Kasus: PHK

  • Menaker Mau Bentuk Satgas Anti PHK, Bisa Apa? – Page 3

    Menaker Mau Bentuk Satgas Anti PHK, Bisa Apa? – Page 3

    Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, secara tegas menolak rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai PPN 12% pada 2025.

    Kebijakan ini dinilai dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kecil dan buruh, khususnya di tengah minimnya kenaikan upah.

    Menurut Said Iqbal, kenaikan PPN akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat yang sudah tertekan.

    “Kebijakan ini diprediksi akan menurunkan daya beli secara signifikan, memperlebar kesenjangan sosial, dan menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8 persen,” ujar Said Iqbal di Jakarta, Selasa (19/11/2024).

    Ia juga menyoroti potensi kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN yang lebih tinggi. Hal ini, katanya, akan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai sektor. Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang diproyeksikan hanya 1-3 persen dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

    “Lesunya daya beli akan memperburuk pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor,” tambahnya.

     

  • Temui Pemimpin Dunia, Langkah Prabowo Disebut Seperti Gus Dur

    Temui Pemimpin Dunia, Langkah Prabowo Disebut Seperti Gus Dur

    Jakarta (beritajatim.com) – Wakil Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid menyebut, langkah Presiden Prabowo Subianto untuk bertemu dengan para pemimpin dunia di awal jabatan kepresidenannya sama seperti yang dilakukan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid.

    Saat itu Gus Dur mengadakan banyak muhibah ke luar negeri untuk memastikan dukungan global terhadap proses reformasi yang dilakukan Indonesia.

    ”Langkah Presiden Prabowo untuk menguatkan dukungan global terhadap Indonesia sama yang dilakukan Gus Dur. Saat itu dukungan global mampu menyelamatkan Indonesia dari ancaman disintegrasi dan menguatkan gerakan demokratisasi di tanah air. Saat ini kita butuh dukungan global untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan bisa mencapai 8 persen per tahun,” kata Gus Jazil, sapaan Jazilul Fawaid, Senin (25/11/2024).

    Diketahui, Presiden Prabowo melakukan kunjungan luar negeri sejak 8 November 2024. Prabowo secara maraton mengunjungi Cina, Amerika Serikat (AS), Peru untuk KTT APEC, Brasil untuk KTT G20, dan Inggris. Prabowo menutup kunjungan ke luar negeri dengan bertemu Presiden Persatuan Emirat Arab Mohammad bin Zayed di Abu Dhabi.

    Jazil juga menilai, respons pemimpin dunia kepada Prabowo Subianto sangat positif. Hal itu terbukti dengan sambutan hangat Presiden China Xi Jinping, Presiden AS Joe Biden hingga Raja Inggris Charles III kepada mantan Pangkostrad TNI tersebut.

    “Presiden Prabowo juga mampu mencairkan suasana setiap pertemuan dengan koleganya seperti saat berkunjung ke Downing Street di mana beliau bisa dengan santai bercerita tentang kucing peliharaannya dengan Wakil PM Inggris Angela Reiner,” katanya.

    Wakil Ketua Badan Anggaran DPR ini mengatakan Indonesia saat ini sangat membutuhkan banyak investasi dari luar negeri. Apalagi dalam beberapa waktu terakhir sejumlah indikator ekonomi Indonesia menunjukkan indikasi negatif.

    “Kita saat ini mengalami deflasi, tren PHK naik, hingga peningkatan jumlah penduduk miskin. Masuknya investasi dari luar negeri akan menjadi darah segar bagi pertumbuhan ekonomi kita,” ujarnya.

  • Respons Yassierli Soal Polemik Upah Minimum Industri Padat Modal dan Padat Karya

    Respons Yassierli Soal Polemik Upah Minimum Industri Padat Modal dan Padat Karya

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli buka suara usai kalangan buruh menolak salah satu poin dalam draf aturan pengupahan baru, yakni ihwal pembagian dua kategori kenaikan upah minimum untuk industri padat karya dan padat modal.

    Yassierli menjelaskan pembagian tersebut sempat masuk dalam bahan diskusi. Awalnya, pemerintah ingin agar pembagian kategori tersebut dapat melindungi perusahaan yang tengah mengalami kesulitan finansial.

    “Itu diskusi awal-awal, esensinya kan kita ingin melindungi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan finansial,” kata Yassierli di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Senin (25/11/2024).

