Kasus: PHK

  • Partai Buruh Usul Kenaikan Upah Minimum 2026 hingga 10,5 Persen

    Partai Buruh Usul Kenaikan Upah Minimum 2026 hingga 10,5 Persen

    GELORA.CO -Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh mengusulkan kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5 persen hingga 10,5 persen. 

    Usulan ini disampaikan Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, merujuk pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168.

    Dalam putusan tersebut, kenaikan upah minimum dihitung berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, serta mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL). 

    MK juga menegaskan bahwa upah minimum sektoral (UMSP/UMSK) wajib diberikan kepada buruh dengan nilai di atas UMP/UMK.

    “Sesuai peraturan Menteri Tenaga Kerja, kenaikan upah minimum mulai dibahas secara intensif baik di Dewan Pengupahan Nasional maupun di Dewan Pengupahan Daerah pada bulan September hingga Oktober dan ditetapkan oleh Gubernur pada bulan November,” ujar Said Iqbal, Senin, 11 Agustus 2025.

    Berdasarkan survei dan analisis Litbang KSPI dan Partai Buruh, proyeksi inflasi Oktober 2024–September 2025 sebesar 3,23 persen. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,1–5,2 persen, sedangkan indeks tertentu diusulkan pada angka 1,0–1,4.

    “Dengan demikian, KSPI dan Partai Buruh mengusulkan upah minimum tahun 2026 naik sebesar 8,5 sampai dengan 10,5 persen,” jelas Said Iqbal.

    Untuk upah sektoral, hasil survei menunjukkan pertambahan nilai tiap sektor industri sebesar 0,5–5 persen. Sehingga, kenaikan UMSP/UMSK 2026 diusulkan sebesar (8,5%–10,5%) + (0,5%–5%) tergantung sektor industrinya.

    KSPI dan Partai Buruh meminta pemerintah menetapkan upah minimum dan upah minimum sektoral 2026 paling lambat 30 Oktober 2025, setelah rapat Dewan Pengupahan nasional maupun daerah yang direncanakan 25 Agustus–30 Oktober 2025.

    Iqbal juga mengumumkan rencana aksi besar serentak di 38 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota pada 28 Agustus 2025.

    “Aksi ratusan ribu buruh ini serempak di seluruh Indonesia dinamakan aksi damai penyampaian aspirasi untuk menyuarakan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5 sampai dengan 10,5 persen,” ujar Said Iqbal.

    Selain isu kenaikan upah, aksi tersebut juga akan menyuarakan enam tuntutan lain Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah (HOSTUM),

    Stop PHK: Bentuk Satgas PHK, Reformasi Pajak Perburuhan dengan Naikkan PTKP menjadi Rp 7,5 juta per bulan, hapus pajak pesangon, THR, dan JHT, serta hapus diskriminasi pajak terhadap perempuan menikah

    Sahkan RUU Ketenagakerjaan tanpa Omnibuslaw, Sahkan RUU Perampasan Aset untuk memberantas korupsi, serta Revisi RUU Pemilu untuk mendesain ulang sistem Pemilu 2029.

  • Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025 Diragukan, Ekonom Indef Desak Transparansi

    Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal II/2025 Diragukan, Ekonom Indef Desak Transparansi

    Bisnis.com, JAKARTA — Keraguan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 menjadi sorotan di kalangan ekonom. Salah satu lembaga riset, Indef, mendesak pemerintah untuk memberikan keterbukaan atau transparansi informasi publik guna menjaga kinerja makroekonomi. 

    Ekonom Indef Ariyo DP Irhamna mengatakan dalam konteks pengelolaan kebijakan dan kinerja ekonomi nasional, transparansi data publik tak hanya sebagai mandat moral dan konstitusional, melainkan fondasi utama dalam membangun kepercayaan pasar dan masyarakat.

    “Saya mendorong pemerintah, khususnya Presiden dan para Menteri, utamanya Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, dan Kepala BPS, untuk mengembalikan komitmen terhadap keterbukaan data dan transparansi informasi publik,” kata Ariyo dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (10/8/2025). 

    Dalam hal ini, dia juga menyoroti sejumlah paparan publik yang dilewatkan oleh pemerintah beberapa waktu terakhir. Menurut Ariyo, beberapa data penting terkait kinerja ekonomi dan kebijakan publik mengalami pengurangan intensitas publikasi.

