Kasus: pengangguran

  • Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.

    “Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar,” kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar. Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

    Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru. Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.

    “Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.

    “Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya,” paparnya.

    Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.

    Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus. Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal. Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.

    “Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal,” terangnya.

    Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.

    “Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil,” jelas Nailul.

    Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    “Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran,” terangnya.

    Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding. Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

    “Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak,” ucap Nailul.

    “Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal,” terangnya lagi.

    Tonton juga video “Prabowo: Pengangguran Turun, 3,6 Juta Lapangan Kerja Baru Diciptakan” di sini:

    (igo/fdl)

  • Rupiah Perkasa terhadap Dolar AS Hari Ini 8 September 2025 – Page 3

    Rupiah Perkasa terhadap Dolar AS Hari Ini 8 September 2025 – Page 3

    “Rupiah melanjutkan tren pergerakan yang terbatas pada perdagangan hari Kamis, sejalan dengan investor yang mengantisipasi data ketenagakerjaan AS di hari Jumat (5/9/2025) dan juga antisipasi dari libur Maulid Nabi di hari Jumat (5/9/2025),” ujar Josua dikutip dari Antara. 

    Ia menambahkan, pasar tengah menunggu rilis data Purchasing Managers’ Index (PMI) Jasa AS dan data ketenagakerjaan atau Non-Farm Payrolls (NFP) AS yang akan dirilis pada Jumat. Sementara itu, di dalam negeri, sentimen positif sempat muncul setelah demonstrasi mereda, membuat rupiah sempat menguat 0,43% week to week.

    Josua memprediksi, jika data-data ekonomi AS menunjukkan adanya deflasi dan peningkatan angka pengangguran, rupiah berpotensi menguat pada pekan depan. Ia memperkirakan, nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.325 hingga Rp16.450 per dolar AS.

  • Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen Nasional 7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    DUA
    frase “tanda-tanda zaman” dan “pertobatan nasional” saya petik dari Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, sebagai respons moral atas amuk massa selama 28-31 Agustus 2025.
    Hari Minggu, 31 Agustus 2025, di tengah panasnya situasi politik Ibu Kota, saya bersama sejumah teman berbincang dengan Kardinal Suharyo.
    Perbincangan tak lepas dari suasana yang penuh kegelisahan. Negeri sedang tak karu-karuan. Amuk massa belum reda.
    Penjarahan terjadi di rumah beberapa anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Gedung DPRD Makassar dibakar. Gedung Grahadi di Surabaya luluh lantak.
    Apa salah dan dosa Gedung Grahadi? Mengapa tak bisa dicegah? Kantor polisi di berbagai daerah turut jadi sasaran. Tuntutan agar DPR dibubarkan berseliweran di ruang publik.
    Dalam percakapan itu, Kardinal Suharyo berkata lirih, tapi tegas, “Elite seharusnya bisa membaca tanda-tanda zaman”.
    Ia tak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tanda-tanda zaman”. Namun, dalam kesempatan lain, Kardinal menyerukan pertobatan. Sebuah ajakan spiritual yang sarat makna: kesadaran akan kesalahan kolektif, dan dorongan untuk berbalik arah sebelum semuanya terlambat.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, masih menyimpan kabut tebal. Ada unjuk rasa sebagai ekspresi sumpek rakyat, tapi ada juga “Gerakan 28-31 Agustus 2025” dengan tujuan tertentu yang sistematis.
    Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi unjuk rasa besar, seputar penolakan revisi UU KPK (2019), pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Namun, dampak dari ketiga unjuk rasa tidak separah seperti sekarang.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, justru menimbulkan banyak tanya. Pembagian kekuasaan sebenarnya hampir sempurna. Hanya PDIP dan Nasdem yang tak ada dalam kabinet.
    Ormas terbesar sudah berada dalam barisan kekuasaan. Relawan diakomodasi dalam kabinet atau komisaris BUM. Kabinet didukung koalisi super-mayoritas.
    DPR menjadi proksi dari kekuasaan. Kekuasaan sedang menuju otokratisasi sebagaimana kajian
    Varieties of Democracy
    (2024).
    Namun, ada juga pandangan konsolidasi otokratisasi itulah yang menyebabkan disfungsi lembaga pranata demokrasi. Dan, kini konsolidasi otokratisasi mendapatkan perlawanan.
    Situasi 2025, berbeda dengan Peristiwa Malari 1974. Meski berlatarbelakang antimodal asing, Malari 1974 adalah pembelaan warga sipil terhadap demokrasi liberal atas arah demokrasi terpimpin yang dilakukan Presiden Soeharto.
    Sedang pada Agustus 2025, polanya lebih mirip perlawanan warga sipil untuk membela reformasi dalam konteks konsolidasi otokratisasi.
    Spekulasi banyak, analisis berseliweran, narasi bersaing. Namun, di balik semua itu, ada realitas yang hampir pasti bisa dibaca. Sejumlah latar belakang krisis tampak jelas, seperti bara dalam sekam yang lama diabaikan.
    Pertama, akumulasi kekecewaan publik yang menahun. Kesenjangan sosial yang menganga tak tertanggulangi.
    Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2025, ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini tentu bisa diperdebatkan tergantung mistar yang dipakai—Bank Dunia atau BPS—namun rasa lapar tidak bisa disangkal dengan metodologi.
    Pengangguran merajalela. Orang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun, harga-harga naik.
    Dalam siniar saya, Chandra Hamzah dari Forum Warga Negara berkata, “Situasi ini ibarat rumput kering. Tinggal dilempar api.”
    Sayangnya, elite kekuasaan sibuk menyangkal realitas ini. Mereka gagal melihat bahwa ketika harapan publik tidak terpenuhi, dan ketimpangan memburuk, maka benih ledakan sosial sedang ditanam.
    Inilah yang disebut Ted Gurr sebagai
    relative deprivation
    : kemarahan rakyat lahir dari jurang antara ekspektasi dan kenyataan yang makin menjauh.
    Kedua, tata kelola pemerintahan. Pemerintah tampak gamang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
    Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
    Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
    Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
    Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
    Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
    Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
    Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
    Dalam kerangka teori
    fragile states
    (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
    Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    (Thomas Power: 2020).
    Dalam perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
    Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
    Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
    Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
    DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
    Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
    Komunikasi publik mereka
    clometan
    , pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
    Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai
    psychological striking force
    atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
    Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
    Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara
    real-time

    Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
    Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
    Inilah yang disebut
    manufactured consent
    —persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
    Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.
    Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.
    TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.
    Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.
    Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.
    Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.
    Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.
    Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.
    Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.
    Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”
    Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?
    Dalam kondisi
    low trust society
    , kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.
    Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.
    Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.
    Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara
    Satu Meja The Forum
    , “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”
    Jakob Oetama, pendiri
    Kompas
    , dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai
    mrucut
    .”
    “Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.
    Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.
    Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.
    Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.
    Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!
    Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.
    Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menkeu AS Scott Bessent Ogah Dicalonkan jadi Gubernur The Fed, Sisa 3 Kandidat

    Menkeu AS Scott Bessent Ogah Dicalonkan jadi Gubernur The Fed, Sisa 3 Kandidat

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tiga nama kuat dari empat nama yang sebelumnya diumumkan sebagai calon pengganti petahana Gubernur The Fed Jerome Powell. Pasalnya satu calon, yakni Menteri Keuangan AS Scott Bessent dikabarkan menolak tawaran tersebut.  

