Kasus: penganiayaan

  • Remaja Bunuh Pemuda di Tarakan gegara Cinta Segitiga Sesama Jenis

    Remaja Bunuh Pemuda di Tarakan gegara Cinta Segitiga Sesama Jenis

    Jakarta

    Pemuda berinisial H (27) di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara), tewas dianiaya remaja berinisial RS (17) gegara perkara cinta sesama jenis. Sebelum tewas, korban H diduga cemburu terhadap pelaku RS karena menjalin hubungan dengan pacarnya inisial JK yang juga seorang pria.

    “Kasus penganiayaan ini dilatarbelakangi asmara, di mana pelaku ini merupakan mantan kekasih dari saksi (JK). Sementara korban merupakan pacar dari JK,” ucap Kasat Reskrim Polres Tarakan AKP Randhya Sakthika Putra dilansir detikSulsel, Selasa (26/11/2024).

    Persoalan ini bermula saat korban mendatangi pelaku di tempat kerjanya di sebuah warung makan di Jalan Yos Sudarso pada Kamis (21/11) sekitar pukul 21.30 Wita. Korban dan pelaku kemudian terlibat adu mulut.

    “Korban marah kepada pelaku dan sempat menampar dahi dan membanting handphone milik pelaku. Bahkan perkelahian itupun dilihat oleh beberapa pengunjung warung makan hingga jukir di lokasi,” jelasnya.

    “Pelaku menganiaya korban menggunakan tangan kosong. Sementara luka yang paling fatal di leher karena waktu didorong terbentur dinding batu,” ungkapnya.

    (rdp/idh)

  • 7 Fakta Guru Supriyani Bebas saat Hari Guru Nasional

    7 Fakta Guru Supriyani Bebas saat Hari Guru Nasional

    Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Andoolo Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), menjatuhkan vonis bebas terhadap Supriyani, seorang guru SD Negeri 4 Baito, yang sebelumnya dituduh menganiaya muridnya. Keputusan ini menjadi kabar baik sekaligus momen bersejarah karena bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional pada 25 November 2024. 

    Kasus Supriyani menjadi cerminan perjuangan guru honorer melawan ketidakadilan. Dengan vonis bebas yang dijatuhkan pada Hari Guru, kasus ini menjadi pengingat bahwa profesi guru perlu dilindungi dari potensi kriminalisasi yang tidak berdasar. Hari Guru kali ini menjadi momen penuh haru, bukan hanya untuk Supriyani, tetapi juga untuk dunia pendidikan di Indonesia.

    Berikut adalah tujuh fakta menarik terkait vonis bebas Supriyani:
    1. Vonis Bebas Tanpa Bukti yang Meyakinkan
    Majelis hakim menyatakan bahwa Supriyani tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas tuduhan penganiayaan terhadap muridnya. 

    “Menyatakan Terdakwa guru Supriyani tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu dan dakwaan kedua penuntut umum,” kata hakim ketua PN Andoolo, Stevie Rosano, Senin 25 November 2024.

    Baca juga: Abdul Mu’ti Janji Bereskan Persoalan Guru yang Belum Punya Gelar Sarjana

    2. Hak-Hak Supriyani Dipulihkan
    Hakim dalam putusannya meminta agar hak-hak Supriyani sebagai guru dipulihkan, baik dari sisi kedudukan, harkat, maupun martabatnya. Keputusan ini membawa keadilan bagi Supriyani yang telah menghadapi stigma negatif selama proses hukum berlangsung.

    “Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya,” tambah Stevie Rosano. 
    3. Latar Belakang Kasus: Teguran Berujung Tuduhan Penganiayaan
    Kasus ini bermula pada awal Oktober 2024, ketika Supriyani menegur seorang murid berinisial A yang berperilaku kurang disiplin saat pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung. Menurut laporan, Supriyani dituduh memukul A dengan batang sapu ijuk, yang kemudian memicu laporan ke polisi oleh orang tua A, seorang anggota Polri. Tuduhan ini menjadi dasar pengadilan hingga akhirnya Supriyani ditahan.

    4. Dugaan Pemerasan oleh Oknum Polisi
    Kasus ini menjadi kontroversial setelah muncul dugaan bahwa penahanan Supriyani dilatarbelakangi permintaan uang damai sebesar Rp50 juta dari oknum polisi yang merupakan orang tua murid tersebut. Kapolsek Baito saat itu, M Idris, bahkan diduga telah menerima Rp2 juta. 

