Kasus: pengangguran

  • 80.000 Kopdes Merah Putih Diklaim Jadi Solusi Pengangguran di Desa

    80.000 Kopdes Merah Putih Diklaim Jadi Solusi Pengangguran di Desa

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koperasi (Kemenkop) memastikan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih bisa menyerap tenaga kerja di desa. Hal ini lantaran hampir sebagian besar anak muda di desa sulit mencari lapangan pekerjaan.

    Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono mengatakan pembentukan Kopdes/Kel Merah Putih merupakan langkah strategis untuk memperkuat kemandirian ekonomi dan mensejahterakan warga desa, termasuk di Papua Barat.

    Ferry menjelaskan koperasi sejatinya didorong menjadi pusat layanan ekonomi rakyat, dikelola secara profesional, dan menjadi ruang kolaborasi masyarakat membangun kesejahteraan bersama.

    “Kopdes/Kel Merah Putih adalah manisfestasi pendekatan kesejahteraan oleh negara dan menjadikan masyarakat Papua sebagai subyek dari ekonomi,” kata Ferry dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/06).

    Terlebih, kata dia, selama ini para petani, nelayan, dan penggerak ekonomi rakyat lainnya kurang mendapat keadilan secara ekonomi, termasuk di Papua Barat. Salah satunya lantaran keuntungan yang diambil para tengkulak atau middleman.

    Namun, Ferry meyakini keberadaan Kopdes/Kel Merah Putih dapat memutus mata rantai distribusi yang panjang. Dengan begitu, masyarakat desa mendapatkan harga yang lebih terjangkau.

    Lebih lanjut, Ferry berharap Kopdes/Kel Merah Putih juga dapat meminimalisir masyarakat desa yang terjebak di lingkaran rentenir, tengkulak, maupun pinjaman online (pinjol).

    “Dengan adanya Kopdes/Kel Merah Putih, segala hal rentenir, tengkulak, dan pinjaman online bisa dihapus atau diminimalisir,” ujarnya.

    Selain itu, Ferry mengungkap 80.000 Kopdes/Kel Merah Putih nantinya akan menyerap tenaga kerja di desa. Pasalnya, ungkap dia, hampir sebagian besar anak muda di desa kesulitan mencari lapangan pekerjaan dan berpindah ke kota.

    “Adanya Kopdes/Kel Merah Putih di desa-desa, akan menyerap banyak tenaga kerja, khususnya kaum muda terdidik agar tidak urbanisasi lagi,” terangnya.

    Ke depan, selama Juli—Oktober 2025, Ferry menuturkan tahapan yang akan dilakukan adalah mempersiapkan model bisnis, mempersiapkan modul-modul pelatihan untuk mempersiapkan SDM-SDM, pengawas, pengurus dan pengelola Kopdes/Kel Merah Putih.

    “Tiga bulan ini kita masuk tahap yang kedua, tahap yang sebenarnya juga makin membutuhkan kerja sama. Karena, ini juga tahap yang tidak mudah,” pungkasnya.

  • Negara Ini Terlilit Utang, Warganya Tak Punya Uang

    Negara Ini Terlilit Utang, Warganya Tak Punya Uang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah negara di Afrika Timur yakni Kenya tercatat menjadi salah satu negara yang ‘tenggelam’ dalam krisis ekonomi. Bahkan negara tersebut memiliki angka inflasi yang tinggi, melonjaknya pajak, pengangguran, dan korupsi merajalela membuat jutaan warga hidup dalam keputusasaan.

    Sekitar 40% penduduk Kenya kini hidup di bawah garis kemiskinan. Di jalanan ibu kota Nairobi, penderitaan itu terasa nyata.

    “Ekonomi sangat buruk. Tak ada uang di Kenya,” kata Christine Naswa, seorang ibu lima anak yang berjualan sayur di pinggir jalan, dilansir AFP, dikutip Jumat (27/6/2025).

    “Ada hari-hari ketika saya pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Anak-anak saya menangis karena lapar, tapi saya hanya bisa diam,” lanjutnya lirih.

    Kondisi makin berat meski pemerintah Presiden William Ruto telah mencabut beberapa pajak lewat RUU keuangan. Namun, warga menilai perubahan itu tak berdampak nyata.

