduk.

    Jika roket diperkirakan akan jatuh di area yang tidak berpenghuni, sistem akan mengabaikannya dan membiarkannya jatuh tanpa ancaman.

    Pengembangan sistem serupa di Amerika Serikat diperkirakan akan memakan waktu bertahun-tahun untuk diterapkan.

    Pengembalian Anggota Militer yang Menolak Vaksin

    Perintah eksekutif ini juga akan memulihkan tugas bagi anggota militer yang diberhentikan karena menolak mematuhi mandat vaksin selama pandemi COVID-19.

    Mengutip Al Jazeera, sekitar 8.000 anggota militer telah diberhentikan karena menolak vaksin antara Agustus 2021 hingga Januari 2023.

    Daftar Perintah Eksekutif yang Sudah Ditandatangani

    mengutip Al Jazeera, di hari pertamanya menjabat, Senin (20/1/2025), Donald Trump telah menandatangani 26 perintah eksekutif, yaitu:

    1. Pemerintahan – Mengganti Nama Gunung Denali, Teluk Meksiko

    2. Kebijakan luar negeri – Menetapkan kartel dan organisasi internasional sebagai Organisasi Teroris Asing

    3. Sosial – Mereformasi perekrutan federal untuk memprioritaskan prestasi, keterampilan, dan dedikasi konstitusional

    4. Sosial – Mengakhiri program “keberagaman, kesetaraan, dan inklusi” serta program terkait di pemerintahan federal

    5. Gender – Hanya mengakui jenis kelamin biologis dalam kebijakan federal, mengakhiri ideologi identitas gender

    6. Pemerintahan – Membentuk Departemen Efisiensi Pemerintah untuk memodernisasi teknologi federal

    7. Kebijakan luar negeri – Memprioritaskan kepentingan AS dalam semua keputusan kebijakan luar negeri

    8. Imigrasi – Memperkuat proses pemeriksaan untuk mencegah “teroris asing” dan ancaman masuk ke AS

    9. Energi – Mendorong pengembangan sumber daya Alaska seperti minyak, gas, dan mineral

    10. Imigrasi – Memperkuat penegakan hukum imigrasi

    11. Kebijakan luar negeri – Menunda bantuan luar negeri AS selama 90 hari untuk meninjau dan memastikan keselarasan dengan kepentingan AS

    12. Energi – Mendeklarasikan keadaan darurat energi nasional untuk meningkatkan pasokan energi AS

    13. Peradilan pidana – Mengembalikan hukuman mati untuk kejahatan berat

    14. Keamanan perbatasan – Mengamankan perbatasan AS dengan membangun lebih banyak tembok dan menegakkan hukum imigrasi yang ketat

    15. Imigrasi – Mengubah aturan untuk mencegah kewarganegaraan otomatis bagi anak-anak yang lahir di AS jika orang tua mereka berada di negara tersebut secara ilegal atau sementara

    16. Imigrasi – Menghentikan sementara penerimaan pengungsi baru guna memastikan program tersebut sejalan dengan kepentingan AS

    17. Energi – Menghapus peraturan untuk meningkatkan produksi energi AS; menghilangkan “mandat kendaraan listrik (EV)”

    18. Keamanan perbatasan – Mengarahkan militer untuk fokus pada pengamanan perbatasan AS, menghentikan imigrasi ilegal, dan perdagangan narkoba

    19. Pemerintahan – Mencabut izin keamanan mantan pejabat yang terlibat dalam campur tangan pemilu

    20. Komunikasi – Mempermudah pemecatan pegawai federal yang berkinerja buruk atau bertindak melawan kebijakan

    21. Pemerintahan – Menarik diri dari Organisasi Kesehatan Dunia karena “penanganan yang salah” terhadap pandemi COVID-19

    22. Peraturan – Menunda penegakan larangan TikTok selama 75 hari untuk meninjau masalah keamanan

    23. Lainnya – Mencabut perintah eksekutif sebelumnya dan tindakan yang dianggap berbahaya, serta berjanji untuk memulihkan “akal sehat”

    24. Komunikasi – Pemerintah federal akan berhenti menyensor ucapan orang secara daring

    25. Pemerintahan – Berhenti menggunakan lembaga federal untuk menargetkan lawan politik

    26. Lingkungan – Menarik diri dari Perjanjian Paris dan komitmen iklim internasional lainnya

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Memanusiakan Orang Papua Sejak dari dalam Pikiran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Januari 2025

