Yusril Sebut Filipina Setuju Pemulangan Napi WNI Kasus Terorisme
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) RI Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa pemerintah Filipina melalui Menteri Kehakiman menyetujui pemulangan WNI yang menjadi terpidana kasus terorisme.
“Saya sudah sampaikan hal ini dalam pembicaraan bilateral dengan Menteri Kehakiman Filipina dan secara lisan, dia mengatakan setuju (agar WNI tersebut) untuk dikembalikan ke Indonesia,” kata Yusril di kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Yusril mengatakan, pemerintah akan membahas rencana pemulangan napi tersebut secara internal mengingat kasus WNI ini terkait terorisme.
“Juga kami melibatkan instansi lain, misalnya dari Badan Penanggulangan Terorisme, BNPT. Tapi prinsip kompetensi Filipina tidak keberatan untuk mengembalikan Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pemerintah menerima permohonan pemindahan satu narapidana kasus terorisme di Filipina atas nama Taufiq Rifqi.
Yusril mengatakan, pemerintah sedang mempelajari permohonan dari keluarga narapidana tersebut.
“Seorang WNI, yang dipidana seumur hidup oleh pemerintah Filipina, karena kasus pengeboman beberapa hotel di Cotabato di Filipina Selatan. Itu kejahatannya terorisme. Itu pun sedang kita pelajari juga,” kata Yusril saat ditemui di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Selasa, 19 Agustus 2025.
“Namanya Taufiq Rifqi kalau enggak salah. Itu keluarganya meminta kepada pemerintah Indonesia untuk dibantu supaya dia dipulangkan ke sini. Tapi nanti kalau itu diajukan kepada pemerintah Filipina, yang mengajukan pemerintah, bukan keluarganya,” sambungnya.
Yusril mengatakan, sudah meminta kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mempelajari kasus tersebut.
Selain itu, Yusril mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kedubes RI di Manila.
“Dan saya sudah mendapatkan informasi lengkap dari Duta Besar kita di Manila tentang kondisi narapidana yang bersangkutan,” ujarnya.
Yusril mengungkapkan, Taufiq Rifqi ditahan oleh Otoritas Filipina saat berusia 20 tahun karena terlibat pengeboman dan divonis hukuman seumur hidup.
Dia mengatakan, hingga kini, Taufiq Rifqi sudah ditahan selama 25 tahun di Filipina.
“Dan sudah minta grasi, ditolak. Dan keluarganya sekarang meminta supaya dia dikembalikan dan kami sedang mempelajari itu,” tuturnya.
Yusril menambahkan, hasil penilaian dari BNPT penting untuk memberikan masukan terhadap permohonan tersebut.
Apalagi, BNPT sudah melakukan upaya untuk mengurangi kejahatan terorisme.
“Nah hal-hal seperti ini juga menjadi bahan pertimbangan pemerintah, apakah memang terhadap narapidana teroris yang ditahan di luar negeri dan masih warga negara Indonesia itu akan dikembalikan atau tidak, itu kami belum mengambil keputusan,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kasus: Teroris
-
/data/photo/2025/10/09/68e78f2190c0a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Yusril Sebut Filipina Setuju Pemulangan Napi WNI Kasus Terorisme Nasional 9 Oktober 2025
-

Menteri Garis Keras Israel Serukan Basmi Hamas Setelah Sandera Bebas
Jakarta –
Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich menyatakan kegembiraannya atas rencana kepulangan semua sandera yang ditawan kelompok Hamas di Gaza. Namun, menteri garis keras Israel itu menegaskan bahwa perang tidak boleh berakhir begitu saja setelah mereka pulang.
“Segera setelah para korban penculikan kembali ke rumah, negara Israel harus terus berupaya sekuat tenaga untuk sepenuhnya membasmi Hamas dan sepenuhnya mendemiliterisasi Gaza agar tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel,” ujarnya, dilansir kantor berita AFP, Kamis (9/10/2025).
Smotrich mengatakan ia menentang kesepakatan gencatan senjata Gaza yang dicapai antara Israel dan Hamas pada hari Kamis (9/10), dan bersikeras bahwa ia akan memberikan suara menentangnya.
Namun, ia tidak mengancam akan mengundurkan diri dari pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
“Ada ketakutan yang sangat besar akan konsekuensi dari pengosongan penjara dan pembebasan generasi pemimpin teroris berikutnya yang akan melakukan apa pun untuk terus menumpahkan darah Yahudi di sini,” tulis Smotrich di media sosial X.
“Karena alasan ini saja, kami tidak bisa ikut serta dalam perayaan yang picik atau memberikan suara mendukung kesepakatan ini,” cetusnya.
Kesepakatan mengakhiri perang di Gaza telah tercapai dalam negosiasi tidak langsung dengan Israel di Mesir. Hamas bersedia melakukan pertukaran tahanan dengan Israel.
Dilansir AFP, Kamis (9/10/2025), kelompok militan Palestina tersebut mengatakan “telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri perang di Gaza, penarikan pendudukan, masuknya bantuan kemanusiaan, dan pertukaran tahanan”.
Hamas juga mendesak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk memaksa Israel sepenuhnya mengimplementasikan perjanjian tersebut dan “tidak membiarkannya mengelak atau menunda-nunda implementasi dari apa yang telah disepakati”.
Pertukaran sandera dan tahanan Palestina akan dilakukan dalam waktu 72 jam setelah kesepakatan diimplementasikan. Hamas menyebut warga Israel yang disandera akan ditukar dengan hampir 2.000 tahanan Palestina.
Simak Video ‘Trump Buka Peluang Kunjungi Gaza untuk Kesepakatan Perdamaian’:
Halaman 2 dari 2
(ita/ita)
-

7 Fakta 2 Tahun Perang di Gaza
Jakarta –
Serangan tentara Israel di Gaza, Palestina, telah berlangsung selama dua tahun. Ribuan orang meninggal hingga bencana kelaparan terjadi di Gaza saat ini.