    Melansir dari Reuters, Sabtu (6/9/2025, daftar pendek calon pengganti Jerome Powell sebagai Ketua Federal Reserve yang disusun oleh Presiden AS Donald Trump kini mencakup asistennya Kevin Hassett, mantan Gubernur Fed Kevin Warsh, dan Gubernur Fed saat ini Christopher Waller 

    Trump mengatakan kepada wartawan di Gedung Putih bahwa ketiga pria tersebut adalah finalis untuk penunjukan di Fed. Trump juga mempertimbangkan Menteri Keuangan AS Scott Bessent untuk menggantikan Powell. Bessent, yang berada di Ruang Oval bersama presiden, mengonfirmasi ketidakminatannya. 

    “Saya punya empat [kandidat]. Sekarang saya bicara tentang tiga. Dia [Bessent] mengatakan kepada saya, ‘Saya tidak akan pergi’ [dari jabatannya]” ungkap Trump. 

    Presiden telah menegaskan niatnya untuk menunjuk pemimpin Fed yang lebih sejalan dengan upayanya untuk menurunkan suku bunga secara cepat, sambil menuduh Powell “terlambat” bertindak terkait biaya pinjaman dan merugikan pembeli rumah dengan suku bunga hipotek yang lebih tinggi. 

    Fed, di bawah kepemimpinan Powell, telah mempertahankan suku bunga sepanjang tahun karena kekhawatiran bahwa tarif Trump dapat memicu kembali inflasi, meskipun baru-baru ini kekhawatirannya lebih berfokus pada perlambatan pasar tenaga kerja. 

    Pilihan ketua Fed akan memiliki dampak besar bagi pasar keuangan, yang secara cermat memantau perubahan kepemimpinan Fed untuk petunjuk tentang arah suku bunga, kebijakan inflasi, dan kemandirian bank sentral.

    Berdasarkan rilis Departemen Tenaga Kerja pada Jumat kemarin, pertumbuhan lapangan kerja AS melemah tajam pada Agustus dan tingkat pengangguran naik menjadi hampir 4,3%, level tertinggi dalam empat tahun, yang mengonfirmasi bahwa kondisi pasar tenaga kerja sedang melemah. 

    Powell bulan lalu mencatat risiko penurunan pada pasar tenaga kerja yang mungkin memerlukan penyesuaian kebijakan yang hati-hati. Pernyataan tersebut diartikan oleh pasar keuangan dan analis sebagai dukungan untuk pemotongan suku bunga sebesar 0,25% pada September.

    Hal itu jauh dari pemotongan beberapa persentase poin yang diminta Trump. Hassett, direktur Dewan Ekonomi Nasional, telah menjadi pendukung setia tarif dan kebijakan lain Trump, dan setuju dengan Trump bahwa Fed telah mempertahankan suku bunga pada level yang tidak tepat.

    Sementara mantan Gubernur Fed Kevin Warsh berulang kali menyerukan “perubahan rezim” di Fed.

    Adapun Waller, yang pernah memimpin departemen riset Federal Reserve St. Louis sebelum Trump menunjuknya sebagai gubernur Fed pada 2020, akan menjadi pilihan yang bersifat institusional. 

    Bessent melontarkan serangkaian kritik terhadap Fed pada Jumat dan menyerukan tinjauan menyeluruh terhadap operasi bank sentral, mulai dari tenaga kerja, riset, hingga kebijakan moneter.

  • Menkeu AS Scott Bessent Ogah Dicalonkan jadi Gubernur The Fed, Sisa 3 Kandidat

    Menkeu AS Scott Bessent Ogah Dicalonkan jadi Gubernur The Fed, Sisa 3 Kandidat

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tiga nama kuat dari empat nama yang sebelumnya diumumkan sebagai calon pengganti petahana Gubernur The Fed Jerome Powell. Pasalnya satu calon, yakni Menteri Keuangan AS Scott Bessent dikabarkan menolak tawaran tersebut.  

