Kasus: teror

  • Turki Buka Kembali Kedubes di Suriah Sabtu Ini Usai Tutup Sejak 2012

    Turki Buka Kembali Kedubes di Suriah Sabtu Ini Usai Tutup Sejak 2012

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kedutaan Besar Turki di Damaskus, Suriah, yang ditutup sejak 2012 akan kembali beroperasi pada Sabtu (14/12) waktu setempat.

    Keputusan ini diumumkan tak lama usai pembenrontak berhasil menggulingkan Presiden Bashar Al Assad. Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan mengatakan para diplomat akan kembali bekerja di Suriah.

    “Kepala utusan yang baru, Burhan Koroglu, dan stafnya berangkat hari ini. Kedutaan besar akan beroperasi besok,” kata Fidan dalam sebuah wawancara dengan NTV, dikutip Reuters, Sabtu (14/12).

    Koroglu merupakan duta besar Turki untuk Nouakchott, Mauritania. Fidan tidak menjelaskan berapa lama Koroglu akan menjabat di Damaskus.

    Fidan juga mengatakan pemerintah juga menambahkan delegasi diplomatik menuju Suriah.

    “Kami ingin melihat Suriah yang bebas teror, di mana kaum minoritas tidak diperlakukan dengan buruk. Kami menginginkan pemerintahan yang inklusif di Suriah,”

    Ia menambahkan jumlah warga Suriah yang ada di Turki yang akan ‘pulang kampung’ akan meningkat secara bertahap seiring dengan stabilnya Suriah.

    Selain itu, Fidan menambahkan pemberantasan Unit Perlindungan Rakyat (The People’s Protection Units/YPG) adalah tujuan strategis Turki.

    Turki mengatakan YPG adalah kelompok teroris, yang terkait erat dengan militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang telah memerangi negara Turki selama 40 tahun.

    Kedutaan besar Turki di Damaskus ditutup pada 26 Maret 2012, setahun setelah perang saudara Suriah dimulai. Penutupan dilakukan karena memburuknya situasi keamanan di tengah seruan pemerintah Turki agar Assad mengundurkan diri.

    (pta/pta)

  • Demi Main Bareng Sutradara Impian, Ratu Felisha Rela Kembali Main dalam Film Horor Sorop

    Demi Main Bareng Sutradara Impian, Ratu Felisha Rela Kembali Main dalam Film Horor Sorop

    Jakarta, Beritasatu.com – Artis Ratu Felisha mengaku rela kembali main film horor berjudul Sorop demi mewujudkan ambisinya kerja bareng sutradara impiannya, Upi.

    Hal itu diungkapkan wanita kelahiran Jakarta, 16 Oktober 1982 tersebut saat jumpa pers di Epicentrum Kuningan Jakarta, Jumat (13/12/2024).

    “Jujur kerja sama dalam sebuah film bareng Mbak Upi adalah impian saya setelah sebelumnya saya main bareng Bang Joko Anwar di film Pengabdi Setan 2. Jadi bisa dibilang kerja bareng Mbak Upi sebagai dream comes true bagi saya,” ungkap Ratu Felisha.

    Diterangkan, rasa kagumnya pada hasil karya Upi sebagai seorang penulis dan sutradara hebat memang membuatnya rela memerankan tokoh apa pun demi bisa bekerja sama bersama sutradara idolanya itu.

    “Gue memang sudah ngefans sama Mbak Upi, jadi pas disuruh makan ini, gue makan. Terus naik ke atas, ya gue naik. Karena gue sudah sudah se-ngefans itu, kayak percaya saja apa yang ada di otak dia tuh pasti nanti hasilnya bagus,” tambah Ratu Felisha yang kembali bermain dalam film horor.

    Dalam film Sorop, Ratu Felisha berperan sebagai Bude Sabah yang punya kebiasaan misterius, yaitu puasa sorop. Puasa Sorop adalah tidak makan minum dan berbuka dengan makan tanah kuburan.

    Film Sorop berkisah tentang kisah dua bersaudara, yaitu Hanif (Hana Malasan) dan Isti (Yasamin Jasem) yang mendadak tinggal di sebuah rumah angker dengan teror yang terus mengintai mereka. Ratu Felisha yang kembali bermain dalam film horor, yaitu film Sorop, dapat disaksikan mulai 19 Desember 2024 mendatang.
     

  • Ledakan di Kantor Kejari Parepare, Barbuk Detonator yang Ditanam Atau Teror?

    Ledakan di Kantor Kejari Parepare, Barbuk Detonator yang Ditanam Atau Teror?

    JAKARTA – Selasa sore, 19 November, di wilayah Parepare, Sulawesi Selatan, terasa begitu tenang layaknya hari-hari sebelumnya. Namun, kondisi itu seketika berubah saat terdengar suara ledakan.

    Tanah bergetar dan beberapa kaca bangunan Kejaksaan Negeri (Kejari) Parepare pecah. Seluruh karyawan panik yang kemudian behamburan keluar gedung. Ledakan disebut terjadi di halaman belakang.

    Belum diketahui sumber ledakan tersebut. Meski, banyak yang mengira jika suara dentuman itu berasal dari bom. Mengingat belum lama ini telah terjadi aksi bom bunuh diri di Polrestabes Medan.

