Kasus: teror

  • 5 Fakta Polda Metro Bongkar Rencana Aksi Rusuh dan Sita Bom Molotov

    5 Fakta Polda Metro Bongkar Rencana Aksi Rusuh dan Sita Bom Molotov

    Jakarta

    Polda Metro Jaya menangkap 3 pria yang diduga penghasut rencana aksi rusuh di Jakarta. Dari tangan pelaku, polisi menyita bom molotov.

    Pelaku berinisial BDM, TSF, dan YM. Pelaku diduga merencanakan aksi kerusuhan pada Desember ini di Jakarta. Berikut fakta-faktanya:

    3 Pelaku Rencanakan Aksi Rusuh di Jakarta

    Kasus ini terungkap berdasarkan patroli Direktorat Siber Polda Metro Jaya lalu ditindaklanjuti oleh Satgas Penegakan Hukum. Para tersangka diduga merencanakan dan mengajak untuk melakukan kerusuhan pada aksi unjuk rasa yang akan digelar di Jakarta pada bulan ini.

    “Pengancaman melalui media sosial, merencanakan aksi kerusuhan di wilayah DKI serta pembuatan bom molotov,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi Hermanto dalam konferensi pers, Senin (8/12/2025).

    “Polda Metro Jaya hadir dalam upaya penegakan hukum menjaga keteraturan sosial sehingga tindakan ini dilakukan gunanya untuk menciptakan rasa aman dan tertib di Polda Metro Jaya,” tuturnya.

    Pelaku Siapkan Bom Molotov

    Wadir Siber Polda Metro Jaya AKBP Fian Yunus menambahkan, para tersangka ditangkap di tiga wilayah, yakni di Jakarta Pusat, Bekasi, dan Bandung. Polisi juga menyita barang bukti, termasuk bom molotov yang akan digunakan saat kerusuhan.

    “Rencana untuk membuat rusuh, ada beberapa molotov yang disiapkan untuk tujuan tersebut,” kata AKBP Fian.

    Polisi menyita enam bom molotov yang diduga hendak digunakan saat kerusuhan. Selain molotov, polisi menyita ponsel milik para tersangka yang digunakan untuk melakukan penghasutan hingga masker gas respirator.

    Peran 3 Pelaku

    Kasubdit III AKBP Rafles Langgak Putra Marpaung menjelaskan kasus terungkap setelah penyidik Ditressiber melakukan patroli siber. Saat itu didapati unggahan teror di Instagram @bahanpeledak dengan latar belakang foto Wisma DPR.

    “Menampilkan kalimat pengancaman dengan kalimat ‘kita adalah bayang-bayang yang kalian takuti dan kita adalah teror’. Kemudian story berikutnya adalah, ‘Wisma lo udah gue teror kali aja kantor lo mau gue teror juga’,” kata Rafles.

    Polisi lalu melakukan pengembangan dan menangkap admin akun tersebut berinisial BDM di Kemayoran, Jakarta Pusat pada Sabtu (7/12) dini hari. Polisi juga menyita bom molotov dari pelaku.

    “Dari hasil pemeriksaan terhadap saudara BDM dan berdasarkan bukti-bukti yang ada yaitu 6 botol yang dirakit untuk menjadi bom molotov dan chatting-an di platform session,” tuturnya.

    Polisi melakukan pengembangan dan mengamankan TSF di hari yang sama di Pondok Melati, Kota Bekasi. Berdasarkan penyelidikan, BDM mengaku membuat molotov atas pesanan TSF. Polisi menyita masker gas respirator hingga ponsel dari TSF.

    “Jadi pelaku menggunakan platform session bahwa saudara BDM membuat bom Molotov atas permintaan dari saudara TSF. Saya ulangi, saudara TSF yang sebelumnya melakukan pertemuan di kegiatan pasar gratis di Bilangan Benhil sekitar bulan September 2025,” tuturnya.

    Kasubdit IV Ditres Siber Polda Metro Jaya AKBP Herman Edco Wijaya Simbolon menambahkan, tersangka YM ditangkap di Bandung, Jawa Barat (Jabar). Dia ditangkap setelah mengunggah postingan yang berisikan bahan peledak untuk aksi rusuh nantinya.

    “Pada saat dilakukan penangkapan di TKP di Bandung, kita menemukan juga beberapa alat, yaitu berupa bom molotov yang sudah disiapkan untuk melakukan aksi rusuh, dan didukung beberapa data dokumen elektronik dari handphone dan akun media sosial yang dikuasai oleh pelaku,” tuturnya.

    Jaringan Penghasut Aksi Rusuh di Jakarta Bakal Diusut

    Polda Metro Jaya masih melakukan pengembangan terhadap upaya penghasutan aksi unjuk rasa rusuh ini. Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menegaskan untuk mengusut jaringan lain yang terlibat.

    “Kami tegaskan di sini bahwa sesuai dengan arahan bapak Kapolda Metro Jaya, kami akan terus melakukan pengembangan terjadap jaringan kelompok rusuh ini,” kata Wadir Siber Polda Metro Jaya AKBP Fian Yunus.

    Berdasarkan penyelidikan sementara, motif ketiga pelaku yakni BDM, TSF dan YM hanya untuk membuat aksi unjuk rasa berlangsung rusuh. Polda Metro, kata Fian, masih melakukan pengembangan termasuk pelaku lain yang terlibat.

    “Berdasarkan bukti elektronik yang ada motifnya mereka hanya membuat rusuh, kemudian apakah satu jaringan itu masih kita dalami. Kemudian kelompok atas atas apakah sudah teridentifikasi? itu sedang kami dalami juga,” kata dia.

    “Sampai dengan saat ini kami sedang mendalami bukti bukti yang ada, yang sudah kami kumpulkan berdasarkan hasil penangkapan, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan penyidik di TKP,” imbuhnya.

    Saat ini ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka dijerat dengan Pasal 45 ayat 8 Jo Pasal 27 B ayat (1) dan atau Pasal 45B Jo Pasal 29 Undang-Undang ITE dan/atau Pasal 335 KUHP dan/atau Pasal 336 KUHP.

    Polda Metro Ungkap Penangkapan Langkah Mitigasi

    Polda Metro menegaskan penangkapan dilakukan sebagai upaya mitigasi. Langkah ini, kata polisi, adalah upaya metigasi.

    “Pengungkapan ini untuk dilakukan dalam hal penegakan hukum menjaga DKI Jakarta tetap aman tertib dan kondusif. Dari unggahan medsos ajakan provokasi untuk melakukan aksi kerusuhan di wilayah DKI Jakarta sehingga dilakukan upaya mitigasi,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budi.

    Budi mengatakan para pelaku juga menyiapkan bom molotov untuk aksi rusuh. Hal itu, kata Budi, dapat membahayakan pelaksanaan aksi nantinya.

    Wadir Siber Polda Metro Jaya AKBP Fian Yunus menambahkan, penindakan ini semata-mata untuk memastikan keamanan. Dia menegaskan tidak ada pembungkaman masyarakat yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum.