    Memanusiakan Orang Papua Sejak dari dalam Pikiran Nasional 28 Januari 2025

    Memanusiakan Orang Papua Sejak dari dalam Pikiran
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    JIKA
    kita amati secara mendalam kehidupan dan perkembangan di
    Papua
    , dari berbagai sisi, kita akan mendapati daerah yang sangat jauh tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain di belahan Nusantara ini, alih-alih dibandingkan dengan Jakarta.
    Sebagai pengamat dan peneliti dan juga sering ke Bumi Cendrawasih, menyaksikan kondisi tersebut, terkadang terbesit di dalam alam pikiran saya untuk mencoba memahami mengapa pada akhirnya konflik dan pemberontakan di Papua muncul dan tidak juga kunjung selesai.
    Namun, lebih dari sekadar memahami hadirnya resistensi yang berkelanjutan di sana, saya justru jauh lebih tertarik untuk memikirkan opsi-opsi perdamaian yang permanen antara Jakarta dan para pihak yang telah dianggap sebagai ‘pemberontak atau teroris’ di Papua tersebut, ketimbang berpikir sebaliknya.
    Artinya, setiap masalah sejatinya adalah sebab dan solusinya. Sehingga tidak mungkin masalah di Papua tidak jelas sebabnya di satu sisi dan tidak bisa diselesaikan di sisi lain.
    Setiap masalah, tentu ada solusi yang pas dan tepat, jika diagnosa atas persoalan dilakukan secara jujur dan objektif, pun dengan niat yang tulus untuk menyelesaikan masalah.
    Lantas apa penyebab fundamentalnya dan mengapa solusi sekaligus strategi yang diambil selama ini tak juga berimbas positif terhadap penyelesaian persoalan di Papua?
    Dalam hemat saya, kita semua, termasuk pemerintah, sebenarnya memahami secara prinsipil masalah di Papua adalah masalah keadilan, tentunya keadilan dari berbagai sisi, yang belum juga hadir di sana.
    Sejak Papua pertama kali berhasil dirangkul sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kecenderungan Jakarta memandang Papua tak lebih dari lahan eksploitasi di satu sisi dan daerah di mana “orang-orang terbelakang” harus didikte untuk menjadi maju seperti yang diinginkan oleh Jakarta di sisi lain.
    Dari cara pandang awal ini saja, sejatinya Jakarta sudah tidak adil terhadap Papua. Unsur dasar dari keadilan sudah tercederai sebelum keadilan tersebut bisa dihadirkan sebagai substansi kebijakan dari Jakarta.
    Karena adagium awal dari keadilan, sebagaimana kita semua telah memahaminya, adalah bahwa keadilan harus dimulai dari dalam pikiran.
    Dan sejarah membuktikan bahwa Indonesia bahkan belum mampu untuk bersikap adil terhadap Papua sedari dalam pikiran, alih-alih dalam kenyataan.
    Dengan kata lain, bahkan sampai hari ini, Papua di mata para elite di Jakarta, baik sipil maupun militer, adalah daerah di mana sumber daya alamnya bisa dikeruk untuk sebesar-besarnya keuntungan Jakarta.
    Untuk mewujudkan itu, dianggap rakyatnya bisa diakal-akali dengan berbagai macam cara dan gaya serta pendekatan, elite-elite lokalnya dianggap bisa diikat dengan berbagai macam perjanjian tidak adil, budayanya seolah-olah dihargai dan dianggap unik, tapi sekaligus dibiarkan terbelakang, dan semua itu diasumsikan harus dipastikan realisasinya di bawah “pengawalan” strategi-strategi perang ala militer.
    Model berpikir terhadap Papua semacam ini, diakui atau tidak, menjadi perkara awal mengapa urusan Papua terkesan tak pernah bisa selesai, karena dilihat dari sisi manapun, model relasi yang dibangun atas logika-logika tak adil di atas akan berujung kemarahan, resistensi dan bahkan perlawanan.
    Sebodoh-bodohnya manusia dan masyarakat, jika diperlakukan tak adil, tentu pada satu titik akan melawan, sekalipun dalam bentuk yang paling rendah, yakni dalam bentuk kebencian yang disimpan di dalam hati.
    Celakanya, di saat perkara Papua yang tak pernah selesai tersebut, upaya pengerukan atas sumber daya alamnya, tanahnya, hutannya, dan segala sumber ekonomi yang ada di sana terus saja berlangsung ibarat tak peduli dengan kondisi lapangan yang ada.
    Lahannya terus saja dikavling berdasarkan “kalkulator” Jakarta, sumber daya alam yang terkandung di dalamnya pun demikian, tidak terkecuali sumber daya kehutanan dan perikanannya sekalipun.
    Sebagaimana telah saya jelaskan dalam beberapa tulisan tentang Papua sebelumnya, pendekatan keamanan (