    “Benar terjadi ledakan, kita belum bisa duga ledakan dari mana. Kejadian sekitar pukul 14.45 WITA,” ucap Kadiv Humas Polri Irjen Pol Muhammad Iqbal di Jakarta, Selasa, 19 November.

    Untuk mengetahui sumber ledakan, polisi setempat dan tim penjinak bom (Jibom) telah diturunkan. Olah tempat kejadian perkara dan mencari petunjuk soal ledakan pun dilakukan.

    “Lapolres Parepare dan Jibom sedang lakukan olah TKP antisipasi ledakan susulan,” katanya

    Selain itu, dari catatan sementara tak ada korban jiwa atau pun luka-luka yang diakibatkan ledakan tersebut. “Sementara belum ada korban,” ucapnya singkat.

    Terpisah, Kasie Intel Kejari Parepare Amirudin mengatakan sumber ledakan berasal dari detonator aktif yang merupakan sisa barang bukti. Sebelumnya, alat pemicu itu telah dimusnahkan beberapa waktu.

    Dalam pemusnahan detonator itu dengan cara ditimbun dengan tanah lalu dicor dengan semen. Sehingga, kuat dugaan ledakan itu bersumber dari sisa barang bukti tersebut lantaran lokasi ledakan merupakan tempat pemusnahan barang sitaan tersebut.

    “Yang meledak itu adalah detonator yang masih aktif. Diduga seperti itu karena lokasi kejadiannya di tempat kita lakukan pemusnahan barang bukti detonator September lalu,” ujar Amiruddin.

    Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Mukri menduga jika ledakan dipicu dengan adanya kegiatan pembakaran sampah di sekitar loaksi. Sehingga, api pun memicu ledakan pada detonator yang telah ditimbun di dalam tanah.

    “Jadi ada tukang cleaning service yang bakar sampah di bak sampah Kejari Parepare, lalu bak sampah itu kebetulan jadi tempat lokasi pemusnahan barbuk (barang bukti) bom ikan. Jadi pas bakar sampah, rupanya kena itu barbuk,” kata Mukri. 

  • Poros Perlawanan Digebuk Israel, Iran: Suriah Bukan Kejutan, Milisi Bakal Ada di Seluruh Kawasan – Halaman all

    Poros Perlawanan Digebuk Israel, Iran: Suriah Bukan Kejutan, Milisi Bakal Ada di Seluruh Kawasan – Halaman all

    Poros Perlawanan Digebuk Israel, Iran: Gejolak Suriah Bukan Kejutan, Milisi Bakal Ada di Seluruh Kawasan

     

    TRIBUNNEWS.COM – Iran rupanya tidak kaget atas gejolak di Suriah yang menumbangkan satu di antara tokoh sekutu utama mereka di kawasan Asia Timur Tengah, rezim Bashar al-Assad.

    Hal itu diungkapkan Ketua Parlemen Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf yang mengatakan gerakan perlawanan justru akan meluas dan mencakup seluruh Timur Tengah.

    Dia menambahkan, Iran akan terus mendukung perlawanan sebagai strategi terpentingnya dalam menghadapi musuh utama mereka, Israel.

    Bagher Ghalibaf merujuk pada pernyataan Pemimpin Iran, Ayatollah Seyyed Ali Khamenei kemarin, yang menyatakan kekuatan Iran tidak berkurang meski Assad tumbang di Suriah.

    Soal jatuhnya pemerintahan mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad, Ghalibaf mengakui kalau itu akan sedikit mengganggung rantai gerakan perlawanan.

    Namun, mencontohkan Hizbullah, Ghalibaf mengatakan kalau gerakan Perlawanan akan menyesuaikan strategi dan langkah taktis mereka dengan kondisi di lapangan.

    “Tentu saja, jelas bahwa jatuhnya pemerintahan Bashar al-Assad akan mengganggu aktivitas gerakan perlawanan, tetapi kelompok-kelompok perlawanan, khususnya Gerakan Perlawanan Hizbullah di Lebanon, telah menunjukkan bahwa mereka tidak hanya akan beradaptasi dengan kondisi baru, tetapi juga akan bertindak lebih bersemangat dan lebih kuat dari sebelumnya,” kata dia dilansir MNA, Jumat (13/12/2024).

    Suar yang dinyalakan tentara Israel jaruh di area Har Dov di Gunung Hermon, 13 November 2023. (Jalaa MAREY / AFP)

    Tak Kaget Gejolak di Suriah

    Terkait perkembangan terkini di Suriah yang kini berganti rezim dan kekuasaan, Ghalibaf menegaskan kalau perkembangan tersebut tidak dapat dielakkan dan bukan sesuatu yang mengejutkan.

    Iran, kata dia, telah memperingatkan pemerintah Suriah di bawah rezim Assad.

    Iran juga telah menilai rencana intervensionis yang disusun terhadap negara Arab tersebut, kata Ghalibaf.