    “Tahun ini adalah tahun terburuk dalam 36 tahun saya berdagang,” kata seorang pemilik toko di pusat bisnis Nairobi, yang enggan disebutkan namanya karena tokonya sempat dijarah dalam unjuk rasa.

    “Begitu pemerintahan baru terpilih, pajak langsung dinaikkan. Tapi kami tidak pernah merasakan manfaat apa pun dari itu,” tambahnya.

    Pemerintah berdalih pajak dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri dan menjaga stabilitas fiskal. Namun, menurut Kwame Owino dari Institute for Economic Affairs, pendekatan ini sudah menabrak batas kesabaran publik.

    “Kita sudah mencapai titik di mana rakyat tidak sanggup lagi menanggung beban pajak,” ujarnya.

    “Masyarakat lelah membayar pajak hanya untuk menutupi borosnya belanja pemerintah dan utang yang tidak transparan penggunaannya.”

    Analis dari Control Risks, Patricia Rodrigues, menyebut Presiden Ruto kehilangan kepercayaan publik karena gagal memenuhi janji kampanyenya untuk “mewakili rakyat kecil”.

    “Ia berjanji akan memperjuangkan warga biasa, tapi malah menaikkan pajak secara drastis. Ini dirasakan banyak orang sebagai bentuk pengkhianatan,” katanya.

    Ironisnya, saat rakyat menjerit, pengeluaran pemerintah untuk membayar bunga utang kini melebihi anggaran kesehatan dan pendidikan. Kenya juga menghadapi tekanan dari lembaga seperti IMF, yang mendesak reformasi fiskal sebagai syarat bantuan.

    Parlemen dijadwalkan membahas rancangan anggaran baru pada Kamis, namun pemerintah berusaha menghindari pajak langsung yang bisa memicu gelombang unjuk rasa baru.

    “Kita perlu bicara soal akuntabilitas, bukan hanya pajak,” kata seorang warga Nairobi. “Jika korupsi tidak diberantas, tidak peduli siapa yang memimpin – rakyat tetap akan sengsara.”

    Harapan tersisa pada pemilu 2027. Namun sebagian warga sudah skeptis.

    “Warga Kenya akan selalu memilih pencuri,” ujar pemilik toko tadi, dengan senyum getir.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Geger Jasad Pria Ditemukan Membusuk di Indekos Cengkareng Jakbar

    Geger Jasad Pria Ditemukan Membusuk di Indekos Cengkareng Jakbar

    Jakarta

    Seorang pria berinisial BO (43) ditemukan tewas membusuk di kamar kos di Jalan Kapuk Kalipasir, Cengkareng, Jakarta Barat. Korban meninggal dunia karena komplikasi penyakit.

    “Diduga meninggal karena komplikasi penyakit. Korban ditemukan pemilik kos pada Kamis (26/6) pagi kemarin,” kata Kanit Reskrim Polsek Cengkareng, Parman Gultom dilansir Antara, Sabtu (28/6/2025).

    Gultom menyebutkan bahwa sekujur badan korban sudah hitam lebam ketika ditemukan. Korban diduga sudah empat hari membusuk di dalam kamarnya.

    “Badannya sudah hitam itu. Kayaknya sudah empat hari (membusuk di dalam kamar),” ujarnya.

    Berdasarkan keterangan dari para saksi di lokasi, korban baru keluar dari rumah sakit beberapa bulan lalu.
    Korban yang merupakan pengangguran itu tinggal seorang diri.

    “Nggak tinggal sama kerabatnya. Tinggal sendiri di kosan itu,” kata Gultom.

    (wnv/wnv)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Polisi ungkap penyebab pria tewas dalam indekos di Cengkareng

    Polisi ungkap penyebab pria tewas dalam indekos di Cengkareng

    Ilustrasi. (ANTARA/HO)

    Polisi ungkap penyebab pria tewas dalam indekos di Cengkareng
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 27 Juni 2025 – 11:40 WIB

    Elshinta.com – Kepolisian mengungkapkan bahwa seorang pria berinisial BO (43) yang tewas dalam kamar indekosnya di Jalan Kapuk Kalipasir, Cengkareng, Jakarta Barat karena komplikasi penyakit.

