Kasus: Teroris

  • Pemerintah Suriah Belum ‘Merangkul’ Suku-Suku Minoritas

    Pemerintah Suriah Belum ‘Merangkul’ Suku-Suku Minoritas

    Jakarta

    Gencatan senjata di Suweida telah diberlakukan. Hal ini diumumkan oleh Menteri Pertahanan Suriah Marhaf Abu Kasra pada hari Selasa (15/07). Pasukan kementerian Suriah telah memasuki kota yang terletak sekitar 100 kilometer di sebelah selatan Damaskus tersebut untuk mengakhiri bentrokan yang terjadi sejak hari Minggu antara suku Drusen dan suku Badui Sunni.

    Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) yang berbasis di London, bentrokan yang terjadi sejak Minggu (13/07) telah menewaskan lebih dari 200 orang dan menyebabkan banyak lainnya terluka.

    Menurut SOHR, seorang pemuda Drusen dipukuli dan dirampok oleh anggota komunitas Badui Sunni di jalan raya antara Damaskus dan Suweida beberapa hari yang lalu. Sebagai balasannya, anggota milisi komunitas Drusen kemudian menculik orang suku Badui. Kekerasan pun terus meningkat.

    Aymenn Jawad al-Tamimi, seorang jurnalis yang mendalami kasus Suriah dan Irak, melaporkan bahwa suku Drusen awalnya melawan pasukan pemerintah Suriah, namun kemudian menyerahkan senjata mereka.

    Pada Selasa sore, SOHR kemudian melaporkan bahwa pasukan dari kementerian pertahanan dan kementerian dalam negeri serta pejuang yang bersekutu dengan mereka telah mengeksekusi 19 warga sipil dari kelompok minoritas Drusen di Suweida.

    Dalam beberapa hari terakhir, tentara Israel telah beberapa kali menyerang pasukan pemerintah Suriah. Dalam pernyataan bersama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Katz menyebut bahwa Israel ingin mencegah pemerintah Suriah menyakiti kaum minoritas Drusen.

    Antara konflik kepentingan dan kriminalitas

    Bentrokan Suweida tampaknya disebabkan oleh konflik kepentingan kelompok-kelompok penduduk yang berbeda, menurut Bente Scheller, pakar Suriah di Heinrich Bll Foundation. “Di Suriah, banyak kelompok yang merasa kepentingan atau hak-hak mereka tidak cukup diperhatikan. Mereka sering merasa dibandingkan dengan kelompok lain dan dimanfaatkan, hal berujung pada kekerasan.” Di Suweida, masalah utama adalah soal kedudukan mereka di wilayah serta akses terhadap sumber daya, serta kejahatan dengan kekerasan yang terkait dengan penyelundupan obat-obatan terlarang yang berkembang di sana.

    Apakah pasukan keamanan Suriah disusupi kaum ekstrimis?

    Bentrokan yang diwarnai kekerasan antara kelompok Alawit dan pejuang jihadis terjadi pada bulan Maret 2025, tampaknya juga didukung oleh pasukan keamanan pemerintah. Lebih dari 1.300 orang terbunuh dalam konflik tersebut. Keluarga Assad berasal dari suku Alawit. Banyak orang Suriah melihat suku Alawit sebagai kelompok pendukung rezim yang digulingkan.

    Konflik ini dipicu militan pendukung Assad yang menyerang pasukan pemerintah. Bentrokan meningkat dan kekejaman dilakukan terhadap warga sipil Alawit yang tidak terlibat.

    Dalam sebuah investigasi yang diterbitkan pada akhir Juni, kantor berita Reuters menelusuri rantai komando yang tampaknya sampai ke Kementerian Pertahanan di Damaskus. “Para penyerang pro-pemerintah sering menjarah dan merusak rumah-rumah para korban atau membakarnya,” demikian hasil penelitian tersebut.

    Namun tidak semua anggota kabinet pemerintahan baru di Damaskus bersimpati kepada para jihadis. “Pemerintahan terdiri dari beragam faksi, kelompok,dan kepentingan yang berbeda-beda,” kata Andre Bank, pakar Suriah dari Institut GIGA untuk Studi Timur Tengah yang berbasis di Hamburg, dalam wawancara dengan DW.

    “Tapi yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana kelanjutannya jika pemerintah tidak bisa mengendalikan pelaku kekerasan di ranah lokal, bahkan termasuk sebagian tentaranya sendiri?” Apa artinya bagi Suriah jika sebagian pejabat pemerintah justru membenarkan kekerasan, atau bahkan mendorongnya. “Jika itu yang terjadi, kemungkinan besar akan terus terjadi bentrokan besar antar kelompok agama di Suriah,” jelas Bank.

    Al-Sharaa di bawah tekanan

    Menjadi perhatian adalah bagaimana pemimpin negara tersebut, Ahmed al-Sharaa mencegah kekerasan besar-besaran di antara rekan-rekan senegaranya di masa depan. Setelah Presiden AS Donald Trump mencabut sanksi negaranya terhadap Suriah pada awal Juli, al-Sharaa kemungkinan akan memiliki minat yang lebih besar untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan negara-negara barat. Negara-negara barat memiliki harapan yang tinggi terkait perlindungan minoritas di negara tersebut.

    Sebuah serangan bunuh diri pada kebaktian di sebuah gereja Kristen di Damaskus pada akhir Juni lalu menunjukkan bahwa al-Sharaa hampir tidak dapat memenuhi tuntutan untuk mencegah kekerasan ini. Serangan tersebut menewaskan 25 orang. Sejak saat itu, umat Kristen Suriah menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan upaya yang lebih besar untuk melindungi mereka. Jika tidak, beberapa dari mereka mengatakan kepada DW dalam sebuah wawancara, akan mempertimbangkan untuk meninggalkan Suriah.