    Setelah pihaknya mempertimbangkan lebih lanjut, Yassierli menilai rencana tersebut tidak mudah untuk diimplementasikan. “Ternyata tidak sesederhana memisahkan padat karya dengan padat modal,” ujarnya.

    “Tapi semangatnya adalah kita ingin meningkatkan penghasilan pekerja dengan tetap memerhatikan daya saing usaha,” lanjutnya.

    Dalam catatan Bisnis, kalangan buruh menolak draf Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang diusulkan oleh Menaker Yassierli. Salah satunya, terkait pembagian dua kategori kenaikan upah minimum untuk industri padat karya dan padat modal.

    Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal menilai, kebijakan itu dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.168/PUU-XXI/2023.

    “Pembagian dua kategori kenaikan upah minimum ini melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Senin (25/11/2024).

    Dalam putusan MK, Said Iqbal menyebut bahwa kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang disimbolkan dengan α, dengan memerhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL).

    Untuk itu, kalangan buruh yang terdiri dari Partai Buruh, KSPI, dan KSPSI menolak draft isi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang membagi upah minimum menjadi dua kategori tersebut.

    Sementara itu, Anggota Depenas dari unsur pengusaha Sarman Simanjorang menyampaikan, draft tersebut tidak hanya memuat kepentingan pekerja dan buruh, tetapi juga kepentingan pengusaha.

    Dia menilai bahwa industri padat karya perlu mendapat perhatian khusus, di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Apalagi, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri ini cukup besar sehingga kenaikan upah minimum 2025 ini diharapkan tidak semakin membebani industri tersebut.

    Lebih lanjut, dia menyebut bahwa tidak ada yang dapat memperkirakan kondisi ekonomi tahun depan, mengingat tahun ini telah terjadi penurunan daya beli dan deflasi dalam lima bulan terakhir.

    Dia khawatir, kenaikan upah yang terlalu tinggi di sektor ini membuat pelaku usaha terpaksa melakukan efisiensi yang berujung pada PHK. Untuk itu, dia mengharapkan pemerintah untuk menaikkan upah minimum 2025 dengan mempertimbangkan kemampuan dunia usaha, yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta kontribusi ketenagakerjaan terhadap pertumbuhan ekonomi.

    “…bahwa ada penetapan UMP tambahan yaitu kebutuhan hidup layak, kami bisa menerima itu sejauh angkanya sesuai dengan kemampuan dunia usaha,” pungkas Sarman.

  • Pengusaha Minta Buruh Sikapi dengan Bijak Draf Aturan Upah Minimum 2025

    Pengusaha Minta Buruh Sikapi dengan Bijak Draf Aturan Upah Minimum 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari unsur pengusaha meminta kalangan buruh untuk menyikapi draf Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) pengupahan dengan bijak. Aturan soal pengupahan ini nantinya akan menjadi pedoman dalam penetapan upah minimum tahun depan.

    Anggota Depenas dari unsur pengusaha Sarman Simanjorang menyampaikan, draf tersebut tidak hanya memuat kepentingan pekerja dan buruh, tetapi juga kepentingan pengusaha.

    “Teman-teman dari serikat pekerja/buruh juga harus menyikapi draf Permenaker ini secara bijak,” kata Sarman kepada Bisnis, Senin (25/11/2024).

    Adapun, salah satu poin yang ditolak kalangan buruh dalam draf tersebut adalah soal penetapan upah yang terbagi menjadi dua kategori yakni kenaikan upah minimum untuk industri padat karya dan kenaikan upah minimum industri padat modal. 

    Hal ini dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana dalam putusannya, kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang disimbolkan dengan α, dengan memerhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL).

    Merespons hal tersebut, Sarman menilai bahwa industri padat karya perlu mendapat perhatian khusus, di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Apalagi, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri ini cukup besar sehingga kenaikan upah minimum 2025 ini diharapkan tidak semakin membebani industri tersebut.

    Lebih lanjut, dia menyebut bahwa tidak ada yang dapat memperkirakan kondisi ekonomi tahun depan, mengingat tahun ini telah terjadi penurunan daya beli dan deflasi dalam 5 bulan terakhir.

    Dia khawatir kenaikan upah yang terlalu tinggi di sektor ini membuat pelaku usaha terpaksa melakukan efisiensi yang berujung pada PHK. 

    Untuk itu, dia mengharapkan pemerintah untuk menaikkan upah minimum 2025 dengan mempertimbangkan kemampuan dunia usaha, yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta kontribusi ketenagakerjaan terhadap pertumbuhan ekonomi.