    Akibatnya, Idris dan Aipda Wibowo Hasyim, eks Kanit Intel Polsek Baito, dicopot dari jabatannya. Kasus ini juga mendapat sorotan dari mantan pejabat Polri seperti Komjen (Purn) Oegroseno yang mendesak sidang etik terhadap para oknum.
    5. Aksi Solidaritas Rekan Guru dan PGRI
    Kasus ini memicu gelombang solidaritas dari rekan-rekan guru dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kepala Sekolah SDN 4 Baito, Sanaali, menyebut bahwa Supriyani adalah guru berdedikasi tinggi dan menilai tuduhan tersebut tidak adil. PGRI Konawe Selatan bahkan menggelar aksi mogok mengajar sebagai bentuk protes atas kriminalisasi yang dianggap melukai dunia pendidikan.

    6. Supriyani Bebas di Hari Guru
    Momentum pembebasan Supriyani pada Hari Guru menjadi simbol kemenangan atas perjuangan panjang melawan kriminalisasi. Vonis bebas ini juga mendapat sambutan haru dari keluarga, rekan sejawat, dan para muridnya.

    Supriyani ditahan di Lapas Perempuan Kendari selama tujuh hari, tepatnya sejak 16 Oktober 2024. Penahanan ini terjadi setelah dirinya dilaporkan oleh orang tua murid berinisial A, yang merupakan anggota Polsek Baito. Meski penahanannya kemudian ditangguhkan, pengalaman tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi Supriyani.
    7. Serangan Balik Supriyani
    Setelah dinyatakan bebas, Supriyani melalui kuasa hukumnya berencana melaporkan balik Aipda Wibowo Hasyim atas dugaan kriminalisasi. Serangan balik ini diharapkan menjadi pelajaran penting agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.

     “Langkah hukum akan diambil untuk melawan pihak-pihak yang telah berupaya memidanakan Supriyani tanpa dasar bukti yang kuat,” kata Andri.

    Jakarta: Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Andoolo Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), menjatuhkan vonis bebas terhadap Supriyani, seorang guru SD Negeri 4 Baito, yang sebelumnya dituduh menganiaya muridnya. Keputusan ini menjadi kabar baik sekaligus momen bersejarah karena bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional pada 25 November 2024. 
     
    Kasus Supriyani menjadi cerminan perjuangan guru honorer melawan ketidakadilan. Dengan vonis bebas yang dijatuhkan pada Hari Guru, kasus ini menjadi pengingat bahwa profesi guru perlu dilindungi dari potensi kriminalisasi yang tidak berdasar. Hari Guru kali ini menjadi momen penuh haru, bukan hanya untuk Supriyani, tetapi juga untuk dunia pendidikan di Indonesia.
     
    Berikut adalah tujuh fakta menarik terkait vonis bebas Supriyani:

    1. Vonis Bebas Tanpa Bukti yang Meyakinkan

    Majelis hakim menyatakan bahwa Supriyani tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas tuduhan penganiayaan terhadap muridnya. 
    “Menyatakan Terdakwa guru Supriyani tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu dan dakwaan kedua penuntut umum,” kata hakim ketua PN Andoolo, Stevie Rosano, Senin 25 November 2024.
     
    Baca juga: Abdul Mu’ti Janji Bereskan Persoalan Guru yang Belum Punya Gelar Sarjana

    2. Hak-Hak Supriyani Dipulihkan

    Hakim dalam putusannya meminta agar hak-hak Supriyani sebagai guru dipulihkan, baik dari sisi kedudukan, harkat, maupun martabatnya. Keputusan ini membawa keadilan bagi Supriyani yang telah menghadapi stigma negatif selama proses hukum berlangsung.
     
    “Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya,” tambah Stevie Rosano. 

    3. Latar Belakang Kasus: Teguran Berujung Tuduhan Penganiayaan

    Kasus ini bermula pada awal Oktober 2024, ketika Supriyani menegur seorang murid berinisial A yang berperilaku kurang disiplin saat pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung. Menurut laporan, Supriyani dituduh memukul A dengan batang sapu ijuk, yang kemudian memicu laporan ke polisi oleh orang tua A, seorang anggota Polri. Tuduhan ini menjadi dasar pengadilan hingga akhirnya Supriyani ditahan.