    “Polda Metro Jaya tidak pernah membungkam aksi demokrasi dalam bentuk penyampaian pendapat di muka umum. Pelayanan Polda Metro Jaya dalam penyampaian pendapat masyarakat tersebut adalah salah satu bentuknya, yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang melaksanakan demo, agar terhindar dari aksi-aksi anarkis yang memanfaatkan situasi demo yang damai dan membuat menjadi situasi demo yang rusuh,” jelasnya.

    Halaman 2 dari 3

    (lir/lir)

  • Tiga Orang Ditangkap Polisi, Berencana Demo Rusuh 10 Desember
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Desember 2025

    Tiga Orang Ditangkap Polisi, Berencana Demo Rusuh 10 Desember Megapolitan 8 Desember 2025

    Tiga Orang Ditangkap Polisi, Berencana Demo Rusuh 10 Desember
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Tiga pria ditangkap polisi karena diduga merencanakan kerusuhan demo di Jakarta pada Rabu (10/12/2025) mendatang.
    “Mengungkapkan kepada publik kasus tindak pidana pengancaman melalui media sosial merencanakan aksi kerusuhan di wilayah DKI serta pembuatan
    bom molotov
    ,” kata Kabid Humas
    Polda Metro Jaya
    , Kombes Budi Hermanto dalam konferensi pers, Senin (8/12/2025).
    Pengungkapan ini bermula dari patroli siber di media sosial, dan ditemukan akun Instagram @_bahanpeledak_ yang menyampaikan ancaman teror kepada anggota DPR.
    Unggahan itu menunjukkan latar gedung Wisma DPR dengan tulisan, ‘Wisma lo udah gue teror kali aja kantor lo mau gue teror’, Jumat (5/12/2025).
    Pemilik akun, BDM (20), disebut menerima pesanan pembuatan bom molotov oleh pelaku lainnya, TSF (22) sebagai pemegang akun @verdatius yang merencanakan aksi.
    Bom molotov buatan BDM disimpan oleh pelaku lainnya, YM (23) yang dalam unggahannya di akun @catsrebel yang menunjukkan senjata itu dengan tambahan teks seolah sedang bersiap-siap.
    Ketiganya ditangkap di tiga tempat berbeda. BDM ditangkap di Kemayoran, Jakarta Pusat.
    Kemudian TSF di Bekasi, Jawa Barat, sementara YM di Bandung, Jawa Barat.
    Mereka diketahui membicarakan rencana kerusuhan ini melalui aplikasi obrolan bernama Session.
    “Jadi pelaku menggunakan platform Session bahwa saudara BDM membuat bom molotov atas permintaan dari saudara TSF setelah mereka bertemu di kegiatan Pasar Gratis di Benhil sekitar bulan September,” jelas Kasubdit 3 Ditres Siber Polda Metro Jaya AKBP Rafles Langgak dalam kesempatan yang sama.
    Setidaknya ada 6 bom molotov yang belum sempurna yang akan didistribusikan BDM kepada TSF.
    Namun, saat diperiksa, TSF membantah telah memesan bom kepada BDM.
    “Yang bersangkutan tidak mengakui pemesanan bom molotov kepada saudara BDM alias akun bahanpeledak,” kata Rafles.
    Selain ketiga akun tersebut, polisi masih menyelidiki akun-akun lainnya yang diduga mempersiapkan kerusuhan dalam
    unjuk rasa
    .
    “Salah satunya adalah dengan memposting pembuatan bom pipa, merencanakan penyerangan ke kantor polisi, dan menjebak polisi ke tempat yang sudah dipersiapkan,” ujar Rafles.
    Dalam penangkapan ketiganya, diamankan dua ponsel, satu unit laptop, masker gas respirator, pakaian, dan 6 bom molotov.
    Atas perbuatan ketiganya, mereka disangkakan Pasal 45 ayat 8 jo Pasal 27 B ayat (1) dan atau Pasal 45B jo Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 335 KUHP tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang, dan Pasal 336 KUHP tentang pengancaman.
    Ketiganya terancam kurungan pidana penjara paling lama enam tahun dengan denda paling banyak Rp 1 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • AJI Kediri Kecam Intimidasi terhadap Jurnalis Saat Liput SPPG Kasus Keracunan Massal di Ngawi

    AJI Kediri Kecam Intimidasi terhadap Jurnalis Saat Liput SPPG Kasus Keracunan Massal di Ngawi

    Ngawi (beritajatim.com) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri mengecam keras tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan terhadap sejumlah jurnalis yang tengah meliput kasus dugaan keracunan massal di Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi.

    Insiden tersebut terjadi pada Kamis (4/12/2025) dan menyasar jurnalis dari berbagai media yang melakukan peliputan terkait puluhan santri dan siswa yang diduga keracunan usai mengonsumsi Makanan Bergizi Gratis (MBG) .

    Dalam dokumen pernyataan sikap yang diterima redaksi, AJI Kediri menjelaskan bahwa para jurnalis mengalami hambatan serius saat menjalankan tugas peliputan.

    Jurnalis sempat dihadang ketika hendak meliput di RSUD Mantingan dan baru diperbolehkan masuk setelah melalui proses koordinasi yang berbelit dengan pejabat dinas kesehatan .

    Tindakan ini dinilai melanggar Undang-Undang Pers, khususnya Pasal 8 yang menjamin perlindungan hukum bagi wartawan ketika menjalankan profesinya.

    Situasi semakin memanas ketika para jurnalis mendatangi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Bintang Mantingan untuk meliput proses pengambilan sampel.

    Seorang petugas SPPG melakukan pengusiran paksa dan tindakan intimidatif berupa dorongan, upaya mengejar dengan menjebol gerbang PVC, hingga mengangkat batu paving untuk dilempar ke arah jurnalis.

    Peristiwa ini menyebabkan liputan gagal dilakukan dan dinilai sebagai bentuk teror terhadap kebebasan pers. Salah satu jurnalis yang menjadi korban, Asep Saeful, tercatat sebagai anggota AJI Kediri .

    Menanggapi insiden itu, AJI Kediri menyatakan sikap tegas. “MENGUTUK segala bentuk intimidasi, ancaman, dan penghalangan terhadap kerja-kerja jurnalistik,” tulis Ketua AJI Kediri, Agung Kridaning Jatmiko dalam pernyataan sikap, Minggu (7/12/2025)

    Mereka menegaskan bahwa tindakan petugas SPPG Bintang merupakan pelanggaran terhadap UU No. 40/1999 tentang Pers, termasuk Pasal 18 ayat (1) yang mengatur ancaman pidana hingga dua tahun atau denda Rp500 juta bagi pihak yang menghambat kerja wartawan .

    AJI Kediri juga mendesak Polres Ngawi untuk mengusut tuntas laporan para jurnalis, memberikan perlindungan hukum maksimal, serta memastikan tidak ada lagi ancaman terhadap kebebasan pers. Selain itu, Bupati Ngawi dan Badan Gizi Nasional (BGN) diminta memberi sanksi kepada penyelenggara MBG yang tidak transparan dalam memberi akses informasi kepada publik.

    AJI menegaskan bahwa informasi terkait program tersebut bersifat publik, terlebih peristiwa keracunan massal ini melibatkan 220 korban sehingga tidak boleh ada upaya menutup-nutupi informasi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat .

    Dalam pernyataan penutup, AJI Kediri menegaskan bahwa kebebasan pers merupakan pondasi penting dalam negara demokrasi. “Membungkam pers sama dengan menyembunyikan kebenaran dari rakyat,” tegas mereka dalam dokumen resmi pernyataan sikap tersebut. [fiq/suf]

  • Israel Bunuh Ratusan Buaya, Khawatir Dipakai Serangan Teror

    Israel Bunuh Ratusan Buaya, Khawatir Dipakai Serangan Teror

    Tepi Barat

    Otoritas Israel dilaporkan membunuh ratusan buaya di sebuah peternakan di Lembah Yordan, yang terletak dekat permukiman Yahudi di Tepi Barat. Israel menyebut alasan pemusnahan itu demi mencegah reptil tersebut digunakan dalam potensi serangan sabotase di wilayah Tepi Barat.

    Hal itu, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (5/12/2025), dilaporkan oleh media lokal Israel, Ynet News, dalam artikelnya pada Kamis (4/12) waktu setempat, yang mengutip laporan Administrasi Sipil dan Otoritas Alam dan Taman Israel.

    Menurut laporan tersebut, “para pelaku jahat” kemungkinan telah menerobos perimeter peternakan buaya Petza’el yang memiliki pengamanan buruk, dan melepaskan hewan-hewan tersebut ke masyarakat sekitarnya.

    Para pejabat setempat, yang tidak disebut identitasnya, mengatakan kepada Ynet News bahwa iklim keamanan yang lebih luas menimbulkan kekhawatiran jika reptil-reptil tersebut mungkin sengaja dilepaskan sebagai bagian dari sebuah serangan.

    Pemusnahan massal terhadap ratusan buaya di peternakan Petza’el di Lembah Yordan itu terjadi pada Agustus lalu.

    Namun, menurut laporan Ynet News, badan-badan Israel menegaskan tidak akan membuka penyelidikan atas pemusnahan massal itu, dengan alasan bahwa pemusnahan buaya itu dilakukan secara sah menurut hukum dan di bawah izin berburu yang valid.

    Mereka menambahkan bahwa kondisi yang memburuk di peternakan buaya tersebut juga menimbulkan risiko langsung terhadap keselamatan publik, dengan menyebutkan insiden buaya nyaris lepas yang berulang dalam beberapa tahun terakhir dan meningkatnya insiden orang asing masuk properti itu secara ilegal.

    Kelompok-kelompok pembela hak hewan, termasuk Let the Animals Live dan Animals Now, mengatakan kepada media lokal Israel bahwa pihaknya mengutuk operasi pemusnahan massal tersebut.

    Mereka juga menuntut transparansi yang lebih besar, dengan mengatakan otoritas Israel mengandalkan informasi yang ditahan-tahan sebagai respons atas kebebasan informasi yang diajukan empat bulan lalu mengenai hal ini.

    Dalam pernyataannya, kelompok pembela hak hewan mempertanyakan apakah pemusnahan seluruh populasi buaya sungguh diperlukan, mengingat banyak buaya yang dilaporkan dalam kondisi sehat.

    Otoritas Israel menggambarkan keputusan itu sebagai tindakan ekstrem yang hanya dilakukan sekali saja untuk mencegah ancaman keamanan dan penderitaan hewan lebih lanjut.

    Tonton juga Video: Viral Kereta di Belgia Dicoreti Grafiti ‘Israel Negara Teroris’

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        5 Desember 2025

    Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang Megapolitan 5 Desember 2025

    Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Siska (bukan nama sebenarnya) tak pernah membayangkan utang Rp 1.000.000 yang dimiliknya bisa menjadi mimpi buruk yang panjang.
    Sebagai orangtua tunggal, setiap rupiah selalu ia hitung dengan cermat. Namun ketika listrik hampir diputus, kontrakan menunggak dua bulan, dan beras di rumah sudah habis, pilihan untuk mengutang terasa seperti satu-satunya jalan keluar.
    Uang Rp 1.000.000 yang ia pinjam dari aplikasi pinjaman
    online
    (
    pinjol
    ) adalah pinjaman pertamanya. Meski jumlahnya tidak besar, beban yang harus ia tanggung justru terasa seperti gunung.
    Padahal, ia selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan yang seadanya dan kebutuhan rumah tangga.
    Dalam kondisi panik dan terdesak, janji “langsung cair, tanpa ribet” yang ditawarkan iklan di media sosial terasa seperti secercah harapan.
    Ia bahkan tidak sempat berpikir panjang apakah aplikasi itu legal atau tidak. Yang ia tahu hanyalah uang cepat bisa menyelamatkan hari itu juga.
    Namun, kelegaan sesaat itu segera berubah menjadi kecemasan. Dalam hitungan hari, jumlah tagihan utangnya membengkak jauh di luar perkiraannya.
    Dari hanya satu
    aplikasi pinjol
    , Siska akhirnya harus berurusan dengan lima aplikasi sekaligus. Hidupnya berubah menjadi siklus “gali lubang tutup lubang” yang tak berujung.
    Siska menuturkan awal mula ia mengajukan pinjaman sebesar Rp 1.000.000 untuk membayar kontrakan dan membeli sembako.
    Ia berharap bisa mengatur keuangan dan membayar tepat waktu, tapi bunga dan biaya administrasi yang dikenakan aplikasi pinjol membuat cicilan membengkak dalam hitungan hari.
    “Kira-kira satu minggu setelah cair. Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar. ‘Lah, ini minjem sejuta kok balikin jadi sejuta lebih banyak banget?” ujarnya.
    Ketika jatuh tempo mendekat, Siska tidak memiliki dana yang cukup. Temannya malah menyarankan ia untuk meminjam lagi di aplikasi lain demi menutupi pinjaman pertama.
    Rasa ragu dan khawatir sebenarnya muncul, tapi tekanan membuatnya pasrah dan hilang arah.
    “Awalnya saya ragu, tapi karena takut diteror ya saya pinjem lagi. Dari situlah mulai gali tutup lubang,” katanya.
    Dalam beberapa minggu, satu pinjaman berkembang menjadi lima. Setiap kali cicilan mendekati jatuh tempo, Siska dipaksa mencari pinjaman baru.
    “Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” ujarnya.
    Siska mencoba berhenti meminjam. Ia berharap bisa melunasi utang yang ada dan memulai kembali hidupnya dengan lebih tenang.
    Namun, niat itu gagal karena teror dari penagih utang atau
    debt