    “…bahwa ada penetapan UMP tambahan yaitu kebutuhan hidup layak, kami bisa menerima itu sejauh angkanya sesuai dengan kemampuan dunia usaha,” pungkasnya. 

  • KIP Desak Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

    KIP Desak Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Informasi Pusat (KIP) mendesak pemerintah meninjau ulang kembali terkait kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Hal ini termasuk sosialisasinya, karena masyarakat perlu adanya keterbukaan informasi mengenai kebijakan yang bakal berlaku mulai awal 2025.

    Komisioner Bidang Penelitian dan Dokumentasi KIP Rospita Vici Paulyn mengatakan, geliat ekonomi di Indonesia belum terlihat stabil setelah pandemi. PHK karyawan banyak terjadi, bahkan pekerjaan formal menyusut.

    “Maka dari itu, pemerintah harus terbuka dan transparan terhadap peraturan dan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, khususnya terkait kenaikan PPN 12% baik dalam menyampaikan rencana, sosialisasi, dan implementasinya yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang,” jelasnya di kantor KI Pusat, Jakarta, Senin (25/11/2024).

    KIP pun mendorong pemerintah untuk mendengarkan aspirasi rakyat dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam merumuskan setiap peraturan dan kebijakan publik. Hal ini guna memastikan kebijakan pemerintah benar-benar mencerminkan kebutuhan sesungguhnya rakyat apa yang dibutuhkan dan tidak.

    “Pemerintah perlu ada kajian yang komprehensif dan melakukan sosialisasi masif sebelum diimplementasikan. Apalagi geliat ekonomi yang belum terlihat stabil pasca pandemi. PHK banyak terjadi dan pekerjaan formal menyusut,” tegas Rospita.

    Ia menilai, akibat tidak transparan, kebijakan ini akhirnya menimbulkan polemik di masyarakat. KIP pun mendorong pemerintah harusnya terbuka soal rencana pajak ini akan digunakan untuk apa dan memastikan bisa digunakan dengan baik.

    “Pemerintah perlu menjelaskan, apakah benar-benar dimanfaatkan maksimal oleh pemerintah,” kata dia.  

    KIP mencatat rencana kenaikan PPN 12% ini juga akan berdampak pada pengeluaran masyarakat. Setidaknya, KIP menilai rencana ini akan berpengaruh ke konsumsi rumah tangga, penurunan kinerja produksi perusahaan, pemutusan hubungan kerja (PHK), merosotnya minat investasi, dan target pertumbuhan akan sulit dicapai.

    “Ini menjadi dampak dari kenaikan PPN menjadi 12%. Masyarakat kita yang menengah ke bawah yang akan mengalaminya,” pungkas Rospita Vici.  

  • Komisi Informasi Nilai Pemerintah Harusnya Serius Kaji Kebijakan PPN 12 Persen

    Komisi Informasi Nilai Pemerintah Harusnya Serius Kaji Kebijakan PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Informasi (KI) Pusat menilai pemerintah seharusnya melakukan kajian mendalam terkait kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen. Menurutnya, perlu dipertimbangkan terkait hak masyarakat dalam mendapatkan informasi yang relevan terkait kebijakan dimaksud.

    “Pemerintah harusnya melakukan kajian yang komprehensif serta melakukan sosialisasi sebelum diimplementasikan. Jadi enggak bisa seharusnya dengan seenaknya ngomong ‘ya terserah deh masyarakat bersuara seperti apa, yang penting tahun depan per 1 Januari PPN naik 12 persen’,” kata Komisioner KI Pusat, Rospita Vici Paulyn saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (25/11/2024).

    Rospita menegaskan, pemerintah punya kewajiban untuk bersikap terbuka atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Apalagi kebijakan tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak.

    “Pertanyaannya, itu kajiannya bagaimana? Kemudian siapa masyarakat yang dilibatkan di situ untuk pembahasan terkait kenaikan PPN itu? Apakah kemudian sudah mempertimbangkan atau memperhatikan tentang hak masyarakat untuk mendapatkan informasi di situ,” ungkap Rospita.

    Rospita menekankan, pemerintah perlu mendengarkan aspirasi masyarakat dalam mengambil kebijakan. Ditambah lagi terkait kebijakan PPN 12 persen dan kondisi masyarakat kini tidak sedang baik-baik saja.

    “Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kenaikan PPN karena dilakukan dalam kondisi ekonomi masyarakat yang masih sangat lesu. Kemudian masyarakat juga masih susah akibat dampak pandemi Covid-19, PHK di mana-mana, mencari pekerjaan saja susah, dan dibebani lagi dengan tambahan pajak 1 persen,” ucap Rospita.