    “Diduga meninggal karena komplikasi penyakit. Korban ditemukan pemilik kos pada Kamis (26/6) pagi kemarin,” kata Kanit Reskrim Polsek Cengkareng, Parman Gultom dilansir dari ANTARA, Jumat.

    Gultom menyebutkan bahwa sekujur badan korban sudah hitam lebam ketika ditemukan karena mayat pria malang itu diduga sudah empat hari membusuk di dalam kamarnya.

    “Badannya sudah hitam itu. Kayaknya sudah empat hari (membusuk di dalam kamar),” ujar Gultom.

    Berdasarkan keterangan dari para saksi di lokasi, kata Gultom, korban baru keluar dari rumah sakit beberapa bulan lalu.

    Korban yang merupakan pengangguran itu memilih tinggal seorang diri, namun memiliki kerabat di Jakarta.

    “Enggak tinggal sama kerabatnya. Tinggal sendiri di kosan itu,” kata Gultom.

    Kini, jasad korban telah telah dibawa ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. “Sudah dibawa ke RS Polri untuk proses autopsi,” kata dia.

    Sumber : Antara

  • Menteri P2MI Minta Warga Jadi TKI, Said Didu: Pemerintah Angkat Tangan Atasi Pengangguran?

    Menteri P2MI Minta Warga Jadi TKI, Said Didu: Pemerintah Angkat Tangan Atasi Pengangguran?

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Eks sekertaris BUMN, Said Didu memberi pernyataan menohok untuk merespon pernyataan dari Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding.

    Said Didu memberi pernyataan menohok lantaran saran dari Menteri Kardin mendorong masyarakat untuk bekerja ke luar negeri.

    Tujuannya tentu sangat jelas yaitu untuk mendorong berkurangnya angka pengangguran di Indonesia.

    Merespon hal ini, Said Didu memberi penyataan menohok lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya.

    Ia mengaku heran dengan pernyataan sang Menteri yang seolah-olah menggambarkan sikap Pemerintah yang menyerah untuk memberi lapangan kerja.

    “Kok bisa begini ?,” tulisnya dikutip Jumat (27/6/2025).

    “Sudah angkat tangan tidak bisa berikan lapangan kerja kpd rakyat ?,” tuturnya.

    Sebelumnya, Menteri Karding menyebut bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) terampil disebutnya sebagai salah satu solusi utama untuk mengurangi pengangguran.

    “Di Jateng ada (hampir) 1 juta (pengangguran) yang belum terserap, anda (mahasiswa) calon (tenaga kerja) yang tidak terserap, maka segera berpikir ke luar negeri,” katanya.

    “Pertanyaan itu harusnya tanya kemenaker, bukan saya. Karena yang bertanggung jawab soal penyerapan tenaga kerja dalam negeri itu Menaker, saya menyerap yang ke luar negeri,” tuturnya.

    (Erfyansyah/fajar)

  • Harga Emas Hari Ini Stabil Usai Ketegangan di Timur Tengah Mereda – Page 3

    Harga Emas Hari Ini Stabil Usai Ketegangan di Timur Tengah Mereda – Page 3

    Sebelumnya, pengamat pasar komoditas, Ibrahim Assuaibi, memprediksi harga emas global akan bergerak fluktuatif dalam jangka pendek, dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi Amerika Serikat. Ia menyebut revisi Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama AS yang mengalami kontraksi sebesar 0,5% menjadi indikator penting.

    “Indikasi ini adalah akibat dari perang dagang yang tak kesudahan sampai saat ini. Sehingga apa? Sehingga pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama itu terjadi kontraksi,” jelas Ibrahim dalam keterangannya, Rabu (26/6/2025).

    Meski demikian, ia mencatat bahwa tingkat pengangguran di AS justru mengalami penurunan signifikan, yang bisa menjadi sentimen positif bagi ekonomi namun juga membingungkan pasar. “Nah di sisi lain pun juga, saya lihat pengangguran pun juga mengalami penurunan yang cukup signifikan,” imbuh Ibrahim.

    Pasar Menanti Testimoni Kashkari dan BAR soal Suku Bunga

    Ibrahim menekankan bahwa perhatian pelaku pasar saat ini tertuju pada testimoni pejabat Bank Sentral AS, khususnya Neel Kashkari dan Mr. BAR, terkait arah kebijakan suku bunga. Meskipun Ketua The Fed, Jerome Powell, belum memberi sinyal pemangkasan suku bunga, narasi mulai bergeser.