    Saling tuduh, tidak serius menyelidiki

    Kementerian Dalam Negeri Suriah menyalahkan kelompok teroris Negara Islam (IS) atas serangan tersebut. Namun, tidak ada yang terbukti, kata Bente Scheller. “Nama-nama lain juga telah muncul dalam perdebatan publik,” salah satunya kelompok bersenjata yang juga melibatkan mantan anggota Hajat Tahrir al-Sham (HTS). Namun karena Al-Sharaa adalah pemimpin HTS sebelum kejatuhan Assad, “Tentu saja akan lebih mudah untuk mengalihkan tanggung jawab atas serangan tersebut kepada ISIS,” kata Scheller.

    Perilaku pemerintah Suriah setelah kekejaman yang dilakukan terhadap suku Alawit juga membuat banyak warga Suriah curiga. Meskipun pemerintah telah berjanji untuk membentuk komisi penyelidikan, namun hingga kini belum membuahkan hasil. “Banyak yang memiliki kesan bahwa pemerintah tidak memiliki keseriusan untuk menyelidiki kasus tersebut,” kata Bente Scheller.

    Pemerintah kekurangan dana

    Pada saat yang sama, kata Scheller dan Bank, Suriah kekurangan dana. Kabinet memiliki banyak tugas yang harus diselesaikan, mulai dari menyusun undang-undang pemilihan umum yang baru hingga membangun kembali aparatur negara dan membangun birokrasi federal.

    Selain ini ada masalah dari kaum minoritas lain: suku Kurdi di utara Suriah yang ingin tetap menjadi bagian dari negara Suriah tetapi menuntut otonomi yang luas.

    Pada saat yang sama Kurdi berperang melawan pasukan Turki, yang telah menduduki wilayah utara Suriah selama bertahun-tahun.

    Pemerintah Al-Sharaa nampaknya harus terlibat dalam pusaran konflik ini dalam waktu yang lama.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizky Nugraha

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ledakan bom guncang Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta

    Ledakan bom guncang Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta

    Eksterior JW Marriott setelah ledakan—menggambarkan kehancuran struktural akibat bom pagi 17 Juli 2009. (wikipedia)

    17 Juli 2009: Ledakan bom guncang Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 17 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Pada tanggal 17 Juli 2009, dua ledakan bom mengguncang dua hotel mewah di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan—JW Marriott dan Ritz-Carlton. Peristiwa ini terjadi pada pagi hari menjelang pukul 08.00 WIB, saat banyak tamu sedang bersiap sarapan dan menghadiri pertemuan bisnis.

    Ledakan pertama terjadi di JW Marriott sekitar pukul 07.47 WIB, disusul oleh ledakan kedua di Ritz-Carlton lima menit kemudian. Akibat serangan ini, sebanyak 9 orang meninggal dunia dan lebih dari 50 orang mengalami luka-luka, termasuk warga negara asing.

    Pihak kepolisian menyatakan bahwa ledakan tersebut merupakan aksi bom bunuh diri. Pelaku diketahui menyamar sebagai tamu hotel dan membawa bahan peledak ke dalam kamar, yang kemudian digunakan untuk menyerang area restoran tempat para tamu berkumpul. Polisi juga menemukan satu bom aktif yang gagal meledak di salah satu kamar hotel, yang diduga akan digunakan dalam serangan lanjutan.

    Kelompok teroris Jemaah Islamiyah dituding berada di balik serangan ini, dan nama Noordin M. Top kembali muncul sebagai otak perencana. Aksi teror ini menjadi salah satu serangan besar setelah serangkaian pemboman yang terjadi di Indonesia pada awal 2000-an.

    Pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional mengecam keras serangan tersebut. Kejadian ini juga berdampak besar pada citra keamanan Indonesia, terutama dalam sektor pariwisata dan bisnis internasional. Pengamanan di hotel-hotel besar dan tempat publik diperketat secara signifikan pasca kejadian.

    Sumber : Sumber Lain

  • Suara Keras Malaysia Tolak Calon Dubes AS Pendukung Israel

    Suara Keras Malaysia Tolak Calon Dubes AS Pendukung Israel

    Jakarta

    Desakan penolakan terhadap tokoh konservatif Amerika Serikat (AS), Nick Adams, sebagai calon Duta Besar AS terus muncul. Adams ditolak lantaran dikenal sebagai pendukung Israel, juga penyebar kebencian terhadap Islam.

    Dilansir The Guardian dan The Star, Rabu (16/7), Presiden AS Donald Trump pekan lalu mengumumkan penunjukan Adams sebagai Duta Besar AS untuk Malaysia. Trump memuji Adams yang sebelumnya influencer sayap kanan itu sebagai “patriot yang luar biasa”.

    Penunjukan Adams sebagai Duta Besar AS untuk Malaysia masih perlu dikonfirmasi oleh Senat AS sebelum dia bisa secara resmi menduduki jabatan tersebut. Pria berusia 40 tahun itu merupakan kelahiran Australia namun memperoleh kewarganegaraan AS tahun 2021 lalu.

    Dalam pernyataan via media sosial pekan lalu, dia berharap dalam memperkuat hubungan antara kedua negara, sembari mengatakan kepada rakyat Malaysia bahwa dirinya tidak sabar “untuk merasakan budaya luhur Anda dan belajar banyak dari Anda”.

    Komentar masa lalu Adams di media sosial dan dukungannya untuk Israel telah memicu seruan agar pemerintah Malaysia menolak pengangkatannya. Salah satunya postingan di akun X nya tahun 2024 lalu ketika Adams mencuit: “Jika Anda tidak mendukung Israel, Anda mendukung teroris!”

    Postingan lainnya yang diduga ditulis Adams pada tahun yang sama, menyebutkan bahwa dia mengklaim telah memastikan seorang pelayan dipecat karena memakai pin “Free Palestine”. Postingan yang banyak dikutip oleh kelompok pro-Palestina itu saat ini tidak dapat ditemukan di media sosial X.

    Eks Menteri Malaysia Tolak Adams

    Bendera Malaysia. (AFP PHOTO)

    Para mantan menteri serta kalangan politikus senior dan politikus muda lintas partai di Malaysia juga menolak penunjukan Adams. Mantan Menteri Hukum Zaid Ibrahim dan mantan Menteri Kesehatan Khairy Jamaluddin mendesak pemerintah Malaysia menentang penugasan Adams oleh Trump.