    Tak kalah penting, Rospita turut menekankan pentingnya supaya administrasi perpajakan dibenahi. Soal itu, dia menyoroti soal rencana tax amnesty yang mencuat baru-baru ini. Menurutnya, tak semestinya pemerintah memberikan kemudahan kepada para pengemplang pajak.

    “Kalau pemerintah bicara terhadap pengemplang pajak ternyata hasil tax amnesty juga tidak signifikan untuk membantu negara. Jadi seharusnya itu (tax amnesty) tidak ada kalau dari pandangan kami, karena seharusnya pemerintah tidak memberikan kemudahan kepada pengemplang pajak. Namun, bahwa itu kewajibannya untuk membayar sama seperti masyarakat Indonesia yang lain dan harusnya tetap diperlakukan sama,” tutur Rospita.

    “Ini menjadi catatan-catatan kami terhadap kenaikan PPN 12 persen, tetapi yang paling utama adalah pemerintah harus secara terbuka menyampaikan kepada publik, sehingga publik paham bahwa kebijakan kenaikan PPN 12 persen kemudian tidak menjadi beban masyarakat yang membayar, kemudian tidak mendapatkan hasil apa-apa dari pajak yang dibayarkannya,” pungkasnya.

  • Butuh Dukungan, PPh Final UMKM Diminta Diperpanjang

    Butuh Dukungan, PPh Final UMKM Diminta Diperpanjang

    Jakarta: Pemerintah diminta memperpanjang fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pasalnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, kebijakan tarif pajak 0,5 persen untuk omzet di bawah Rp4,8 miliar berlaku hingga akhir 2024.
     
    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, insentif bagi UMKM ini mestinya diperpanjang. Tak hanya itu, Bhima bahkan mengusulkan agar pemerintah memberikan tarif yang lebih rendah sebagai stimulus kepada para pelaku UMKM agar bisnisnya tetap bisa berjalan.
     
    “Jadi bukan hanya PPh 0,5 persen harus dicegah sehingga tidak naik tahun depan, tapi disarankan PPh UMKM itu diturunkan menjadi 0,1 sampai 0,2 persen dari omzet,” kata dia kepada media, Senin, 25 November 2024.
     
    Ia mengungkapkan, pertimbangan berikutnya adalah UMKM membutuhkan stimulus fiskal yang jauh lebih besar karena UMKM akan terkena dampak secara langsung dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan. Selain itu, pertumbuhan kredit UMKM juga tengah melambat.
     
    “Jadi perlu dukungan stimulus perpajakannya berpihak kepada UMKM. Yang terpenting UMKM ini patuh dalam membayar pajak, jadi semakin rendah tarifnya dia semakin patuh membayar pajak. Kepatuhan dari sisi UMKM ini akan mendongkrak penerimaan pajak dibandingkan tarifnya dinaikan,” ujarnya.
     
    Sebagai motor penggerak perekonomian, Bhima menambahkan, UMKM harus benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Apalagi dengan serapan 117 juta tenaga kerja atau 97 persen di sektor ini, ia berharap, insentif yang lebih rendah akan memberi kepastian bagi UMKM.
     
    “Bukan hanya mencegah PPh UMKM dinaikan di 2025 tapi juga memastikan tarifnya lebih rendah lagi, sehingga serapan tenaga kerja di UMKM bisa  meningkat untuk mengompensasi terjadinya PHK di sektor industri padat karya,” kata dia.
     
    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto juga mengatakan, sebaiknya insentif ini diperpanjang mengingat UMKM masih memerlukan dukungan fiskal, khususnya UMKM di sektor-sektor yang belum pulih dari pandemi. Jika dicabut, maka beban UMKM akan bertambah dan semakin sulit bersaing dengan non-UMKM.
     
    “Insentif ini lebih ke UMKM, kalau ke pembeli/konsumennya ya sebaiknya PPN tidak perlu dinaikkan dulu, tunda sampai ekonomi membaik, tumbuh di sekitar enam persen” tambah Eko.
     

    Sebelumnya, Kementerian UMKM berencana mengusulkan perpanjangan tarif pajak penghasilan (PPh) 0,5 persen untuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Kebijakan perpanjangan PPh 0,5 persen dianggap penting bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar supaya tetap mendapatkan insentif pajak yang meringankan beban usaha.
     
    Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyampaikan bahwa pihaknya sedang berdiskusi dengan Kementerian Keuangan yang dipimpin oleh Sri Mulyani untuk memperpanjang insentif pajak ini. Saat ini, aturan tersebut masih berlaku hingga akhir 2024 sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018.
     
    Adapun setelah masa tarif PPh Final berakhir, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). UMKM dengan omzet di atas Rp4,8 miliar atau yang memilih tidak menggunakan NPPN akan dikenakan pajak berdasarkan tarif progresif dengan rincian:

    5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta,
    15% untuk Rp60 juta–Rp250 juta,
    25% untuk Rp250 juta–Rp500 juta,
    30% untuk Rp500 juta–Rp1 miliar,
    35% untuk lebih dari Rp1 miliar.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (END)

  • Konsumen Otomotif Keluhkan Rencana Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

    Konsumen Otomotif Keluhkan Rencana Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

    Tangerang, Beritasatu.com – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 memicu protes dari masyarakat, terutama di sektor otomotif.

    Kebijakan ini dikhawatirkan akan berdampak langsung pada peningkatan harga mobil baru, yang berpotensi melemahkan daya beli konsumen. Akibatnya, pasar otomotif nasional diprediksi mengalami penurunan yang signifikan.

    Keluhan ini disampaikan oleh pengunjung pameran Gaikindo Jakarta Auto Week (GJAW) 2024 di ICE BSD Tangerang pada Minggu (24/11/2024). Salah satunya adalah Prio (48), warga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang berencana membeli mobil di acara tersebut. Ia merasa keberatan dengan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen, yang dinilai akan membuat harga kendaraan dan pajaknya semakin tinggi.

    “Kalau ingin beli kendaraan, harus menyiapkan dana lebih (karena PPN naik). Kemungkinan saya harus menurunkan spesifikasi mobil, dari awalnya kepingin spesifikasi A turun menjadi B,” ujar Prio kepada Beritasatu.com.

    Menurutnya, pemerintah sebaiknya menunda rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang baru mulai pulih dari dampak pandemi Covid-19. Selain itu, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sepanjang 2024 telah memperberat beban masyarakat kelas menengah.

    Hal serupa juga disampaikan Neno (39), warga Tangerang, Banten, yang tidak setuju dengan pemberlakuan PPN 12 persen karena dianggap memberatkan masyarakat.

    “Kurang setuju ya. Maksudnya nanti dahulu, kalau bisa tunggu perekonomian kita stabil,” ujarnya.

    Sebagai langkah antisipasi, Neno memutuskan membeli mobil lebih awal di GJAW 2024 dengan memberikan uang muka untuk menghindari kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai tahun depan.

    “Kalau memang ada niat mau ganti kendaraan, lebih baik dari sekarang. Kita kasih booking fee atau DP dahulu supaya kita enggak dikenakan PPN 12 persen,” kata Neno.

    Konsumen lainnya bernama Agam (39) juga mengaku tidak setuju dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen karena akan berdampak negatif pada daya beli masyarakat.

    “Dengan PPN 12 persen akan ada penurunan daya beli masyarakat. Kalau mau membeli mobil akan berpikir ulang karena ada kenaikan pajak,” kata Agam.

  • Pemerintah Diminta Perpanjang Insentif Pajak buat UMKM

    Pemerintah Diminta Perpanjang Insentif Pajak buat UMKM

    Jakarta

    Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang kebijakan tarif pajak 0,5% untuk omzet di bawah Rp 4,8 miliar berlaku hingga akhir 2024. Pemerintah diminta untuk memperpanjang fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% buat pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan, insentif bagi UMKM ini harusnya diperpanjang. Tak hanya itu, Bhima bahkan mengusulkan agar pemerintah memberikan tarif yang lebih rendah sebagai stimulus kepada para pelaku UMKM agar bisnisnya tetap bisa berjalan.”Jadi bukan hanya PPh 0,5% harus dicegah sehingga tidak naik tahun depan, tapi disarankan PPh UMKM itu diturunkan menjadi 0,1 sampai 0,2% dari omzet,” kata dia, ditulis Minggu (24/11/2024).

    Ia mengungkapkan, pertimbangan berikutnya adalah UMKM membutuhkan stimulus fiskal yang jauh lebih besar karena UMKM akan terkena dampak secara langsung dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai tahun depan.