    security approach
    ) sekaligus pendekatan “Jakarta Centric” yang telah dijalankan oleh pemerintah selama ini justru memperumit persoalan, memperpanjang jalan menuju kehadiran keadilan di Papua.
    Sehingga, semakin panjang jalan untuk menciptakan keadilan, maka akan semakin suram jalan menuju kedamaian di tanah Papua. Sesederhana itu sebenarnya urusannya.
    “If you want peace, work for justice”, kata Pope Paul IV.
    Dengan kata lain, jika tidak mampu menghadirkan keadilan, maka jangan pernah berharap akan hadir kedamaian dan perdamaian di Papua.
    Kondisi tersebut kemudian menjadi semakin rumit dan “complicated” ketika berbaur dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek dari oknum-oknum elite, baik di pusat maupun di daerah, yang akan tetap terjaga dengan baik selama konflik tetap bertahan di bumi Papua.
    Boleh jadi, para pihak ini dengan sengaja dan dengan segala cara menyuarakan pendekatan keamanan sebagai satu-satunya pendekatan terbaik, yang secara substantif sebenarnya hanya untuk menjaga kepentingan jangka pendek yang telah mereka nikmati di balik keberlanjutan konflik di Papua selama ini.
    Pertanyaannya kemudian; jika asumsi itu benar demikian, mengapa cara pandang Jakarta terhadap Papua senaif itu selama ini?
    Hemat saya, jawaban awalnya sangatlah sederhana, karena Jakarta tak pernah menganggap orang Papua setara dengan orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau orang dari pulau lainnya di Indonesia.
    Jakarta masih menganggap orang Papua terbelakang, sekaligus bodoh dan mudah untuk diakali.
    Padahal sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, Orang Papua sebenarnya menyadari bahwa mereka sedang dibodoh-bodohi. Namun, karena proses pemiskinan yang terstruktur dan dalam jangka waktu yang lama di Papua, peluang dan kapasitas mereka untuk menyampaikan dan menyuarakan dirinya akhirnya menjadi sangat terbatas.
    Sehingga yang tersisa hanya ungkapan yang sering kita dengar belakangan di Papua, yakni “Sa bodoh, tapi sa tau”.
    Cara pandang yang “kurang manusiawi” terhadap orang Papua menyebabkan opsi pendekatan dialogis dan interaktif menjadi tidak layak lagi di mata elite-elite di Jakarta.
    Pasalnya, kegagalan Jakarta untuk “memanusiakan orang Papua” membuat Jakarta merasa jauh lebih tinggi dan lebih “pintar” sekaligus lebih “beradab” dibanding orang Papua.
    Hal itu memunculkan anggapan awal yang fatal bahwa dialog tidak perlu dilakukan, karena posisi kedua pihak dianggap tidak setara, tidak
    equal
    , seolah-olah orang Papua bukanlah manusia. Sangat disayangkan cara pandang kolonial semacam itu masih tetap dipakai sampai hari ini.
    Bahkan dalam beberapa kesempatan
    off the record
    , saya mendengar cerita beberapa pihak yang mengisahkan bagaimana oknum-oknum elite memunculkan pernyataan-pernyataan yang tidak terlalu membedakan orang Papua dengan “makluk nonmanusia”, yang dianggap bisa diperlakukan sesuai keinginan orang Jakarta di satu sisi dan didikte sesuai dengan kepentingan-kepentingan oknum-oknum elite tertentu di Jakarta dan di daerah Papua di sisi lain.
    Sebagai contoh, jika bukan karena cara pandang yang demikian, tidak mungkin lahir wacana “dua juta hektare lahan” untuk ketahanan gula di Papua.
    Pertanyaan sederhananya, atas dasar apa wacana tersebut bisa lahir, sementara orang Papua sendiri tidak pernah ditanya atau diajak bicara tentang hal itu.
    Berapa banyak manusia Papua yang akan direlokasi dan dicerabutkan dari lahannya, jika itu benar-benar terwujud, tak pernah terpikirkan oleh pembuat wacana tersebut.
    Mengapa ada wacana yang menyembunyikan logika seolah-olah Jakarta bisa dengan mudah mengatakan bahwa urusan dua juta hektare lahan di Papua adalah urusan sepele dan mudah, tanpa terlebih dulu berkonsultasi dengan masyarakat Papua?
    Bukankan akhirnya wacana semacam itu terasa sangat naif, yang menunjukkan secara vulgar bagaimana sebenarnya pemerintah dan para elite di Jakarta memandang orang Papua.
    Saya cukup yakin bahwa Jakarta tentu tak mau dipersalahkan atas berkelanjutannya konflik di Papua, seolah-olah tak ada jalan penyelesaian selain dengan senjata dan pendekatan keamanan.
    Saat ini, tentu masalahnya sudah bukan lagi soal siapa yang salah, tapi apa langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada di Papua.