    Zaid bahkan menyebut pencalonan Adams “bukanlah isyarat niat baik — itu akan menjadi sebuah penghinaan”.

    Ketua Pemuda Partai Islam SeMalaysia (PAS) untuk wilayah Selangor, Mohamed Sukri Omar, menyebut Adams “secara terbuka menyebarkan kebencian terhadap Islam dan mendukung rezim kolonial Zionis tanpa pertimbangan”.

    “Penunjukan ini merupakan penghinaan terhadap kepekaan rakyat Malaysia. Jika pemerintah tetap diam atau menerima penunjukan ini, akan dianggap mengkhianati keteguhan rakyat dalam mendukung perjuangan Palestina,” tegasnya.

    Ketua biro internasional Amanah Youth, Mus’ab Muzahar, juga menyebut pencalonan Adams sebagai penghinaan terhadap martabat dan kebijakan luar negeri Malaysia.

    “Nick Adams bukanlah diplomat atau negarawan. Dia hanyalah seorang propagandis sayap kanan, pendukung setiap Trump, dan pendukung vokal rezim Zionis Israel,” ucapnya.

    “Retorikanya di media sosial penuh dengan kebencian, rasisme, dan sentimen Islamofobia, yang jelas menyimpang dari semangat hubungan bilateral yang matang,” ujarnya.

    Belum ada tanggapan dari Adams maupun Kedutaan AS di Kuala Lumpur atas suara-suara penolakan ini.

    Halaman 2 dari 2

    (dek/rfs)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Suara Keras Malaysia Tolak Calon Dubes AS Pendukung Israel

    Malaysia Tolak Calon Dubes AS yang Dukung Israel: Penghinaan!

    Kuala Lumpur

    Semakin banyak suara mendesak pemerintah Malaysia untuk menolak pengangkatan tokoh konservatif Amerika Serikat (AS) Nick Adams sebagai Duta Besar AS untuk negara tersebut. Adams tidak hanya dikenal sebagai pendukung Israel, tetapi juga diduga menyebar kebencian terhadap Islam, agama mayoritas di Malaysia.

    Presiden AS Donald Trump, seperti dilansir The Guardian dan The Star, Rabu (16/7/2025), mengumumkan pekan lalu bahwa Adams, yang sebelumnya seorang influencer sayap kanan, ditunjuk sebagai Duta Besar AS untuk Malaysia. Trump memuji Adams sebagai “patriot yang luar biasa”.

    Penunjukan Adams sebagai Duta Besar AS untuk Malaysia masih perlu dikonfirmasi oleh Senat AS sebelum dia bisa secara resmi menduduki jabatan tersebut.

    Adams yang berusia 40 tahun ini, merupakan kelahiran Australia namun memperoleh kewarganegaraan AS tahun 2021 lalu. Dalam pernyataan via media sosial pekan lalu, dia berharap dalam memperkuat hubungan antara kedua negara, sembari mengatakan kepada rakyat Malaysia bahwa dirinya tidak sabar “untuk merasakan budaya luhur Anda dan belajar banyak dari Anda”.

    Namun, komentar masa lalu Adams di media sosial dan dukungannya untuk Israel telah memicu seruan agar pemerintah Malaysia menolak pengangkatannya. Salah satunya postingan media sosial X tahun 2024 lalu ketika Adams mencuit: “Jika Anda tidak mendukung Israel, Anda mendukung teroris!”

    Postingan lainnya yang diduga ditulis Adams pada tahun yang sama, menyebutkan bahwa dia mengklaim telah memastikan seorang pelayan dipecat karena memakai pin “Free Palestine”. Postingan yang banyak dikutip oleh kelompok pro-Palestina itu saat ini tidak dapat ditemukan di media sosial X.

    Suara penolakan terhadap penunjukan Adams datang dari para mantan menteri, kalangan politikus senior dan politikus muda lintas partai di Malaysia. Mantan Menteri Hukum Zaid Ibrahim dan mantan Menteri Kesehatan Khairy Jamaluddin mendesak pemerintah Malaysia menentang penugasan Adams oleh Trump.

    Zaid bahkan menyebut pencalonan Adams “bukanlah isyarat niat baik — itu akan menjadi sebuah penghinaan”.

    Ketua Pemuda Partai Islam SeMalaysia (PAS) untuk wilayah Selangor, Mohamed Sukri Omar, menyebut Adams “secara terbuka menyebarkan kebencian terhadap Islam dan mendukung rezim kolonial Zionis tanpa pertimbangan”.

    “Penunjukan ini merupakan penghinaan terhadap kepekaan rakyat Malaysia. Jika pemerintah tetap diam atau menerima penunjukan ini, akan dianggap mengkhianati keteguhan rakyat dalam mendukung perjuangan Palestina,” tegasnya.

    Ketua biro internasional Amanah Youth, Mus’ab Muzahar, juga menyebut pencalonan Adams sebagai penghinaan terhadap martabat dan kebijakan luar negeri Malaysia.

    “Nick Adams bukanlah diplomat atau negarawan. Dia hanyalah seorang propagandis sayap kanan, pendukung setiap Trump, dan pendukung vokal rezim Zionis Israel,” ucapnya. “Retorikanya di media sosial penuh dengan kebencian, rasisme, dan sentimen Islamofobia, yang jelas menyimpang dari semangat hubungan bilateral yang matang,” ujarnya.

    Belum ada tanggapan dari Adams maupun Kedutaan AS di Kuala Lumpur atas suara-suara penolakan ini.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Pemukim Israel Tewaskan Dua Warga Palestina di Tepi Barat

    Pemukim Israel Tewaskan Dua Warga Palestina di Tepi Barat

    Jakarta

    Lapangan sekolah di al-Mazra’a al-Sharqiya, sebuah kota di Tepi Barat yang diduduki Israel, berubah menjadi tenda duka besar setelah dua pemuda tewas dalam serangan yang menurut keluarga mereka merupakan aksi terbaru pemukim Israel.