    Selain itu, pertumbuhan kredit UMKM juga tengah melambat. “Jadi perlu dukungan stimulus perpajakannya berpihak kepada UMKM. Yang terpenting UMKM ini patuh dalam membayar pajak, jadi semakin rendah tarifnya dia semakin patuh membayar pajak. Kepatuhan dari sisi UMKM ini akan mendongkrak penerimaan pajak dibandingkan tarifnya dinaikkan,” ujarnya.

    Sebagai motor penggerak perekonomian, Bhima menambahkan, UMKM harus benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Apalagi dengan serapan 117 juta tenaga kerja atau 97 persen di sektor ini, ia berharap, insentif yang lebih rendah akan memberi kepastian bagi UMKM.”Bukan hanya mencegah PPh UMKM dinaikan di 2025 tapi juga memastikan tarifnya lebih rendah lagi, sehingga serapan tenaga kerja di UMKM bisa meningkat untuk mengompensasi terjadinya PHK di sektor industri padat karya,” kata dia.

    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto juga mengatakan, sebaiknya insentif ini diperpanjang mengingat UMKM masih memerlukan dukungan insentif fiskal, khususnya UMKM di sektor-sektor yang belum pulih dari Pandemi. Jika dicabut, maka beban UMKM akan bertambah, makin sulit bersaing dengan non UMKM.

    “Insentif ini lebih ke UMKM, kalau ke pembeli/konsumennya ya sebaiknya PPN tidak perlu dinaikkan dulu, tunda sampai ekonomi membaik, tumbuh di sekitar 6%,” tambah Eko.

    Sebelumnya, Kementerian UMKM berencana mengusulkan perpanjangan tarif pajak penghasilan (PPh) 0,5% untuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Kebijakan perpanjangan PPh 0,5% dianggap penting bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar supaya tetap mendapatkan insentif pajak yang meringankan beban usaha.

    Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyampaikan bahwa pihaknya sedang berdiskusi dengan Kementerian Keuangan yang dipimpin oleh Sri Mulyani untuk memperpanjang insentif pajak ini. Saat ini, aturan tersebut masih berlaku hingga akhir 2024 sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018.

    Adapun setelah masa tarif PPh Final berakhir, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). UMKM dengan omzet di atas Rp4,8 miliar atau yang memilih tidak menggunakan NPPN akan dikenakan pajak berdasarkan tarif progresif dengan rincian:

    5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta15% untuk Rp60 juta-Rp250 juta25% untuk Rp250 juta-Rp500 juta30% untuk Rp500 juta-Rp1 miliar35% untuk lebih dari Rp1 miliar

    (kil/kil)

  • Kenaikan PPN 12 Persen Akan Picu Gelombang PHK Industri

    Kenaikan PPN 12 Persen Akan Picu Gelombang PHK Industri

    Jakarta, Beritasatu.com – Center of Reform on Economics (Core) Indonesia mengatakan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

    Ekonom senior dan pendiri Core Indonesia Hendri Saparini menyebut, saat ini daya beli masyarakat menurun sehingga penjualan dan produksi juga ikut menurun. Ketika menjadi PPN 12 persen diterapkan, maka supply dan demand akan menurun sehingga karyawan berisiko mengalami PHK.

    “Industri saat ini kapasitas terpakainya sudah rendah, kemudian tidak ada yang membeli, dan pasti dia akan layoff karena tidak ada pilihan lain. Nah, jadi PHK itu terjadi, dan akan jadi rentetan,” pungkas Hendri kepada Beritasatu.com seusai ditemui di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024).

    Untuk itu Hendri meminta agar pemerintah menunda menaikkan PPN 12 persen sambil menunggu kondisi konsumsi dan industri kembali pulih. Di samping itu, pemerintah juga bisa melakukan evaluasi terhadap pajak penghasilan (PPh) sebelum menerapkan PPN 12 persen.

    Hal senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal. Menurutnya, gelombang PHK terjadi setelah PPN 12 persen diterapkan. Hal itu karena menurunnya profitabilitas sebuah industri.

    Selain itu, kenaikan PPN 12 persen juga akan membuat daya beli masyarakat kelas menengah menurun yang akan berdampak pada produksi industri. Otomatis, mereka akan melakukan efisiensi, mengurangi jumlah karyawannya, dan memicu PHK.

    “Jadi kalau PPN naik jadi 12 persen akan menekan industri, sehingga konsumsinya akan turun dan industri kena. Kapasitas produksinya turun sehingga mereka terpaksa harus melakukan efisiensi, mengurangi jumlah karyawan dengan PHK karena tidak kuat,” pungkasnya.