    4. Dugaan Pemerasan oleh Oknum Polisi

    Kasus ini menjadi kontroversial setelah muncul dugaan bahwa penahanan Supriyani dilatarbelakangi permintaan uang damai sebesar Rp50 juta dari oknum polisi yang merupakan orang tua murid tersebut. Kapolsek Baito saat itu, M Idris, bahkan diduga telah menerima Rp2 juta. 
     
    Akibatnya, Idris dan Aipda Wibowo Hasyim, eks Kanit Intel Polsek Baito, dicopot dari jabatannya. Kasus ini juga mendapat sorotan dari mantan pejabat Polri seperti Komjen (Purn) Oegroseno yang mendesak sidang etik terhadap para oknum.

    5. Aksi Solidaritas Rekan Guru dan PGRI

    Kasus ini memicu gelombang solidaritas dari rekan-rekan guru dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kepala Sekolah SDN 4 Baito, Sanaali, menyebut bahwa Supriyani adalah guru berdedikasi tinggi dan menilai tuduhan tersebut tidak adil. PGRI Konawe Selatan bahkan menggelar aksi mogok mengajar sebagai bentuk protes atas kriminalisasi yang dianggap melukai dunia pendidikan.

    6. Supriyani Bebas di Hari Guru

    Momentum pembebasan Supriyani pada Hari Guru menjadi simbol kemenangan atas perjuangan panjang melawan kriminalisasi. Vonis bebas ini juga mendapat sambutan haru dari keluarga, rekan sejawat, dan para muridnya.
     
    Supriyani ditahan di Lapas Perempuan Kendari selama tujuh hari, tepatnya sejak 16 Oktober 2024. Penahanan ini terjadi setelah dirinya dilaporkan oleh orang tua murid berinisial A, yang merupakan anggota Polsek Baito. Meski penahanannya kemudian ditangguhkan, pengalaman tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi Supriyani.

    7. Serangan Balik Supriyani

    Setelah dinyatakan bebas, Supriyani melalui kuasa hukumnya berencana melaporkan balik Aipda Wibowo Hasyim atas dugaan kriminalisasi. Serangan balik ini diharapkan menjadi pelajaran penting agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
     
     “Langkah hukum akan diambil untuk melawan pihak-pihak yang telah berupaya memidanakan Supriyani tanpa dasar bukti yang kuat,” kata Andri.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • Satgas Anti-politik Uang PDI-P Diduga Dikeroyok Warga di Purbalingga
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        25 November 2024

    Satgas Anti-politik Uang PDI-P Diduga Dikeroyok Warga di Purbalingga Regional 25 November 2024

    Satgas Anti-politik Uang PDI-P Diduga Dikeroyok Warga di Purbalingga
    Tim Redaksi
    PURBALINGGA, KOMPAS.com 
    – Belasan orang anggota Satuan Tugas (Satgas) Anti Politik Uang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
    PDI-P
    ) dikeroyok kelompok tak dikenal di Kecamatan Kertanegara,
    Purbalingga
    , Jawa Tengah, Minggu (24/11/2024) malam.
    Tiga korban termasuk satu di antaranya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Purbalingga dari PDI-P mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Goeteng Taroenadibrata.
    Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI-P Purbalingga Bambang Irawan mengungkapkan, kejadian bermula saat 10 orang satgas berpatroli di wilayah Desa Adiarsa.
    “Malam itu kami memang menugaskan Satgas yang didatangkan dari Banyumas untuk bersiaga di rumah pengurus PAC Kecamatan Kertanegara. Tujuannya untuk memantau dan mengantisipasi adanya politik uang di masa tenang kampanye,” kata Bambang pada wartawan, Senin (25/11/2024).
    Bambang melanjutkan, ketika Satgas sedang berjaga di posko, tiba-tiba datang sekelompok massa yang tidak dikenal melakukan intimidasi dan penganiayaan terhadap anggota Satgas.
    Mendapat kabar ada Satgas yang dianiaya, Sekretaris DPC PDIP Purbalingga, Karseno langsung datang ke lokasi untuk mengamankan anggotanya. Nahas, Karseno yang juga menjabat anggota DPRD Purbalingga tersebut turut menjadi korban amuk massa.
    Aksi
    pengeroyokan
    itu akhirnya berhenti ketika aparat kepolisian datang ke lokasi. Para anggota Satgas diamankan ke Polsek Mrebet, sementara korban luka langsung dilarikan ke rumah sakit.
    Bambang dan tim hukumnya sudah mengumpulkan bukti penganiayaan dan menyerahkan pada polisi. Dia berharap aparat penegak hukum dapat segera mengungkap kasus ini dan memroses para pelaku.
    “Kami siap memberikan keterangan termasuk bukti-bukti. Kami juga berharap hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi di Purbalingga,” tutur Bambang.