Dirangkum detikcom, Rabu (8/10/2025), pihak Israel berdalih agresi mereka di Gaza dipicu serangan Hamas di Tel Aviv pada 7 Oktober 2023. Tentara Israel lalu langsung melancarkan serangan balik ke Gaza mulai saat itu hingga hari ini.
detikcom merangkum deretan fakta terkait dua tahun serangan Israel di Gaza. Berikut uraiannya:
66 Ribu Orang di Gaza Tewas
Operasi militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menewaskan sedikitnya 66.000 orang, sekitar 80% di antaranya warga sipil, dan melukai sekitar 169.000 orang, menurut estimasi konservatif dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Lembaga internasional memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa 90% rumah di Gaza telah hancur atau rusak, membuat 1,9 juta dari 2,1 juta penduduknya kehilangan tempat tinggal. Karena “blokade total” yang diberlakukan Israel, sebagian besar wilayah Gaza mengalami kelaparan parah yang telah menewaskan sedikitnya 450 orang, termasuk 150 anak-anak.
Setelah serangan 7 Oktober, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menetapkan dua tujuan utama perang di Gaza: membebaskan semua sandera dan menghancurkan Hamas. Dua tahun berlalu, keduanya belum tercapai. Dari 251 sandera yang dibawa ke Gaza, 148 telah dikembalikan hidup-hidup, delapan diselamatkan oleh IDF dan 140 dibebaskan Hamas melalui pertukaran tahanan. Jenazah beberapa sandera yang tewas juga telah dikembalikan.
Menurut pemerintah Israel, 48 sandera masih ditahan, dan hanya 20 yang diyakini masih hidup. Hamas, yang oleh Israel, Uni Eropa, dan AS dikategorikan sebagai organisasi teroris, masih bertahan di Gaza meski banyak anggotanya tewas. Beberapa pemimpinnya, termasuk Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar, telah terbunuh. Namun, organisasi itu tetap beroperasi.
Warga Israel Ingin Perang Berakhir
Dua tahun perang di Gaza membuat masyarakat Israel lelah dan frustrasi. Survei yang dirilis Israel Democracy Institute pekan lalu, menunjukkan 66 persen warga Israel percaya sudah saatnya perang diakhiri.
Selain itu, 64 persen responden mengatakan Netanyahu harus bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut dan mengundurkan diri.
Pendapat publik terbelah tentang apakah situasi keamanan Israel kini lebih baik, namun sebagian besar mengakui posisi Israel di kancah internasional merosot tajam.
Meskipun Amerika Serikat tetap menjadi pendukung utama Israel, pandangan komunitas Yahudi Amerika juga tampaknya sudah berubah.
Enam puluh satu persen responden yang disurvei oleh surat kabar The Washington Post percaya Israel melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina di Gaza, dan 32 persen percaya Amerika Serikat terlalu mendukung tindakan Israel.
Meski begitu, 76 persen responden mengatakan keberadaan Israel tetap penting bagi masa depan jangka panjang masyarakat Yahudi.
Membandingkan sikap warga Israel tentang perang di Gaza dengan perang 12 hari melawan Iran terasa signifikan.
Dalam perang bulan Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan terhadap target nuklir dan militer Iran dan menghadapi serangan balik ratusan rudal, banyak warga Israel yang saat itu mengatakan kepada ABC jika serangan tersebut dapat dibenarkan.
Iran kerap digambarkan sebagai “ancaman eksistensial” bagi Israel yang perlu ditangani, sementara perang di Gaza dianggap sudah berlangsung terlalu lama.
Konflik ini juga tampaknya memengaruhi migrasi dan pertumbuhan penduduk Israel. Data yang disampaikan ke parlemen Israel, Knesset, menunjukkan 82.700 warga Israel meninggalkan Israel pada 2024, atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Hampir separuh dari mereka yang pergi lahir di luar Israel dan pernah pindah ke Israel. Meski terjadi eksodus, secara keseluruhan jumlah penduduk Israel tetap meningkat pada 2023.
Perubahan Lanskap Politik di Israel
Tomer Persico, peneliti dari Shalom Hartman Institute di Yerusalem, mengatakan lanskap politik dan sosial Israel berubah drastis selama perang berlangsung.
Sebagai peneliti identitas Yahudi modern, Dr Persico mengatakan kepada ABC jika “cara termudah” menggambarkan perubahan ini adalah pergeseran signifikan ke arah kanan.
“Kita sudah dua tahun berada dalam perang yang berawal dari trauma yang tak terbayangkan bagi orang Israel, dan juga bagi orang Yahudi,” ujarnya.
“Ini membangkitkan ingatan, luka pasca-trauma yang kita semua bawa dari Holocaust, dari pogrom, karena inilah yang terjadi, kan? Seluruh komunitas dibantai.”
“Ketika trauma ini menumpuk di atas semua ingatan itu, reaksinya bisa dipahami, akan menjadi penuh kekerasan, akan penuh dendam.”
Komunitas Israel, kata Dr Persico, banyak yang kembali memeluk nilai-nilai agama Yahudi tradisional.
“Kita melihat banyak orang, banyak kelompok, kembali ke tradisi dengan mengadopsi kebiasaan tradisional, beberapa bahkan menjadi Yahudi Ortodoks,” katanya.
“Dan ini, mirip dengan yang terjadi setelah Perang Yom Kippur 1973, yang juga merupakan trauma besar.”
Kucuran Duit AS Bantu Israel Perangi Gaza
Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan mantan Presiden Joe Biden dan Presiden Donald Trump telah mengucurkan setidaknya US$ 21,7 miliar, atau setara Rp 359,3 triliun, dalam bentuk bantuan militer kepada Israel sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memulai perang tanpa henti di Jalur Gaza.