    Misalnya, publikasi ‘APBN Kita’ yang sebelumnya dirilis rutin tiap bulan oleh Kementerian Keuangan sebagai instrumen akuntabilitas fiskal, namun belakangan tidak lagi diterbitkan sejak awal tahun.

    “Padahal, laporan tersebut memuat informasi strategis terkait belanja negara, defisit, dan realisasi pendapatan yang sangat diperlukan untuk analisis independen para akademisi, pengusaha, dan masyarakat luas,” tuturnya. 

    Tak hanya itu, data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sebelumnya dirilis secara berkala oleh Kementerian Ketenagakerjaan kini publikasinya mengalami kemunduran dalam hal waktu. 

    Menurut Ariyo, data tersebut sangat penting di tengah dinamika pasar tenaga kerja yang sensitif terhadap perubahan ekonomi dan teknologi.

    Kekhawatiran makin meningkat ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 5,12% (year-on-year) yang disebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.

    Sebab, dia menilai mesin-mesin pertumbuhan seperti investasi dan ekspor terlihat masih belum sepenuhnya pulih. Sementara itu, konsumsi rumah tangga menunjukkan pelemahan yang konsisten dengan sinyal-sinyal tekanan daya beli masyarakat. 

    “Jika pemerintah memaksakan narasi positif tanpa dukungan data yang utuh dan kredibel, maka kepercayaan pasar dan publik justru bisa terguncang,” jelasnya. 

    Dia menekankan bahwa sejumlah ekonom dan akademisi memiliki kemampuan serta perangkat analitis untuk mendeteksi anomali atau manipulasi data. 

    Dengan keterbukaan dan publikasi data yang konsisten, pemerintah justru akan dapat masukan yang objektif dan berbasis bukti yang dibutuhkan dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan publik secara berkelanjutan.

    Sebab, Ariyo menilai setiap pemerintahan, tanpa terkecuali, pasti memiliki blindspot terhadap efektivitas kebijakan maupun kondisi di lapangan, terlebih di negara seluas dan sekompleks Indonesia. 

    Dalam hal ini, transparansi data memungkinkan terjadinya dialog kebijakan yang sehat, dan pada akhirnya berujung pada kebijakan yang lebih responsif dan berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.

    “Ketidaktransparanan bukan hanya merusak kredibilitas pemerintah saat ini, tapi juga mengurangi kualitas pengambilan keputusan jangka panjang,” tuturnya. 

  • Bangkit Usai Terdampak PHK, Ratusan Tenaga Kerja Ikuti Pekan Wirausaha – Page 3

    Bangkit Usai Terdampak PHK, Ratusan Tenaga Kerja Ikuti Pekan Wirausaha – Page 3

    Sedangkan, Wakil Bupati Pasuruan H.M. Shobih Asrori menyampaikan harapan besar kepada Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, agar persoalan ketenagakerjaan di wilayahnya dapat mendapat perhatian lebih. 

    “Kehadiran Menteri Ketenagakerjaan menjadi momen penting memperkuat sinergi dalam penyelesaikan persoalan ketenagakerjaan di Pasuruan. Kami berharap para peserta pelatihan ini nantinya mampu menjadi wirausaha-wirausaha yang sukses, sehingga tidak lagi menjadi korban pengangguran,” ujar Shobih.

    Anggota Komisi IX DPR RI, Indah Kurnia, menilai Sampoerna konsisten berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dan membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas. 

    “Hari ini, kita melihat kolaborasi yang efektif dari Sampoerna dan pemerintah dalam menciptakan SDM yang unggul, berkualitas dan berdaya saing. Kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha seperti yang dilakukan Sampoerna adalah contoh nyata kontribusi sektor swasta dalam memperkuat ketahanan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Indah.

     

  • Fenomena Rojali dan Rohana di Indonesia, Siapa Mereka?

    Fenomena Rojali dan Rohana di Indonesia, Siapa Mereka?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Fenomena Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) menuai banyak perhatian dari banyak pihak, mulai dari pemerintah sampai pengusaha.

    Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengungkapkan fenomena ‘rojali’ makin marak. Meski kunjungan ke mal tetap meningkat, pola belanja masyarakat dinilai berubah signifikan.

    “Kunjungan ke mal tumbuh, masyarakat datang ke mal, tapi yang terjadi perubahan pola belanja. Tren belanja utamanya yang kelas menengah ke bawah daya belinya belum pulih, mereka beli produk yang harga satuannya kecil, tetap datang (ke mal),” kata Alphonzus kepada CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.