    Kapolres Purbalingga Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Rosyid Hartanto mengatakan, pihaknya telah menerima laporan terkait dugaan tindak pidana penganiayaan tersebut.
    “Proses penyelidikan dan penyidikan sedang berjalan, pasti akan kita lakukan proses hukum terhadap orang-orang yang terlibat dalam perkara ini,
    Hasil identifikasi sementara, konflik tersebut diduga terjadi antara Satgas dan warga setempat yang tidak menerima kehadiran mereka di wilayahnya.
    Para pelaku, lanjut Rosyid, akan dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
    “Saya mengimbau semua pihak dapat menahan diri dan manjaga kondusifitas selama masa tenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ini,” pungkasnya
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kepala Desa Tikam Warga hingga Tewas di Majene

    Kepala Desa Tikam Warga hingga Tewas di Majene

    Polewali Mandar, Beritasatu.com – Seorang kepala desa menikam warganya sendiri di Mejene setelah korban mengencangkan suara mesin sepeda motornya sambil menghina dan mengancam. 

    Aksi pelaku yang juga kepala desa itu dilakukan di rumahnya di Desa Onang, Kecamatan Tubo Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, pada Minggu (24/11/2024) malam.

    Korban tewas bersimbah darah di ruang tamu rumah pelaku. Peristiwa ini terjadi saat korban mendatangi rumah pelaku dan menarik gas motor dengan suara knalpot yang bising. Korban juga sempat berteriak dengan menghina dan mengancam membunuh pelaku.

    Pelaku pun masuk ke rumah dan mematikan lampu untuk siap-siap salat. Namun, korban masuk ke dalam rumah dan mengancam pelaku. Pelaku yang merasa terancam kemudian mengambil parang dan menebas korban hingga tewas.

    Setelah peristiwa itu, personel dari Polres Majene langsung disiagakan di lokasi kejadian untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Sementara AS kini ditahan di Polres Majene guna menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

    Menurut Kapolres Majene, AKBP Toni Sugadri, peristiwa kepada desa menikam warganya ini dipicu permasalahan lama. Korban sebelumnya memang sempat merusak mobil pelaku. Kedua pihak sebenarnya sudah berdamai.

    “Berdasarkan keterangan tersangka, memang kejadiannya ini dipicu masalah dari tahun-tahun sebelumnya. Korban pernah memiliki masalah dengan pelaku, yaitu kasus penganiayaan dan juga perusakan di rumah sang kepala desa itu,” kata AKBP Toni, kepada wartawan tentang kasus kepada desa menikam warganya ini.

    “Dalam kasus terakhir, yaitu penganiayaan dan perusakan pelaku. Korban sudah divonis oleh pengadilan selama satu tahun penjara,” ujarnya.

    Ia peristiwa ini berawal saat korban mendatangi rumah pelaku dengan menggeber-geber motor di depan rumah pelaku.

    “Saat menjelang waktu Isya pelaku sedang berada di rumahnya untuk menunggu waktu salat. Saat itu pelaku datang menggeber-geber motor di depan rumah,  sambil menghina dan mengancam membunuh pelaku,” jelasnya.

    “Pelaku sudah mengunci pintu dan mematikan lampu karena mau ke masjid untuk salat Isya. Namun, korban malah masuk ke rumah dan pelaku sempat mengambil parang di bawah meja kerja. Korban masuk ke rumah dan mengancam sehingga pelaku menebasnya sehingga korban meninggal di tempat,” tambahnya.