    Melansir dari Reuters, Sabtu (6/9/2025, daftar pendek calon pengganti Jerome Powell sebagai Ketua Federal Reserve yang disusun oleh Presiden AS Donald Trump kini mencakup asistennya Kevin Hassett, mantan Gubernur Fed Kevin Warsh, dan Gubernur Fed saat ini Christopher Waller 

    Trump mengatakan kepada wartawan di Gedung Putih bahwa ketiga pria tersebut adalah finalis untuk penunjukan di Fed. Trump juga mempertimbangkan Menteri Keuangan AS Scott Bessent untuk menggantikan Powell. Bessent, yang berada di Ruang Oval bersama presiden, mengonfirmasi ketidakminatannya. 

    “Saya punya empat [kandidat]. Sekarang saya bicara tentang tiga. Dia [Bessent] mengatakan kepada saya, ‘Saya tidak akan pergi’ [dari jabatannya]” ungkap Trump. 

    Presiden telah menegaskan niatnya untuk menunjuk pemimpin Fed yang lebih sejalan dengan upayanya untuk menurunkan suku bunga secara cepat, sambil menuduh Powell “terlambat” bertindak terkait biaya pinjaman dan merugikan pembeli rumah dengan suku bunga hipotek yang lebih tinggi. 

    Fed, di bawah kepemimpinan Powell, telah mempertahankan suku bunga sepanjang tahun karena kekhawatiran bahwa tarif Trump dapat memicu kembali inflasi, meskipun baru-baru ini kekhawatirannya lebih berfokus pada perlambatan pasar tenaga kerja. 

    Pilihan ketua Fed akan memiliki dampak besar bagi pasar keuangan, yang secara cermat memantau perubahan kepemimpinan Fed untuk petunjuk tentang arah suku bunga, kebijakan inflasi, dan kemandirian bank sentral.

    Berdasarkan rilis Departemen Tenaga Kerja pada Jumat kemarin, pertumbuhan lapangan kerja AS melemah tajam pada Agustus dan tingkat pengangguran naik menjadi hampir 4,3%, level tertinggi dalam empat tahun, yang mengonfirmasi bahwa kondisi pasar tenaga kerja sedang melemah. 

    Powell bulan lalu mencatat risiko penurunan pada pasar tenaga kerja yang mungkin memerlukan penyesuaian kebijakan yang hati-hati. Pernyataan tersebut diartikan oleh pasar keuangan dan analis sebagai dukungan untuk pemotongan suku bunga sebesar 0,25% pada September.

    Hal itu jauh dari pemotongan beberapa persentase poin yang diminta Trump. Hassett, direktur Dewan Ekonomi Nasional, telah menjadi pendukung setia tarif dan kebijakan lain Trump, dan setuju dengan Trump bahwa Fed telah mempertahankan suku bunga pada level yang tidak tepat.

    Sementara mantan Gubernur Fed Kevin Warsh berulang kali menyerukan “perubahan rezim” di Fed.

    Adapun Waller, yang pernah memimpin departemen riset Federal Reserve St. Louis sebelum Trump menunjuknya sebagai gubernur Fed pada 2020, akan menjadi pilihan yang bersifat institusional. 

    Bessent melontarkan serangkaian kritik terhadap Fed pada Jumat dan menyerukan tinjauan menyeluruh terhadap operasi bank sentral, mulai dari tenaga kerja, riset, hingga kebijakan moneter.

  • Viral, Video Diduga PHK Massal Gudang Garam Kediri, Warganet Kaitkan dengan Pajak dan Rokok Ilegal

    Viral, Video Diduga PHK Massal Gudang Garam Kediri, Warganet Kaitkan dengan Pajak dan Rokok Ilegal

    Surabaya (beritajatim.com) – Sebuah video yang diduga memperlihatkan suasana perpisahan karyawan usai terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di PT Gudang Garam, Kediri, viral di media sosial. Video yang diunggah akun TikTok (et) adion._87 itu pun menyentuh banyak hati warganet.

    Dalam unggahannya, mantan karyawan tersebut menuliskan pesan penuh haru setelah 14 tahun bekerja di salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia.