    Pihak keluarga menyatakan, Sayfollah Musallet, warga negara AS berusia 20 tahun asal Florida, tewas setelah dipukuli. Sementara Mohammed al-Shalabi, 23 tahun, ditembak saat serangan pada hari Jumat (11/06). Warga sekitar menyebut pemukim Israel menghalangi upaya penyelamatan kedua pemuda yang mengalami luka serius.

    Razek Hassan al-Shalabi, ayah Mohammed, duduk di antara warga dan kerabat yang datang melayat di halaman sekolah. “Pagi tadi dia bilang ingin menikah,” ujarnya kepada DW. “Dia berbicara tentang ingin membangun keluarga, sekarang kami harus menguburkannya.”

    Di seberang jalan, di rumah Sayfollah Musallet, para perempuan berkumpul untuk menghibur keluarga yang berduka. Saif, panggilan Sayfollah, tiba sejak Juni lalu dari kampung halamannya di Tampa, AS, untuk menghabiskan musim panas bersama kerabatnya di kota yang berjarak sekitar 20-kilometer timur laut Ramallah itu.

    “Dia seperti adik sendiri,” kata sepupunya, Diana Halum, yang juga menjadi juru bicara keluarga, kepada DW. “Kami sering bepergian bersama, bolak-balik dari AS ke Palestina. Dia datang ke sini untuk mengunjungi sepupu dan teman-temannya.”

    “Kami tidak pernah menyangka hal tragis seperti ini akan terjadi,” lanjut Halum. “Apalagi cara mereka membunuhnya. Dia dianiaya oleh para pemukim Israel yang agresif dan ilegal, lalu dibiarkan begitu saja selama berjam-jam.”

    Pihak keluarga menjelaskan, selama tiga jam petugas medis berusaha menjangkau Saif, akhirnya saudaranya sendiri yang berhasil membawanya ke ambulans. Namun Saif keburu meninggal dunia sebelum tiba di rumah sakit.

    Departemen Luar Negeri AS menyatakan mereka mengetahui laporan mengenai kematian seorang warga negara AS di Tepi Barat, namun menolak memberi komentar lebih lanjut dengan alasan “demi menghormati privasi keluarga”, meski menyatakan siap “memberikan layanan konsuler.”

    ‘Kenyataan sehari-hari’ di Tepi Barat

    Para pemuda berkumpul bersama warga lain seusai salat Jumat, menunjukkan solidaritas mereka di sebuah ladang yang menjadi lokasi bentrokan saat pemukim Israel menyerang warga yang tengah berdemo menolak kekerasan dan perampasan tanah, minggu lalu.

    Dalam pernyataan awal setelah kejadian, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim bahwa “teroris melemparkan batu ke arah warga sipil Israel,” sehingga memicu “konfrontasi kekerasan” yang mencakup “perusakan properti Palestina, pembakaran, bentrokan fisik, dan pelemparan batu.”

    IDF juga mengakui adanya laporan bahwa setidaknya satu warga Palestina tewas dan beberapa lainnya terluka. Mereka mengatakan insiden itu “sedang diselidiki.” Keluarga korban menyebut tubuh kedua pemuda menunjukkan tanda-tanda penyiksaan.

    Menjawab pertanyaan DW, IDF merujuk pada pernyataan sebelumnya dan menambahkan bahwa “penyelidikan gabungan telah diluncurkan oleh Kepolisian Israel dan Divisi Investigasi Kriminal Militer.”

    Serangan ini hanyalah satu dari sekian banyak kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Sejak insiden serangan Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober 2023 dan perang yang menyusul di Gaza, kekerasan semacam ini menjadi “kenyataan sehari-hari,” menurut Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA). Dari Januari 2024 hingga Mei 2025, OCHA mencatat lebih dari 2.070 serangan oleh pemukim yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan properti di Tepi Barat.

    Pemukim secara rutin menyerbu desa-desa atau mendirikan pos ilegal untuk mengintimidasi dan mengusir warga Palestina, seringkali dilakukan di depan tentara atau polisi Israel yang tak mengambil tindakan. Kelompok HAM Israel dan Palestina juga melaporkan bahwa beberapa pemukim telah direkrut menjadi anggota militer cadangan.

    Syok, kehilangan, kepasrahan

    Beberapa jam setelah kejadian, Razek Hassan al-Shalabi sempat mengira putranya, Mohammed, berada dalam tahanan IDF. Namun saat malam tiba dan ia mengetahui kabar itu keliru, warga mulai mencari keberadaan Mohammed. Keluarga dan Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan jasadnya ditemukan dalam kondisi tertembak di punggung dan mengalami luka parah.

    Teman-teman kedua korban berkumpul di sekolah pada hari Sabtu (12/06), tampak terkejut. Iyad, yang meminta nama belakangnya tak disebut, mengatakan Saif dan Mohammed berada dalam lingkaran pertemanan yang sama. “Mereka selalu jadi orang yang membuat semua orang bahagia. Mereka tak pernah mengecewakan siapa pun. Kalau kamu butuh bantuan, mereka pasti ada,” katanya kepada DW.

    Iyad yang juga adalah pemuda Palestina-Amerika mengatakan banyak orang di Tepi Barat percaya bahwa para pemukim melakukan serangan dengan kesan “kebal hukum”. Ia juga menilai pemerintah AS jarang membela korban maupun keluarga mereka.

    “Kasus ini mendapat perhatian hanya karena Saif adalah warga negara Amerika,” katanya. “Tapi ini bukan pertama kalinya. Sudah ada beberapa warga Amerika yang dibunuh, baik oleh pemukim maupun tentara Israel dan saya rasa pemerintah Amerika harus mulai bertindak. Jujur saja, saya kehabisan kata-kata.”