    Bukan berarti tak dibutuhkan kehadiran militer di sana, karena di mana pun daerah konflik di dunia ini, tentu membutuhkan kehadiran militer.
    Masalahnya bukan terletak di sana tentunya, tapi terletak pada cara pandang awal dan pendekatan yang dilahirkan dari cara pandang tersebut, yang saya yakin juga membutuhkan kehadiran militer pada akhirnya.
    Artinya, selama Jakarta masih belum mampu memandang orang Papua sebagai manusia layaknya manusia-manusia dari pulau lain, termasuk layaknya orang-orang di Jakarta, maka selama itu pula pendekatan keamanan akan dianggap sebagai satu-satunya cara penyelesaian persoalan di Papua.
    Nahasnya dengan cara pandang ini adalah bahwa Indonesia, utamanya Jakarta, akan terperangkap selamanya dengan pendekatan yang sama sekali belum mampu membuahkan perdamaian di Papua, yakni pendekatan keamanan.
    Senaif itukah Indonesia memandang Papua, sehingga tak pernah mampu, bahkan untuk mencoba memikirkan cara yang jauh lebih manusiawi dalam memandang dan memperlakukan orang Papua, sehingga bisa berujung pada pendekatan yang jauh lebih manusiawi dan bersahabat?
    Keadilan di Papua, bagaimanapun, seharusnya tidak sepenuhnya hasil pendefinisian dari orang Jakarta, apalagi jika pendefinisian tersebut lahir dari arogansi ke-Jakarta-an yang berlebihan.
    Adil menurut Jakarta, selama ini terbukti tidak adil menurut orang Papua. Karena itulah konflik tak pernah menemukan titik damai.
    Lagi-lagi penyebabnya adalah ketidakmampuan Jakarta dalam memosisikan orang Papua setara dengan orang Jakarta di satu sisi dan ketidakberhasilan Jakarta dalam memanusiakan orang Papua secara utuh dan adil di sisi lain.
    Awal mulanya memang dari sana, yakni di dalam diri elite-elite Jakarta sendiri, justru bukan dari orang Papua. Papua hanya pelengkap penderita selama ini, karena terlanjur dipandang tidak layak untuk berada pada posisi “pembuat definisi keadilan” untuk Papua sendiri.
    Jadi pendeknya, dalam hemat saya, menghadirkan cara pandang yang adil terlebih dahulu, sebelum berusaha untuk berbuat adil untuk Papua, adalah poin paling penting dalam penyelesaian masalah Papua.
    Jika Jakarta tidak mampu memanusiakan orang-orang Papua layaknya manusia-manusia lain di negeri ini, maka selama itu pula masalah Papua akan terus berkelanjutan tanpa jelas juntrungan penyelesaiannya. Dan selama itu pula sebenarnya Jakarta sedang mengingkari keadilan yang sebenarnya.
    Masalahnya, Jakarta tak selamanya bisa mengendalikan pergerakan isu di tingkat global, katakanlah di PBB, terkait dengan posisi OPM dan organisasi sejenis di Papua. Apalagi situasi geopolitik dunia terlihat semakin tak pasti dari waktu ke waktu.
    Dengan kata lain, jangan sampai Indonesia terlambat dalam mengubah cara pandang, pendekatan, dan strategi dalam menyelesaikan masalah Papua ini, karena tak ada yang benar-benar mengetahui kapan situasi geopolitik dunia akan berpindah dukungan kepada kelompok-kelompok yang dianggap teroris dan pemberontak di Papua.
    Karena itu, cara pandang, pendekatan, dan strategi yang lebih sesuai dengan asas keadilan dan kemanusiaan semestinya segera dimulai.
    “Justice delayed is justice denied,” kata Martin Luther King Jr.
    Menunda-nunda perwujudan dan realisasi keadilan di Papua, yang sejatinya harus dimulai sejak dalam pikiran orang-orang di Jakarta, maka selama itu pula sebenarnya Indonesia dan Jakarta sedang mengingkari keadilan itu sendiri, tentunya keadilan terkait dengan masalah penyelesaian di Papua.
    Dan selama itu pula keadilan tidak akan pernah ikut memelihara kita sebagai negara bangsa. Karena sejatinya keadilan adalah penjaga Indonesia yang hakiki sebagai sebuah negara bangsa.
    Karena sebab itulah mengapa keadilan diletakan pada sila kelima oleh para pendiri bangsa kita.
    Nah, selama keadilan sulit diwujudkan, selama itu pula berbagai ancaman dan masalah sedang menanti kita sebagai bangsa.
    “If we do not maintain justice, justice will not maintain us,” kata Filosof Francis Bacon. Dan saya cukup yakin, logika keadilan yang sama juga berlaku bagi Papua.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • `Decentralized finance` berpotensi tingkatkan inklusi keuangan