    “Walaupun kemarin Powell dalam pernyataannya di Kongres, dia mengatakan bahwa kenapa Bank Sentral masih mempertahankan suku bunga tinggi. Ini karena kondisi perang dagang dan geopolitik ini yang membuat inflasi di Amerika terus mengalami penurunan,” ujar Ibrahim.

    Namun jika inflasi menurun pada Juli dan September, Bank Sentral AS disebut berpeluang menurunkan suku bunga. “Saya melihat bahwa Kaskari, Mr. BAR ini condong terhadap penurunan suku bunga. Sehingga ini akan berdampak positif terhadap pergerakan harga emas dunia,” tambahnya.

     

  • Mengapa Banyak Orang di Dunia Ingin Punya Anak Tapi Takut Punya Anak?

    Mengapa Banyak Orang di Dunia Ingin Punya Anak Tapi Takut Punya Anak?

    PIKIRAN RAKYAT Orang-orang di seluruh dunia semakin sedikit yang memiliki anak, dan ini bukan semata-mata karena mereka tidak menginginkannya.

    Menurut temuan PBB, rata-rata tingkat kesuburan global kini turun hingga kurang dari setengah dari tingkatnya pada tahun 1960. Angka ini telah berada di bawah “tingkat pengganti” yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan jumlah penduduk di sebagian besar negara.

    Di tengah penurunan bersejarah tersebut, hampir 20% orang dewasa usia reproduksi dari 14 negara di seluruh dunia menyatakan bahwa mereka kemungkinan tidak akan bisa memiliki jumlah anak yang mereka inginkan, hal ini disampaikan dalam laporan yang dirilis minggu ini oleh United Nations Population Fund (UNFPA), badan PBB yang menangani kesehatan dan hak reproduksi. Namun, bagi sebagian besar dari mereka, penyebabnya bukan karena kemandulan yang menghalangi mereka untuk melakukan hal tersebut. Mereka menyebut berbagai faktor seperti keterbatasan finansial, hambatan dalam akses pelayanan kesehatan terkait kesuburan atau kehamilan, dan kekhawatiran terhadap kondisi dunia saat ini yang menjadi penghalang mereka dalam mewujudkan keputusan mereka sendiri terkait kesuburan dan reproduksi.

    Seperti dilansir TIME, “Ada banyak orang di luar sana yang bersedia memiliki anak —bahkan lebih banyak dari yang mereka miliki saat ini— jika kondisinya memungkinkan. Dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan kesejahteraan dan jaminan sosial yang memungkinkan terciptanya keseimbangan kerja dan kehidupan, pekerjaan yang aman, pengurangan hambatan hukum, serta layanan kesehatan yang lebih baik,” kata Shalini Randeria, Presiden Central European University di Wina sekaligus penasihat eksternal senior dalam laporan UNFPA tersebut. Namun, menurut Randeria, kebijakan yang diterapkan sebagian pemerintah—seperti pemangkasan layanan Medicaid di AS atau pembatasan hak atas kesehatan dan otonomi reproduksi—merupakan langkah mundur bagi hak individu, sekaligus “kontraproduktif dari sudut pandang demografis.”

    Dalam laporan tersebut, UNFPA bekerja sama dengan YouGov melakukan survei terhadap responden dari 14 negara di Asia, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Afrika—wilayah yang secara keseluruhan mewakili lebih dari sepertiga populasi dunia.

    “Ada kesenjangan antara jumlah anak yang ingin dimiliki seseorang dan jumlah anak yang benar-benar mereka miliki,” kata Randeria. “Bagi kami, penting untuk mencari tahu—dengan bertanya langsung pada mereka—apa yang menyebabkan kesenjangan itu.”

    Faktor Finansial Jadi Hambatan Utama

    Ilustrasi Seorang Pria Tidak Memiliki Uang freepik.com

    Hambatan paling signifikan yang diidentifikasi para responden survei sebagai alasan mereka tidak memiliki jumlah anak yang diinginkan adalah faktor ekonomi: 39% menyebutkan keterbatasan finansial, 19% keterbatasan dalam ketersediaan perumahan, 12% kurangnya layanan pengasuhan anak yang memadai atau berkualitas, dan 21% pengangguran atau ketidakamanan kerja.