    Berasal dari California, Iyad juga sedang berkunjung ke Palestina untuk menghabiskan liburan musim panas. “Sungguh menyedihkan, ketika orang harus selalu waspada di tanahnya sendiri. Menyedihkan, karena setiap kali orang Palestina keluar rumah, nyawanya terancam,” katanya. Sejak perang di Gaza pada Oktober 2023 meletus menyusul serangan brutal teroris Hamas ke Israel, tiga pemuda Palestina-Amerika lainnya tewas di Tepi Barat. Kasus mereka, yang melibatkan pemukim maupun tentara Israel, masih belum terungkap.

    “Situasi ini membuat kami merasa tak berdaya dan sedih. Disini, di desa, kami menghadapi hal seperti ini hampir setiap hari,” kata Hafeth Abdel Jabbar kepada DW. Putranya yang berusia 17 tahun, Tawfiq, warga negara AS dari Louisiana, ditembak mati pada 2024 di dekat kota itu. Hingga kini, tak ada satu orang pun yang dituntut.

    “Yang menyakitkan, pemerintah kami malah mendukung rezim yang penuh rasisme dan ekstremisme. Mereka mendukung para pemukim, seolah-olah memperlakukan kami seperti bukan manusia. Itu yang membuat kami benar-benar bingung,” ujar Abdel Jabbar.

    Meski pemerintah AS sebelumnya pernah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pemukim radikal, semua sanksi tersebut dicabut oleh Presiden Donald Trump tak lama setelah ia menjabat.

    Razek Hassan al-Shalabi mengaku tak yakin otoritas Israel akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya terkait kematian putranya. Ia berusaha tegar saat pemakaman pada hari Minggu (13/06), saat proses pemakaman massal.

    Dalam pernyataan Razek sebelum berakhir karena terlalu sedih atas kepergian putranya, ia mengatakan, “Kami lebih dari sekadar ayah dan anak, kami adalah sahabat.”

    Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh: Iryanda Mardanuz
    Editor: Hendra Pasuhuk

    Lihat juga Video ‘Korban Tewas di Gaza Tembus 58.026 Orang’:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ketahuan Danai Teroris, 44 Orang Masuk Penjara!

    Ketahuan Danai Teroris, 44 Orang Masuk Penjara!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Nigeria menjatuhkan hukuman penjara hingga 30 tahun kepada 44 orang pendukung kelompok teroris asal Nigeria, Boko Haram karena mendanai kegiatan teroris pada Sabtu (12/7/2025).

    Melansir AFP, para terpidana tersebut termasuk di antara 54 tersangka yang didakwa di empat pengadilan sipil khusus yang didirikan di sebuah pangkalan militer di kota Kainji di negara bagian Niger tengah.

    Dalam sebuah pernyataan, juru bicara pusat kontraterorisme Nigeria, Abu Michael mengatakan Nigeria melanjutkan persidangan para tersangka tujuh tahun setelah menangguhkan penuntutan lebih dari 1.000 orang yang diduga terkait dengan kelompok jihadis yang telah melancarkan pemberontakan sejak 2009 untuk mendirikan kekhalifahan pada Rabu lalu.

    “Putusan yang dijatuhkan dari persidangan menghasilkan hukuman penjara berkisar antara 10 hingga 30 tahun, yang semuanya harus dijalani dengan kerja paksa. Dengan putusan terbaru ini, Nigeria kini telah mengamankan total 785 kasus yang melibatkan pendanaan terorisme dan pelanggaran terkait terorisme lainnya,” kata Michael.

    Sidang untuk 10 kasus lainnya ditunda hingga tanggal yang akan ditentukan kemudian, ujarnya.

    Nigeria terdaftar sebagai “negara daftar abu-abu” oleh pemantau internasional bersama Sudan Selatan, Afrika Selatan, Monako, dan Kroasia karena kekurangan dalam pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

    Kekerasan juga telah menyebar ke negara-negara tetangga, Kamerun, Chad, dan Niger.

    Pada Oktober 2017, Nigeria memulai pengadilan massal terhadap para pemberontak Islam, lebih dari delapan tahun setelah dimulainya kekerasan.

    “Fase persidangan tersebut, yang berlangsung selama lima bulan, menghasilkan vonis terhadap 200 pejuang jihad dengan hukuman mulai dari hukuman mati dan penjara seumur hidup hingga hukuman penjara 20 hingga 70 tahun,” kata Michael.

    Dakwaan yang dijatuhkan kepada mereka antara lain serangan terhadap perempuan dan anak-anak, perusakan tempat-tempat ibadah, pembunuhan warga sipil, dan penculikan perempuan dan anak-anak.

    Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh militer secara sewenang-wenang menangkap ribuan warga sipil, banyak di antaranya ditahan selama bertahun-tahun tanpa akses ke pengacara atau diadili.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bersyukur 5 Tentara IDF Tewas di Gaza, Jurnalis Israel Ditangkap

    Bersyukur 5 Tentara IDF Tewas di Gaza, Jurnalis Israel Ditangkap

    JAKARTA – Pengadilan Magistrat Tel Aviv memperpanjang penahanan jurnalis Israel bernama Frey. Ia ditahan lantaran lewat media sosialnya bersyukur tentara IDF tewas di Gaza.

    Rasa bersyukur itu disampaikan Frey dalam tulisan singkat di akun X miliknya. Unggahan yang merupakan bagian dari kritiknya, terhadap apa yang terjadi di Gaza.

    “Dunia terasa lebih baik pagi ini tanpa lima anak muda yang terlibat dalam salah satu kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan,” tulis jurnalis Israel tersebut, merujuk pada lima tentara Israel atau IDF yang tewas akibat alat peledak di Beit Hanoun, Gaza utara awal pekan ini, dikutip dari Timesofisrael.

    Akibat unggahan itu, Frey dituduh menghasut dan mendukung terorisme kemudian ditangkap di Tel Aviv, Israel pada Rabu 9 Juli. Masa penahanannya kemudian diperpanjang  hingga Kamis 10 Juli waktu setempat.