    `Decentralized finance` berpotensi tingkatkan inklusi keuangan

    Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae. ANTARA FOTO/Khalis Surry/wpa.

    OJK: `Decentralized finance` berpotensi tingkatkan inklusi keuangan
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Senin, 27 Januari 2025 – 10:41 WIB

    Elshinta.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan decentralized finance (DeFi), yang merupakan ekosistem aplikasi keuangan berbasis blockchain dan dapat beroperasi tanpa otoritas pusat seperti bank atau institusi keuangan lainnya, berpotensi meningkatkan inklusi keuangan.

    “OJK memandang DeFi sebagai tantangan dan juga sebagai peluang dalam ekosistem keuangan. DeFi yang beroperasi melalui blockchain memiliki potensi untuk meningkatkan inklusi keuangan, transparansi dan efisiensi,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae di Jakarta, Senin.

    Dian menuturkan implementasi DeFi di Indonesia memiliki peluang untuk berkembang, terutama bagi masyarakat yang belum memiliki akses ke layanan perbankan formal atau masyarakat yang ingin mendapatkan peluang dan manfaat lain. Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, tingkat inklusi keuangan di Indonesia saat ini sebesar 75,02 persen dan indeks literasi keuangan 65,43 persen.

    Sementara, melalui Blueprint Payment System 2024-2045, Bank Indonesia (BI) menargetkan untuk membawa 91,3 juta unbanked dan 92,9 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ke dalam ekonomi dan keuangan formal secara berkelanjutan melalui digitalisasi. Menurut Dian, perkembangan DeFi dipicu oleh adanya manfaat dan keunggulan teknologi blockchain yang dapat meningkatkan efisiensi, fleksibilitas, transparansi dan aksesibilitas terhadap berbagai produk keuangan.

    Namun demikian, sifat DeFi yang decentralized, borderless, dan anonim menghadirkan risiko-risiko seperti pencucian uang, pembiayaan teroris, volatilitas pasar, dan isu mengenai pelindungan konsumen. Selain itu, pemanfaatan pinjaman melalui DeFi di Indonesia masih terbatas dari segi kegunaannya.

    OJK akan terus mencermati perkembangan DeFi ini khususnya untuk sektor perbankan, dan bagaimana potensinya untuk mendistorsi lembaga perbankan yang ada. Meskipun transaksi berbasis blockchain mulai berkembang, namun masih terbatas pada sektor investasi, terutama dalam bentuk aset kripto. Sektor-sektor lainnya, seperti pembayaran atau pinjaman berbasis blockchain, belum diterima secara luas di Indonesia mengingat cryptocurrency tidak legitimate sebagai alat pembayaran berdasarkan konstitusi Indonesia.

    Sebagian besar masyarakat Indonesia bertransaksi melalui sistem keuangan tradisional yang berbasis fiat. Oleh karena itu, OJK akan lebih dulu fokus mempelajari dampak dan risiko dari DeFi, serta secara bertahap menjajaki langkah-langkah regulasi yang diperlukan. Selain itu, OJK juga menyadari pentingnya meningkatkan literasi masyarakat terkait teknologi blockchain, termasuk melakukan transaksi di dalam ekosistem DeFi.

    Dian mengatakan teknologi blockchain saat ini sudah menjadi bagian dari inovasi yang dilakukan bank dalam megimplementasikan berbagai emerging technology untuk mendukung kegiatan usaha bank, agar mampu bersaing di era digital.

    Untuk mendukung akselerasi transformasi digital perbankan termasuk implementasi berbagai emerging technology, OJK telah menerbitkan berbagai roadmap, panduan dan pengaturan antara lain Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan, Buku Panduan Resiliensi Digital, Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.

    Kemudian, ada juga Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 29 Tahun 2022 tentang Ketahanan dan Keamanan Siber bagi Bank Umum, dan SEOJK Nomor 24 Tahun 2023 tentang Penilaian Tingkat Maturitas Digital Bank Umum, dan ke depan juga akan diterbitkan Pedoman Tata Kelola AI di Sektor Perbankan.

    Di samping itu, OJK sedang mempersiapkan peralihan tugas pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital dan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK.

    OJK melaksanakan serangkaian inisiatif antara lain yaitu berkoordinasi dengan Bappebti, menyusun POJK dan SEOJK terkait penyelenggaraan perdagangan aset kripto, menyiapkan perangkat infrastruktur sistem informasi, menyusun buku panduan transisi dan pedoman pengawasan, serta koordinasi dengan seluruh stakeholder dalam rangka memperkuat pengawasan terhadap aset keuangan digital dan aset kripto.

    Sumber : Antara

  • Perintah Eksekutif Trump Buka Jalan bagi Kebijakan Anti-Muslim di AS

    Perintah Eksekutif Trump Buka Jalan bagi Kebijakan Anti-Muslim di AS

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kebijakan imigrasi Presiden AS Donald Trump berpotensi memberi dampak luas terhadap etnis keagamaan, termasuk umat Islam. Mahasiswa dari negara mayoritas Muslim dan yang pro-Palestina akan makin sulit masuk ke Amerika Serikat.

    Pendukung hak-hak sipil di Amerika Serikat telah membunyikan alarm atas perintah eksekutif atau perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pada Senin lalu, terkait pembatasan perjalanan orang asing ke AS.

    Menurut mereka, perintah eksekutif itu meletakkan dasar untuk larangan perjalanan yang turut menargetkan negara-negara mayoritas Muslim. Termasuk warga negara asing yang sudah berada di AS secara legal dan menindak mahasiswa internasional yang mengadvokasi hak-hak Palestina.