    “Jika peringatan ini ditanggapi dengan serius pada waktu yang tepat dan jalur dialog dengan rakyat serta pencapaian persatuan nasional telah ditempuh, saat ini bangsa Suriah tidak akan berada di ambang kekacauan internal, konflik sektarian dan kerusakan aset nasional, dan akibatnya, (Suriah) tidak akan menyaksikan agresi berulang-ulang dari rezim Zionis (Israel) dan penghancuran infrastrukturnya,” tambah juru bicara parlemen tersebut.

    Ghalibaf menekankan, Iran akan terus mendukung gerakan-gerakan perlawanan yang tersebar di kawasan dalam aksi melawan Israel.

    “Kami dengan tegas menyatakan bahwa dengan keyakinan yang lebih besar, kami akan terus mendukung perlawanan sebagai strategi yang paling penting dan utama untuk menjamin keamanan negara,” kata Ghalibaf.

    Dia kemudian menekankan seruan dari Khamenei kalau “Gerakan perlawanan akan meluas dan meliputi seluruh kawasan dan (ada di) semua pemerintah yang bersekutu dengan rezim Zionis (Israel).”

    Serangan skala besar Israel ke wilayah Suriah di masa transisi kekuasaan pasca-tergulingnya Rezim Bashar al-Assad. (MNA/screenshot)

    Netanyahu Klaim Israel Gebuk Poros Perlawanan yag Dipimpin Iran

    Dalam konteks pergolakan di Suriah, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengklaim serangan Israel terhadap militan sekutu Iran telah memicu reaksi berantai yang akan mengubah wajah di kawasan Timur Tengah.

    Ia menyebut gerakan Hamas di Jalur Gaza, Hizbullah di Lebanon, dan sejumlah militan di Suriah dan Irak adalah kelompok perlawanan yang didukung oleh Iran.

    Menurutnya, kekacauan di Timur Tengah saat ini adalah reaksi berantai dari serangan Israel terhadap mereka.

    “Peristiwa bersejarah yang kita saksikan hari ini adalah reaksi berantai,” kata Netanyahu dalam pidatonya yang ditujukan kepada rakyat Iran, Kamis (12/12/2024).

    Perdana Menteri Israel mengatakan ini semua diawali ketika Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, yang disusul dengan serangan dari Hizbullah Lebanon, dan sekutu militannya yang berada di Suriah hingga Irak terhadap Israel.

    Netanyahu sesumbar bahwa reaksi Israel dengan menyerang mereka telah memicu reaksi berantai di Timur Tengah.

    “Reaksi berurutan terhadap pemboman Hamas, penghapusan Hizbullah, dan penargetan (mantan Sekretaris Jenderal Hassan) Nasrallah, terhadap serangan yang kami kirimkan ke poros teror yang didirikan oleh rezim Iran,” katanya.

    Ia juga menyoroti runtuhnya kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang berhasil digulingkan oleh aliansi oposisi bersenjata, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), pada 8 Desember 2024.

    Netanyahu menuduh Iran menghabiskan puluhan miliar dolar untuk mendukung Bashar al-Assad dan untuk mendukung Hamas di Jalur Gaza dan Hizbullah di Lebanon.

    Menurutnya, rezim Bashar al-Assad selama ini menyediakan jalur aman bagi Iran untuk memasok senjata ke Hizbullah di Lebanon, sebagai imbalan atas dukungan Iran untuk melawan oposisi Suriah.

    “Yang dilakukan Israel hanyalah mempertahankan negaranya, namun melalui hal tersebut kita membela peradaban dalam menghadapi kebrutalan,” lanjutnya.

    Netanyahu mencoba meyakinkan rakyat Iran bahwa mereka berada di bawah kekuasaan rezim Ali Khamenei yang mengancam kedamaian di kawasan itu.

    “Anda menderita di bawah kekuasaan rezim yang mengejek Anda dan mengancam kami. Akan tiba saatnya hal ini berubah. Akan datang suatu hari ketika Iran akan bebas,” kata Netanyahu.

    “Saya yakin kita akan mencapai masa depan ini bersama-sama lebih cepat dari yang diperkirakan sebagian orang. Saya tahu dan percaya bahwa kita akan mengubah Timur Tengah menjadi mercusuar kemakmuran, kemajuan dan perdamaian,” lanjutnya.

    Dengan jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Iran kehilangan mata rantai utama dalam “poros perlawanan” yang dipimpinnya untuk melawan Israel.

     

    (oln/mna/*)

  • AS Bilang Netanyahu Siap untuk Gencatan Senjata

    AS Bilang Netanyahu Siap untuk Gencatan Senjata

    Jakarta

    Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan mengunjungi Israel dan bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, untuk mendukung upaya yang baru-baru ini dihidupkan kembali demi mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

    Setelah pertemuan itu, Sullivan mengatakan ia “mendapat kesan” bahwa pemimpin Israel itu “siap untuk membuat kesepakatan” yang akan mengamankan berakhirnya permusuhan antara Israel dan Hamas di Gaza. Kesepakatan itu juga akan memastikan pembebasan 100 sandera yang masih ditahan oleh Hamas, setelah diculik masuk ke Jalur Gaza dalam serangan pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan lebih dari 1.200 orang warga sipil Israel.

    “Tujuan saya adalah menempatkan kami pada posisi untuk dapat menyelesaikan kesepakatan itu pada bulan ini,” kata Sullivan dalam konferensi pers di Tel Aviv. Kelompok Hamas dikategorikan sebagai kelompok teror oleh Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa dan beberapa negara lain.

    Serangan balasan Israel kepada Hamas telah menewaskan setidaknya 44.805 orang di Gaza, di mana kebanyakan korban adalah warga sipil, menurut angka dari kementerian kesehatan yang dikelola Hamas, tetapi dianggap dapat dipercaya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kamis (12/12), Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan gencatan senjata sesegera mungkin dan tanpa syarat apa pun.

    Serangan di Gaza terus berlanjut

    Otoritas yang dipimpin Hamas di Gaza mengatakan bahwa serangan udara Israel baru-baru ini telah menewaskan setidaknya 33 orang, termasuk 12 penjaga yang mengamankan truk-truk bantuan.

    Sementara itu, Pasukan Pertahanan Israel IDF mengatakan pihaknya menargetkan militan yang merencanakan pembajakan kendaraan-kendaraan itu.

    Juru bicara UNRWA Louise Wateridge mengatakan kepada wartawan yang mengunjungi Nuseirat di Gaza tengah bahwa kondisi masyarakat di Jalur Gaza “mengerikan dan apokaliptik” atau layaknya hari kiamat.

    Israel juga melakukan serangan ke Lebanon selatan. IDF mengatakan pasukannya telah menargetkan militan Hizbullah yang kehadirannya di daerah itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Lebanon.

    IDF juga serang target-target di Suriah

    Di wilayah lain, Israel terus beroperasi di Suriah setelah jatuhnya rezim Assad.

    Pasukan IDF masih berada di zona penyangga yang diawasi oleh PBB, yang memisahkan pasukan Israel dan Suriah di Dataran Tinggi Golan, dalam langkah yang menurut PBB melanggar perjanjian gencatan senjata 1974.

    Selama kunjungan ke Yordania, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken mengatakan, Israel khawatir terhadap kekosongan kekuasaan yang dapat diisi oleh para ekstremis, tetapi Washington telah berbicara dengan pihak Israel mengenai langkah selanjutnya.

    “Pada saat seperti ini, sangat penting bagi kami untuk memastikan bahwa kami tidak akan memicu konflik tambahan,” kata Blinken.

    Pada Senin (09/12), Israel mengatakan pihaknya telah menyerang “senjata kimia yang tersisa atau misil atau roket jarak jauh, agar tidak jatuh ke tangan para ekstremis.”

    Direktur Jenderal Organisasi Pelarangan Senjata Kimia OPCW, Fernando Arias, mengatakan kelompoknya “mengikuti dengan seksama” laporan-laporan serangan terhadap fasilitas militer.

    “Kami belum tahu apakah serangan ini telah mempengaruhi wilayah yang terkait dengan senjata kimia. Serangan udara semacam itu dapat menimbulkan risiko kontaminasi,” katanya dalam sebuah pidato.

    kp/rs/hp (AFP, AP, Reuters)

    (ita/ita)

  • Beban Idham Azis soal Polisi yang Kerap Langgar Hak Minoritas

    Beban Idham Azis soal Polisi yang Kerap Langgar Hak Minoritas

    JAKARTA – Kepolisian tercatat sebagai salah satu institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas. Tugas berat menanti kepala polisi yang baru, Idham Azis.

    Laporan riset tentang kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute menempatkan kepolisian sebagai aktor dari negara yang paling menonjol dalam keterlibatan terkait diskriminasi kebebasan beragama. Setidaknya, ada 480 pelanggaran yang dilakukan kepolisian dalam 12 tahun terakhir.

    Jadi ironis. Sebab, sebagai penyelenggara negara, polisi harusnya jadi pelindung hak warga negara atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Namun, hal ini tidak berbanding lurus dengan adanya fakta jika polisi jadi salah satu aktor pelanggar aktual yang menonjol selain pemerintah daerah.

    “Pertanyaannya, apakah kepolisian selalu optimal dalam melindungi hak konstitusional setiap warga negara, terutama untuk kelompok minoritas? Saya kira tidak. Sehingga kita berikan kritik serius terhadap kepolisian karena tidak melakukan fungsi optimal mereka,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2019).

    Berkaca dari fakta ini, tugas berat kini dibebankan kepada Idham Azis sebagai kepala kepolisian yang baru. Melindungi hak-hak golongan minoritas untuk beragama sepenuhnya jadi tugas utama Idham Azis. Menurut Halili, tugas ini bukan hal mudah. Berkaca pada kepemimpinan terdahulu, misalnya. Tito Karnavian bahkan dinilai gagal mewujudkan hal ini.

    “Persoalan yang paling bisa kita tagihkan ke Kapolri baru mestinya menunjukkan kepimpinan yang menonjolkan kebhinekaan … Kita harus tetap kritisi kalau fakta di lapangan, begitu banyak minoritas yang menjadi korban kebebasan beragama dan berkeyakinan,” katanya.

    Pembenahan internal kepolisian

    Berkaitan perlindungan terhadap masyarakat minoritas, Setara mendorong Idham Azis membenahi sektor internal Polri. Sebab, beberapa anggota kepolisian telah terpapar pemikiran radikalisme dan hal ini dibuktikan dengan adanya penangkapan terhadap anggota mereka.

    “Mulai dari Brigadir K di Jambi pada tahun 2018 hingga Bripda NOS yang dua kali ditangkap pada 2019. Maka mendesak bagi Kapolri melakukan audit tematik dalam jabatan atas petinggi serta screening ideologi dalam rekrutmen di lingkungan internal,” kata Halili.

    Tak sampai di situ, berdasarkan survei yang mereka lakukan di tahun 2017 yang lalu, ada potensi ancaman yang nyata terhadap Pancasila. Potensi ini terendus dengan adanya upaya mengganti dasar negara Pancasila dengan dasar atau ideologi lain.

    Tercatat, dari 171 sekolah yang mereka survei ada 0,3 persen siswa terpapar ideologi teror; 2,4 persen intoleran aktif; 35,7 persen intoleran pasif dan 61,6 berperilaku toleran. Sedangkan di tahun 2019, dengan mengambil sampel dari sepuluh perguruan tinggi negeri tercatat 8,1 persen mahasiswa ingin berjihad untuk menjadikan keyakinannya sebagai regulasi formal negara.

    “Untuk ASN, kami punya studi kebijakan tahun 2018 yang mengonfirmasi bahwa ASN itu terpapar radikalisme, dalam konteks ini anggota kepolisian juga,” jelasnya.

    Sehingga, berdasar angka tersebut, Halili mengatakan pihak kepolisian harus mengambil peran yang tepat terutama terkait penegakan hukum dan pencegahan ancaman terhadap dasar negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Tentunya, penegakan dan pencegahan ini harus dilakukan secara demokratis dan tidak menggunakan cara kekerasan.

    “Pendekatan demokratis dan non-kekerasan harus dikedepankan dalam menangani ancaman tersebut, sebagaimana pendekatan yang sama juga harus dipilih sebagai prioritas dalam penanganan aksi-aksi damai,” tutupnya.

  • Hancurnya Gaza, Lebanon, Suriah, Netanyahu: Itu Efek Domino dari Serangan Israel ke Sekutu Iran – Halaman all

    Hancurnya Gaza, Lebanon, Suriah, Netanyahu: Itu Efek Domino dari Serangan Israel ke Sekutu Iran – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengklaim serangan Israel terhadap militan sekutu Iran telah memicu reaksi berantai yang akan mengubah wajah di kawasan Timur Tengah.

    Ia menyebut gerakan Hamas di Jalur Gaza, Hizbullah di Lebanon, dan sejumlah militan di Suriah dan Irak adalah kelompok perlawanan yang didukung oleh Iran.

    Menurutnya, kekacauan di Timur Tengah saat ini adalah reaksi berantai dari serangan Israel terhadap mereka.

    “Peristiwa bersejarah yang kita saksikan hari ini adalah reaksi berantai,” kata Netanyahu dalam pidatonya yang ditujukan kepada rakyat Iran, Kamis (12/12/2024).

    Perdana Menteri Israel mengatakan ini semua diawali ketika Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, yang disusul dengan serangan dari Hizbullah Lebanon, dan sekutu militannya yang berada di Suriah hingga Irak terhadap Israel.

    Netanyahu sesumbar bahwa reaksi Israel dengan menyerang mereka telah memicu reaksi berantai di Timur Tengah.

    “Reaksi berurutan terhadap pemboman Hamas, penghapusan Hizbullah, dan penargetan (mantan Sekretaris Jenderal Hassan) Nasrallah, terhadap serangan yang kami kirimkan ke poros teror yang didirikan oleh rezim Iran,” katanya.

    Ia juga menyoroti runtuhnya kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang berhasil digulingkan oleh aliansi oposisi bersenjata, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), pada 8 Desember 2024.

    Netanyahu menuduh Iran menghabiskan puluhan miliar dolar untuk mendukung Bashar al-Assad dan untuk mendukung Hamas di Jalur Gaza dan Hizbullah di Lebanon.

    Menurutnya, rezim Bashar al-Assad selama ini menyediakan jalur aman bagi Iran untuk memasok senjata ke Hizbullah di Lebanon, sebagai imbalan atas dukungan Iran untuk melawan oposisi Suriah.

    “Yang dilakukan Israel hanyalah mempertahankan negaranya, namun melalui hal tersebut kita membela peradaban dalam menghadapi kebrutalan,” lanjutnya.

    Netanyahu mencoba meyakinkan rakyat Iran bahwa mereka berada di bawah kekuasaan rezim Ali Khamenei yang mengancam kedamaian di kawasan itu.

    “Anda menderita di bawah kekuasaan rezim yang mengejek Anda dan mengancam kami. Akan tiba saatnya hal ini berubah. Akan datang suatu hari ketika Iran akan bebas,” kata Netanyahu.

    “Saya yakin kita akan mencapai masa depan ini bersama-sama lebih cepat dari yang diperkirakan sebagian orang. Saya tahu dan percaya bahwa kita akan mengubah Timur Tengah menjadi mercusuar kemakmuran, kemajuan dan perdamaian,” lanjutnya.