    Polisi sudah melakukan olah TKP untuk menyelidiki penyebab pasti terjadinya pembunuhan tersebut. Sementara pelaku kasus kepala desa menikam warganya telah ditahan di Polres Majene untuk proses lebih lanjut.
     

  • Pengacara Minta Hukuman Percobaan untuk Meita Irianty, Terdakwa Penganiayaan Balita di Depok
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        25 November 2024

    Pengacara Minta Hukuman Percobaan untuk Meita Irianty, Terdakwa Penganiayaan Balita di Depok Megapolitan 25 November 2024

    Pengacara Minta Hukuman Percobaan untuk Meita Irianty, Terdakwa Penganiayaan Balita di Depok
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com
    – Kuasa hukum Achmad Suardi meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Depok untuk mempertimbangkan hukuman percobaan bagi
    Meita Irianty
    , terdakwa kasus penganiayaan dua balita, MK (2) dan AM (9 bulan).
    Menurut Suardi, jaksa penuntut umum (JPU) gagal membuktikan adanya niat jahat (
    mens rea
    ) dalam tindakan terdakwa.
    “Di dalam pleidoi ini kita bicara masalah
    mens rea
    . JPU dalam fakta persidangan tidak dapat membuktikan adanya mens rea dalam tindak pidana (Meita),” ujar Suardi saat ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Senin (25/11/2024).
    Tim kuasa hukum menjelaskan bahwa tindakan Meita terjadi secara spontan karena emosi yang tidak stabil akibat kehamilan muda.
    “Bahwa dengan unsur-unsur pasal yang didakwakan, maka terdakwa sudah semestinya diringankan,” kata kuasa hukum Theo Yusuf dalam persidangan.
    Theo menegaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, hukuman bagi Meita seharusnya dapat diringankan.
    “Kita minta hukuman terdakwa Meita ini agar dapat dihukum sebagai hukuman percobaan,” tambah Suardi.
    Ia juga menyatakan bahwa hukuman percobaan bisa menjadi pembelajaran bagi terdakwa atas kesalahan yang telah dilakukan.
    Sebelumnya, JPU menuntut Meita dengan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan, dipotong masa penahanan yang telah dijalani.
    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Meita Irianty dengan pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan,” ujar jaksa Tiara Robena Panjaitan dalam sidang pada Rabu (19/11/2024).
    Jaksa menilai Meita melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Selain hukuman penjara, Meita juga dituntut membayar restitusi kepada korban MK dan AM.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Warga Sampang Aniaya Istri Siri Hingga Kepala Benjol

    Warga Sampang Aniaya Istri Siri Hingga Kepala Benjol

    Sampang (beritajatim.com) – Seorang pria inisial R (40) warga Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang, ditangkap polisi usai melakukan penganiayaan kepada istri sirinya inisial SR (45).

    Insiden ini sempat viral di Medsos terjadi pada Sabtu (23/11/2024) sore, di jalan simpang tiga Sumber Telor Desa Jelgung, Robatal, Sampang.

    Dalam video tersebut korban semula mengendarai sepeda motor, tiba-tiba dihentikan paksa oleh tersangka (R). Jaket korban ditarik sehingga lepas kendali, korban dipukul dibagian kepala dan dijambak. R membawa sajam jenis celurit yang diselipkan di pinggang.

    “Akibat kejadian itu korban mengalami luka memar di bibir dan benjol di kepala,” terang Kasi Humas Polres Sampang Ipda Dedi Deli Rasidi, Senin (25/11/2024).

    Lanjut Dedi, tersangka ditangkap tadi malam, sekira pukul 19:00 WIB di wilayah Kecamatan Robatal.

    “Saat ini pelaku telah diamankan beserta barang buktinya dan dalam menjalani pemeriksaan. Untuk motif tersangka melakukan tindak pidana penganiayaan diduga karena cemburu,” pungkasnya.[sar/ted]

  • VIDEO: Supriyani Divonis Bebas Tepat di Hari Guru

    VIDEO: Supriyani Divonis Bebas Tepat di Hari Guru

    Supriyani, seorang guru yang dituduh melakukan penganiayaan terhadap muridnya resmi divonis bebas murni. Keputusan itu dibacakan langsung oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

    Ringkasan

  • Jaksa Tuntut Herman Budiyono Terdakwa Penggelapan Rp 12 Miliar dan 4 Tahun Penjara, Pengacara : Jaksa Lucu dan Ngawur

    Jaksa Tuntut Herman Budiyono Terdakwa Penggelapan Rp 12 Miliar dan 4 Tahun Penjara, Pengacara : Jaksa Lucu dan Ngawur

    Mojokerto (beritajatim.com) – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riska Aprilliana menuntut pidana empat tahun penjara terhadap terdakwa Herman Budiyono dalam sidang lanjutan dugaan penggelapan dalam jabatan CV Mekar Makmur Abadi (MMA) senilai Rp12 miliar. Penasihat hukum terdakwa menilai tuntutan JPU lucu dan ngawur.

    Sidang dengan agenda tuntutan tersebut digelar di Ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto dipimpin Ketua Majelis Hakim, Ida Ayu Sri Adriyanthi Widja. JPU membacakan pertimbangan yang memberatkan terdakwa yakni mengakibatkan kerugian pelapor Rp12,2 miliar dan sebelumnya terdakwa pernah terjerat tindak pidana penganiayaan dan dihukum empat bulan.

    “Sementara hal yang meringankan terdakwa sopan dan tidak berbelit-belit selama persidangan. Dengan ini menuntut terdakwa terbukti secara sah meyakinkan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam pasal 374 KUHP. Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun. Menyerahkan barang bukti ke pelapor dan membayar biaya perkara,” ungkapnya, Senin (25/11/2024).

    Setelah JPU membacakan tuntutan, Ketua Majelis Hakim, Ida Ayu Sri Adriyanthi Widja menutup persidangan. “Sidang dilanjutkan minggu depan, Selasa ya dengan agenda pledoi,” tutupnya.

    Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Michael SH MH CLA, CTL, CCL merasa lucu dan aneh dengan tuntutan empat tahun JPU. Sebab tuntutan tersebut hampir batas maksimal ancaman hukuman pasal 374 KUHP yakni lima tahun. Padahal jelas dalam fakta persidangan, Jaksa ini tidak mampu membuktikan perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa.

    “JPU ngawur, Jaksa dalam tuntutannya hanya menyampaikan perpindahan uang. Padahal perpindahan uang belum tentu suatu tindak pidana. Dan itu ahli dari Jaksa sendiri yang menyampaikan bahwa perbuatan pidana dalam pasal 374 KUHP harus akurat dan konkrit jangan sepenggal-sepenggal maka akan menjadi kesimpulan yang tidak valid, tidak ada nilai kebenaran dan keadilan,” katanya.

    JPU menyampaikan dalam tuntutan bahwa hanya soal perpindahan uang sehingga pihaknya mempertanyakan apakah perpindahan uang tersebut serta merta menyebabkan kerugian dan ada itikad buruk terdakwa. Padahal terdakwa menyetor modal, ada saudara yang pinjam uang dalam bentuk order barang belum dikembalikan dan terdakwa menjalankan perusahaan tidak rugi.

    “Apabila Jaksanya fair mengungkap fakta persidangan, ada hutang kakak-kakak terdakwa yang mencapai Rp13 miliar maka mestinya hal itu dijadikan pertimbangan juga. Karena akibat adanya hutang-hutang itulah yang mestinya dianggap merugikan perusahaan bukan malah terdakwa yang menjadi salah satu pemilik modal dan menguntungkan perusahaan malah dikatakan merugikan perusahaan, jangan dibolak balik faktanya,” tegasnya.

    Pihaknya kembali menegaskan bahwa prinsip tindak pidana penggelapan jabatan harus ada yang dirugikan. Yakni melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengambil hak orang lain. Dalam kasus yang menjerat kliennya, terdakwa tidak mengambil hak orang lain, sementara di sisi lain hutang para pelapor sampai sekarang belum dibayar ke perusahaan.

    “Orang yang menguntungkan CV kok malah dianggap merugikan, kalau memang CV itu merugi kenapa kok mereka berebut. Terdakwa Herman ini penyetor modal, tidak digaji, kemudian kalau bicara badan usaha kepemilikan dua orang yakni pasif dan aktif yakni Herman dan papanya. Maka Herman ini memiliki hak atas perusahan tersebut karena sebagai pemodal juga,” urainya.