    Alphonzus mengaku ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku konsumen saat ini. Untuk kelas menengah atas, lebih karena faktor kehati-hatian dalam belanja, terutama karena pengaruh kondisi makro dan mikro ekonomi global yang tengah bergejolak.

    Founder & Chairman CT Corp Chairul Tanjung atau CT, sapaan akrab Chairul Tanjung, mengungkapkan fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ terjadi karena daya beli masyarakat Indonesia yang tengah turun.

    “Ini Rojali dan Rohana jadi memang kita akui bahwa daya beli masyarakat itu sedang turun karena yang pertama kelas menengah kita turun,” tegas CT.

    CT pun membuka data bahwa hampir 10 juta kelas menengah RI turun ke bawah. “Itu data statistik sampai akhir tahun lalu aja hampir 10 juta kelas menengah turun ke bawah,” sebutnya.

    Kemudian faktor lainnya adalah banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka PHK yang tinggi ini berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat.

    “Kedua kita tahu PHK banyak dimana-mana sehingga berpengaruh pada daya beli,” sebutnya.

  • Video: PHK & Daya Beli Lesu, DPR Minta Danantara Percepat Investasi

    Video: PHK & Daya Beli Lesu, DPR Minta Danantara Percepat Investasi

    Jakarta, CNBC Indonesia- Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Mohamad Hekal menyambut positif rilis data Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berhasil tumbuh 5,12% (yoy) pada kuartal II-2025.

    Kinerja Pertumbuhan ekonomi RI menjadi cerminan keberhasilan pemerintah mengatasi dampak gejolak ekonomi global. Hal ini juga tercermin dari kinerja pasar modal RI yang tumbuh di tengah isu perang dagang.

    Sementara terkait pelemahan daya beli dan tren PHK yang masih berlanjut di 2025, Hekal menyebutkan bahwa kondisi ini sudah dilakukan sejumlah antisipasi diantaranya lewat program jaminan PHK hingga program menarik investasi termasuk dari Danantara di kawasan yang mengalami PHK sehingga bisa Kembali menggerakkan ekonomi dan membuka lapangan kerja

    DPR RI juga optimistis terhadap tarif impor sebesar 19% yang menjadi salah satu yang terbaik di ASEAN berkat negosiasi langsung Presiden Prabowo

    Seperti apa DPR RI melihat catatan pertumbuhan ekonomi RI? Selengkapnya simak dialog Shinta Zahara dengan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Mohamad Hekal dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Rabu, 06/08/2025)

  • Kemnaker & Sampoerna Luncurkan Program Peduli PHK, Buka Peluang Baru bagi Pekerja Terdampak – Page 3

    Kemnaker & Sampoerna Luncurkan Program Peduli PHK, Buka Peluang Baru bagi Pekerja Terdampak – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan menggelar program Peduli PHK di Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (8/8/2025). Kegiatan ini menjadi bukti nyata sinergi antara pemerintah dan sektor swasta dalam memberikan solusi bagi pekerja atau buruh yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menegaskan bahwa program ini merupakan langkah strategis untuk memberikan harapan baru bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. “Ini adalah bentuk intervensi strategis agar pekerja/buruh terdampak tidak jatuh dalam ketidakpastian ekonomi. Kita berupaya memberikan harapan dan peluang baru,” ujar Menaker.

    Sebagai wujud komitmen, Menaker menyerahkan secara simbolis Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) kepada perwakilan peserta pelatihan. JKP sendiri dirancang untuk memastikan hak-hak pekerja tetap terpenuhi melalui bantuan uang tunai, informasi pasar kerja, serta pelatihan kerja guna mempercepat proses penempatan kerja kembali.

    Perbesar

    Menaker Yassierli dalam peluncuran program Peduli PHK yang digelar di Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) Pasuruan, Jawa Timur…. Selengkapnya

    Kegiatan Peduli PHK di Pasuruan ini dirancang secara menyeluruh dengan tiga agenda utama yang saling terintegrasi.

    Agenda pertama adalah pelatihan kewirausahaan yang diikuti oleh 200 pekerja/buruh terdampak PHK. Selama dua hari, para peserta dibekali keterampilan teknis melalui program upskilling dan reskilling, serta diberikan motivasi dan pengetahuan praktis untuk menciptakan usaha mandiri.