    collector
    yang terus menekannya.
    “Begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya udah minjem lagi” kata Siska.
    Setiap dering telepon dan notifikasi pesan WhatsApp menjadi sumber kecemasan. Waktu tidur menjadi penuh dengan pikiran tentang tagihan yang semakin membengkak.
    Bahkan pada siang hari, hati Siska tetap tidak tenang. Ia menyadari bahwa lingkaran setan ini bukan hanya masalah uang, tapi juga tekanan psikologis yang membuatnya sulit berpikir jernih.
    Bukan hanya bunga yang membuat Siska meminjam lagi.
    Debt collector
    pinjol juga menggunakan metode intimidasi agresif.
    Mereka menghubungi Siska puluhan kali dalam sehari dan mengirim pesan WhatsApp secara spam. Ada yang berbicara sopan, namun banyak yang kasar dan menakutkan.
    “Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, Mas. Kadang dari nomor luar negeri. WA juga spam,” ungkap Siska.
    Tekanan ini membuat Siska merasa tidak punya pilihan lain selain meminjam uang lagi untuk menutupi pinjaman sebelumnya.
    Tidak hanya dirinya, para
    debt collector
    juga menghubungi keluarga dan tetangganya untuk memberikan tuduhan yang tak benar.
    “Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” tutur Siska.
    Kesadaran bahwa dirinya bukan satu-satunya korban pinjol datang ketika Siska akhirnya membuka diri kepada keluarganya. Dukungan dari sang adik menjadi titik awal pemulihan.
    Adiknya menenangkannya dan meyakinkan bahwa apa yang terjadi tidak sepenuhnya salahnya, serta masih ada jalan keluar meski terlihat sulit.
    Dukungan itulah yang mendorongnya untuk meminta pertolongan lebih lanjut.
    “Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” ujarnya.
    Melalui dukungan keluarga dan lembaga perlindungan, Siska mulai memahami cara keluar dari lingkaran utang.
    Siska mengisahkan bagaimana ia bisa
    terjerat pinjol
    hingga lima aplikasi sekaligus.
    Ia bilang, sebagai orangtua tunggal, seluruh beban rumah tangga bertumpu pada dirinya.
    Setiap hari ia bekerja di warung milik tetangganya dan penghasilannya hanya cukup untuk membeli kebutuhan paling dasar.
    Tidak ada ruang untuk menabung, apalagi menutup kebutuhan lain yang lebih besar.
    Di saat bersamaan, slip tagihan listrik menjadi pengingat bahwa pemutusan bisa terjadi kapan saja.
    Dari ponsel, pesan WhatsApp dari ibu kos muncul hampir setiap hari, menanyai kapan ia bisa melunasi kontrakan yang sudah terlambat dua bulan. Semua tagihan itu seolah mengejar dari segala arah.
    Sebagai satu-satunya orang dewasa di rumah, Siska hidup dari hari ke hari dengan sumber keuangan yang rapuh.
    Tidak ada suami, tidak ada keluarga yang bisa diandalkan secara rutin. Yang ada hanya seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah dan makan yang ia upayakan sekuat tenaga agar tetap berjalan.
    Dalam keadaan seperti itu, pikirannya seperti menemui jalan buntu. Ia merasa berada di tengah pusaran tekanan yang terus mempersempit langkahnya.
    Pada akhirnya, Siska mengenang dengan jelas momen ketika ia menyerah dan memutuskan menekan pilihan “ajukan pinjaman” di layar ponselnya.
    “Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska.
    Baginya, membayar kontrakan adalah hal paling utama. Jika tidak mampu membayar, ia dan anaknya tidak punya tempat lain untuk tinggal.
    Hal itulah yang membuat keputusan meminjam uang dari aplikasi pinjol tampak seperti satu-satunya jalan keluar, sebuah cara yang saat itu ia anggap untuk mengambil napas ketika merasa hampir tenggelam.
    Saat menggulirkan Instagram di ponselnya sambil rebahan, sebuah iklan muncul seolah menawarkan secercah harapan.
    “Lagi
    scroll
    HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang ‘langsung cair, tanpa ribet’. Saya klik karena penasaran,” kata dia.
    Saat itu, Siska belum memahami seluk-beluk dunia pinjol. Ia tidak tahu perbedaan antara aplikasi legal dan ilegal, tentang bunga yang tak masuk akal, atau potensi ancaman yang mungkin mengikuti.
    Yang ia lihat hanya sesuatu yang tampaknya bisa menyelesaikan masalahnya seketika.
    Proses pengajuannya pun berlangsung begitu cepat, hampir tidak masuk akal bagi orang yang sebelumnya belum pernah meminjam.
    “Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma selfie sama isi-isi data,” jelas dia.
    Tak lama kemudian, uang yang ia ajukan benar-benar masuk.
    “Pertama tuh saya ambil Rp 1.000.000. Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
    Siska sempat merasa lega. Seolah ada sedikit ruang bernapas setelah berminggu-minggu dihimpit ketakutan.
    Namun, ia tidak mengetahui bahwa keputusan sederhana itu justru menjadi pintu pertama menuju jurang yang jauh lebih gelap, yang menelannya dalam kebiasaan gali lubang-tutup-lubang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

    Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam Megapolitan 4 Desember 2025

    Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ponsel milik Siska (bukan nama sebenarnya) tidak pernah benar-benar hening.
    Bunyi dering dan notifikasi pesan berdentang siang dan malam, seperti alarm yang menandai ketakutan yang tak kunjung reda.
    Setiap telepon, entah dari nomor lokal maupun luar negeri, membawa satu pesan yang sama, menagih utang.
    Bagi Siska, ibu tunggal berusia 32 tahun yang berjuang menghidupi anaknya dengan penghasilan dari membantu warung tetangga, telepon itu bukan sekadar pengingat.
    Bunyi deringnya berubah menjadi ancaman yang menekan secara psikologis.
    Dua bulan terakhir, setiap langkah Siska di rumah kontrakannya terasa diawasi. Setiap ketukan pintu membuat dadanya berdebar.
    Ia selalu melihat kanan-kiri sebelum keluar rumah, bahkan untuk sekadar membeli sembako.
    Intensitas panggilan meningkat seiring waktu. Dalam sehari, Siska bisa menerima puluhan panggilan dan pesan WhatsApp.
    Ada yang berbicara halus, tetapi tak jarang yang langsung membentak atau mengancam.
    Bahkan foto KTP Siska sempat diedit dan digunakan untuk menakut-nakuti. Bagi Siska, ancaman itu bukan sekadar kata-kata di layar, melainkan tekanan nyata yang merusak rasa aman dan ketenangan hidupnya.
    “Nelepon sampai 60 kali sehari pernah. Kadang dari nomor luar negeri. WA juga
    spam,”
    kata Siska.
    Dari telepon yang terus berdering inilah, cerita tentang teror
    pinjaman online
    ilegal bermula.
    Sebuah lingkaran menakutkan yang membuat korban seperti Siska sulit bernapas dan terus terjebak dalam ketakutan.
    Tekanan tidak berhenti pada jumlah panggilan. Nada bicara
    debt collector
    berubah-ubah, mulai dari berpura-pura sopan hingga langsung kasar.
    Siska mengingat bagaimana beberapa penagih memulai percakapan dengan halus seolah peduli, kemudian tiba-tiba meninggikan suara ketika ia mencoba memberi penjelasan.
    “Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi,” kata Siska.
    Ancaman seperti itu bukan hal asing dalam modus penagihan
    pinjol
    ilegal.
    Mereka memanfaatkan data pribadi korban, termasuk foto KTP dan kontak telepon, sebagai senjata untuk menekan psikologis.
    Bagi Siska, ancaman bahwa dirinya akan “dicari polisi” atau “dijemput paksa” adalah bentuk teror yang paling memukul mentalnya.
    Ia tahu dirinya tidak melakukan kejahatan, tetapi intensitas penyampaian para penagih membuat informasi palsu itu terasa nyata.
    Ia mulai takut membuka pesan. Namun, tidak membuka pesan pun bukan solusi, karena telepon akan terus berdatangan. Setiap pilihan terasa salah.
    “Saya enggak tahu harus gimana,” ujar dia.
    Setiap kali Siska menolak angkat telepon, intensitas panggilan justru meningkat. Dari belasan menjadi puluhan.
    Ketika pinjaman dari aplikasi yang ia gunakan jatuh tempo,
    debt collector
    mengirim pesan beruntun tanpa henti, seolah ingin memastikan korban tidak sempat berpikir jernih.
    Panggilan itu datang bergantian, seakan dioper dari satu penagih ke penagih lain. Nomor yang berbeda-beda membuat Siska tak bisa memblokir semuanya.
    “Kalau HP saya bunyi, perut langsung mules,” ujar dia.
    Sejak teror telepon dimulai, ruang hidup Siska semakin menyempit. Kontrakan yang ia tempati bersama anaknya bukan lagi tempat yang aman seperti dulu.
    Setiap ketukan pintu, bahkan yang berasal dari tetangga, membuatnya terlonjak ketakutan.
    “Kalau ada suara motor berhenti di depan rumah, saya langsung mikir itu mereka,” ucap dia.
    Setiap kali melangkah keluar rumah untuk sekadar membeli sembako atau mengantar anaknya ke sekolah, ia selalu melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang mencurigakan.
    Selama dua bulan penuh, Siska mematikan ponselnya pada siang dan malam hari.
    Hanya saat kebutuhan mendesak ia berani menyalakannya sebentar, lalu segera mematikannya kembali. Hidupnya seperti berada dalam mode bertahan.
    “Saya sampai takut liat HP. Bunyi notif apa pun bikin deg-degan,” ujar dia.
    Jika tekanan melalui pesan pribadi belum cukup, penagih mulai menyerang hal yang lebih sensitif, hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan sekitar.
    “Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” tutur Siska.
    Bagi banyak korban, inilah fase yang paling memalukan. Bukan hanya dituduh sebagai pencuri, tetapi informasi pribadi mereka disebarkan secara sengaja untuk mempermalukan.
    Beberapa tetangga mulai bertanya-tanya, sebagian percaya, sebagian lainnya hanya diam tak memperdulikan.
    Dampak sosial ini membuatnya semakin terpuruk.
    “Saya malu sama tetangga,” ucap dia.
    Perlakuan kasar kepada dirinya sudah cukup membuat Siska stres berat.
    Namun, ancaman yang melibatkan keselamatan anaknya menjadi titik terendah dari seluruh perjalanan ini.
    Ia mengaku tidak akan pernah melupakan momen ketika seorang penagih menyebut anaknya.
    “Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” kata dia.
    Ancaman itu datang melalui pesan yang dikirim pada malam hari. Siska membacanya berkali-kali sebelum akhirnya mematikan ponsel dan menangis hingga tertidur.
    Sebagai seorang ibu tunggal, ancaman itu menusuk langsung ke pusat ketakutannya.
    Sejak itu, ia melarang anaknya bermain di luar rumah sendirian. Bahkan ketika hendak ke sekolah, ia memastikan selalu mengantar.
    Kondisi panik ini menyebabkan Siska mengalami gangguan kesehatan.
    Menurut Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi, selama beberapa tahun terakhir, LBH melihat semakin banyak korban yang meminjam bukan untuk konsumsi, tetapi untuk menutup hutang dari aplikasi sebelumnya.
    Proses ini mirip sekali dengan pola korban judi online berupa lingkaran yang tak ada ujungnya. Namun dalam konteks pinjol, eksploitasi lebih sistematis.
    “Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan pinjaman online. Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
    Di mata Alif, para peminjam ini bukanlah “debitur nakal” seperti stigma yang sering beredar. Mereka tak bisa dianggap pihak yang lalai, tetapi korban.
    “Bisa (disebut korban), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
    debt collector
    atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
    Dengan kata lain, mereka adalah korban perdagangan data, korban eksploitasi sistem digital, dan korban kebijakan yang tidak protektif.
    Menurut Alif, alasan korban enggan melapor sangat jelas karena takut dipermalukan, takut dikriminalisasi, dan takut data pribadi mereka makin tersebar.
    “Seringkali korban juga takut data pribadi dan nomor kontak di gawainya disalin dan disebarkan yang menyebabkan malu karena masalah pinjaman online yang dihadapinya,” kata dia.
    Bagi korban, teror sosial jauh lebih mematikan daripada teror tagihan.
    Alasan seseorang pertama kali meminjam melalui aplikasi pinjol cenderung seragam.
    Tekanan ekonomi menjadi faktor utama, seperti kebutuhan untuk makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutupi tagihan sehari-hari.
    “Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” ujar Alif.
    Dalam banyak kasus, korban awalnya mencari solusi cepat untuk kebutuhan mendesak.
    Namun, alih-alih mendapatkan bantuan, mereka justru terjebak dalam mekanisme penagihan yang menekan mulai dari bunga yang tidak wajar, biaya administrasi tersembunyi, hingga penyebaran data pribadi.
    LBH mencatat bahwa sebagian besar orang pertama kali terjerat pinjol karena promosi melalui telepon tanpa diminta.
    “Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
    Siklus terjerat ini kemudian diperkuat oleh tekanan verbal dari debt collector.
    Di samping itu, besaran bunga dan biaya tambahan yang tidak sesuai aturan menjadi pemicu utama utang semakin membengkak.
    “Bunga, admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cerita Siska, "Single Parent" yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

    Cerita Siska, "Single Parent" yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal Megapolitan 4 Desember 2025