Angka tersebut, seperti dilansir Associated Press, Selasa (7/10), diungkapkan dalam studi akademis terbaru dari proyek Costs of War di Watson School of International and Public Affairs pada Universitas Brown yang dirilis pada Selasa (7/10), bertepatan dengan peringatan dua tahun dimulainya perang Gaza.
Laporan utama menyebutkan bahwa AS memberikan bantuan militer US$ 17,9 miliar (Rp 296,4 triliun) kepada Israel pada tahun pertama perang — ketika Biden masih menjabat — dan bantuan sebesar US$ 3,8 miliar (Rp 62,9 triliun) pada tahun kedua.
Menurut laporan itu, sebagian bantuan militer itu telah dikirimkan, sedangkan sisanya akan dipasok dalam beberapa tahun mendatang.
Sebuah studi lainnya yang juga dirilis proyek tersebut menyatakan bahwa AS telah menghabiskan sekitar US$ 10 miliar lebih banyak untuk bantuan keamanan dan operasi di Timur Tengah yang lebih luas dalam dua tahun terakhir.
Laporan tersebut disusun bekerja sama dengan Quincy Institute for Responsible Statecraft yang berbasis di Washington. Institut ini telah dituduh oleh beberapa kelompok pro-Israel sebagai penganut isolanionis dan anti-Israel. Tuduhan tersebut telah dibantah oleh organisasi itu.
Meskipun sebagian besar mengandalkan materi sumber terbuka untuk temuannya, laporan tersebut menawarkan beberapa perhitungan paling komprehensif tentang bantuan militer AS kepada sekutu dekatnya, Israel, dan perkiraan biaya keterlibatan militer langsung Amerika di kawasan Timur Tengah.
Departemen Luar Negeri AS belum memberikan komentar langsung mengenai jumlah bantuan militer yang diberikan kepada Israel sejak Oktober 2023. Gedung Putih meminta pertanyaan tersebut diberikan kepada Pentagon, yang hanya mengawasi sebagian dari bantuan tersebut.
Laporan tersebut, yang sangat kritis terhadap Israel, menyatakan bahwa tanpa bantuan AS, Israel tidak akan mampu mempertahankan operasi militer melawan Hamas di Jalur Gaza. Laporan itu mencatat bahwa pendanaan puluhan miliar dolar Amerika di masa depan untuk Israel diproyeksikan berdasarkan berbagai perjanjian bilateral.
Trump Nilai Perang Gaza Menuju Akhir
Presiden AS Donald Trump menyatakan keyakinannya bahwa kesepakatan damai Gaza akan tercapai. Trump menyebut kelompok Hamas telah menyetujui hal-hal yang “sangat penting” seiring dimulainya perundingan dengan Israel.
“Saya memiliki garis merah, jika ada hal-hal tertentu yang tidak terpenuhi, kita tidak akan melakukannya,” kata Trump kepada wartawan di Ruang Oval Gedung Putih saat ditanya apakah dirinya memiliki prasyarat, termasuk persetujuan Hamas untuk melucuti senjata mereka.
“Tapi saya pikir kita melakukannya dengan sangat baik dan saya pikir Hamas telah menyetujui hal-hal yang sangat penting,” ujar Trump seperti dilansir AFP, Selasa (7/10).
Trump mengatakan dirinya optimis tentang peluang tercapainya kesepakatan damai, ketika delegasi Hamas dan Israel memulai kembali perundingan tidak langsung di Mesir untuk mengakhiri perang Gaza, berdasarkan 20 poin rencana perdamaian yang diajukannya baru-baru ini.
“Saya pikir kita akan mencapai kesepakatan. Sulit bagi saya untuk mengatakannya ketika selama bertahun-tahun mereka telah berusaha mencapai kesepakatan,” ucapnya.
“Kita akan mencapai kesepakatan Gaza, saya cukup yakin, ya,” kata Trump.
Hamas Tuntut Pasukan Israel Ditarik Keluar dari Gaza
Hamas mengatakan bahwa mereka ingin mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perang di Gaza berdasarkan rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, tetapi masih memiliki serangkaian tuntutan. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa perundingan tidak langsung dengan Israel di Mesir bisa sulit dan panjang.
Dilansir Reuters, Selasa (7/10), pejabat senior Hamas, Fawzi Barhoum, memaparkan posisi Hamas pada peringatan dua tahun serangan terhadap Israel yang memicu perang Gaza, dan satu hari setelah perundingan tidak langsung dimulai di Sharm el-Sheikh.
Perundingan ini tampaknya paling menjanjikan untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel, yang menewaskan 1.200 orang dan membawa 251 orang kembali ke Gaza sebagai sandera.
Namun, para pejabat dari semua pihak mendesak agar berhati-hati atas prospek kesepakatan cepat, karena Israel mengenang hari paling berdarah bagi orang Yahudi sejak Holocaust dan warga Gaza menyuarakan harapan akan berakhirnya penderitaan akibat perang selama dua tahun.
“Delegasi gerakan (Hamas) yang berpartisipasi dalam negosiasi saat ini di Mesir sedang berupaya mengatasi semua hambatan untuk mencapai kesepakatan yang memenuhi aspirasi rakyat kami di Gaza,” kata Barhoum dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi.
Ia mengatakan kesepakatan harus memastikan berakhirnya perang dan penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza–syarat-syarat yang tidak pernah diterima Israel. Israel, di sisi lain, menginginkan Hamas melucuti senjatanya, sesuatu yang ditolak kelompok itu.
Hamas menginginkan gencatan senjata permanen dan komprehensif, penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, dan segera dimulainya proses rekonstruksi komprehensif di bawah pengawasan “badan teknokratis nasional” Palestina, ujarnya.
Menggarisbawahi hambatan yang akan dihadapi dalam perundingan, faksi Palestina, termasuk Hamas, mengeluarkan pernyataan yang bersumpah untuk “menentang dengan segala cara” dan mengatakan “tidak seorang pun berhak menyerahkan senjata rakyat Palestina.” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak segera berkomentar mengenai status perundingan di Sharm el-Sheikh.
Kesepakatan Damai di Gaza Segera Tercapai?
Para pejabat AS telah mengisyaratkan bahwa mereka ingin memfokuskan perundingan pada penghentian pertempuran dan logistik pembebasan para sandera dan tahanan politik. Namun, Qatar, salah satu mediator, mengatakan banyak detail yang harus diselesaikan, yang mengindikasikan bahwa kecil kemungkinan akan ada kesepakatan dalam waktu dekat.
Tanpa adanya gencatan senjata, Israel terus melancarkan serangannya di Gaza, meningkatkan isolasi internasionalnya dan memicu protes pro-Palestina di luar negeri yang diperkirakan akan berlanjut pada hari Selasa.
Pada peringatan serangan tahun 2023, beberapa warga Israel mengunjungi tempat-tempat yang paling terdampak pada hari itu. Orit Baron berdiri di lokasi festival musik Nova di Israel selatan di samping foto putrinya, Yuval, yang tewas bersama tunangannya, Moshe Shuva.
Mereka termasuk di antara 364 orang yang ditembak, dipukuli, atau dibakar hingga tewas di sana. “Mereka seharusnya menikah pada 14 Februari, Hari Valentine. Dan kedua keluarga memutuskan, karena mereka ditemukan (meninggal) bersama dan mereka membawa mereka kepada kami bersama-sama, bahwa pemakamannya akan dilakukan bersamaan,” kata Baron.
“Mereka dimakamkan bersebelahan karena mereka tidak pernah dipisahkan.”
Israel berharap perundingan di Sharm el-Sheikh akan segera menghasilkan pembebasan ke-48 sandera yang masih ditawan di Gaza, 20 di antaranya diyakini masih hidup. “Rasanya seperti luka terbuka, para sandera, saya tak percaya sudah dua tahun berlalu dan mereka masih belum pulang,” kata Hilda Weisthal, 43 tahun.
Di Gaza, Mohammed Dib, warga Palestina berusia 49 tahun, berharap berakhirnya konflik yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan, membuat banyak warga Palestina mengungsi berkali-kali, dan menewaskan lebih dari 67.000 orang Palestina, menurut .
“Sudah dua tahun kami hidup dalam ketakutan, kengerian, pengungsian, dan kehancuran,” ujarnya.
Halaman 2 dari 6
(ygs/rfs)
-

Dua Tahun Perang di Gaza, Banyak Warga Israel Ingin Perang Berakhir
Setiap tahun, Yonatan Shamriz dan keluarganya berkumpul untuk merayakan ulang tahun putrinya, yang tahun ini menginjak empat tahun.
Sebisa mungkin ia berusaha membuat hari ulang tahun putrinya, yang bernama Yali, terasa normal.
Yali lahir pada 7 Oktober 2021. Dua tahun kemudian, komunitas tempat keluarga Shamriz tinggal, Kfar Aza, mendapat serangan dari kelompok Hamas.
Enam puluh dua orang dari kawasan tersebut tewas pada hari itu.
Saudara laki-laki Yonatan, Alon, termasuk di antara warga Israel yang disandera.
Alon tak pernah kembali ke rumah, dan justru tewas tertembak oleh militer Israel (IDF) di Gaza pada Desember 2023 setelah berhasil melarikan diri dari penyanderaan Hamas.
“Itu adalah momen terberat dalam hidup saya,” kata Yonatan kepada ABC.
“Saudara saya melakukan segalanya. Mereka berhasil melarikan diri.
“Sangat sulit mendengar kalau IDF keliru mengidentifikasinya sebagai teroris.”
Dua tahun setelah peristiwa itu, kehidupan Yonatan masih belum tenang.
“Saya masih menjadi pengungsi di negara sendiri, tidak punya rumah, tinggal di sebuah mobil trailer di pusat Israel,” ujarnya.
“Saya tidak berada di zona nyaman. Saya tidak punya saudara laki-laki.”
Meski dihantui trauma, Yonatan mencurahkan energinya untuk organisasi Kumu, yang mendukung keluarga-keluarga yang terdampak serangan dua tahun lalu.
Organisasi ini menjadi tuan rumah satu-satunya acara peringatan resmi pada 7 Oktober di salah satu taman terbesar di Tel Aviv.
“Kita bisa lihat keluarga yang berduka dan warga yang paling menderita, setiap orang punya cara yang berbeda dalam menghadapi apa yang hilang dari mereka,” katanya.
“Sebagian tidak sanggup melakukan apa pun. Sebagian lain justru berusaha melakukan sesuatu dengan segala cara.”
“Saya merasa harus melakukannya. Saya merasa jika hanya duduk diam dan santai, malah akan tenggelam ke dalam lubang.”
Luka yang mendalam
Seperti banyak warga Israel lainnya, Yonatan sadar kalau warga Israel sudah berubah dalam dua tahun sejak serangan Hamas.
Setelah menyusup ke Israel, kelompok militan tersebut menewaskan sekitar 1.200 orang, yang sebagian besar warga sipil, serta menyandera 250 orang, hingga memicu perang di Gaza yang masih berlangsung hingga kini.
Israel mengatakan tujuan serangan ke Gaza adalah untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera.
Namun, seiring waktu, cara Israel melakukannya semakin menuai kritik.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, menurut otoritas kesehatan di Gaza.
Tindakan Israel juga dilabeli sebagai genosida oleh komisi penyelidikan independen dari PBB dan berbagai organisasi lainnya.
Militer Israel atau IDF kini menguasai lebih dari 75 persen wilayah Gaza, dan lebih dari 2 juta penduduknya terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Meski tidak bisa dibandingkan, beban perang juga dirasakan Israel.
Banyak warga Israel yang mendukung perang, tetapi tidak sedikit pula yang merasa ketakutan.
Semakin banyak tentara cadangan Israel yang menolak untuk bertugas di Gaza.
Dalam berbagai aksi unjuk rasa tahun ini, ribuan orang turun ke jalan di Yerusalem dan Tel Aviv untuk menyerukan diakhirinya perang di Gaza.
Meski ada harapan untuk kesepakatan damai, Yonatan mengatakan babak sejarah ini meninggalkan luka yang dalam di Israel.
“Saya pikir rakyat Israel berbeda dengan para pemimpinnya,” ujarnya.
“Kebanyakan orang ingin ada komite nasional untuk menyelidiki apa yang terjadi pada 7 Oktober, kebanyakan orang ingin ada pemilu, kebanyakan orang ingin perang berakhir dan para sandera dipulangkan.”
“Dan selama dua tahun, tak satu pun dari itu yang kami dapatkan.”
Perubahan ke kanan
Tomer Persico, peneliti dari Shalom Hartman Institute di Yerusalem, mengatakan lanskap politik dan sosial Israel berubah drastis selama perang berlangsung.
Sebagai peneliti identitas Yahudi modern, Dr Persico mengatakan kepada ABC jika “cara termudah” menggambarkan perubahan ini adalah pergeseran signifikan ke arah kanan.
“Kita sudah dua tahun berada dalam perang yang berawal dari trauma yang tak terbayangkan bagi orang Israel, dan juga bagi orang Yahudi,” ujarnya.
“Ini membangkitkan ingatan, luka pasca-trauma yang kita semua bawa dari Holocaust, dari pogrom, karena inilah yang terjadi, kan? Seluruh komunitas dibantai.”
“Ketika trauma ini menumpuk di atas semua ingatan itu, reaksinya bisa dipahami, akan menjadi penuh kekerasan, akan penuh dendam.”
Komunitas Israel, kata Dr Persico, banyak yang kembali memeluk nilai-nilai agama Yahudi tradisional.
“Kita melihat banyak orang, banyak kelompok, kembali ke tradisi dengan mengadopsi kebiasaan tradisional, beberapa bahkan menjadi Yahudi Ortodoks,” katanya.
“Dan ini, mirip dengan yang terjadi setelah Perang Yom Kippur 1973, yang juga merupakan trauma besar.”
‘Menguasai’ Gaza jadi tujuan sebagian pemimpin
Semua itu, kata Dr Persico, mempermudah para “fundamentalis” seperti menteri keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich dan menteri keamanan nasional Itamar Ben-Gvir, untuk memperluas pengaruh mereka di pemerintahan dan di kalangan masyarakat.
Australia sudah menjatuhkan sanksi terhadap kedua politisi Israel tersebut karena “retorika ekstremis yang mendorong pemindahan paksa warga Palestina dan pembangunan permukiman Israel baru”.
“Mereka punya visi untuk menduduki Jalur Gaza dan menempatkan orang Yahudi di sana, serta membersihkan Gaza dari warga Palestina secara etnis,” kata Dr Persico.
“Itulah rencana mereka, itulah visi mereka. Mereka percaya Tuhan memerintahkan hal itu.”
“Untuk visi itu, mereka rela memperpanjang perang, mengorbankan tentara, dan mengancam PM Netanyahu jika dia menyimpang sedikit saja dari rencana itu, mereka akan menggulingkan pemerintahannya.”
Dr Persico menegaskan meski masyarakat bergeser ke kanan, bukan berarti mereka mendukung pemerintahan koalisi Netanyahu.
“Paradoksnya, ada pergeseran ke kanan di kalangan rakyat, tetapi juga ada sikap antagonis terhadap pemerintahan yang paling sayap kanan yang pernah berkuasa di Israel,” katanya.
“Ada banyak kritik di Israel tentang apa yang dilakukan Israel di Gaza saat ini, tentang kenyataan perdana menteri kami, [Benjamin] Netanyahu, dianggap … berusaha menghindari setiap peluang untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas demi memulangkan para sandera dan mengakhiri perang ini.”
“Jika pemilu diadakan hari ini, mereka tidak akan mampu mempertahankan kekuasaan di Israel.”
Dr Persico percaya akan ada perubahan besar di masa depan, lebih dari sekadar pemilu.
“Setelah perang ini berakhir, trauma akan sedikit mereda dan saya pikir akan ada masa pertanggungjawaban,” katanya.
“Saya pikir masyarakat Israel akan melalui masa refleksi dan penyesalan atas apa yang kami izinkan atau apa yang terjadi di Gaza, apa yang dilakukan pemerintah di Gaza.
“Dan saya pikir orang-orang akan merasa malu dengan apa yang terjadi dan saya pikir seseorang akan harus disalahkan, karena begitulah cara kerja manusia.”
Aksi-aksi protes digelar setiap pekannya selama dua tahun, menuntut pemerintah menerima kesepakatan untuk mengakhiri perang.
Meski fokus utama demonstrasi adalah nasib para sandera Israel yang ditahan di Gaza, dalam beberapa bulan terakhir semakin banyak orang yang menyuarakan keprihatinan terhadap situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.
Di antara kelompok itu ada yang benar-benar peduli pada penderitaan warga Palestina, dan ada pula yang khawatir dampaknya terhadap Israel dan reputasi negaranya di mata internasional.
Kebanyakan warga Israel ingin perang berakhir
Dua tahun perang di Gaza membuat masyarakat Israel lelah dan frustrasi.
Survei yang dirilis Israel Democracy Institute pekan lalu, menunjukkan 66 persen warga Israel percaya sudah saatnya perang diakhiri.
Selain itu, 64 persen responden mengatakan Netanyahu harus bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut dan mengundurkan diri.
Pendapat publik terbelah tentang apakah situasi keamanan Israel kini lebih baik, namun sebagian besar mengakui posisi Israel di kancah internasional merosot tajam.
Meskipun Amerika Serikat tetap menjadi pendukung utama Israel, pandangan komunitas Yahudi Amerika juga tampaknya sudah berubah.
Enam puluh satu persen responden yang disurvei oleh surat kabar The Washington Post percaya Israel melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina di Gaza, dan 32 persen percaya Amerika Serikat terlalu mendukung tindakan Israel.
Meski begitu, 76 persen responden mengatakan keberadaan Israel tetap penting bagi masa depan jangka panjang masyarakat Yahudi.
Membandingkan sikap warga Israel tentang perang di Gaza dengan perang 12 hari melawan Iran terasa signifikan.
Dalam perang bulan Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan terhadap target nuklir dan militer Iran dan menghadapi serangan balik ratusan rudal, banyak warga Israel yang saat itu mengatakan kepada ABC jika serangan tersebut dapat dibenarkan.
Iran kerap digambarkan sebagai “ancaman eksistensial” bagi Israel yang perlu ditangani, sementara perang di Gaza dianggap sudah berlangsung terlalu lama.
Konflik ini juga tampaknya memengaruhi migrasi dan pertumbuhan penduduk Israel.
Data yang disampaikan ke parlemen Israel, Knesset, menunjukkan 82.700 warga Israel meninggalkan Israel pada 2024, atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Hampir separuh dari mereka yang pergi lahir di luar Israel dan pernah pindah ke Israel.
Meski terjadi eksodus, secara keseluruhan jumlah penduduk Israel tetap meningkat pada 2023.
‘Orang-orang sudah lelah’
Jalan-jalan di Yerusalem jauh lebih sepi dibandingkan sebelum 7 Oktober 2023. Turis masih datang ke Yerusalem, tapi jumlahnya tidak sebanyak sebelum perang.
Saat turis asing, yang menjadi sumber pemasukan utama kota itu, menjauh, beberapa pemilik usaha menilai warga lokal juga kini jauh lebih tertutup dibandingkan sebelumnya.
“Orang-orang sudah lelah. Orang-orang tidak lagi percaya situasinya akan menjadi lebih baik,” kata Meir Micha.
Meir menjalankan restorannya di pusat distrik komersial Yerusalem selama lebih dari 50 tahun.
“Saya melihat pelanggan. Mereka tidak lagi tersenyum seperti dulu, tidak lagi bicara soal pertandingan sepak bola, mereka datang hanya untuk makan,” ujar Meir.
“Saat perang, semua orang pada akhirnya menginginkan perdamaian. Itu tergantung bagaimana kita menemukan perdamaian itu. Tidak ada yang mau berperang sepanjang hidupnya.”
Eli Katz termasuk yang menikmati hummus yang disajikan di restoran milik Meir.
“Perang hanya berjarak 50 mil dari kami, bom meledak dan gedung-gedung hancur, dan kemudian … saya duduk di restoran, di kafe, makan,” katanya.
“Benar-benar membuat bingung, tetapi saya pikir saat ini kebanyakan orang hanya ingin perang segera berakhir.”
Eli mengatakan tanggapan komunitas internasional terhadap perang di Gaza, serta tindakan Israel, memengaruhi suasana para warga.
“Mengakui Palestina atau meninggalkan Netanyahu saat pidato di PBB, saya rasa justru membawa dampak sebaliknya, membuat semua orang semakin keras kepala,” ujarnya.
“Pada akhirnya, alih-alih berkata kita punya teman dan bisa bekerja sama dan … kita bisa menghentikan perang karena orang-orang akan membantu kita, saya pikir perasaan warga secara umum adalah kami merasa sendirian, jadi kami tidak bisa mempercayai siapa pun, sehingga kami harus terus berperang.”
Dari ‘bersatu’ menjadi ‘terpecah’
Tak jauh dari sana, penata rambut Effi Hazuot menonton saluran TV sayap kanan Israel, Channel 14, di salonnya.
Saluran nasionalis yang bahkan mengkritik beberapa jenderal IDF karena dianggap tidak cukup sayap kanan ini jarang menampilkan dampak kemanusiaan perang di Gaza.
Ini adalah salah satu sumber berita paling banyak ditonton di Israel.
“Di awal perang, publik Israel sangat bersatu,” kata Effi.
“Tetapi saat perang terus berlanjut, bulan demi bulan, sekarang sudah dua tahun, ada perpecahan antara kubu kanan dan kiri.”
“Dan sekarang warga berhaluan sayap kiri di Israel, menjadi sangat ekstrem. Mereka ingin perang ini segera diakhiri dengan cara apa pun. Mereka bahkan tidak peduli jika kita tidak memenangkan perang, dan itu sayangnya sangat menyedihkan.”
Ia bersikeras perang harus terus dilanjutkan sampai Israel “menghancurkan Hamas”.
“Orang-orang yang tinggal boleh dibiarkan, tidak masalah,” ujarnya.
“Tetapi organisasi ini [Hamas], mereka adalah pembunuh.”
Effi mengatakan kritik internasional terhadap Israel hanyalah manuver politik untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik di sejumlah negara, seperti imigrasi.
Effi juga membantah peringatan dari kebanyakan organisasi kemanusiaan soal kelaparan di Gaza.
“Dunia mengatakan orang-orang di Gaza kelaparan. Tidak ada yang kelaparan di sana,” katanya.
“Saya punya teman, dia di Gaza. Dia seorang komandan [militer] dan saya menanyakannya soal itu.”
“Dia bilang itu banyak kebohongan.”
Pernyataan itu bertentangan dengan peringatan PBB dan berbagai lembaga lain mengenai krisis kelaparan yang parah di Gaza.
‘Perpecahan bangsa’
Di pasar yang tak jauh dari sana, Miri Ben Amram membela IDF dan pemimpin negaranya.
“Kami punya tentara terbaik di dunia, dan seorang perdana menteri, diplomat terbaik di dunia,” katanya.
“Netanyahu nomor satu.”
“Kami ingin damai, saya ingin damai, hanya damai.”
Meski begitu, Miri yang kehilangan putranya yang bertugas bersama militer Israel beberapa tahun lalu, mengakui perang telah memecah belah negara.
“Ada perpecahan bangsa … kami ingin bersatu tetapi mustahil,” katanya.
“Partai-partai politik, politik, telah menghancurkan segalanya, dan dunia tidak memandang kami dengan baik.”
“Tapi lihat apa yang mereka lakukan kepada kami [pada 7 Oktober]. Itu pembantaian. Itu holocaust kedua. Ini tidak mudah.”
“[Dunia] menekankan jika kami melakukan genosida, dan itu tidak benar. Mereka yang membunuh kami. Mereka meneror kami.”
Pandangan itu dipegang banyak warga Israel yang merasa dunia telah berpaling dari penderitaan mereka setelah dua tahun perang.
Namun, meraih kembali dukungan internasional adalah hal yang, menurut orang-orang seperti Yonatan Shamriz, sulit dicapai.
“Dengan kepemimpinan saat ini, saya pikir itu mustahil,” katanya.
“Saya pikir satu-satunya orang yang benar-benar melakukan advokasi di media internasional adalah warga sipil seperti saya.”
“Kebanyakan negara yang dulu menjadi sekutu Israel kini mengakui negara Palestina, sehingga mereka bisa membantai kami dan mereka mendapatkan hadiah berupa negara Palestina.”
“Sangat, sangat membuat frustrasi bahwa kepemimpinan Israel tidak mendengarkan rakyat Israel dan tidak melakukan apa pun untuk memperjuangkan kepentingan Israel di dunia.”
-

Selamat dari Ledakan Pager, Pria di Lebanon Tewas Digempur Israel
Beirut –
Serangan udara Israel yang menghantam wilayah Lebanon pada Senin (6/10) waktu setempat, menewaskan sedikitnya dua orang. Salah satu korban tewas merupakan seorang pria yang selamat tapi kehilangan penglihatannya, akibat ledakan pager Israel yang menargetkan Hizbullah tahun lalu.
Militer Israel mengatakan serangan terbarunya di Lebanon itu menargetkan seorang anggota Hizbullah.
Israel terus melancarkan serangan-serangan terhadap Lebanon, yang biasanya diklaim menargetkan Hizbullah, meskipun gencatan senjata masih berlaku sejak November tahun lalu. Tel Aviv juga masih menempatkan pasukan militernya di sebanyak lima area di wilayah Lebanon bagian selatan yang dianggap strategis.
Dalam pernyataan terbaru, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Selasa (7/10/2025), militer Israel mengatakan telah menewaskan Hassan Atwi, yang mereka gambarkan sebagai “seorang teroris kunci dalam unit pertahanan udara Hizbullah di wilayah Nabatiyeh”, pada Senin (6/10).
Istri Atwi, Zainab Raslan, yang mengemudikan kendaraan yang ditumpangi suaminya, menurut laporan media pemerintah Lebanon, National News Agency (NNA), juga tewas dalam serangan Israel tersebut.
Militer Israel, dalam pernyataannya, menuduh Atwi telah “memimpin upaya pembentukan kembali dan mempersenjatai kembali” unit tersebut, dan “menjalin kontak dengan dan membeli peralatan dari para pemimpin unit tersebut di Iran”.
Laporan NNA menyebut Atwi mengalami luka-luka dan kehilangan penglihatannya ketika Israel meledakkan ratusan pager dan walkie-talkie yang digunakan oleh para anggota Hizbullah di berbagai wilayah Lebanon tahun lalu.
Kementerian Kesehatan Lebanon juga melaporkan serangan Israel pada Senin (6/10). Disebutkan bahwa sedikitnya dua orang tewas dan satu orang mengalami luka-luka ketika “serangan drone Israel menargetkan sebuah mobil di jalan Zebdine di distrik Nabatiyeh” di wilayah Lebanon bagian selatan.
Militer Israel juga mengatakan bahwa pasukannya telah menyerang “kompleks militer… yang digunakan Hizbullah untuk pelatihan” di wilayah Bekaa, Lebanon bagian timur. Sementara NNA melaporkan “dua serangan udara” lainnya melanda wilayah Provinsi Hermal di timur laut negara tersebut.
Pekan lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memverifikasi kematian 103 warga sipil di Lebanon sejak gencatan senjata berlaku pada November tahun lalu. PBB menuntut penghentian penderitaan warga sipil yang sedang berlangsung.
Halaman 2 dari 2
(nvc/nvc)
-

Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Tanjungbalai Sumut
Tanjungbalai –
Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri menangkap terduga teroris di Tanjungbalai, Sumatera Utara (Sumut). Kepala Lingkungan II Kelurahan Pahang, Kecamatan Datuk Bandar, Aziz mengatakan penangkapan itu dilakukan pagi tadi
“Iya, (penangkapan) terduga teroris, (sekitar) setengah 9 (pagi),” kata Aziz dilansir detikSumut, Senin (6/10/2025).
Aziz turut mendampingi Densus 88 saat menggeledah rumah terduga teroris itu. Aziz mengatakan ada seorang pria berinisial RR (29) yang diamankan.
Setelah mengamankan RR itu, Densus 88 melakukan penggeledahan ke rumah RR di Lingkungan II, Kelurahan Pahang. RR turut menyaksikan saat rumahnya digeledah.
“Yang diamankan ada satu orang, laki laki. Ditangkapnya di luar, bukan di rumah, penggeledahan di rumah. (Di rumah ada) suami istri, ada anaknya satu, suaminya saja (diamankan),” jelasnya.
Kasubsi PIDM Sie Humas Polres Tanjungbalai Iptu M Ruslan membenarkan Densus 88 melakukan kegiatan di Tanjungbalai. Namun, Ruslan belum memerinci lebih lanjut soal itu. Dia mengatakan kasus itu ditangani oleh Densus 88.
“Kegiatan Densus 88 ada di jalan tersebut. Sejauh ini data belum ada dapat kita, sebab ditangani oleh pihak Densus 88,” ujarnya.
(isa/idn)
-

Perang Saudara Acak-Acak Negara, Penjara Diserbu-Militer Turun Gunung
Jakarta, CNBC Indonesia – Kelompok bersenjata Al-Shabab pada hari Minggu (5/10/2025) melancarkan serangan besar yang menargetkan Penjara Pusat di Mogadishu, ibu kota Somalia. Pemerintah federal Somalia mengonfirmasi bahwa serangan tersebut berhasil digagalkan dan seluruh militan yang terlibat tewas.
Menurut laporan dari pejabat keamanan dan saksi mata, serangan dimulai dengan ledakan bom bunuh diri menggunakan sebuah mobil yang menabrak gerbang utama penjara. Ledakan dahsyat tersebut membuka jalan bagi sejumlah pria bersenjata untuk mencoba menyerbu masuk ke dalam fasilitas penjara.
Baku tembak sengit segera terjadi antara para penyerang dengan penjaga penjara dan pasukan keamanan Somalia yang dengan cepat merespons insiden tersebut. Menteri Informasi Somalia, Daud Aweis, dalam sebuah pernyataan resmi menegaskan bahwa situasi telah berhasil dikendalikan.
“Pasukan keamanan pemberani kami telah berhasil menggagalkan serangan teroris di Penjara Pusat Mogadishu,” kata Aweis, dikutip Senin (6/10/2025). “Semua teroris yang terlibat dalam serangan itu telah dinetralkan.”
Pemerintah belum merilis jumlah pasti penyerang yang tewas atau memberikan rincian mengenai kemungkinan korban dari pihak pasukan keamanan.
Penjara Pusat Mogadishu dikenal sebagai fasilitas yang menahan banyak anggota tingkat tinggi Al-Shabab dan militan lain yang telah divonis bersalah. Upaya penyerbuan penjara untuk membebaskan anggota mereka merupakan taktik yang telah berulang kali digunakan oleh kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda tersebut.
Insiden ini sekali lagi menyoroti tantangan keamanan yang terus dihadapi pemerintah Somalia dalam perangnya melawan Al-Shabab, yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
(tps/șef)
[Gambas:Video CNBC]
-

Pentolan AI Cemas Manusia di Ambang Kiamat
Jakarta –
Profesor Universitas Montreal, Yoshua Bengio, dianggap salah satu Bapak AI karena karya akademisnya jadi landasan persaingan sengit AI saat ini. Ia juga pendiri dan penasihat Mila, lembaga penelitian AI di Quebec dan baru-baru ini meluncurkan organisasi penelitian nirlaba LawZero untuk membangun model AI yang aman.
Dalam wawancara dengan Wall Street Journal, Bengio tidak berbasa-basi yaitu bahwa pada tingkat perkembangan AI saat ini, ia yakin kita sedang menuju jalan gelap yang dapat menyebabkan semacam kiamat umat manusia.
“Jika kita membangun mesin yang jauh lebih pintar dari kita dan memiliki tujuan pelestariannya sendiri, itu berbahaya. Itu seperti menciptakan pesaing bagi umat manusia yang lebih pintar dari kita,” katanya yang dikutip detikINET dari Futurism.
“Masalah dengan peristiwa bencana seperti kepunahan, dan bahkan peristiwa kurang radikal namun tetap bencana seperti menghancurkan demokrasi, adalah bahwa peristiwa tersebut begitu buruk sehingga meskipun hanya ada 1% kemungkinan bisa terjadi, itu tidak dapat diterima,” lanjutnya.
Di 2023, Bengio dan ratusan pakar AI lain menyerukan moratorium pengembangan AI lantaran komunitas riset perlu waktu menetapkan dan menstandardisasi protokol keselamatan dan etika. Hal itu tidak pernah terjadi karena para pendiri yang ambisius dan investor terus menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk mengembangkan model AI.
Seiring AI makin kuat, Bengio khawatir AI belajar berperilaku curang karena dilatih meniru manusia yang akan berbohong dan menipu dan akan mencoba melindungi diri mereka sendiri. Ia khawatir AI bertindak demi kepentingan sendiri di atas kepentingan penciptanya.
“Eksperimen terbaru menunjukkan bahwa dalam beberapa keadaan di mana AI tak punya pilihan selain mempertahankan diri yang berarti jika harus melakukan sesuatu yang menyebabkan kematian manusia, mereka mungkin memilih kematian manusia untuk mempertahankan tujuan mereka,” cetusnya.
Mungkin tidak ala film Terminator, tapi bisa berupa eskalasi lebih halus dari misinformasi dan manipulasi seperti di media sosial atau AI bisa menjadi satu alat yang digunakan manusia untuk menyakiti manusia lainnya.
“AI bisa memengaruhi orang melalui persuasi, melalui ancaman, melalui manipulasi opini publik. Ada berbagai mereka dapat menyelesaikan berbagai hal di dunia melalui manusia. Seperti misalnya, membantu teroris mengembangkan virus yang dapat menciptakan pandemi baru yang bisa sangat berbahaya bagi kita,” ujarnya.
(fyk/fyk)