    Pelatihan tersebut juga menghadirkan pelaku UMKM sukses sebagai narasumber, sehingga peserta dapat berinteraksi langsung dan belajar dari pengalaman nyata di dunia usaha. Sebagai tindak lanjut, sebanyak 25 peserta terbaik akan mendapatkan pendampingan bisnis selama satu bulan setelah pelatihan.

    Selain pelatihan kewirausahaan, program ini juga mencakup aspek kesejahteraan pekerja melalui pelayanan Keluarga Berencana (KB) di tempat kerja. Agenda kedua ini merupakan kolaborasi antara Kemnaker, BKKBN, dan PT HM Sampoerna Tbk., yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan kesehatan reproduksi para pekerja/buruh. Langkah ini dinilai strategis karena berdampak pada peningkatan kualitas hidup dan produktivitas jangka panjang.

    Perbesar

    Menaker Yassierli dalam peluncuran program Peduli PHK yang digelar di Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC) Pasuruan, Jawa Timur…. Selengkapnya

    Sebagai pelengkap dari dua agenda sebelumnya, agenda ketiga berfokus pada aspek hubungan industrial melalui peluncuran buku “Penerapan Hubungan Industrial Pancasila Berdasarkan Falsafah Tiga Tangan”. Buku tersebut disusun sebagai panduan praktis bagi perusahaan dalam membangun hubungan kerja yang harmonis dan berkelanjutan dengan menekankan nilai-nilai gotong royong, kemitraan, dan keadilan sosial sesuai falsafah Pancasila.

    Menaker menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam mendukung ketahanan tenaga kerja di tengah dinamika ketenagakerjaan. Ia juga memberikan apresiasi kepada PT HM Sampoerna Tbk., BPJS Ketenagakerjaan, dan BKKBN atas dukungan penuh terhadap kegiatan ini.

    “Saya berharap semangat kolaborasi ini menjadi contoh yang bisa direplikasi oleh perusahaan dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia,” ujarnya.

  • Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Giliran Paramadina Ragukan Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12% dari BPS

    Bisnis.com, JAKARTA — Universitas Paramadina mempertanyakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (YoY).

    Dalam keterangan resminya, Paramadina menilai data tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil perekonomian, di tengah lemahnya daya beli masyarakat, stagnasi konsumsi rumah tangga, pesimisme produsen, dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri.

    “Banyak kalangan tidak percaya, dan ini berpotensi bergulir menjadi bola liar yang merusak kredibilitas BPS,” tulis pernyataan Paramadina, Jumat (9/8/2025).

    Paramadina meminta BPS menjelaskan secara rinci metodologi dan asumsi perhitungan produk domestik bruto (PDB), termasuk sumber data, pembobotan sektor, serta metode estimasi. Lembaga itu juga mendesak adanya penjelasan atas kesenjangan antara data pertumbuhan ekonomi dengan indikator sektoral yang menunjukkan perlambatan.

    Selain itu, BPS diminta menegaskan komitmen menjaga independensi penuh dari intervensi pihak mana pun, agar data tetap menjadi cerminan realitas ekonomi dan bukan alat legitimasi politik.

    “Jika data yang dirilis tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, kebijakan ekonomi nasional akan salah arah,” tulis Paramadina.

    Menurut mereka, revisi data merupakan hal wajar dan bagian dari proses akademis. Sebaliknya, menutup diri akan menjadikan statistik bergeser dari ranah akademik ke ranah politik, yang berisiko mengikis kredibilitas BPS.

    Paramadina juga mengajak ekonom, ilmuwan, dan akademisi untuk memantau kualitas data statistik nasional, mengingat hal tersebut menjadi pijakan penting menuju Indonesia maju dan sejahtera.

    Ikuti Celios hingga Indef

    Sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) turut menyatakan keraguan atas data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS. Bahkan, lembaga yang menaungi sejumlah ekonom seperti Bhima Yudhistira dan Nailul Huda itu menyurati Komisi Statistik PBB itu terkait dengan transparansi hingga independensi penghitungan data PDB oleh BPS untuk tiga bulan kedua 2025. 

    Berdasarkan dokumen yang dilihat Bisnis, surat tertanggal 8 Agustus 2025 itu ditujukan untuk Komisi Statistik PBB. Celios menyurati lembaga itu atas keprihatinan ihwal reliabilitas dan akurasi penghitungan pertumbuhan PDB Indonesia oleh BPS. 