    Cerita Siska, “Single Parent” yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Di sebuah kamar kontrakan, sebuah ruang kecil yang menjadi saksi bagaimana hidup Siska (bukan nama sebenarnya) berubah drastis.
    Di dalam kontrakan tersebut, perempuan berusia 32 tahun itu pernah menghabiskan malam-malam panjang tanpa tidur. Hanya menatap ponselnya yang bergetar puluhan kali setiap jam.
    Setiap getaran adalah ancaman. Setiap nada dering adalah ketakutan.
    Dan semua itu bermula dari keputusan yang ia ambil dalam keadaan terdesak.
    Siska yang merupakan orangtua tunggal harus menafkahi keluarga dari hasil membantu di warung milik tetangganya.
    Uang yang ia dapatkan hanya cukup untuk membeli beras satu liter dan sebungkus mi.
    Sementara, slip tagihan listrik sudah menumpuk, ditemani pesan WhatsApp dari ibu kos yang mulai menagih kontrakan dua bulan tertunggak.
    Sebagai orangtua tunggal, ia hidup dari hari ke hari. Tak ada suami, tak ada keluarga lain yang bisa rutin membantu.
    Yang ada hanya seorang anak kecil yang masih membutuhkan biaya sekolah.
    Dalam tekanan seperti itu, pikirannya buntu.
    Siska kembali mengingat momen yang membuatnya akhirnya menekan tombol “ajukan pinjaman”.
    “Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska kepada
    Kompas.com,
    Senin (1/12/2025).
    Saat itu, kontrakan menjadi hal paling genting.
    Keputusan itu, bagi Siska, seperti mencari udara di tengah tenggelam.
    Dengan ponselnya, ia mulai menjelajah aplikasi. Lalu matanya terpaku pada sebuah iklan yang berseliweran di Instagram.
    “Lagi
    scroll
    HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang
    ‘langsung cair, tanpa ribet’
    . Saya klik karena penasaran,” kata dia.
    Di titik itu, ia belum mengenal perbedaan antara
    pinjol
    legal dan ilegal. Yang ia lihat hanya satu hal: solusi instan.
    Prosesnya mudah, malah terlalu mudah.
    “Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma
    selfie
    sama isi-isi data,” jelas dia.
    Pinjaman pertama cair: Rp 1 juta.
    “Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
    Namun, yang tampak sebagai pertolongan, justru membuka pintu ke jurang yang jauh lebih gelap.
    Dalam tujuh hari, kondisi berubah. Tagihan datang dengan jumlah yang membuatnya terpaku. Bunga, biaya administrasi, dan potongan lain membuat nilai pengembalian melonjak.
    “Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar,” kata Siska.
    Rasanya seperti pukulan bertubi-tubi.
    Dalam putus asa, ia mengikuti saran teman yang justru semakin menjerumuskannya.
    “Terus ada temen bilang,
    ‘udah, minjem lagi di aplikasi lain buat nutup yang pertama’.
    Dari situ lah mulai gali tutup lubang,” kata dia.
    Hari demi hari, aplikasi lain datang menghampiri. Satu jadi dua, dua jadi lima.
    “Enggak kerasa. Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” kata dia.
    Siska sempat mencoba berhenti, namun tekanan yang datang dari para penagih membuatnya merasa tak punya pilihan.
    “Pernah, Mas. Tapi begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya sudah minjem lagi. Rasanya kayak lingkaran setan,” ucap dia.
    Apa yang awalnya terasa sebagai solusi, berubah menjadi mimpi buruk.
    Dalam hitungan hari, ponsel Siska menjadi alat penyiksa.
    Nomor tak dikenal muncul terus menerus—dalam negeri, luar negeri, hingga nomor yang baru dibuat.
    “Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, kadang dari nomor luar negeri. WA juga
    spam,”
    kata dia.
    Percakapan-percakapan itu masih membekas dalam kepalanya. Bahkan kini, suara notifikasi saja bisa membuat tubuhnya kaku.
    Namun, yang paling menghancurkan adalah teror visual dan ancaman kriminalisasi.
    “Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi. Terus ada yang bilang mau dateng ke rumah. Saya sampe gemeteran baca pesannya,” ujar dia.
    Tak hanya dirinya yang menjadi sasaran. Para penagih itu menyasar keluarganya, bahkan tetangganya.
    “Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” kata Siska.
    Tekanan psikologis itu berdampak langsung pada kesehatan fisik.
    Dan ada satu kalimat yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Kala para penagih mengancam keselamatan anak semata wayangnya.
    “Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” ujar dia.
    Dalam situasi itu, Siska pernah merasa dikepung dari segala sisi. Ia tak tahu harus melarikan diri ke mana.
    Ia akhirnya menceritakan semuanya kepada sang adik, orang pertama yang ia percaya.
    “Dia kaget banget dan marahin saya, tapi Dia bilang kita cari jalan sama-sama,” kata Siska.
    Dari pengakuan itu, Siska mulai merasakan titik terang. Untuk pertama kalinya, ia tak lagi memikul beban itu sendirian.
    Malam itu, ia dan adiknya berbicara panjang—tentang ketakutan, rasa malu, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.
    Adiknya mencoba menenangkannya, memastikan bahwa apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahannya, dan bahwa ada jalan keluar meski tampak gelap.
    Dukungan itulah yang mendorongnya mencari pertolongan lebih jauh.
    “Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” katanya.
    Meski begitu, trauma yang tersisa sangat dalam. Hingga kini, membuka ponsel pun terasa seperti menghadapi monster yang siap menerkam.
    “Dua bulan penuh saya matiin HP siang malam. Keluar rumah pun lihat-lihat dulu. Trauma banget,” ucap dia.
    Dalam beberapa tahun terakhir, Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi melihat pola yang terus berulang.
    Banyak korban meminjam bukan untuk kebutuhan konsumsi, melainkan untuk menutup tagihan dari aplikasi sebelumnya.
    Situasi ini menyerupai pola yang dialami korban judi online, sebuah lingkaran yang tidak pernah benar-benar berhenti.
    Dalam kasus pinjol, cara kerjanya bahkan lebih terstruktur dan eksploitatif.
    “Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan
    pinjaman online
    . Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
    Bagi Alif, para peminjam ini tidak tepat bila dianggap sebagai debitur yang lalai atau ceroboh.
    Mereka lebih tepat dipahami sebagai pihak yang terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan ruang aman.
    “Betul bisa (
    korban pinjol
    ), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
    debt collector
    atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
    Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan utang yang menumpuk.
    Mereka juga menjadi sasaran perdagangan data, menjadi korban dari mekanisme digital yang merugikan, dan terjebak dalam situasi yang tidak didukung oleh regulasi yang melindungi.
    Menurut Alif, kelompok yang paling mudah terpapar masalah pinjol tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
    Perempuan, terutama ibu rumah tangga, masih menjadi pihak yang paling rentan.
    “Sejauh ini perempuan atau ibu rumah tangga masih menjadi kelompok paling rentan terkena masalah pinjaman online,” kata Alif.
    Beban mengurus keluarga, memenuhi kebutuhan anak, hingga memastikan makanan selalu tersedia membuat mereka berada dalam posisi yang rawan.
    Alif menyampaikan, banyak korban datang dalam kondisi mental yang sudah tertekan.
    Tidak sedikit ibu rumah tangga yang bahkan takut menyentuh ponsel karena telah menerima ratusan pesan ancaman dari penagih.
    Ketika membahas alasan awal seseorang meminjam melalui aplikasi pinjol, Alif melihat polanya hampir selalu sama.
    Tekanan ekonomi menjadi faktor paling kuat. Banyak orang terpaksa mencari dana cepat untuk memenuhi kebutuhan makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutup kewajiban harian.
    “Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” kata Alif.
    Dalam berbagai kasus, para korban berharap dapat menyelesaikan kebutuhan darurat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
    Temuan LBH juga menunjukkan bahwa banyak korban pertama kali terpapar pinjol melalui panggilan telepon yang tidak pernah mereka minta.
    “Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
    Setelah itu, tekanan dari debt collector memperkuat lingkaran jebakan yang mulai menjerat mereka.
    “Biaya admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
    Cerita Siska bukan satu-satunya. Di balik iklan “cair cepat tanpa ribet”, ada ribuan korban lain yang hidup dalam tekanan, teror, dan ancaman.
    Sebagian kehilangan pekerjaan.