    Pihaknya mempertanyakan hak mana uang dilanggar oleh terdakwa sehingga JPU menuntut empat tahun penjara. Jika memang ada pergantian rekening, menurutnya, bukan untuk kepentingan pekerjaaan dan pelapor Lidyawati saat order barang ke CV MMA justru transfer ke rekening milik terdakwa tersebut.

    “Kenapa pelapor yang namanya Lidyawati saat order barang transfernya ke rekening itu. Besok dalam pledoi kami akan lampirkan semua bukti, total ada kurang lebih 41 bukti yang akan kami lampirkan. Nanti kita akan putarkan video karena prinsip perkara pidana itu kan harus bisa merugikan tegasnya,” pungkasnya. [tin/kun]

  • Guru Supriyani Divonis Bebas, PGRI Sebut Kado Pemerintah Darah di Hari Guru

    Guru Supriyani Divonis Bebas, PGRI Sebut Kado Pemerintah Darah di Hari Guru

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Perjuang guru honorer Supriyani untuk mendapatkan keadilan atas tudingan tidak berdasar kepadanya akhirnya berbuah manis. Setelah melalui proses panjang, Supriyani dinyatakan bebas.

    Vonis bebas terhadap guru honorer di Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo, Senin (25/11).

    Menurut majelis hakim, Supriyani tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan jaksa penuntut umum.

    Kasus yang menimpa Supriyani bermula dari tuduhan penganiayaan terhadap siswa inisial D (8) yang masih duduk di bangku SD kelas 1. Tuduhan itu dilaporkan oleh orang tua murid D yang merupakan anggota Polsek Barito pada 26 April 2024. Kasus tersebut kemudian menjadi viral di media sosial.

    Merespons hal itu, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) menyampaikan bahwa vonis bebas Supriyani merupakan kado bagi para guru pada Hari Guru Nasional 2024.

    “Kami mengucapkan selamat, ini kado dari pemerintah daerah bahwa Ibu Supriyani bebas murni tanpa syarat,” kata Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin (25/11).

    PGRI tidak berdiam diri sejak kasus Supriyani mencuat ke publik. PGRI terus memberikan aksinya dengan turun langsung ke lapangan untuk mengawal kasus tersebut agar Supriyani mendapatkan keadilan.

    Pada Oktober lalu, PGRI juga telah meminta supaya Supriyani dibebaskan dari segala tuntutan hukum, mengingat guru yang menjalankan profesinya tidak akan berniat menganiaya atau menyakiti anak didiknya.

  • Pemimpin Tertinggi Iran Serukan Netanyahu Dihukum Mati!

    Pemimpin Tertinggi Iran Serukan Netanyahu Dihukum Mati!

    Teheran

    Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyerukan hukuman mati terhadap Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu. Seruan ini disampaikan setelah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pekan lalu merilis surat perintah penangkapan untuk Netanyahu atas tuduhan kejahatan perang.

    ICC, pada Kamis (21/11) pekan lalu, merilis surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan sejak 8 Oktober 2023 hingga setidaknya 20 Mei 2024.

    Surat perintah penangkapan ICC juga dirilis untuk petinggi Hamas bernama Ibrahim Al-Masir alias Mohammed Deif atas tuduhan yang sama.

    “Perintah penangkapan (ICC) telah dikeluarkan, itu tidak cukup, hukuman mati harus dijatuhkan kepada para pemimpin kriminal tersebut,” cetus Khamenei merujuk pada para pemimpin Israel dalam pernyataan terbarunya, seperti dilansir Reuters dan media lokal Iran, Press TV, Senin (25/11/2024).

    Dalam keputusannya, para hakim ICC menyatakan ada alasan masuk akal untuk meyakini Netanyahu dan Gallant memikul “tanggung jawab secara pidana” atas kejahatan perang berupa kelaparan sebagai metode perang di Jalur Gaza dan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penganiayaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap warga Palestina.

    Untuk Deif, ICC juga mencantumkan dakwaan pembunuhan massal terkait serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, yang memicu perang Gaza, termasuk pemerkosaan dan penyanderaan.

    Tel Aviv sebelumnya mengklaim Deif tewas dalam serangannya di Jalur Gaza pada Juli lalu, namun Hamas tidak pernah membenarkan atau membantahnya. Jaksa ICC mengindikasikan pihaknya akan terus mengumpulkan informasi terkait laporan kematian Deif tersebut.