    “Kami menulis surat ini untuk menyampaikan keprihatinan mendalam kami terkait meningkatnya jumlah inkonsistensi dan anomali yang ditemukan dalam data ekonomi nasional [PDB triwulan kedua 2025] yang baru-baru ini diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik [BPS],” demikian dikutip Bisnis, Jumat (8/8/2025). 

    Persoalan-persoalan ini, lanjut surat tersebut, khususnya berkaitan dengan penghitungan PDB, telah menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi, akurasi, dan independensi praktik statistik di Indonesia.

    Beberapa inkonsistensi pada data BPS itu, terang Celios, dinilai tidak merepresentasikan realitas ekonomi dalam negeri. Beberapa komponen utama PDB dinilai tidak terhubung dengan indikator utama, seperti pendapatan pemerintah, volatilitas data yang tidak dijelaskan serta kurangnya keterbukaan atas metodologi penghitungan. 

    Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga mempertanyakan data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025. 

    Ekonom senior dan salah satu pendiri Indef, M. Fadhil Hasan, menilai bahwa konsensus proyeksi para ekonom maupun lembaga biasanya mirip dengan realisasi ekonomi atau hanya memiliki selisih tipis. Namun, anomali terjadi pada kuartal II/2025, ketika para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi sekitar 4,8% tetapi realisasinya ternyata mencapai 5,12%.

    “Menimbulkan pertanyaan apakah ada metodologi yang harusnya diperbaiki atau disempurnakan, ataukah ada basis datanya, atau sebab-sebab lainnya yang membuat kita belum mengetahuinya secara pasti?” ujar Fadhil dalam diskusi publik yang berlangsung di kantor Indef, Jakarta pada Rabu (6/8/2025).

    Indef pun menelisik sejumlah data yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), mulai dari konsumsi sebagai komponen utama produk domestik bruto (PDB), investasi, ekspor, maupun sektor atau lapangan usaha. Namun, Indef merasa belum terdapat kejelasan dari data yang ada.

    Menurut Fadhil, BPS patut menjelaskan mekanisme pengambilan maupun pengolahan data, karena menurutnya data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 tidak cukup mencerminkan kondisi riil di lapangan.

    Fadhil menjabarkan bahwa setidaknya terdapat 12 indikator utama perekonomian yang kurang sejalan dengan capaian tinggi ekonomi kuartal II/2025, mulai dari kinerja penjualan kendaraan bermotor, kinerja investasi, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Lemahnya penjualan mobil dan motor menurutnya mencerminkan konsumsi masyarakat kelas menengah-atas yang turun. Hal itu juga seolah mengafirmasi fenomena rojali, alias rombongan jarang beli yang belakangan menjadi perbincangan.

    Lalu, Fadhil juga menyoroti kondisi Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur yang masih kontraksi. Pada Juni 2025 atau akhir kuartal II/2025, PMI Manufaktur ada di level 49,60 alias masih kontraksi karena di bawah 50.

    Indikator lainnya adalah konsumsi rumah tangga yang masih lemah. Sebagai kontributor utama PDB, laju konsumsi rumah tangga masih lebih kecil dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

  • Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Jakarta

    Center of Economic and Law Studies (CELIOS) meragukan data pertumbuhan kuartal II 2025 yang dirilis BPS karena diduga berbeda dengan kondisi riil. Hal ini membuat lembaga tersebut melayangkan surat permintaan investigasi pada Badan Statistik PBB yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.

    Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda mengatakan, ketidakpercayaan terhadap data BPS didasari pada sejumlah anomali yang terjadi bila dibandingkan dengan data historis. Salah satu yang disorotinya, pertumbuhan ekonomi kuartal II lebih tinggi dibandingkan kuartal I yang ada momen Ramadan-Idul Fitri.

    “Pertumbuhan ekonomi triwulan II yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang ada momen Ramadhan-Idul Fitri terasa janggal. Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya di mana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadhan-Idul Fitri,” Jelas Huda, dalam keterangan tertulis, Jumat kemarin.

    Huda mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 tercatat hanya tumbuh 4,87% year on year (yoy). Sedangkan pertumbuhan kuartal II 2025 mencapai 5,12%, yang mana kondisi ini menurutnya terlihat cukup janggal.

    Selain itu, ia juga menyoroti data pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Dengan sumbangan mencapai 50% dari PDB, menurutnya nampak janggal apabila pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal I 2025 hanya 4,95%, tapi pertumbuhan ekonomi di angka 4,87%.