    Dengan jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Iran kehilangan mata rantai utama dalam “poros perlawanan” yang dipimpinnya untuk melawan Israel.

    Jumlah Korban di Jalur Gaza

    Israel yang didukung Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa masih melancarkan agresinya di Jalur Gaza.

    Jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 44.835 jiwa dan 106.356 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Kamis (12/12/2024) menurut Kementerian Kesehatan Gaza, dan 1.147 kematian di wilayah Israel, dikutip dari Anadolu Agency.

    Sebelumnya, Israel mulai menyerang Jalur Gaza setelah gerakan perlawanan Palestina, Hamas, meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023), untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak pendirian Israel di Palestina pada tahun 1948.

    Israel mengklaim, ada 101 sandera yang hidup atau tewas dan masih ditahan Hamas di Jalur Gaza, setelah pertukaran 105 sandera dengan 240 sandera Palestina pada akhir November 2023.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel

  • Spoiler When The Phone Rings Berdasarkan Web Novel, Benarkah Sae On Asli yang Menculik Hee Joo?

    Spoiler When The Phone Rings Berdasarkan Web Novel, Benarkah Sae On Asli yang Menculik Hee Joo?

    JABAR EKSPRES – Drakor When The Phone Rings yang kini sedang viral di Indonesia, memunculkan banyak teori dan spoiler di media sosial.

    Merangkum banyak teori yang disuguhkan netizen di media sosial, termasuk bocoran kisahnya di web Novel dengan judul The Number You Have Dialed, berikut spoiler yang akan terjadi di Drakor When The Phone Rings episode 5 dan 6 yang akan tayang hari ini.

    Di episode sebelumnya di ketahui bahwa Hong Hee Joo (Chae Soo Bin) diculik oleh seseorang yang tak dikenalnya, yang kemudian meneror Baek Sae On (Yoo Yeon Seok).

    Diduga pelaku penculikan tersebut adalah Baek Sae On yang Asli, karena ternyata Baek Sae On suami Hee Joo adalah yang palsu.

    Baca juga : Apakah Hari Ini Drakor When The Phone Rings Bakal Tayang?

    Penculik yang menggunakan masker hitam ini adalah cucu kandung dari Baek Jang Ho yang akan mencalonkan diri sebagai presiden, karena Baek Sae On asli memiliki karakter keras dan terlibat pembunuhan, makanya oleh sang kakek, dia disingkirkan dengan cara ditenggelamkan ke sungai agar tidak menggangu reputasinya.

    Lalu Baek Sae On digantikan dengan anak diluar nikah yang sekarang menjadi jubir Kepresidenan.

    Namun ternyata ayah kandung Baek Sae On yang Asli menyelamatkannya dan menyembunyikannya hingga kini.

    Masalah ini ternyata juga terkait dengan Hong Ina Kakak Hee Joo. Hong Ina yang sudah memperhatikan Baek Sae On sejak kecil menyadari bahwa Baek Sae On bukanlah yang asli.

    Hal ini membuatnya terlibat kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawa saudara tiri Hee Joo. Kasus inilah yang membuat ibu Hee Joo memutuskan untuk menyuruh Hee Joo berpura-pura tak bisa bicara agar aman.

    Baca juga : Jam Berapa When The Phone Rings Episode 5 Tayang Hari ini?, Benarkah Rahasia Hee Joo Akan Terbongkar

    Kini, kemunculan Baek Sae On yang asli telah membuat kekacauan dengan melakukan serangkaian teror, mulai dari menculik Hee Joo, melakukan peledakan dan juga pembakaran kantor Baek Sae On termasuk juga menyerang Ayah Hee Joo di Panti Jompo hingga membuat Hee Joo ketakutan.

  • Sempat Viral, Film Sebelum 7 Hari DirIlis ke Layar Lebar

    Sempat Viral, Film Sebelum 7 Hari DirIlis ke Layar Lebar

    Jakarta, Beritasatu.com –  Setelah sempat viral di YouTube lewat sebuah film pendek pada 2021, yang menggambarkan kejadian tujuh hari setelah seseorang meninggal, kisah tersebut kini diadaptasi menjadi film panjang berjudul Sebelum 7 Hari.

    Hal tersebut disampaikan oleh Eksekutif Produser MD Pictures, Manoj Punjabi, saat peluncuran trailer dan poster film Sebelum 7 Hari di MD Place Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (12/12/2024).

    “Film ini awalnya viral di YouTube sebagai film pendek berdurasi 12 menit. Ketika ditonton, kisahnya cukup menarik, menggambarkan apa yang terjadi pada seseorang dalam tujuh hari setelah kematiannya, dengan genre horor sebagai latar belakangnya,” kata Manoj.

    Meski memiliki judul yang mirip dengan film Vina: Sebelum 7 Hari, tetapi cerita yang diangkat dalam film ini sangat berbeda.

    Manoj mengatakan, pihaknya tidak hanya fokus pada satu orang saja, tetapi lebih luas menceritakan apa yang terjadi selama tujuh hari setelah kematian seseorang,

    “Dengan fokus pada arwah yang masih ada di rumah,” tambahnya.