    Seorang pengacara di International Refugee Assistance Project (IRAP) AS Deepa Alagesan mengatakan, perintah eksekutif yang menciptakan tatanan baru di AS tersebut “lebih besar dan lebih buruk” daripada larangan perjalanan “xenofobia” yang diberlakukan Trump di beberapa negara mayoritas Muslim pada 2017 selama masa jabatan pertamanya.

    “Bagian terburuk dari kebijakan itu ya sekarang, sebab tidak hanya melarang orang-orang di luar AS memasuki AS, tetapi juga menggunakan alasan yang sama sebagai dasar untuk mengeluarkan orang dari AS,” kata Alagesan kepada Al Jazeera, dilansir pada Minggu (26/1/2025).

    Perintah eksekutif itu menurut mereka mengarahkan pejabat pemerintah untuk menyusun daftar negara-negara “di mana pemeriksaan dan penyaringan informasi diperketat, membuat penangguhan sebagian atau penuh pada akses masuk warga negara dari negara-negara tersebut”.

    Tidak hanya itu, perintah eksekutif itu diperkirakan IRAP juga memuat jalan pemerintah AS untuk mengidentifikasi jumlah warga negara yang memasuki AS dari negara-negara muslim pada 2021 – selama masa kepresidenan Joe Biden – dan mengumpulkan informasi “relevan” tentang “tindakan dan aktivitas” mereka.

    Gedung Putih kemudian memerintahkan “langkah-langkah segera” untuk mendeportasi warga asing dari negara-negara yang menjadi objek pemberlakuan “setiap kali muncul informasi hasil identifikasi yang akan mendukung pengecualian atau pemindahan”.

    Perintah eksekutif Trump itu juga mengatakan bahwa pemerintah harus memastikan warga negara asing, termasuk mereka yang berada di AS, “tidak memiliki sikap bermusuhan” terhadap warga, budaya atau pemerintah Amerika dan “tidak mengadvokasi, membantu, atau mendukung teroris asing yang ditunjuk”.

    Alagesan memperingatkan bahwa dekrit itu, yang dijuluki “Melindungi Amerika Serikat dari Teroris Asing dan Keamanan Nasional Lainnya dan Ancaman Keamanan Publik”, dapat menimbulkan lebih banyak kerugian pada keluarga imigran daripada pembatasan perjalanan 2017, yang secara kolektif dikenal sebagai “larangan Muslim”.

    Dia mengatakan bahasa perintah yang tidak jelas itu “menakutkan” karena tampaknya memberi lembaga AS wewenang luas untuk merekomendasikan tindakan terhadap orang-orang yang ingin ditargetkan oleh pemerintah.

    “Pada intinya, itu hanya metode lain untuk mengeluarkan orang, untuk memecah keluarga, untuk menghasut ketakutan, untuk memastikan bahwa orang-orang tahu bahwa mereka tidak diterima dan bahwa pemerintah akan membawa kekuatannya untuk melawan mereka,” kata Alagesan.

    Selain IRAP, Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab (ADC) juga mengecam perintah eksekutif Trump itu. Mereka menganggap, dekrit itu lebih buruk dari “larangan Muslim” 2017 dengan memberi pemerintah “keleluasaan yang lebih luas untuk menggunakan pengecualian ideologis” untuk menolak visa dan mengeluarkan orang dari AS.

    “ADC menyerukan kepada pemerintahan Trump untuk berhenti menstigmatisasi dan menargetkan seluruh komunitas, yang hanya menabur perpecahan,” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.

    “Janji Amerika tentang kebebasan berbicara dan berekspresi – prinsip yang telah lama disoroti oleh Presiden Trump sendiri – sekarang sangat bertentangan dengan perintah eksekutif barunya.”

    Dewan Urusan Publik Muslim juga memperingatkan dalam sebuah pernyataan bahwa meningkatkan langkah-langkah pemeriksaan untuk negara-negara tertentu berisiko “berfungsi sebagai larangan Muslim secara de facto dengan kedok protokol keamanan”.

    Maryam Jamshidi, seorang profesor di University of Colorado Law School, mengatakan perintah itu tampaknya menghidupkan kembali larangan perjalanan dari masa jabatan pertama Trump, sambil mendorong agenda sayap kanan dalam perang budaya yang lebih luas.

    Bagian dari dekrit itu juga secara khusus menargetkan warga Palestina dan pendukung hak-hak Palestina, ucap Jamshidi.

    “Sayap kanan memiliki investasi kuat dalam melanjutkan gagasan ini bahwa orang asing, orang-orang kulit hitam, coklat, Muslim – bukan Yahudi-Kristen kulit putih, secara efektif – mengancam ‘orang Amerika sejati’.”

    Banyak politisi sayap kanan – termasuk wakil presiden Trump saat ini, JD Vance – telah menganut teori konspirasi “great replacement”, yang berpendapat bahwa ada upaya untuk mengganti orang Amerika keturunan asli dengan imigran.