    “14 tahun sudah perjalanan bersama PT Gudang Garam. Bukan hal yang mudah menerima keputusan PHK ini, karena di sinilah saya belajar, bertumbuh, dan menemukan keluarga kedua. Terima kasih untuk semua kenangan, kerja sama, dan persahabatan yang terjalin. Semoga langkah kita semua tetap dimudahkan Tuhan, dan semoga perusahaan terus maju,” tulisnya.

    Pesan tersebut langsung menuai simpati ribuan warganet. Banyak yang merasa prihatin sekaligus terkejut, mengingat PT Gudang Garam dikenal sebagai salah satu perusahaan rokok raksasa dengan jaringan produksi dan distribusi yang luas di Indonesia.

    Hingga kini, pihak manajemen PT Gudang Garam belum memberikan keterangan resmi terkait jumlah karyawan yang terdampak maupun detail alasan efisiensi tersebut. Namun, rumor yang beredar di publik menyebutkan bahwa PHK massal ini dipicu oleh tingginya beban pajak cukai rokok serta maraknya peredaran rokok ilegal yang semakin merugikan industri resmi.

    Sejumlah warganet bahkan mengaitkan keputusan PHK dengan kondisi pasar rokok yang semakin tertekan. Akun @uniq* menuliskan, “Pajak besar berdampak ke harga rokok. Banyak konsumen beralih ke rokok ilegal atau pakai tingwe (ngelinting dewe).”

    Tak sedikit warganet yang menyuarakan mrngaitkan dengan kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu menekan industri lewat kenaikan cukai.

    “Gudang Garam pabrik besar saja bisa PHK karyawannya, sungguh miris negeri ini. Kalian tekan pajak begitu tinggi, daya beli menurun, pabrik gulung tikar, pengangguran bertambah. Sekarang rakyat mau bayar pakai apa?” komentar akun @sipi***.

    Banyak pula yang mengingatkan bahwa PHK massal ini bukan hanya soal perusahaan, melainkan juga tentang nasib ribuan keluarga yang bergantung pada industri rokok. [fyi/beq]

  • Duduki Peringkat 6 di Jatim, Pengangguran di Kota Blitar Terus Menurun

    Duduki Peringkat 6 di Jatim, Pengangguran di Kota Blitar Terus Menurun

    Blitar (beritajatim.com) – Angka pengangguran terbuka di Kota Blitar terus berkurang. Berkembangnya industri yang ada di Bumi Bung Karno membuat tingkat pengangguran yang ada juga terus turun dari tahun ke tahun.

    Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Blitar, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di kota ini pada tahun 2024 berhasil turun menjadi 5,11 persen. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 0,13 persen dibandingkan tahun 2023 yang tercatat 5,24 persen.

    Kepala BPS Kota Blitar, Hanung Pramusito, menjelaskan bahwa tren penurunan ini didorong oleh semakin banyaknya peluang kerja dan keberhasilan bursa kerja dalam menyerap para pencari kerja. Hanung menambahkan, penurunan ini adalah hasil dari upaya kolaboratif yang terus dilakukan setiap tahun.

    “Di Tahun 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Blitar sebesar 5,11%, turun 0,13% dari Tahun 2023 yang sebesar 5,24%,” jelas Hanung pada Jumat (5/9/2025).

    Menariknya, dalam hal daya serap tenaga kerja, Kota Blitar menempati peringkat ke-6 di Jawa Timur, hanya berada di bawah Sidoarjo, Gresik, Kota Malang, Bangkalan, dan Kabupaten Malang. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Kota Blitar memiliki pondasi yang kuat untuk menciptakan lapangan kerja.

    Struktur ekonomi Kota Blitar sendiri masih didominasi oleh sektor jasa, yang menyumbang 70,21 persen dari total lapangan usaha. Sektor manufaktur menyusul di urutan kedua dengan 22,86 persen, dan sektor pertanian di posisi terakhir dengan 6,93 persen.