    “Sayangnya, bagi anak laki-laki di Gaza yang sekarang dioperasi tanpa anestesi, anak perempuan yang kelaparan hingga meninggal, dan keluarga yang meringkuk di tenda di bawah bombardir — hal itu tidaklah cukup,” sambung Frey.

    “Ini adalah seruan untuk setiap ibu Israel: Jangan jadi orang berikutnya yang menerima putra Anda di peti mati sebagai penjahat perang. Tolak,” lanjut dia.

    רק בישראל אפשר גם “להתנגד” למלחמה ו”להזדעזע” ממה שאנחנו עושים בעזה, וגם, באותה נשימה, לשלוח תנחומים מרגשים למי שביצע בפועל את הזוועות. זה מאד פשוט: הסלחנות שלכם כלפי הפושעים היא אדישות כלפי הפשע. והתנחומים הם הלגיטימציה והדלק להמשך ביצוע הזוועות. תבחרו צד. https://t.co/NYo1ujv0Qn

    — ישראל פריי (@freyisrael1) July 8, 2025

    Mengutip laporan Arab News, Frey juga pernah diperiksa tentara IDF akibat bersikap kritis terhadap Israel. Pada Maret 2025, Frey diinterogasi atas tudingan menghasut terorisme atas beberapa unggahan pro-Palestina.

    “Seorang Palestina yang melukai tentara IDF atau pemukim di wilayah apartheid bukanlah teroris. Dan itu bukan serangan teror. Ia adalah pahlawan yang berjuang melawan penjajah demi keadilan, pembebasan, dan kebebasan,” tulisnya kala itu.

    Ini juga bukan kali pertama kebebasan berpendapat jurnalis Israel ini diintimidasi Israel. Pada 16 Oktober 2023, sepekan setelah Israel menginvasi, Frey yang sebelumnya menyatakan solidaritas kepada warga Palestina di Gaza, diserang massa sayap kanan Israel.

    Beruntung Frey bisa bersembunyi dan melarikan diri dari rumahnya yang diamuk massa sayap kanan Yahudi ultra-Ortodoks tersebut. 

    Ia pun selamat dan kembali menegaskan kemanusiaan di atas segalanya meski masa penahanannya diperpanjang Kamis ini.

    Kepada surat kapar Israel, Haaretz, Frey mengaku tidak akan “menundukkan kepala” atas penganiayaan yang dialaminya.

    “Kami telah menyebabkan cukup banyak penderitaan, darah, dan air mata. Bebaskan Gaza. Cukup,” sambung jurnalis Israel itu.

  • Sempat Ditahan, Pemimpin Aksi Pro-Palestina Gugat Trump Rp 324 M

    Sempat Ditahan, Pemimpin Aksi Pro-Palestina Gugat Trump Rp 324 M

    Washington DC

    Mahmoud Khalil, salah satu pemimpin aksi pro-Palestina di kampus Amerika Serikat (AS), mengajukan gugatan hukum terhadap pemerintahan Presiden Donald Trump. Khalil menuntut ganti rugi sebesar US$ 20 juta, setara Rp 324,2 miliar, atas penahanan dirinya oleh agen imigrasi AS.

    Khalil yang lulusan Universitas Columbia ini, seperti dilansir AFP, Jumat (11/7/2025), merupakan seorang penduduk tetap sah di AS yang telah menikah dengan seorang warga negara AS dan memiliki seorang anak laki-laki kelahiran AS. Dia ditahan setelah penangkapannya oleh otoritas imigrasi AS pada Maret lalu.

    Pria berusia 30 tahun ini dibebaskan dari pusat penahanan imigrasi federal di Louisiana bulan lalu, beberapa jam setelah seorang hakim As memerintahkan pembebasannya dengan jaminan.

    “Pemerintah melaksanakan rencana ilegalnya untuk menangkap, menahan, dan mendeportasi Tuan Khalil dengan cara yang dirancang untuk meneror dia dan keluarganya,” sebut dokumen gugatan Khalil, seperti dikutip Pusat Hak Konstitusional yang mendukungnya.

    Disebutkan dalam gugatan hukum itu bahwa Khalil menderita “tekanan emosional yang parah, kesulitan ekonomi, dan kerusakan reputasinya”.

    Khalil menjadi tokoh penting dalam aksi protes mahasiswa di kampus-kampus AS yang menentang perang Israel, sekutu Washington, di Jalur Gaza. Pemerintahan Trump menyebut sosok Khalil sebagai ancaman keamanan nasional.

    Khalil menyebut gugatan hukum yang diajukannya sebagai “langkah pertama menuju akuntabilitas”

    “Tidak ada yang dapat mengembalikan 104 hari yang telah dicuri dari saya. Trauma, terpisah dari istri saya, kelahiran anak pertama saya yang terpaksa saya lewatkan,” ucapnya dalam sebuah pernyataan.

    Tonton juga Video Gedung Putih Upload Gambar Trump Jadi Superman: Simbol Harapan

    Saksikan juga edisi perdana Shout Out, Rae Lil Black Jawab Tudingan Masuk Islam untuk Cari Sensasi

    “Harus ada akuntabilitas atas pembalasan politik dan penyalahgunaan kekuasaan,” tegas Khalil.

    Khalil sebelumnya menceritakan pengalamannya yang “mengerikan” selama dalam tahanan, di mana dia “berbagi asrama dengan lebih dari 70 pria, sama sekali tidak ada privasi, lampu menyala sepanjang waktu”.

    Sementara itu, Asisten Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Tricia McLaughlin, menegaskan penangkapan dan penahanan Khalil telah dilakukan sesuai kewenangan hukum dan konstitusional.

    “Pemerintahan Trump bertindak sesuai kewenangan hukum dan konstitusional untuk menahan Khalil, sebagaimana yang dilakukan terhadap setiap warga negara asing yang menganjurkan kekerasan, mengagungkan dan mendukung teroris, melecehkan orang Yahudi, dan merusak properti,” ujarnya.