    Sutradara Awi Suryadi menjelaskan, film Sebelum 7 Hari ini cukup unik dan menyampaikan pesan moral tentang keluarga dan menceritakan pengalaman seseorang yang meninggal, tetapi belum sepenuhnya meninggalkan dunia.

    “Anak-anak menganggap film ini menakutkan, padahal sebenarnya tidak. Nenek yang sudah meninggal itu hanya ingin menunjukkan rasa rindunya kepada keluarga karena sudah lama tidak pulang. Ketika kami mengubahnya menjadi film panjang, kami menambahkan backstory, menjelaskan kenapa nenek ini meninggal dalam keadaan yang tidak normal,” tutur Awi.

    Fanny Ghassani, yang memerankan tokoh Anggun sebagai arwah dan menghantui keluarganya, mengaku bahwa film Sebelum 7 Hari ini memberinya tantangan besar. Ia harus berakting di lokasi yang tak biasa, yakni sebuah gua di Jawa Barat.

    “Syutingnya sangat menantang secara fisik, karena saya harus masuk ke air dari jam 8 malam sampai jam 6 pagi, berada di gua yang dingin untuk mendapatkan suasana yang natural. Yang lebih menantang lagi, ini adalah film pertama saya setelah hampir 12 tahun vakum dari dunia perfilman. Pokoknya seru sekali,” ujar Fanny Ghassani.

    Film Sebelum 7 Hari mengisahkan teror yang dialami sebuah keluarga kecil yang tengah mudik ke kampung halaman setelah nenek mereka, Anggun, meninggal dalam keadaan yang tidak wajar. 

    Sebelum jenazahnya dimakamkan pada Kamis Kliwon, seorang dukun memberikan saran agar penguburan dilakukan pada hari tersebut. Menjelang penguburan, teror mulai mengancam keluarga yang terdiri dari Tari, Kadar, dan dua anak mereka, Bian dan Hanif.

    Film Sebelum 7 Hari dibintangi oleh Fanny Ghassani, Agla Artalidia, Haydar Salishz, Anantya Rezky Kirana, dan Sulthan Hamonangan. Film ini dijadwalkan tayang di bioskop Indonesia pada 23 Januari 2025 mendatang.

  • Bagaimana Uni Eropa Sikapi Kekuasaan HTS di Suriah?

    Bagaimana Uni Eropa Sikapi Kekuasaan HTS di Suriah?

    Jakarta

    Sebagaimana yang lain dunia, Uni Eropa dikejutkan oleh betapa cepatnya pemberontak Suriah menumbangkan rejim Bashar Assad di Damaskus. Keberhasilan kolaborasi pimpinan Hay’at Tahrir al-Sham, HTS, itu tidak menyisakan banyak waktu untuk bersiasat atau menyiapkan respons.

    Brussels menyambut ambruknya kediktaturan Assad, namun bersikap hati-hati dalam menyikapi kekuasaan pemimpin HTS, Abu Muhammad al-Julani, alias Ahmad al-Sharaa. Betapapun, organisasi Islam nasionalis itu dilahirkan dari ISIS dan sempat dibesarkan al-Qaeda, dua kelompok teror di Suriah dan Irak.

    Seorang juru bicara UE mengaku pihaknya tidak menjalin komunikasi dengan penguasa baru Suriah, HTS hingga kini masih menghuni daftar organisasi teroris Perserikatan Bangsa-bangsa dan negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat.

    UE berdiplomasi dengan bekas kelompok teror?

    Keraguan yang menaungi pemerintahan baru Suriah bersumber pada latar belakang al-Julani.

    Dia bergabung dengan al Qaeda untuk melawan invasi AS di Irak dan sempat dikurung di penjara Bucca. Di sana, dia dikabarkan menghabiskan waktu dengan anggota berbagai kelompok jihad dan bertemu dengan gembong Islamic State, ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi.

    Dalam wawancara dengan televisi AS PBS, dia mengakui beberapa tahun yang lalu bahwa sekembalinya ke tanah air, dia memperoleh dukungan finansial dari Islamic State untuk membentuk laskar bersenjata bernama Front al-Nusra.

    Namun loyalitasnya punah ketika al-Baghdadi memaksakan agar laskah al-Julani dilebur ke dalam organisasi baru, Islamic State di Irak dan Suriah, ISIS, lapor media Inggris BBC. Al-Julani menolak dan membelot ke al-Qaeda.

    Meski sudah menguasai Suriah, al-Julani belum melepaskan status buron internasional. Pemerintah AS menawarkan hadiah sebesar USD10 juta untuk informasi yang dapat mengarah pada penangkapannya.

    Beberapa analis meyakini, Barat harus mencabut label teroris terhadap al-Julani dan HTS, meski dengan beberapa syarat.

    “Pencabutan status sebagai individu atau organisasi teroris menuntut proses yang rumit dan sulit,” tulis Charles Lister, direktur program Suriah di Middle East Institute, di X.

    “Menurut pemahaman saya, sejumlah kondisi berurutan akan diajukan agar HTS dapat memenuhinya, yang melibatkan reformasi militer, politik dan administrasi, serta langkah-langkah menuju akuntabilitas atas kejahatan yang terdokumentasi sebelumnya.”

    Dugaan kejahatan HAM

    Sudah sejak Februari tahun ini warga sipil di Idlib, yang dikuasai HTS, mengadukan praktik “penyiksaan dan kematian dalam tahanan,” menurut laporan PBB yang dikeluarkan pada bulan September.

    Laporan oleh Amerika Serikat tentang hak asasi manusia di Suriah pada tahun 2022 mencatat, kelompok bersenjata seperti “HTS melakukan berbagai pelanggaran, termasuk pembunuhan dan penculikan, penahanan ilegal, kekerasan fisik, kematian warga sipil, dan perekrutan tentara anak-anak.”

    Laporan itu juga menuduh beberapa kelompok pemberontak Suriah lainnya atas tindakan yang sama. Organisasi HAM Human Rights Watch melaporkan, pada tahun 2019 setidaknya enam mantan tahanan disiksa saat berada dalam tahanan HTS.

    Namun al-Julani membantah terlibat, dan baru-baru ini mengatakan kepada CNN bahwa pelanggaran “tidak dilakukan atas perintah atau arahan kami” dan bahwa mereka yang bertanggung jawab telah diseret ke pengadilan.

    Pemerintahan yang inklusif demi pengakuan Barat

    Namun, Uni Eropa menyimpan banyak keraguan. Blok yang beranggotakan 27 negara itu khawatir tentang keselamatan minoritas, hak-hak perempuan, dan representasi yang setara bagi berbagai kelompok oposisi.

    “Kami menyerukan transisi politik yang tenang dan inklusif serta perlindungan bagi semua warga Suriah, termasuk semua kaum minoritas,” tulis Kaja Kallas, diplomat utama Uni Eropa, di X, sesaat setelah HTS mengambil alih Damaskus.

    Sejauh ini, HTS telah menjanjikan keselamatan bagi kaum minoritas agama, mendeklarasikan amnesti bagi semua tentara Suriah, memutuskan untuk bekerja sama dengan perdana menteri Suriah saat ini untuk membentuk pemerintahan transisi, dan mengatakan bahwa perempuan tidak akan diberi kewajiban cara berpakaian.

    Beberapa pihak menyarankan, Uni Eropa harus memanfaatkan peluang ini dan secara aktif terlibat dalam melobi penguasa baru, demi kepentingan warga Suriah dan juga kepentingan Uni Eropa sendiri.

    UE harus ‘memberikan insentif untuk aksi positif’

    Lebih dari satu juta warga Suriah melakukan eksodus ke UE pada puncak perang saudara yang berkecamuk selama hampir 14 tahun. Hingga kini, pengungsi Suriah merupakan komunitas pencari suaka terbesar di Eropa.

    Usai tergulingnya Bashar al-Assad, sejumlah kelompok konservatif mulai menyerukan pemulangan atau deportasi warga Suriah. Beberapa negara anggota UE, termasuk Jerman, menghentikan pemrosesan permohonan suaka yang diajukan kurang dari 48 jam setelah Assad melarikan diri dari Damaskus.

    Julien Barnes-Dacey, direktur program Timur Tengah & Afrika Utara di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, mengatakan kepada DW bahwa UE harus menyalurkan perhatian dan sumber daya politik yang signifikan untuk pembentukan pemerintahan yang inklusif di Suriah.

    “UE harus “bekerja dengan cepat dan serius untuk memberikan insentif pada kebijakan positif,” terutama setelah HTS mengisyaratkan kelunakan ideologi”, ujar Barnes-Dacey.

    “Ini adalah satu-satunya jalan yang layak untuk mengamankan kepentingan Eropa, baik itu stabilitas regional dan mencegah konflik dan terorisme baru, dan memungkinkan jutaan warga Suriah untuk akhirnya kembali ke rumah, atau secara permanen melemahkan pengaruh regional yang bermusuhan dari kekuatan eksternal seperti Rusia,” katanya kepada DW dalam tanggapan tertulis.

    Ketika sebagian pakar mempercayai keseriusan HTS menjamin pemerintahan inklusif, yang lain lebih skeptis dan menduga klaim pluralis hanya sebagai kampanye pencitraan.

    “HTS sedang mencoba untuk menunjukkan wajah yang ramah saat ini, untuk mendapatkan dukungan maksimal bagi proyek mereka untuk membangun rezim baru dan untuk meminimalkan gesekan dengan negara-negara Barat dan Arab. Itu tidak selalu menjadi kenyataan,” Aron Lund, seorang peneliti di Century Foundation, mengatakan kepada DW.

    “Ketika terancam, kelompok-kelompok seperti ini hampir selalu akan kembali ke basis asli dan paling solid mereka, yang dalam kasus HTS adalah inti jihadnya yang keras,” tambahnya.

    Uni Eropa menyadari risiko tersebut, dan untuk saat ini tetap berhati-hati dalam menyikapi transisi kekuasaan di Damaskus. Kebijakan UE akan bergantung pada bagaimana HTS bertindak di masa depan.

    “Seiring dengan semakin besarnya tanggung jawab HTS, kita perlu menilai bukan hanya kata-kata, tetapi juga tindakan mereka,” kata juru bicara Uni Eropa Anouar El Anouni.

    Diadaptasi dari naskah DW berbahasa Inggris

    (ita/ita)