    Harga semua jenis barang dan pelayanan telah naik dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Inflasi global mencapai tingkat tertinggi sejak pertengahan tahun 1990-an pada Juli 2022, menurut World Bank Group. Meskipun kini sudah menurun, level inflasi saat ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.

    Meningkatnya biaya hidup telah berdampak besar pada perumahan dan pengasuhan anak. Di Amerika Serikat, contohnya, Departemen Keuangan menemukan bahwa harga rumah telah meningkat lebih cepat daripada pendapatan selama dua dekade terakhir, melonjak sekitar 65% sejak tahun 2000 jika disesuaikan dengan inflasi. Riset juga menunjukkan bahwa biaya pengasuhan anak di AS dalam beberapa tahun terakhir bahkan melampaui biaya perumahan atau kuliah bagi banyak keluarga.

    Krisis perumahan saat ini berdampak luas di “semua wilayah dan negara,” menurut laporan Program Pemukiman Manusia PBB (UN-Habitat) tahun lalu, yang memperkirakan bahwa antara 1,6 miliar hingga 3 miliar orang di seluruh dunia tanpa akses perumahan yang layak.   

    Tantangan Akses Reproduksi dan Layanan Kesehatan

    Ilustrasi Wanita Menatap Tes Kehamilan Negatif freepik.com

    Orang-orang mengutip bahwa faktor lain yang menghalangi mereka untuk memiliki jumlah anak yang diinginkan, termasuk hambatan dalam akses terhadap teknologi reproduksi berbantu (seperti IVF, In Vitro Fertilization) dan ibu pengganti (surrogacy)

    Sejumlah negara—termasuk Prancis, Spanyol, Jerman, dan Italia— telah melarang praktik ibu pengganti. Laporan UNFPA juga menunjukkan bahwa banyak negara membatasi atau bahkan melarang akses terhadap reproduksi berbantu dan ibu pengganti bagi pasangan sesama jenis. Di Eropa, contohnya, hanya 17 dari 49 negara yang memperbolehkan inseminasi medis bagi individu, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender mereka, menurut laporan tersebut.  

    UNFPA mencatat bahwa, di tengah menurunnya angka fertilitas global, beberapa pemerintah mengambil “langkah-langkah drastis untuk mendorong kaum muda mengambil keputusan fertilitas yang sejalan dengan target nasional.” Namun, laporan tersebut menekankan bahwa “krisis yang sebenarnya” adalah “krisis dalam lembaga reproduksi—yaitu kemampuan individu untuk membuat pilihan bebas, terinformasi, dan tidak terkekang dalam segala hal mulai dari berhubungan seks, menggunakan kontrasepsi, hingga memulai sebuah keluarga.”

    Menurut Center for Reproductive Rights, 40% perempuan di usia reproduksi di dunia hidup di bawah hukum aborsi yang ketat. Banyak negara—termasuk Brazil, Filipina, dan Polandia, di antara yang lainnya— memberlakukan pembatasan aborsi. Pada 2022, Mahkamah Agung Amerika Serikat mencabut putusan penting Roe v. Wade, yang menghapuskan hak konstitusional atas aborsi. Sejak saat itu, lebih dari selusin negara bagian di AS telah menerapkan larangan total atau pembatasan aborsi. Ada banyak laporan menyebutkan bahwa perempuan hamil ditolak mendapatkan perawatan kritis karena undang-undang tersebut, dan banyak perempuan mengaku tidak merasa aman untuk hamil di negara bagian yang melarang aborsi.

    Meski semakin banyak perempuan di dunia yang kebutuhan perencanaan keluarganya telah terpenuhi, PBB menemukan bahwa sekitar 164 juta perempuan masih belum mendapatkan akses tersebut hingga tahun 2021, menurut laporan yang dirilis tahun 2022.

    Selain menganggap akses terhadap perencanaan keluarga sebagai hak asasi manusia, PBB juga menekankan bahwa hal ini merupakan kunci dalam upaya pengentasan kemiskinan.