    Dengan tren positif ini, BPS berharap penurunan tingkat pengangguran akan terus berlanjut. Ini menjadi sinyal positif bagi para pencari kerja di Kota Blitar, karena semakin banyak kesempatan yang terbuka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai.

    “Semoga tingkat pengangguran ini akan terus berkurang seiring bertambahnya waktu,” tandasnya. [owi/aje]

  • Harga Emas Antam 5 September 2025 Lengser dari Rekor Termahal – Page 3

    Harga Emas Antam 5 September 2025 Lengser dari Rekor Termahal – Page 3

    Harga emas dunia melemah pada penutupan Kamis (4/9/2025) setelah reli besar yang mendorong ke level tertinggi sepanjang masa. Pelemahan harga emas ini terjadi karena investor memilih mengambil untung.

    Sementara perhatian sebagian besar pelaku pasar kini tertuju pada rilis laporan ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang akan menjadi petunjuk arah kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed).

    Mengutip CNBC, Jumat (5/9/2025), harga emas di pasar spot tercatat turun 0,3% ke level USD 3.547,68 per ons. Sebelumnya, pada Rabu (3/9/2025), harga emas sempat menembus rekor baru di USD 3.578,50 per ons, dipicu data lowongan kerja AS yang lebih lemah dari perkiraan.

    Kondisi tersebut meningkatkan spekulasi penurunan suku bunga The Fed, sekaligus memperkuat minat terhadap emas sebagai aset lindung nilai di tengah ketidakpastian ekonomi.

    Data terbaru juga menunjukkan klaim tunjangan pengangguran di AS meningkat lebih besar dari perkiraan pekan lalu.

    Direktur Perdagangan Logam High Ridge Futures David Meger menjelaskan, laporan ketenagakerjaan bulanan yang akan dirilis Jumat menjadi sorotan utama.

    “Setiap perubahan ekspektasi terkait kebijakan suku bunga The Fed akan langsung berdampak pada dolar dan emas,” ujarnya.

  • Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        5 September 2025

    Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi Nasional 5 September 2025

    Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka

    Kekuasaan bisa mengangkat setinggi-tingginya, tetapi juga menjatuhkan sedalam-dalamnya
    .”
    PADA
    satu dekade lalu, nama Nadiem Anwar Makarim identik dengan optimisme baru. Ia mendirikan Gojek, aplikasi yang mengubah wajah transportasi Indonesia.
    Dari sekadar gagasan sederhana tentang ojek berbasis aplikasi, Gojek berkembang menjadi unicorn pertama di negeri ini, bahkan menembus status decacorn.
    Nadiem dielu-elukan sebagai
    game changer
    . Ia anak muda yang berani bermimpi besar, membuktikan bahwa inovasi lahir dari dalam negeri bisa menembus panggung global.
    Di balik layar, jutaan pengemudi ojek menemukan penghidupan baru, mereduksi angka pengangguran dan masyarakat merasakan kemudahan dalam keseharian.
    Pada 2019, perjalanan itu mencapai puncak simbolis: Presiden Joko Widodo memintanya meninggalkan kursi CEO dan masuk ke kabinet sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
    Publik bersorak. Ada yang menyabut dengan penuh optimistis. Inilah saatnya profesional muda membawa angin segar dan perubahan ke birokrasi.
    Namun, lima tahun berselang, jalan cerita berbelok. Kamis (4/9), Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek, proyek bernilai fantastis, Rp 9,9 triliun.
    Keputusan mengganti spesifikasi dari laptop berbasis Windows menjadi Chromebook kini dituding sarat kepentingan, punya ‘Mens Rea’ korupsi.
    Kisah Nadiem memperlihatkan ironi yang dalam. Dari pengusaha muda penuh inspirasi, ia kini harus menghadapi proses hukum sebagai tersangka korupsi.
    Di dunia bisnis, reputasinya nyaris tak bercela. Namun, di dunia birokrasi, ia tersandung. Perbedaan yang menunjukkan jurang antara logika korporasi dan logika negara atau pemerintahan.
    Bisnis berorientasi pada hasil cepat, efisiensi, dan kepuasan pengguna. Sementara birokrasi negara berjalan dengan aturan ketat, prosedur panjang, dan risiko politik yang besar.
    Seperti diingatkan Mahfud MD, “Korupsi itu bukan hanya soal keserakahan, tetapi juga kelemahan sistem yang memberi peluang.”
    Nadiem mungkin datang dengan niat membangun, tetapi kelemahan sistem dan dinamika politik bisa menyeret siapa saja.
    Nadiem juga bukan satu-satunya dari lingkaran Jokowi yang kini masuk pusaran kasus hukum. Immanuel Ebenezer, Silfester Matutina yang berstatus buron, bahkan nama mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang sudah bolak-balik memenuhi pemeriksaan KPK, dan mungkin akan menyusul Nadiem sebagai tersangka.
    Lord Acton sudah lama mengingatkan: “
    Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely
    .” Selama berkuasa, hukum sering tampak jauh.
    Namun begitu kursi dilepaskan, jejaring melemah, dan proses hukum datang tanpa ampun. Inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai
    political cycle:
    perlindungan hukum yang semu, hanya bertahan selama ada kuasa atau punya kekuasaan.
    Kasus ini juga menjadi refleksi bagi para profesional yang dipanggil masuk pemerintahan. Keberhasilan di sektor swasta tidak serta-merta menjadi jaminan bisa sukses dan aman di birokrasi.
    Guy Peters mengingatkan, birokrasi publik tunduk pada
    accountability
    berlapis: kepada hukum, lembaga audit, parlemen, publik, bahkan media.
    Sementara di bisnis, orientasi utamanya jelas: konsumen dan keuntungan. Celah inilah yang sering membuat profesional kebingungan.
    Amartya Sen menambahkan bahwa korupsi adalah “governance failure”—bukan sekadar kelemahan moral individu. Sistem yang rapuh bisa menyeret siapa saja, bahkan mereka yang berangkat dengan idealisme dan reputasi baik.
    Ironi Nadiem seharusnya tidak hanya dilihat sebagai tragedi personal, melainkan juga sebagai cermin kelemahan sistem.
    Reformasi pendidikan tidak bisa dipisahkan dari reformasi tata kelola. Laptop, kurikulum, hingga digitalisasi hanyalah instrumen; tanpa tata kelola yang bersih, instrumen itu kehilangan makna.
    Publik pun perlu menahan diri dari penghakiman instan. Status tersangka bukanlah vonis. Biarkan pengadilan yang menguji bukti. Yang lebih penting, masyarakat menuntut perbaikan sistem agar kasus serupa tidak berulang.
    Perjalanan Nadiem adalah kisah tentang dua wajah Indonesia: inovasi yang membanggakan dan korupsi yang membayangi. Dari anak muda inspiratif yang menembus batas global, ia kini menjadi mantan pejabat yang berstatus tersangka kasus korupsi.
    Ironi ini mengajarkan bahwa prestasi masa lalu tidak selalu menjamin kebebasan dan imunitas dari risiko di masa kini.
    Kasus ini juga menjadi cermin yang menohok kita semua. Bahwa negeri ini masih harus terus berjuang untuk keluar dari jerat korupsi yang seakan abadi.
    Sehebat apa pun gagasan, secemerlang apa pun visi, dan sehebat apa pun teknologi, semuanya bisa runtuh jika tata kelola pemerintahan masih lemah. Nadiem, dengan segala prestasi globalnya, tetap tidak kebal terhadap jebakan sistem.
    Bagi para profesional muda, kisah ini adalah pengingat keras. Memasuki dunia pemerintahan bukan hanya tentang membawa visi besar atau strategi korporasi. Ia juga tentang mengarungi lautan birokrasi yang penuh aturan, kepentingan, bahkan jebakan hukum.
    Idealismenya bisa menjadi cahaya, tetapi tanpa kewaspadaan, cahaya itu bisa meredup di tengah gelombang kekuasaan.
    Sekali lagi, kita jangan melihat kasus ini hanya sebagai tragedi personal. Kita perlu melihat akar masalah yang lebih dalam: lemahnya tata kelola, politik yang cair dengan kepentingan, dan sistem pengawasan yang belum kokoh.
    Sebab, tanpa perbaikan sistemik, kasus serupa akan terus berulang, hanya berganti nama, wajah dan momentum politik.
    Akhirnya, ironi terbesar dalam kisah Nadiem bukanlah penetapan status tersangkanya semata, melainkan hilangnya harapan publik yang dulu sempat menyala.
    Dari simbol inovasi, ia kini menjadi simbol peringatan: bahwa kekuasaan bisa mengangkat setinggi-tingginya, tetapi juga bisa menjatuhkan sedalam-dalamnya.
    Dawam Rahardjo pernah berkata, “Kekuasaan bukanlah panggung untuk menumpuk kuasa, melainkan ladang untuk menanam kebajikan.”
    Pesan itu kini terasa relevan. Sebab, pada akhirnya, jejak inovasi bisa memudar bila dibayangi korupsi. Dan hanya kebajikan yang akan bertahan dalam ingatan sejarah bangsa, dari generasi ke generasi.
    Menegaskan bahwa kekuasaan itu fana. Ia datang dan pergi, meninggalkan jejak yang tak pernah bisa dihapus begitu saja.
    Jejak itulah yang akan dikenang sejarah. Dan sejarah selalu memilih untuk mengingat bukan sekadar siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kuasa itu digunakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dihimpit Isu Global, Rupiah Melemah Tipis – Page 3

    Dihimpit Isu Global, Rupiah Melemah Tipis – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis dan cenderung stagnan pada penutupan perdagangan Kamis sore ini, meski sentimen global seharusnya mendukung penguatan. Para ahli ekonomi menyebutkan beberapa faktor, baik dari dalam maupun luar negeri, yang memengaruhi pergerakan mata uang Garuda ini.

    Pada Kamis (4/9/2025), nilai tukar rupiah tercatat melemah 9 poin atau 0,05% menjadi Rp 16.425 per dolar AS, dari sebelumnya Rp 16.416. Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) dari Bank Indonesia juga melemah ke level Rp 16.438 per dolar AS.

    Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menjelaskan, pergerakan rupiah yang terbatas sejalan dengan sikap para investor yang menahan diri menjelang rilis data-data ekonomi penting dari AS.

    “Rupiah melanjutkan tren pergerakan yang terbatas pada perdagangan hari Kamis, sejalan dengan investor yang mengantisipasi data ketenagakerjaan AS di hari Jumat (5/9/2025) dan juga antisipasi dari libur Maulid Nabi di hari Jumat (5/9/2025),” ujar Josua dikutip dari Antara. 

    Ia menambahkan, pasar tengah menunggu rilis data Purchasing Managers’ Index (PMI) Jasa AS dan data ketenagakerjaan atau Non-Farm Payrolls (NFP) AS yang akan dirilis pada Jumat. Sementara itu, di dalam negeri, sentimen positif sempat muncul setelah demonstrasi mereda, membuat rupiah sempat menguat 0,43% week to week.

    Josua memprediksi, jika data-data ekonomi AS menunjukkan adanya deflasi dan peningkatan angka pengangguran, rupiah berpotensi menguat pada pekan depan. Ia memperkirakan, nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.325 hingga Rp16.450 per dolar AS.