    Jamshidi juga mengatakan sebetulnya masih belum jelas mekanisme bagaimana perintah itu akan mendeportasi orang. Ia mencatat bahwa belum ada penetapan regulasi khusus, apakah undang-undang imigrasi yang menjadi acuan perintah eksekutif itu memberi wewenang administrasi untuk memindahkan warga negara asing.

    Dekrit itu bergantung pada bagian dari Undang-Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan yang memberi presiden kekuasaan untuk membatasi masuk ke AS untuk “kelas orang asing apapun” – tetapi tidak untuk memindahkan orang yang sudah ada di negara itu.

    Tetapi dia memperingatkan bahwa perintah itu dapat mengarah pada pengawasan lebih lanjut terhadap orang-orang dari negara-negara mayoritas muslim dan menghalangi kegiatan politik – terutama solidaritas Palestina – yang dapat dianggap bertentangan dengan pedoman pemerintah.

    Jamshidi turut memperingatkan bahwa perintah eksekutif ini bisa mengarahkan pejabat AS untuk membuat rekomendasi untuk “melindungi” warga negara dari warga negara asing “yang berpidato atau menyerukan kekerasan sektarian, penggulingan atau penggantian budaya di AS, atau yang memberikan bantuan, advokasi, atau dukungan untuk teroris asing”.

    Jamshidi mengatakan bahasa itu “tentu saja tentang warga negara asing, termasuk mahasiswa asing yang berpartisipasi dalam advokasi Palestina”.

    Dengan politisi pro-Israel sering menyebut aktivis kampus “pro-Hamas”, Jamshidi mengatakan dekrit Trump dapat digunakan untuk menargetkan pendukung hak-hak Palestina yang berada di AS dengan visa pelajar.

    Baik Trump dan Menteri Luar Negeri Marco Rubio sebelumnya telah menyerukan deportasi siswa internasional.

    Ketika protes solidaritas Palestina melanda universitas-universitas di negara itu setelah pecahnya perang di Gaza, pendukung Israel, terutama Partai Republik, menggambarkan demonstran mahasiswa sebagai ancaman terhadap keselamatan kampus.

    Dima Khalidi, direktur kelompok advokasi Palestine Legal, mengatakan “jelas” bahwa perintah eksekutif Trump baru-baru ini dibuat untuk secara khusus menargetkan pendukung hak-hak Palestina.

    “Kita harus menghubungkannya dengan tatanan ini dengan pemaksaan ideologis yang lebih luas yang terjadi dan bagian dari pembersihan yang lebih besar yang tampaknya sangat ingin dilakukan Trump,” kata Khalidi kepada Al Jazeera.

    (luc/luc)

  • Israel Sambut Baik Langkah Trump Tetapkan Houthi ‘Organisasi Teroris’

    Israel Sambut Baik Langkah Trump Tetapkan Houthi ‘Organisasi Teroris’

    Tel Aviv

    Israel menyambut baik keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam kembali menetapkan kelompok Houthi, yang bermarkas di Yaman, sebagai “organisasi teroris”. Tel Aviv menyebut Houthi, yang didukung Iran, sangat mengganggu stabilitas regional dan tatanan global.

    “Houthi adalah proksi Iran yang mengganggu kebebasan navigasi, mengancam perdagangan global dan mengganggu stabilitas regional dan tatanan global,” sebut Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, dalam tanggapannya via media sosial X, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, Jumat (24/1/2025).

    “Ini merupakan langkah penting dalam memerangi teror dan memerangi unsur-unsur yang mengganggu stabilitas di kawasan kita,” ucapnya.

    Trump, pekan ini, kembali menetapkan Houthi sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO) setelah pemerintahan mantan Presiden Joe Biden membatalkan penetapan tersebut.

    Langkah membatalkan penetapan FTO itu diambil Biden karena pada saat itu dianggap menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke Yaman, yang mengalami salah satu krisis kemanusiaan paling parah di dunia.

    Langkah Trump kembali menetapkan Houthi sebagai FTO menandai kedua kalinya dia mengambil kebijakan tersebut, setelah melakukan hal serupa pada masa jabatan pertamanya. Perintah yang ditandatangani Trump ini juga mengutuk Iran karena mendukung Houthi.

    Kelompok Houthi memberikan reaksi keras atas langkah terbaru Trump tersebut. Houthi menuduh AS menetapkan kelompok mereka sebagai organisasi teroris karena mereka mendukung rakyat Palestina, yang menjadi motif kelompok itu menyerang Israel dan kapal-kapal di Laut Merah selama berbulan-bulan.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Reaksi Houthi usai Disebut Trump sebagai Organisasi Teroris, Buntut Solidaritas untuk Palestina? – Halaman all

    Reaksi Houthi usai Disebut Trump sebagai Organisasi Teroris, Buntut Solidaritas untuk Palestina? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pada Rabu (22/1/2025), Presiden Donald Trump mengumumkan keputusan untuk menetapkan kelompok Houthi yang didukung oleh Iran di Yaman sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO).