    “Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 (Juni 2025),” ujarnya lagi.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menyoroti dari sisi pertumbuhan sektor industri pengolahan dan investasi (PMTB). Pada rilis BPS terbaru, tercatat industri manufaktur tumbuh tinggi. Padahal, menurutnya, PMI Manufaktur tercatat kontraksi pada periode yang sama.

    Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67% dibanding triwulan ke-I 2025 yang sebesar 19,25%, yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya.

    “Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68% yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi.” ujar Bhima.

    Kejanggalan-kejanggalan inilah yang pada akhirnya mendorong CELIOS mengirimkan surat permintaan peninjauan ulang ke Badan Statistik PBB. Langkah ini sebagai upaya menjaga kredibilitas data BPS yang selama ini digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum.

    Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS Media Wahyudi Askar mengatakan, apabila terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, maka hal itu bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.

    “Data yang kredibel bukan hanya persoalan teknis, tetapi berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia, dan kesejahteraan rakyat. Data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan,” kata Media.

    Dengan data yang tidak akurat, lanjut Media, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja. Menurutnya kondisi ini akan membuat para pelaku usaha. investor, serta masyarakat kebingungan dan terkena dampak negatif.

    (acd/acd)

  • Buruh Sindir Data Serapan Tenaga Kerja: Asal Bapak Senang?

    Buruh Sindir Data Serapan Tenaga Kerja: Asal Bapak Senang?

    Jakarta

    Data serapan tenaga kerja nasional yang dipaparkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dikritik habis-habisan oleh buruh. Kemenperin menyebutkan sejak Januari hingga Juni 2025 serapan tenaga kerja nasional mencapai 303 ribu orang.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan data ini bersifat politis. Dia menyebutkan data tersebut seolah-olah dibuat hanya untuk membuat pimpinan gembira alias ‘asal bapak senang.’

    “Buruh menyatakan data Kemenperin RI tentang serapan tenaga kerja 303 ribu orang ini diduga asal bapak senang dan bersifat politis,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Jumat kemarin.

    Data yang dipaparkan Kemeperin seakan-akan menunjukkan dunia ketenagakerjaan baik-baik saja di tengah hantaman gelombang PHK besar-besaran di sektor riil dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025.

    Menurutnya, PHK marak terjadi di sektor industri tekstil, garmen, elektronik, komponen elektronik, retail, perdagangan mal, hotel, dan sektor padat karya lainnya selama satu semester pertama di 2025. Pihaknya mencatat ada sekitar 54.047 buruh yang kena PHK di semester pertama 2025.

    Ada sekitar 6 alasan Said Iqbal dan para buruh memprotes habis-habisan data Kemenperin. Berikut ini ulasannya.

    Pertama, Kemenperin RI dinilai tidak menyajikan data dalam bentuk tabel jenis industri, nama perusahaan, jumlah serapan tenaga kerja, sektor formal atau informal, dan di daerah mana saja terjadi serapan tenaga kerja. Buruh curiga Kemenperin hanya asal memberi pernyataan.

    Kedua, data Kemenperin soal penyerapan tenaga kerja nasional dalam semester pertama 2025 bertolak belakang dengan data yang disajikan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Data BPJS Ketenagakerjaan dalam kurun waktu yang sama mencatat jumlah peserta BP Jamsostek menurun akibat banyaknya buruh ter-PHK yang mengambil JHT dan menerima JKP.

    “Bila mengikuti alur berfikir Kemenperin RI, seharusnya peserta BPJS TK jumlahnya bertambah sebanyak 303 ribu orang. Karena setiap orang yang bekerja di sektor formal ketika masuk bekerja maka pada saat itu langsung didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” papar Said Iqbal.

    Ketiga, buruh juga curiga Kemenperin mencampur adukkan penyajian data serapan tenaga formal dengan menggabungkan pekerjaan informal sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga kerja yang diserap. Misalnya, orang yang diserap bekerja sebagai mitra pengemudi ojek dan kurir online, pekerja paruh waktu, dan pekerjaan informal lainnya.

    Keempat, buruh juga bertanya-tanya apakah Kemenperin ketika menyajikan data serapan tenaga kerja sebesar 303 ribu orang tersebut menggunakan definisi BPS, yang mendefinisikan orang yang bekerja adalah orang yang bekerja 1 jam selama satu Minggu. Bila definisi ini yang dipakai, maka data Kemenperin dinilai bias.

    Kelima, fakta di lapangan melalui media televisi atau media sosial sangat jelas terlihat sulitnya cari kerja terjadi di mana-mana. Sederet pelaksanaan job fair diprediksi tak mampu menyerap tenaga kerja maksimal.

    “Misal job fair di Bekasi dan Cianjur, menjelaskan fenomena susahnya orang mencari kerja dan tidak ada serapan tenaga kerja yang sesuai dengan data yang disajikan oleh Kemenperin RI,” lanjut Said Iqbal.

    Keenam, Said Iqbal memaparkan memang ada beberapa industri sepatu dari investor luar negeri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Bahkan satu perusahaan bisa menyerap ribuan buruh tetapi mereka melakukan secara bertahap dalam beberapa tahun untuk menyerap tenaga kerjanya.

    “Bukan langsung satu semester terjadi penyerapan tenaga kerja besar-besaran karena industri sepatu tersebut perlu membangun pabrik yang baru dan investasi mesin mesin yang baru secara bertahap dalam tiga sampai lima tahun ke depan,” papar Said Iqbal.

    Buruh menuntut pemerintah untuk menyajikan data tentang lapangan kerja dan secara terbuka, terukur, tidak membuat kondisi yang terjadi di lapangan bias, seolah-olah lapangan kerja terbuka luas di Indonesia dengan mudahnya. Padahal kondisi di lapangan berbeda jauh dari harapan.

    (acd/acd)

  • Bos Buruh Ragu Data Serapan Tenaga Kerja, Dinilai ‘Asal Bapak Senang’

    Bos Buruh Ragu Data Serapan Tenaga Kerja, Dinilai ‘Asal Bapak Senang’

    Jakarta

    Serikat buruh protes soal data serapan kerja nasional semester I 2025 yang dipaparkan oleh Kementerian Perindustrian. Data yang dipaparkan Kementerian Perindustrian menyebutkan sejak Januari hingga Juni 2025 serapan tenaga kerja nasional mencapai 303 ribu orang.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, data itu patut diduda hanya untuk ‘Asal bapak senang dan bersifat politis’ yang seolah-olah kondisi dunia ketenagakerjaan baik-baik saja di tengah hantaman gelombang PHK besar-besaran di sektor riil dalam kurun waktu Januari – Juni 2025, terutama PHK di sektor industri tekstil, garmen, elektronik, komponen elektronik, retail, perdagangan mal, hotel, dan sektor padat karya lainnya (labour intensif). Pihaknya mencatat ada sekitar 54.047 buruh yang kena PHK di semester pertama 2025.

    Menurut Said Iqbal, data Kemenperin bertolak belakang dengan data yang disajikan oleh BPJS Ketenagakerjaan yang dalam kurun waktu yang sama menyatakan bahwa jumlah peserta BP Jamsostek menurun. Penurunan ini terjadi akibat banyaknya buruh ter-PHK yang mengambil JHT dan menerima JKP.

    “Bila mengikuti alur pikiran Kemenperin RI, seharusnya peserta BPJS TK jumlahnya bertambah sebanyak 303 ribu orang. Karena setiap orang yang bekerja di sektor formal ketika masuk bekerja maka pada saat itu langsung didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Jumat (8/8/2025).

    “Tetapi kenapa BP Jamsostek menyebut jumlah peserta di kurun waktu Januari hingga Juni 2025 menurun angkanya. Sungguh ini data yang aneh,” lanjutnya bertanya-tanya.

    Presiden Partai Buruh tersebut menduga Kemenperin mencampur adukkan penyajian data serapan tenaga kerja 303 ribu orang dengan menggabungkannya dengan data pekerjaan informal sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga kerja yang diserap. Sebab, angkanya tinggi sekali.

    “Misalnya ada orang yang diserap bekerja sebagai Gojek, Grab, Shopee, atau platform lain, bekerja di dapur MBG, pekerja paruh waktu, dan sektor informal lainnya. Inilah patut diduga data 303 ribu orang ini cuma untuk asal bapak senang dan politis,” tegasnya.

    Kalangan buruh menuntut pemerintah untuk menyajikan data tentang lapangan kerja dan secara terbuka, transparan, akuntabel, dan tidak bias. “Jangan membuat seolah-olah negeri ini lapangan kerjanya terbuka luas dengan mudahnya. Padahal kondisi di lapangan berbeda jauh dari harapan,” pungkas Said Iqbal.

    (acd/acd)