    Ketakutan akan Masa Depan yang Tak Pasti

    Ilustrasi Pasangan Menatap Cakrawala freepik.com

    Sekitar 14% responden dalam laporan UNFPA mengatakan kekhawatiran mereka tentang situasi politik atau sosial, seperti perang dan pandemi, telah atau akan menyebabkan mereka memiliki anak lebih sedikit dari yang diinginkan. Sekitar 9% responden juga menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap perubahan iklim atau kerusakan lingkungan telah atau akan mempengaruhi keputusan mereka untuk memiliki lebih sedikit anak dari yang direncanakan.

    Kekerasan dan konflik global meningkat dalam beberapa tahun terakhir.  Periode antara tahun 2021 dan 2023 tercatat sebagai masa paling penuh kekerasan sejak berakhirnya Perang Dingin, menurut World Bank Group. Jumlah korban tewas dalam konflik bersenjata dan jumlah konflik itu sendiri meningkat dalam satu dekade terakhir.

    Kekerasan tersebut turut memicu pada meningkatnya pengungsian global selama bertahun-tahun: Lebih dari 122 juta orang di seluruh dunia terpaksa mengungsi, menurut laporan badan pengungsi PBB pada hari kamis, jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari jumlah yang tercatat satu dekade lalu.

    Dampak pandemi global ini semakin terasa, bahkan belum menunjukkan tanda-tanda mereda karena Covid-19 terus menyebar, menghasilkan varian baru, dan berdampak pada jutaan orang dengan masa pemulihan yang bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Di luar Covid-19, wabah penyakit menular menjadi semakin umum terjadi—dan para ahli memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang risiko wabah meningkat menjadi epidemi dan pandemi akan semakin meningkat.

    Dalam survei Program Pembangunan PBB tahun 2024, yang secara statistik mewakili sekitar 87% populasi global, sekitar 56% responden mengatakan mereka memikirkan tentang perubahan iklim harian atau mingguan. Sekitar 53% dari responden juga mengatakan mereka lebih khawatir tentang perubahan iklim sekarang dari tahun sebelumnya. 1/3 dari responden mengatakan bahwa perubahan iklim secara signifikan mempengaruhi keputusan-keputusan besar dalam hidup mereka.

    “Saya ingin punya anak, tapi makin lama makin sulit,” kata seorang perempuan berusia 29 tahun dari Meksiko dalam laporan tersebut. “Hampir mustahil membeli atau menyewa tempat tinggal dengan harga terjangkau di kota saya. Saya juga tidak ingin melahirkan anak di masa perang dan kondisi planet yang memburuk jika itu berarti si anak harus menderita karenanya.” (Naomi Dongoran/PKL Polban) ***

  • Job Fair Dianggap Solusi Instan, Pakar Ketenagakerjaan IPB University Ingatkan Desain Strategis dan Inklusif

    Job Fair Dianggap Solusi Instan, Pakar Ketenagakerjaan IPB University Ingatkan Desain Strategis dan Inklusif

    PIKIRAN RAKYAT – Job fair atau bursa kerja kerap dianggap solusi instan dalam menjawab tantangan pengangguran. 

    Namun, dosen Ekonomi Ketenagakerjaan IPB University, Dr Tanti Novianti, menilai job fair tidak akan berdampak nyata jika tanpa desain yang strategis, inklusif, dan terintegrasi dengan program ketenagakerjaan yang lebih luas.

    Dr Tanti mengatakan, selama ini job fair atau bursa kerja menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mempertemukan pencari kerja dengan pemberi kerja. Kegiatan ini umumnya rutin digelar oleh dinas tenaga kerja daerah, bekerjasama dengan kampus, maupun pihak swasta sebagai ajang rekrutmen massal.

    Tujuan utama job fair adalah menjembatani ketidakseimbangan informasi antara pencari kerja dan perusahaan, sehingga perusahaan dapat menemukan kandidat sesuai kebutuhan. 

    Dari sisi pencari kerja, mereka bisa mendapatkan lowongan sesuai kualifikasi mereka. Dengan demikian, secara ideal, sebuah job fair dirancang sebagai solusi mismatch tenaga kerja.

    Namun di lapangan, job fair kerap kali hanya menjadi tempat menampung surplus pencari kerja daripada benar-benar menjawab kekurangan tenaga kerja di industri. 

    “Job fair lebih kepada solusi jangka pendek, bukan obat mujarab pengangguran,” ujar Dr Tanti.