    Langkah ini menandai perbedaan signifikan dengan kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Joe Biden, CNN melaporkan.

    Setelah mengambil alih Gedung Putih pada 2021, Biden mencabut label “organisasi teroris asing” yang diberikan oleh Trump.

    Biden lalu menggantinya dengan penunjukan sebagai “Teroris Global yang Ditunjuk Secara Khusus”.

    Label ini memberikan sanksi yang lebih ringan dibandingkan dengan status “organisasi teroris asing”.

    Penunjukan Houthi sebagai organisasi teroris asing memiliki beberapa implikasi hukum yang lebih berat:

    Dukungan Material Terlarang

    Hukum federal AS menetapkan bahwa memberikan dukungan material atau sumber daya kepada organisasi teroris asing merupakan tindak pidana. Ini berarti kelompok-kelompok yang teridentifikasi sebagai organisasi teroris asing tidak bisa mendapatkan dukungan finansial atau sumber daya dari bank dan perusahaan.

    Anggota kelompok yang terdaftar sebagai organisasi teroris asing tidak akan diterima untuk memasuki Amerika Serikat.

    Korban dari serangan yang dilakukan oleh kelompok tersebut dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap kelompok teroris dan entitas yang mendukung mereka.

    Gedung Putih menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengakhiri kemampuan dan operasi Houthi, serta merampas sumber daya mereka.

    Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya untuk menghentikan serangan yang dilakukan oleh kelompok tersebut terhadap personel dan warga sipil AS, mitra AS, dan jalur pengiriman laut di Laut Merah.

    Gedung Putih juga mengungkapkan bahwa Trump telah mengarahkan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) untuk mengakhiri hubungannya dengan entitas yang melakukan pembayaran kepada Houthi.

    Selain itu, USAID juga diminta untuk menghentikan kerja sama dengan pihak-pihak yang mendukung upaya internasional melawan Houthi tanpa mengambil tindakan tegas terhadap terorisme dan pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

    Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Houthi di Laut Merah telah menyebabkan beberapa perusahaan pelayaran dan perusahaan minyak terbesar di dunia terpaksa menghentikan transit mereka melalui salah satu rute perdagangan laut yang paling penting di dunia.

    Keputusan Trump ini mencerminkan ketegasan AS dalam menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok Houthi di kawasan tersebut.

    Reaksi Houthi Ditetapkan sebagai Organisasi Teroris

    Kelompok Houthi merespons usai tindakan Trump yang kembali menetapkannya sebagai organisasi teroris asing.

    Houthi menduga penetapan itu karena pihaknya mendukung Palestina.

    Dikutip dari kantor berita AFP, Jumat (24/1/2025), kelompok Houthi menduga motif Trump menetapkan itu karena pihaknya mendukung Palestina.

    “Penetapan Amerika itu ditujukan kepada seluruh rakyat Yaman dan posisi terhormat mereka dalam mendukung rakyat Palestina yang tertindas,” kata pernyataan Houthi yang dikutip oleh saluran TV Al-Masirah.

    Houthi Yaman Bebaskan Awak Kapal Galaxy Leader

    Kelompok Houthi Yaman membebaskan awak kapal Galaxy Leader.

    Tercatat sudah lebih dari setahun kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Iran itu menyita kapal berbendera Bahama tersebut di lepas pantai Laut Merah Yaman.

    Pembebasan para awak kapal diumumkan oleh TV Al Masirah yang dikelola Houthi pada Rabu (22/1/2025).

    “Pembebasan kru Galaxy Leader dilakukan sebagai bentuk solidaritas kami dengan Gaza dan dukungan terhadap perjanjian gencatan senjata,” demikian bunyi pernyataan dewan politik tertinggi Houthi, dikutip dari The Guardian.

    Awak kapal tersebut terdiri dari 25 orang, dengan kewarganegaraan Bulgaria, Ukraina, Filipina, Meksiko, dan Rumania, yang dipekerjakan oleh pemilik kapal Galaxy Maritime.

    Kapal tersebut disewa oleh Nippon Yusen dari Jepang.

    Kapal Galaxy Leader disita oleh pasukan Houthi pada 19 November 2023, di Laut Merah, di dekat pelabuhan Hodeidah, wilayah yang dikuasai oleh Houthi di Yaman utara.

    Serangan tersebut terjadi segera setelah pecahnya perang Gaza.

    Pemimpin Houthi, Abdul Malik al-Houthi, menyatakan bahwa kelompoknya siap bertindak jika Israel melanggar perjanjian gencatan senjata Gaza.

    “Kami selalu siap untuk campur tangan segera setiap kali Israel kembali melakukan eskalasi, kejahatan genosida, dan pengepungan di Jalur Gaza,” tegasnya, dikutip dari Reuters.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)