    Sebagian kehilangan keluarga.

    Sebagian kehilangan keberanian untuk bertemu dunia.
    Dan sebagian, seperti Siska, sedang berusaha kembali berdiri dari kehancuran emosional dan finansial.
    Pinjol ilegal bekerja dengan pola yang sama: memanfaatkan kesulitan ekonomi, memudahkan pinjaman, lalu menjebak dengan bunga, biaya tersembunyi, akses kontak, dan teror sistematis.
    Bagi banyak perempuan, terutama orangtua tunggal dan pekerja informal, jerat ini terasa tak terhindarkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketika Teror Mengintai Pasutri di Bogor: Mobil Diseruduk, Ban Ditusuk
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        3 Desember 2025

    Ketika Teror Mengintai Pasutri di Bogor: Mobil Diseruduk, Ban Ditusuk Megapolitan 3 Desember 2025

    Ketika Teror Mengintai Pasutri di Bogor: Mobil Diseruduk, Ban Ditusuk
    Editor
    BOGOR, KOMPAS.com
    — Kejadian nyaris tragis menimpa pasangan suami istri di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/11/2025).
    Ban mobil mereka ditusuk oleh orang tak dikenal, namun keduanya memilih terus melaju menuju rumah, menepis rasa takut yang mencekam.
    “Enggak, enggak berhenti. Karena udah tahu nih pasti, ‘Oh udah kena nih (
    ban mobil ditusuk
    ).’ Terus kan deket juga ke rumah, ya udahlah bablas aja langsung,” kata sang istri, Lista, saat dihubungi melalui telepon, Rabu (3/12/2025).
    Insiden bermula saat Lista dan suaminya keluar dari salah satu bank setelah menukarkan uang tunai.
    Mereka diduga dibuntuti tiga pelaku yang mengendarai motor, mengintai setiap langkah pasangan itu.
    “Jadi habis setor tunai, terus sisanya ada Rp 15 jutaan saya tukar receh. Cuma kan kalau recehnya lima ribuan setas ya, kelihatan banyak. Ya udah, masuklah itu bawa tas di dalam mobil, taruh dalam mobil,” ungkap Lista.
    Menurutnya, pelaku terus mengikuti mobil mereka meski berjalan pelan, dan menyurudukan motor ke arah mobil.
    “Sudah lihat-lihatan dari spion, ‘Ini orang ngapain ya?’. Terus kayak disangka sih lagi di-stut gitu lho motornya, kayak motor mogok gitu. Tapi kok makin mencurigakan, nyeruduk-nyeruduk terus kan,” kata Lista.
    Ketegangan mencapai puncaknya saat perempatan dekat pasar, ketika para pelaku menusuk ban belakang mobil.
    Suaminya sempat memacu kendaraan lebih cepat, namun para pelaku tetap membuntuti.
    “Mobil jadinya pelan kan, dia nusuk (ban) di situ. Jadi dia melipir ke kiri, nusuk. Nah, ya udah makin feeling nih. Tuh kan posisinya perempatan kan, perempatan pasar,” jelas Lista.
    Meski ban mobil pecah, pasangan ini berhasil melaju sekitar 200–300 meter hingga indikator tekanan ban menyala, dan memastikan pelaku tidak lagi mengikuti.
    “Jadi pas dari perempatan itu cuma sekitar berapa ya, mungkin 200-300 meter lah, indikator tekanan ban di mobil nyala. Wah, udah pasti nih. Gitu kan, udah pasti nih,” katanya.
    Beruntung, keduanya tidak mengalami luka fisik, hanya mobil yang mengalami kerusakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Majelis Umum PBB Serukan Akhiri Pendudukan Palestina!

    Majelis Umum PBB Serukan Akhiri Pendudukan Palestina!

    New York

    Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi yang membahas soal “penyelesaian damai masalah Palestina” pada Selasa (3/12) waktu setempat. Mayoritas negara anggota PBB menyetujui resolusi yang menyerukan diakhirinya pendudukan Israel atas Palestina.

    Draf resolusi itu, seperti dilansir Anadolu Agency, Rabu (3/12/2025), disusun oleh Djibouti, Yordania, Mauritania, Qatar, Senegal, dan Palestina.

    Resolusi itu disetujui setelah mendapatkan 151 suara dukungan, dengan hanya 11 suara menentang dan 11 suara lainnya memilih abstain.

    Resolusi ini menegaskan kembali tanggung jawab PBB atas masalah Palestina, juga menyerukan diakhirinya pendudukan sejak tahun 1967 silam, dan menegakkan solusi dua negara.

    Isi resolusi ini juga menuntut Israel untuk menghentikan aktivitas pembangunan permukiman di Tepi Barat dan mematuhi hukum internasional.

    Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman, Annalena Baerbock, yang menjabat sebagai Presiden Majelis Umum PBB saat ini, menyerukan tindakan yang lebih besar untuk menegakkan hak-hak rakyat Palestina dan solusi dua negara dengan Israel.

    “Selama 78 tahun, rakyat Palestina telah kehilangan hak-hak asasi mereka yang tak terelakkan — khususnya, hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Sekarang, sudah saatnya kita mengambil tindakan tegas untuk mengakhiri kebuntuan yang telah berlangsung puluhan tahun ini,” ucapnya saat berbicara dalam rapat pleno Majelis Umum PBB pada Selasa (2/12), ketika negara-negara anggota PBB membahas resolusi tersebut.

    Resolusi yang diadopsi Majelis Umum PBB ini juga mendesak dimulainya kembali negosiasi dan menyerukan negara-negara untuk tidak mengakui perubahan perbatasan, sembari meningkatkan bantuan kepada Palestina di tengah krisis kemanusiaan yang parah.