    Ia mengusulkan agar job fair bersifat tematik, berfokus pada industri tertentu, bisa menjadi solusi. Dari sisi desain acara, job fair nasional sering tidak memiliki fokus sektor atau kualifikasi yang jelas, sehingga profil pelamar yang datang tidak sesuai kebutuhan industri.

    “Karena itu, desain penyelenggaraan job fair harus berbasis data, baik dari sisi pasar kerja maupun profil penganggur,” tambahnya.

    Dr Tanti yang saat ini menjadi Wakil Dekan Bidang Sumberdaya, Kerjasama, dan Pengembangan Sekolah Bisnis IPB University menjelaskan, job fair tidak akan menyelesaikan masalah pengangguran tanpa dibarengi penciptaan investasi dan peluang kerja baru. 

    Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi kuat antara pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, dan perguruan tinggi.

    Dalam perencanaan strategis, kata Dr Tanti, penyelenggaraan job fair harus melihat jauh ke depan, bukan sekadar formalitas. Perencanaan harus mempertimbangkan analisis kebutuhan, simplifikasi birokrasi, dan integrasi dengan pelatihan vokasi hingga kebijakan investasi tenaga kerja.

    Dari segi pelaksanaan, job fair harus inklusif dan produktif bagi semua pihak. Kehadiran fasilitas seperti wawancara on-site, konseling karier, dan talkshow inspiratif menjadi nilai tambah. 

    Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas juga penting, termasuk adanya kurasi lowongan kerja yang nyata dan sesuai kebutuhan industri.

    Keterlibatan industri sejak tahap perencanaan dianggap kunci penting. Pemerintah disarankan bermitra dengan asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta mengoptimalkan regulasi seperti wajib lapor lowongan kerja.

    “Peluang kerja sebaiknya masuk dalam sistem bursa kerja nasional,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, job fair seharusnya tidak berdiri sendiri, tetapi mesti terintegrasi dengan pelatihan tenaga kerja berbasis kebutuhan industri. 

    Dr Tanti mencontohkan model dual-track di Jerman dan pelatihan intensif di perusahaan-perusahaan Jepang sebagai praktik baik yang bisa ditiru.

    Pemanfaatan teknologi turut menjadi perhatian utama. Platform digital dan penggunaan big data serta AI matching mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan job fair. Teknologi juga memudahkan segmentasi peserta dan pengelolaan acara.

    Segmentasi peserta, menurut Dr Tanti, perlu diperjelas. Misalnya, untuk lulusan SMK dan fresh graduate yang angka penganggurannya tinggi, serta kelompok disabilitas yang membutuhkan akses dan lowongan kerja khusus.

    “Job fair idealnya menjadi pintu masuk ke pelatihan lanjutan dan pendampingan kerja, bukan hanya mengumpulkan lamaran,” katanya. (*)

  • Fenomena Lulusan Sarjana Jadi Sopir hingga ART, Ada Apa?

    Fenomena Lulusan Sarjana Jadi Sopir hingga ART, Ada Apa?

    Jakarta

    Indonesia belum lepas dari permasalahan pelik tentang lapangan kerja. Mengutip data terbaru BPS, per Mei 2025 tingkat pengangguran terbuka di negara ini mencapai 4,76 persen. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka ini mengalami kenaikan. Berdasarkan sumber data yang sama, per November 2024 Indonesia memiliki angka pengangguran terbuka sebanyak 4,40 persen.

    Mengutip data rilisan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), pada akhir Q1 2025, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan pengangguran terbesar di antara negara-negara berkembang di Asia. Besarnya rasio pengangguran di Indonesia juga dipengaruhi oleh jumlah Angkatan kerja yang setiap tahun terus bertambah.

    Sementara itu, fakta miris juga muncul dari mereka yang telah memiliki pekerjaan. Mengutip data rilisan BPS periode Februari 2025, rata-rata upah buruh berada di level 3,09 juta rupiah. Artinya, sebagian pendapatan per bulan mereka berada di bawah level UMR.

    Nyatanya, fenomena di bidang ini terus bermunculan. Setidaknya ada sebuah fakta baru yang tengah disoroti masyarakat. Bukan berhenti pada soal bekerja tidak sesuai jurusan kuliah, lulusan S1 kini terpaksa bekerja sebagai buruh.

    Fenomena ini dijelaskan secara gamblang oleh Pengamat Ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Noor Effendi. Menurutnya, pangkal masalah banyaknya sarjana yang terpaksa bekerja di sektor informal seperti sopir hingga ART ini disebabkan oleh supply and demand lapangan pekerjaan yang timpang.

    “Angkatan kerja yang berusaha masuk pasar kerja itu cukup tinggi. Menurut data BPS kira-kira bergerak 3 juta sampai 3,5 juta orang. Nah secara teoritis itu setiap ada pertumbuhan ekonomi 1% dapat menciptakan peluang kerja 200 sampai 300 ribu,” kata Tadjudin.

    “Kira-kira kalau pertumbuhan 5%, katakan saja lah kita memiliki 300 ribu setiap satu persen, hanya 1,5 juta lapangan kerja yang dibuka. Yang masuk ke pasar kerja kira-kira bergerak 3 juta sampai 3,5 juta, berarti kan ada orang yang tidak bisa masuk pasar kerja bergerak sampai 1 juta sampai 1,5 juta,” sambung Tadjudin.

    gejala ini membuka fakta: ijazah bukan lagi faktor utama seseorang untuk memperoleh pekerjaan. Tidak bisa ditampik, para penyedia kerja tidak jarang meminta kualifikasi yang dibuktikan dengan ‘ijazah-ijazah’ tambahan. Berbagai bentuk piagam atau bukti keterampilan tambahan menjadi piranti tambahan yang justru menjadi faktor penting untuk menilai ‘harga’ seorang sarjana.

    Pada perkembangannya, peluang justru muncul dari sektor gig. Maka, bukan hal aneh apabila beberapa waktu belakangan muncul istilah pekerja gig atau gig worker. Oleh masyarakat, munculnya kelas pekerja baru ini ditangkap dan banyak diperbincangkan di media sosial.

    Lalu bagaimana tanggapan masyarakat tentang fenomena ini? Ikuti ulasannya di detikPagi.

    Nikmati terus menu sarapan informasi khas detikPagi secara langsung (live streaming) pada Senin-Jumat, pukul 08.00-11.00 WIB, di 20.detik.com, YouTube dan TikTok detikcom. Tidak hanya menyimak, detikers juga bisa berbagi ide, cerita, hingga membagikan pertanyaan lewat kolom live chat.

    “Detik Pagi, Jangan Tidur Lagi!”

    (vrs/vrs)

  • Bongkar Bangunan Bantaran Sungai dan Tutup Tambang Ilegal, Dedi Mulyadi Sebut Demi Anak Cucu

    Bongkar Bangunan Bantaran Sungai dan Tutup Tambang Ilegal, Dedi Mulyadi Sebut Demi Anak Cucu

    Kebijakan lain yang menuai penolakan dari sejumlah pihak adalah penutupan tambang-tambang ilegal. Kebijakan itu dinilai bisa memicu pengangguran.

    “Banyak juga yang berteriak-teriak bahwa penutupan tambang menimbulkan pengangguran, kami menderita,” katanya. 

    “Lupa ya, tambang ilegal itu merusak jalan, merugikan negara ratusan miliar bahkan triliunan? Dan lupa juga, tambang-tambang yang Anda keruk itu menimbulkan sedimentasi sungai, pencemaran?” katanya.

    Dedi mengklaim, kalangan petani kerap menjadi korban dari kerusakan alam akibat aktivitas penambangan. Namun, selama ini, kebanyakan mereka yang tak bersuara.

    “Sudah berapa banyak petani yang kehilangan waktu untuk bercocok tanam karena sungainya kering, karena sawahnya kering? Cuman bedanya, mereka diam, tidak punya akses, tidak berteriak-teriak,” sebut Dedi.

    Karenanya, penutupan tambang-tambang ilegal, diaku demi kelestarian alam dan para petani. Dedi mengaku tidak takut jika mesti berhadapan dengan para orang besar yang membekingi tambang.

    “Siapa pun yang sering menjadi backup-backup tambang ilegal, saya tidak akan pernah takut menghadapi siapa pun. Saya akan terus bergerak mengembalikkan alam Jawa Barat menjadi alam yang indah. Bukan milik perorangan, tapi milik seluruh rakyat, bukan hanya untuk kita, tetapi untuk anak cucu kita ke depan,” aku Dedi.