    Pemerintahan Trump telah membenarkan desakan deportasi Khalil dengan mengatakan bahwa keberadaannya yang berkelanjutan di AS dapat membawa “konsekuensi kebijakan luar negeri yang berpotensi serius dan merugikan”.

    Tonton juga Video Gedung Putih Upload Gambar Trump Jadi Superman: Simbol Harapan

    Saksikan juga edisi perdana Shout Out, Rae Lil Black Jawab Tudingan Masuk Islam untuk Cari Sensasi

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kapal Kargo Milik Perusahaan Inggris Diserang Israel, Kenapa?

    Kapal Kargo Milik Perusahaan Inggris Diserang Israel, Kenapa?

    Jakarta

    Militer Israel telah melancarkan serangan udara di wilayah Yaman yang dikuasai oleh Houthi. Target serangan tersebut, yakni pelabuhan Laut Merah Hudaydah, Ras Issa, al-Salif dan kapal kargo Galaxy Leader.

    Melansir dari BBC News, Jumat (11/7/2025) kapal kargo tersebut dibajak oleh Houthi pada November 2023. Kapal itu dimiliki oleh perusahaan Inggris yang sahamnya dikuasai oleh pengusaha Israel.

    Serangan udara ini sebagai aksi balasan atas serangan rudal dan pesawat tak berawak yang berulang kali dari Houthi ke Israel. Menurut Militer Israel, pelabuhan tersebut terindikasi digunakan untuk mentransfer senjata dari Iran.

    Pasukan Houthi diduga telah memasang sistem radar di Kapal Kargo Galaxy Leader yang berbendera Bahama. Sistem radar tersebut untuk melacak kapal di arena maritim internasional guna memfasilitasi kegiatan teroris lebih lanjut.

    Militer Israel menyebut pembangkit listrik Ras Kanatib ini memasok listrik ke kota terdekat Ibb dan Taizz serta digunakan untuk menggerakkan operasi militer Houthi. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memperingatkan bahwa Houthi akan terus membayar harga mahal atas tindakan mereka.

    “Nasib Yaman sama dengan nasib Teheran. Siapa pun yang mencoba menyakiti Israel akan disakiti, dan siapa pun yang melawan Israel akan dipotong tangannya,” katanya dalam sebuah unggahan di X.

    Sementara itu, Juru Bicara Militer Houthi Yahya Sarea mengatakan pertahanan udara miliknya berhasil menghadapi agresi Israel ke Houthi dan menggagalkan rencana Israel untuk menargetkan sejumlah kota di Yaman.

    “Sebagai balasan atas agresi ini, dan sebagai kelanjutan dari upaya meraih kemenangan bagi rakyat Palestina yang tertindas, pasukan rudal dan UAV melancarkan operasi militer gabungan menggunakan 11 rudal dan drone,” kata Sarea.

    “Sepenuhnya Houthi siap untuk konfrontasi yang berkelanjutan dan berkepanjangan dengan Israel,” tambah Sarea.

    Lihat juga Video ‘Mengapa PM Israel Benjamin Netanyahu Dipanggil ‘Bibi’?’:

    (rea/kil)

  • Menyusuri Jejak Raibnya Wanita Alawit Suriah: Penculikan atau Kebencian Agama?

    Menyusuri Jejak Raibnya Wanita Alawit Suriah: Penculikan atau Kebencian Agama?

    Damaskus

    Raga kurus kering, wajah penuh bekas luka, rambut dicukur, alis pun hilang, Nora* menatap lelah ke arah kamera. Di pangkuannya, ia menggendong seorang bayi yang sempat dipisahkan secara paksa darinya.

    Foto pertama setelah pembebasannya cepat menyebar di media sosial—lambang trauma yang mengguncang banyak warga Suriah saat ini: Perempuan dari komunitas Alawit–atau yang disebut juga Alawi- menjadi incaran penculik brutal. Nora kini berusaha menghapus jejaknya sebaik mungkin dan meninggalkan negeri.

    (Ed.; Alawi — bentuk kata sifat atau dipakai untuk menyebut keyakinan, ajaran atau mazhabnya. Sementara Alawit — bentuk kata benda jamak yang lebih sering dipakai untuk menyebut orang-orang dari komunitas tersebut, misalnya “perempuan Alawit” atau “orang Alawit”)

    Tiada hari tanpa dihina dan digebuki

    Selama hampir sebulan Nora terkurung di sebuah ruang bawah tanah, di mana menurut pengakuannya, ia mengalami penyiksaan psikologis dan fisik.

    Sang ibu muda bersama bayi berusia sebelas bulan itu sedang dalam perjalanan menuju pusat bantuan dekat kota pesisir Jablah ketika dihentikan oleh para pria bertopeng dengan kendaraan berplat Idlib.

    Mereka bertanya dari mana asalnya. Saat Nora menyebut dirinya beretnis Alawit, perempuan itu langsung diseret dengan kasar ke dalam mobil. Bahkan mata Nora diikat agar tak bisa melihat saat penculikan terjadi, tuturnya.

    “Aku dihina setiap hari dan dipukuli begitu keras hingga beberapa kali kehilangan kesadaran,” katanya dalam wawancara dengan DW. Selama masa tahanan, bayinya direnggut paksa, dan ia dipaksa menandatangani dokumen—sebuah surat nikah. “Aku menolak. Aku sudah menikah. Setelah itu, penyiksaan menjadi semakin brutal,” ujar Nora.

    Kini Nora hidup di luar negeri, dalam perlindungan, dan sedang menjalani pengobatan karena masalah kesehatan organ kandungan yang serius.

    Penghinaan yang sistematis

    Kisah Nora bukanlah kasus tunggal. Kantor berita Reuters dan sejumlah media Arab maupun internasional melaporkan penculikan dan pemerasan perempuan Alawit.

    Sejak awal tahun, lebih dari 40 perempuan dilaporkan hilang di Suriah, ujar aktivis HAM Bassel Younus kepada DW. Dari Swedia, ia mendokumentasikan pelanggaran HAM secara sistematis melalui jaringan di Suriah.