    “Semua yang telah terjadi dalam dua tahun terakhir telah menggarisbawahi apa yang telah kita ketahui selama beberapa dekade. Konflik Israel-Palestina tidak dapat diselesaikan melalui pendudukan ilegal, aneksasi de-jure atau de-facto, pemindahan paksa, teror berulang, atau perang permanen,” kata Baerbock.

    “Rakyat Israel dan Palestina hanya akan hidup dalam perdamaian, keamanan, dan martabat yang langgeng ketika mereka hidup berdampingan di dua negara berdaulat dan merdeka, dengan perbatasan yang diakui bersama dan integrasi regional yang utuh,” ujarnya.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Kenapa Remaja di Jerman Rentan Ideologi Ekstrem?

    Kenapa Remaja di Jerman Rentan Ideologi Ekstrem?

    Jakarta

    Tahun lalu, dua remaja berusia 15 dan 17 tahun berniat menebar teror di sebuah pasar Natal di Leverkusen, Nordrhein-Westfalen. Dengan berbekal sebuah truk, kedua remaja yang berbaiat kepada kelompok teror Negara Islam (IS) itu berniat menabrakkan kendaraan ke kerumunan dan menewaskan sebanyak mungkin orang. Dua hari sebelum rencana itu terwujud, polisi mencokok keduanya setelah mengendus percakapan mereka di dunia maya.

    Kedua remaja, asal Afghanistan dan Republik Otonom Chechnya di Rusia, pada 2024 dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Kasus semacam ini membuat resah aparat keamanan Jerman. Badan Kriminal Federal (BKA) mencatat lonjakan tajam kekerasan dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah tersangka remaja, hingga 17 tahun, melonjak hampir sepertiga sejak 2019. Pada kelompok anak-anak hingga 13 tahun, kenaikannya bahkan mencapai dua pertiga.

    Dalam laporan Statistik Kriminal Kepolisian (PKS) terbaru, BKA mengurai sejumlah kemungkinan penyebab. “Ada indikasi bahwa tekanan psikologis pada anak dan remaja meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tekanan psikologis memang bukan penyebab langsung perilaku kriminal, tetapi dalam kombinasi dengan faktor-faktor lain dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya tindak kekerasan.”

    Faktor risiko: Perang, krisis iklim, pandemi

    Risikonya berlapis: kekerasan dalam keluarga, kurangnya kasih sayang orang tua, kemiskinan, serta kecemasan menghadapi ragam krisis sosial seperti perang, perubahan iklim, dan pandemi. BKA menilai kelompok yang paling rentan adalah anak-anak dan remaja pengungsi. Terasing dan kehilangan arah, mereka mencari jawaban soal makna hidup di internet.

    Sering kali, pencarian itu justru membawa mereka ke kanal para ekstremis – baik yang berbaju agama maupun politik. Kemungkinan terseret masuk ke lingkaran radikalisme pun membesar. Selama lebih dari 20 tahun, kelompok Violence Prevention Network (VPN) di Berlin menangani anak, remaja, dan dewasa muda yang terpapar paham kekerasan. Lembaga swadaya masyarakat itu juga menjadi mitra penting aparat keamanan dalam upaya deradikalisasi.

    Konflik Timur Tengah sebagai pemantik

    Direktur VPN, Thomas Mücke, mengingatkan adanya gejala meningkatnya “kebisuan” antara orang dewasa dan generasi muda. Dari lokakarya tentang Timur Tengah yang mereka selenggarakan di sekolah-sekolah, Mücke tahu betul betapa cepat situasi bisa memanas secara emosional. Karena itu, dia menilai ruang aman untuk berdialog dengan anak-anak dan remaja sangat penting agar mereka tak meluncur ke jalan buntu.

    “Di ruang itulah mereka bisa mengutarakan hal-hal yang sulit diucapkan orang dewasa,” kata Mücke. Dalam ruang seperti itu, mereka bisa diajak berdiskusi, ditantang argumennya, dan dibuka terhadap cara pandang lain. “Kalau kita kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi, para ekstremislah yang menang.”

    Propaganda di TikTok dan platform lain

    “Internet, dengan batas masuk yang rendah dan ketersediaan tak henti, menjadi ruang virtual yang mudah diakses bagi anak muda untuk berjejaring dan mengekspresikan sikap yang penuh kebencian dan siap melakukan kekerasan,” demikian kesimpulan lembaga itu.

    Musuh bersama: Antifa dan komunitas Queer

    Laporan tersebut menyinggung kelompok “Jung & Stark” (JS), yang meroket via Instagram pada 2024. “Perkumpulan baru yang tak terikat jaringan ekstrem kanan regional maupun nasional ini dalam waktu singkat menjadi pintu masuk bagi banyak anak dan remaja ke dunia ekstremisme kanan,” tulis laporan itu.

    Kelompok JS meramu fragmen ideologis yang diracik lewat penentuan musuh bersama: mulai dari kelompok kiri Antifa hingga komunitas LSBTIQ – lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer.

    Bagaimana meredam gema ruang maya?

    Mengeluarkan anak dan remaja dari gema ruang maya yang sempit kian sulit, menurut pantauan VPN. Feride Aktas, dari divisi “Ekstremisme Berbasis Agama”, kian cemas akan memburuknya kualitas diskursus politik dan sosial.

    “Kita ada di titik ketika kita begitu jauh satu sama lain, sehingga yang pertama harus dipulihkan adalah kemampuan berdialog,” kata Aktas. Karena itu, menurut dia, anak muda tak boleh langsung dihukum atau dicap hanya karena ucapan-ucapan meragukan. Yang penting adalah masuk ke wilayah emosi mereka.

    Peran keluarga dan sekolah

    Dalam percakapannya dengan remaja yang terpapar radikalisme, Aktas masih mendengar gema pandemi COVID-19. Banyak yang merasa tak ada seorang pun hadir untuk mereka—baik di keluarga maupun di sekolah. Remaja demikian tetap merasa kesepian meski berada dalam kelompok. “Dan akhirnya mereka menemukan tempat di kelompok-kelompok yang, lewat berbagai cara, menjerat mereka dalam ekstremisme kanan maupun Islamisme,” ujar Aktas.

    Rekan Aktas, Thomas Mücke, menambahkan bahwa banyak orang tua gagal melihat tanda-tanda dini radikalisasi anaknya. Itu sebabnya ia mendorong keluarga segera mencari bantuan jika ragu. “Kami melihat situasinya secara saksama dan langsung berdialog dengan orang tua.”

    Pelarian eks-IS dari Suriah

    Dalam sepuluh tahun terakhir, VPN menangani 431 kasus yang dianggap “relevan secara keamanan”—orang-orang yang berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Di antara mereka, 75 adalah “individu berisiko tinggi”, yang dinilai memiliki ancaman serius terhadap keamanan publik. Ada pula 65 remaja yang pernah bergabung dengan IS dan kembali dari Suriah.

    Indikator keberhasilan VPN terlihat dari angka residivisme. Dari 431 anak dan remaja yang mereka dampingi keluar dari lingkungan ekstremis, hanya dua yang kembali terjerumus.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)