    “Kebanyakan besar korban penculikan—seperti Nora—adalah dari komunitas Alawit,” ujar Younus.

    Maka target utama adalah perempuan dari minoritas agama yang sama dengan diktator terguling Bashar al Assad, yang dianggap “murtad” oleh kaum Islam radikal.

    Laporan serangan brutal terhadap Alawit yang diduga mendukung Assad oleh kelompok radikal Sunni meningkat drastis pasca kejatuhan Assad. Terutama dalam beberapa bulan terakhir, kaum Alawit di Suriah berada di bawah tekanan berat, bahkan ancaman nyawa.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Pada Maret terjadi serangan berdarah terhadap komunitas Alawit dengan korban ratusan jiwa. Berbagai media melaporkan, sebagian pasukan perampok itu memiliki hubungan dengan kementerian dalam negeri Suriah.

    Presiden interim Suriah Ahmed al-Sharaa membentuk komisi penyelidikan, tetapi hasilnya belum dirilis. Namun ketakutan akan kekerasan merambah ke minoritas lain, termasuk umat Kristiani, yang sudah merasakan derita serupa.

    Perempuan Alawit bukan korban penculikan acak, tegas aktivis Younus. “Mereka dijadikan simbol penaklukan satu komunitas utuh.” Dalam penjara, Nora menceritakan kerap dihina dengan panggilan “babi” dan “kafir”.

    PBB pun sudah menangani laporan penculikan ini. Komisi investigasi independen PBB untuk Suriah mengatakan kepada DW bahwa laporan kasus yang didokumentasikan akan segera dirilis.

    Pada akhir Juni, komisi itu mengonfirmasi minimal enam penculikan perempuan Alawit di Suriah. Ketua komisi tersebut Paulo Sergio Pinheiro juga menyebut adanya “indikasi kredibel” kasus lainnya. Pemerintah transisi Suriah telah memulai penyelidikan beberapa kasus tersebut. Namun kementerian dalam negeri Suriah enggan memberikan jawaban kepada DW.

    Tuntutan uang dari luar negeri

    DW selama beberapa minggu melakukan investigasi dan berbicara dengan lebih dari selusin keluarga dan perempuan yang terdampak. Aktivis HAM dan lembaga pengawas memberikan data tambahan. Namun banyak keluarga enggan muncul ke publik karena takut, malu, atau tidak pasti.

    Sami*, pemuda desa dekat Kota Tartus di barat Suriah, adalah salah satu yang berani bicara ke media. Ia bercerita bahwa saudara perempuannya yang berusia 28 tahun, Iman*, menghilang tanpa jejak setelah pergi ke kota. Tidak lama kemudian, keluarga menerima telepon dari nomor asing. Suara anonim mengancam: “Lupakan Iman. Dia tidak akan pernah kembali.”

    Sami melaporkan ke polisi, tapi awalnya mereka menyepelekan dan mengatakan sebagian besar perempuan yang hilang sebenarnya kabur dengan kekasih rahasia. Namun beberapa hari kemudian penculik menghubungi kembali, kali ini menuntut tebusan dengan jumlah lima digit. Keluarga meminjam uang dan mengirimnya lewat sistem Hawala, yang menyulitkan pelacakan, ke Turki.

    Dokumen yang dimiliki DW menunjukkan penerima adalah pengungsi Suriah di Turki. Kasus lain juga terverifikasi dengan pola pembayaran serupa. Namun bagi Sami, tebusan itu sia-sia. Setelah uang ditransfer, kontak terputus dan hingga kini jejak Iman tak berbekas.

    Setali tiga uang dengan nasib Yazidi?

    Maya*, 21 tahun, juga dari dekat Tartus, diculik bersama adik di bawah umur. Saat mereka hendak berbelanja pada Maret, mereka dihentikan pria bersenjata bertopeng. “Mereka tanya kami Alawit atau Sunni. Saat jawab ‘Alawit’, kami diseret ke bus tanpa plat nomor,” ceritanya ke DW.

    Dengan mata tertutup, mereka diangkut berjam-jam melewati wilayah tak dikenal, dihina sebagai “orang kafir” dan “sisa-sisa rezim Assad.”

    Penculik menuduh mereka ikut bertanggung jawab atas kematian ratusan milisi kelompok pemerintahan transisi Islam. Maya dan adiknya akhirnya ditahan di sebuah ruang bawah tanah. “Kami takut dijual,” katanya.

    Di media sosial dan beberapa laporan sudah muncul spekulasi bahwa nasib perempuan Alawit mungkin serupa dengan Yazidi yang pada 2014 diperbudak kelompok teroris “Negara Islam” (ISIS).

    Pemerintah transisi Suriah memang mengintegrasikan kelompok radikal Islam yang komandan-komandannya pernah dituduh terlibat perdagangan manusia, seperti Jenderal Ahmad Ihsan Fayyad al-Hayes yang dituding AS terlibat perdagangan perempuan Yazidi.

    Ketua organisasi HAM “Syrians for Truth & Justice”, Bassam Alahmad, mengatakan dalam wawancara dengan DW: “Hingga kini belum ada bukti perempuan Alawit secara sistematis diperbudak seperti Yazidi dulu.”

    Namun mengkhawatirkan bahwa agama jadi alasan utama dalam penculikan dan pembunuhan. “Perempuan Alawit diserang karena agama mereka—itu alasan serupa yang menimpa perempuan Yazidi,” ungkapnya lebih lanjut.

    Selain itu, menurut Alahmad, komunitas Alawit dianggap bertanggung jawab atas kejahatan rezim Assad. “Itulah inti masalahnya.”

    Maya dan adiknya akhirnya dibebaskan. Kenapa, tak jelas. Setelah dua bulan, mereka diserahkan kembali ke keluarga dalam keadaan tertutup, ketakutan, dan trauma. Mereka selamat. Namun perempuan lain tetap hilang.

    *Nama diganti demi melindungi narasumber.

    Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa iJerman
    Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih
    Editor: Yuniman Farid

    Lihat juga Video ‘Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas’:

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini