Kasus: pengangguran

  • Beri Kesempatan Menteri Keuangan Baru

    Beri Kesempatan Menteri Keuangan Baru

    Jakarta

    Pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan selalu menjadi sorotan publik. Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini langsung meningkat ketika hari pertama pengumuman adanya reshuffle Kabinet Merah Putih. Bahkan di hari pertama pengangkatan Menteri Keuangan yang baru, pasar sempat merespon negatif.

    Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat melemah. Namun untungnya respon negatif ini hanya bersifat reaksioner sesaat karena di hari kedua IHSG dan nilai tukar rupiah sudah mulai mengalami “reborn”.

    Tantangan Menteri Keuangan Baru

    Dinamika perdebatan publik mengenai pergantian Menteri Keuangan ini cukup dapat dipahami. Menteri Keuangan bukan sekadar pejabat teknokratis, tetapi juga aktor politik-ekonomi yang menentukan arah kebijakan fiskal, stabilitas makro, dan persepsi pasar.

    Dalam waktu bersamaan, terdapat tantangan yang tidak ringan yang akan dihadapi Menteri Keuangan salah satunya adalah mengurangi anomali pertumbuhan ekonomi yang terjadi di era pemerintahan Prabowo-Gibran.

    Fenomena “anomali pertumbuhan” ini harus menjadi prioritas menteri keuangan baru. Pertumbuhan ekonomi yang sehat bukan sekadar angka statistik, melainkan harus mampu menciptakan lapangan kerja layak, meningkatkan kesejahteraan masyarakat menengah bawah, serta memperkuat daya tahan ekonomi domestik.

    Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga relatif tinggi, di atas lima persen. Namun di sisi lain, berbagai anomali justru dirasa mulai muncul di lapangan, menimbulkan pertanyaan apakah pertumbuhan itu benar-benar berkualitas.

    Di tengah pertumbuhan ekonomi yang positif, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru dirasa mulai meningkat. Banyak perusahaan, khususnya di sektor manufaktur dan tekstil, mengurangi kapasitas produksi karena melemahnya permintaan global maupun domestik yang disebabkan oleh membanjirnya impor pakaian bekas.

    Hal ini memunculkan pengangguran baru baik yang sifatnya pengangguran terbuka maupun yang terselubung (setengah menganggur).

    Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di setengah tahun ini malah menggeser pekerja sektor formal ke sektor informal. Lebih dari separuh angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal.

    Data ini memperlihatkan rapuhnya struktur ekonomi. Alih-alih menyerap tenaga kerja ke industri modern dengan produktivitas tinggi, pertumbuhan yang terjadi dalam enam bulan terakhir justru mendorong banyak orang ke sektor perdagangan kecil atau jasa informal yang rentan terhadap perubahan.

    Indikator lain yang harus diperhatikan oleh Menteri Keuangan yang baru adalah turunnya jumlah tabungan masyarakat kelas menengah bawah, khususnya dengan saldo di bawah Rp100 juta. Fenomena ini populer disebut “mantab” (makan tabungan).

    Artinya, pertumbuhan ekonomi belum benar-benar meningkatkan daya beli masyarakat terutama masyarakat menengah bawah. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah atas yang menjadikan ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat masih cenderung tinggi.

    Kredit perbankan, yang biasanya menjadi motor pertumbuhan dan penggerak roda industri, justru mulai memperlihatkan perlambatan. Penyaluran kredit bank di akhir pertengahan tahun 2025 hanya tumbuh di sekitaran tujuh persen.

    Penurunan ini bukan hanya karena kehati-hatian bank, tetapi lebih karena melemahnya permintaan kredit dari dunia usaha. Bahkan risiko dunia usaha juga meningkat yang diperlihatkan dengan naiknya angka Non-Performing Loan (NPL) kredit perbankan. Kondisi ini menjadikan bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

    Di waktu bersamaan, sektor UMKM juga mengalami tekanan. Kredit UMKM di beberapa sektor mengalami penurunan. Padahal selama ini UMKM menjadi penyedia lapangan kerja terbanyak. Kondisi ini menggambarkan naiknya risiko ekonomi dan menurunnya kepercayaan perbankan terhadap keberlanjutan usaha kecil dan menengah.

    Apa yang Harus Dilakukan Menteri Keuangan Baru?

    Menghadapi situasi ini, Menteri Keuangan baru tidak bisa hanya berfokus pada target angka pertumbuhan. Yang lebih penting adalah kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.

    Menteri Keuangan yang baru harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan decent job (pekerjaan layak), mendorong UMKM naik kelas, memperluas kelas menengah, dan memperkuat struktur ekonomi daerah.

    Program mengguyur likuiditas perbankan dengan dana milik pemerintah yang mencapai RP200 triliun demi mendorong pertumbuhan ekonomi cukup dapat dipahami. Namun langkah ini adalah resep generik jangka pendek.

    Program ini juga harus dijalankan ekstra hati-hati. Jika likuiditas di lembaga perbankan terlalu berlebih maka hasilnya bisa kontraproduktif dengan tujuan semula, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dengan mendorong UMKM dan industri padat karya.

    Saat ini likuditas di sektor perbankan sudah cukup ample. Lembaga perbankan memiliki dana yang sangat cukup untuk disalurkan menjadi kredit. Namun permasalahan utama yang dihadapi sektor perbankan saat ini adalah rendahnya permintaan (demand) kredit.

    Pertumbuhn kredit yang hanya sekitar tujuh persen bukan disebabkan karena rendahnya likuiditas, namun karena permintaan pasar tidak banyak. Sektor riil terutama industri pengolahan dan UMKM tidak bergerak cepat seperti yang diharapkan sehingga ekspansi usaha juga tidak berjalan cepat.

    Menambah likuiditas di tengah permintaan yang rendah dan risiko yang meningkat dikhawatirkan malah akan menjadi racun bagi lembaga perbankan.

    Apalagi lembaga perbankan tidak boleh menyalurkan dana berlebihnya ke portofolio keuangan seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan juga Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

    Jika dipaksakan disalurkan ke dalam kredit maka besar kemungkinan akan terpilih kreditor-kreditor yang tidak berkualitas yang akan berpotensi meningkatkan NPL. Jika tetap dibiarkan mengendap maka bank akan mengalami kenaikan biaya modal karena menanggung biaya simpanan.

    Bisa saja bank mensiasati dengan mengganti dana yang disalurkan dimana dana yang disalurkan menjadi dana pemerintah dan dana yang mengendap menjadi dana milik umum.

    Namun hal itu tidak menyelesaikan masalah karena ibarat mengganti kantong, dari kantong kiri menjadi kantong kanan. Langkah ini hanya menyelesaikan permasalahan politis saja alih-alih masalah ekonomi dan tata kelola penyaluran kredit.

    Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

    Oleh karena itu, kebijakan mengguyur likuiditas harus disertai dengan kebijakan lain yang dapat menciptakan permintaan di pasar kredit. Salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Program MBG dapat menjadi instrumen kebijakan fiskal yang tidak hanya berorientasi pada gizi anak sekolah, tetapi juga sebagai sumber permintaan bagi produk-produk berbasis kearifan lokal. Program MBG bisa diarahkan untuk menjadi faktor pendorong perekonomian daerah berbasis produk-produk pangan lokal.

    Agar program MBG dapat berfungsi sebagai penggerak ekonomi, dibutuhkan lembaga produksi dan distribusi yang kuat dalam hal ini program Koperasi Merah Putih yang ada di setiap desa bisa menjadi program pendukung yang sangat kuat.

    Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dari program Menteri Keuangan baru ini terletak pada integrasi kedua program ini. Program MBG menciptakan permintaan, sementara koperasi menjadi penyedia pasokan. Program MBG dan Koperasi Merah Putih harus menjadi satu kesatuan ekosistem yang utuh sehingga bisa saling menguatkan.

    Langkah Menteri Keuangan baru yang meminta laporan real time pelaksanaan dan realisasi anggaran dari Badan Gizi Nasional (BGN) merupakan langkah tepat yang bisa mendorong program MBG menjadi motor penggerak perekonomian.

    Jika program MBG bisa menjadi motor penggerak perekonomian maka konsep pertumbuhan ekonomi “desa mengepung kota” akan berhasil lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi desa mengepung kota akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan lebih adil.

    Indonesia pernah mengenal program “desa mengepung kota” yang digagas salah satu bank BUMN di awal tahun 2000-an. Program ini menekankan pentingnya membangun ekonomi desa sebagai basis pertumbuhan.

    Program yang digagas bank milik pemerintah ini bisa dikatakan berhasil dan saat ini menjadikan bank plat merah tersebut sebagai salah satu bank dengan aset terbesar di Indonesia.

    Meski konsepnya menjanjikan, implementasi tentu penuh tantangan, mulai dari koordinasi antar kementerian, masalah tata kelola, kapasitas koperasi, hingga monitoring dan evaluasi. Belanja untuk MBG dan penguatan koperasi tentu membutuhkan dana besar. Namun, jika dirancang sebagai investasi sosial-ekonomi jangka panjang, program ini justru bisa memperkuat basis pajak di masa depan yang tentunya berujung pada penambahan pendapatan negara yang berkelanjutan.

    Penulis:

    Agus Herta Sumarto
    Ekonom INDEF dan Dosen FEB UMB

    (hns/hns)

  • Kisah Koperasi Merah Putih Girimukti Lebak: Jual Produk Lokal, Omzet Rp 5 Juta per Hari
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        12 September 2025

    Kisah Koperasi Merah Putih Girimukti Lebak: Jual Produk Lokal, Omzet Rp 5 Juta per Hari Regional 12 September 2025

    Kisah Koperasi Merah Putih Girimukti Lebak: Jual Produk Lokal, Omzet Rp 5 Juta per Hari
    Tim Redaksi
    LEBAK, KOMPAS.com
    – Koperasi Desa Merah Putih Girimukti di Kabupaten Lebak, Banten, mendapatkan pujian dari Menteri Koperasi Ferry Juliantono.
    Menurutnya, koperasi ini telah berhasil menyuplai kebutuhan masyarakat serta memasarkan produk lokal dengan pendapatan mencapai Rp5 juta per hari.
    “Koperasi Merah Putih di Lebak ini luar biasa. Selain menjual barang-barang dari BUMN, koperasi ini juga memasarkan produk lokal seperti gula aren serbuk (gula semut) yang bisa menjadi andalan Lebak, bahkan berpotensi jadi yang terbaik di Indonesia,” ungkap Ferry setelah meresmikan koperasi tersebut di Plaza Lebak, Kecamatan Cibadak, Jumat (12/9/2025).
    Ferry menambahkan, capaian pendapatan koperasi yang mencapai Rp5 juta per hari menunjukkan antusiasme masyarakat yang tinggi untuk berbelanja di Koperasi Desa Merah Putih.
    “Ini baru satu contoh di Girimukti, pendapatannya sudah Rp5 juta per hari dengan anggota 600 orang dari 2.000 penduduk. Ini luar biasa,” jelasnya.
    Keberhasilan dalam operasional membuat Koperasi Merah Putih Girimukti dijadikan model bagi koperasi desa lainnya di Lebak dan Banten.
    Koperasi ini juga telah dibuka di Plaza Lebak setelah sebelumnya diluncurkan di Kecamatan Cilograng beberapa bulan lalu.
    Lebih lanjut, Koperasi Merah Putih Girimukti juga berhasil membuka lapangan kerja baru dengan mempekerjakan tujuh orang dan satu manajer.
    “Kalau dikalikan dengan 344 koperasi desa Merah Putih yang ada di Lebak, potensi serapan tenaga kerja bisa ribuan orang. Ini akan sangat membantu pemerintah daerah mengurangi pengangguran,” tuturnya.
    Ferry optimistis konsep Koperasi Merah Putih dapat menjadi model pemberdayaan ekonomi desa di berbagai daerah.
    “Cita-cita presiden agar koperasi desa menjadi alat perjuangan ekonomi rakyat bisa dimulai dari Lebak ini,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kepulauan Seribu latih warga jadi teknisi komputer

    Kepulauan Seribu latih warga jadi teknisi komputer

    Jakarta (ANTARA) –

    Suku Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Energi (Nakertransgi) Kepulauan Seribu mengadakan pelatihan kerja bagi warga untuk menjadi teknisi komputer agar dapat membuka peluang usaha dan lapangan pekerjaan baru sebagai upaya mengatasi pengangguran di wilayah tersebut.

    Pelatihan kejuruan teknisi komputer ini sebagai tindak lanjut dari aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di Kelurahan Pulau Kelapa, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.

    Menurut Kepala Seksi Ketenagakerjaan Suku Dinas (Sudin) Nakertransgi Kepulauan Seribu, Titis Sri Hartopo di Jakarta, Jumat, jumlah peserta pelatihan teknisi komputer sebanyak 10 orang yang seluruhnya merupakan warga yang sedang mencari pekerjaan.

    Para peserta akan mengikuti pelatihan selama 22 hari kerja atau hingga akhir Oktober 2025. Pelatihan yang dimulai 9 September ini diberikan secara gratis.

    Ia menjelaskan, pelatihan kerja ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi warga, khususnya di bidang teknisi komputer agar lebih mudah terserap dunia kerja maupun membuka usaha mandiri.

    “Pelatihan ini akan membantu mereka menjadi lebih mandiri dan memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri,” kata dia.

    Adapun materi yang diberikan meliputi pengenalan perangkat keras (hardware), perakitan komputer, instalasi Windows, “troubleshooting” serta jaringan komputer.

    Pada akhir pelatihan, yakni 7-8 Oktober 2025, para peserta akan mengikuti uji kompetensi selama dua hari untuk mendapatkan sertifikat pelatihan.

    “Mereka juga akan memperoleh sertifikat kompetensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP),” kata dia

    Dia berharap sertifikat tersebut dapat menjadi modal penting bagi peserta dalam mencari pekerjaan maupun mengembangkan usaha.

    “Mudah-mudahan sertifikat ini dapat mempermudah mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga, kita bisa terus menekan angka penganggur,” kata dia.

    Lurah Pulau Kelapa, Muslim mengatakan, pelatihan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan warga, terutama dalam menghadapi kebutuhan dunia kerja yang semakin kompetitif.

    “Terima kasih atas perhatian yang diberikan ke warga Pulau Kelapa,” kata dia.

    Salah satu peserta pelatihan bernama Salman (35) mengaku bersyukur bisa ikut dalam pelatihan ini dan ini kesempatan membuka peluang untuk menambah keterampilan sekaligus merintis usaha layanan komputer.

    “Terima kasih kepada pemerintah yang telah mengadakan pelatihan kerja seperti ini. Momen ini menjadi peluang besar saya untuk lebih maju,” kata dia.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Harga Emas 24 Karat Hari Ini 12 September 2025: UBS Turun di Pegadaian – Page 3

    Harga Emas 24 Karat Hari Ini 12 September 2025: UBS Turun di Pegadaian – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Harga emas memangkas koreksi pada perdagangan Kamis, 11 September 2025, tetapi bertahan dekat rekor tertinggi. Hal ini karena data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang lemah mengalahkan kekhawatiran terhadap data inflasi yang menguat.

    Selain itu, investor juga masih bertaruh pada pelonggaran suku bunga the Federal Reserve (the fed) pekan depan.

    Harga emas di pasar spot turun 0,2% menjadi USD 3.634,96 per ounce. Harga emas batangan mencapai rekor tertinggi di USD 3.673,95 pada perdagangan Selasa pekan ini. Sedangkan harga emas berjangka AS untuk pengiriman Desember merosot 0,2% menjadi USD 3.673,6.

    “Emas diselamatkan oleh lonjakan tajam klaim pengangguran awal mingguan, yang mencapai level tertinggi dalam tiga tahun di angka 263.00 sementara IHK inti tetap tinggi di 0,3% secara bulanan,” ujar pelaku pasar independent, Tai Wong.

    Wong menambahkan, pergerakan harga emas baru-baru ini menunjukkan ada aksi beli yang jenuh dari pembeli. Namun, prospek emas selama beberapa bulan ke depan dinilai tetap konstruktif dan membatas ruang untuk penurunan signifikan.

    Harga konsumen AS naik lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Agustus, mencatat kenaikan tahunan terbesar dalam tujuh bulan, sementara klaim pengangguran mingguan juga melonjak tajam, menyoroti melemahnya kondisi pasar tenaga kerja.

    Seiring sentimen harga emas dunia, berikut pergerakan harga emas 24 karat pada Jumat, 12 September 2025:

     

     

  • PKB Pasuruan Gelar Dialog Publik Pasca Kerusuhan, Warga Soroti Isu Sampah hingga Tambang

    PKB Pasuruan Gelar Dialog Publik Pasca Kerusuhan, Warga Soroti Isu Sampah hingga Tambang

    Pasuruan (beritajatim.com) – Pasca kerusuhan yang sempat mengguncang sejumlah kota besar di Indonesia, DPP PKB menginstruksikan seluruh DPC untuk turun langsung mendengar aspirasi masyarakat. Instruksi itu ditindaklanjuti oleh DPC PKB Kabupaten Pasuruan dengan menggelar dialog bersama berbagai elemen masyarakat di Aula Graha Addakhil kantor DPC PKB Kabupaten Pasuruan, Jumat (12/9/2025).

    Kegiatan dipimpin langsung oleh Plh Ketua DPC PKB Kabupaten Pasuruan, Sudiono Fauzan, dan dihadiri seluruh anggota PKB yang duduk di kursi legislatif. Forum tersebut menjadi ruang bagi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, serta warga untuk menyampaikan kegelisahan mereka terhadap kondisi daerah.

    Mahasiswa yang hadir menyoroti berbagai persoalan lokal, mulai dari pembangunan daerah, tata kelola sampah, hingga tingginya angka pengangguran yang dinilai semakin membebani generasi muda. “Semua masukan yang disampaikan akan kita bahas lebih lanjut,” kata Sudiono Fauzan.

    Organisasi kemasyarakatan juga menyoroti isu lingkungan, terutama kerusakan akibat aktivitas tambang ilegal. Mereka menilai pemerintah belum menunjukkan sikap tegas terhadap para pelaku perusakan alam. “Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal semakin marak, wakil rakyat harus berani mengambil langkah untuk mencegah dan memberikan sanksi,” ujar aktivis Lujeng Sudarto.

    Selain itu, persoalan sampah kembali menjadi sorotan penting. Warga meminta kebijakan nyata agar penanganan sampah tidak lagi menjadi masalah menahun di Kabupaten Pasuruan.

    Menanggapi berbagai aspirasi, Sudiono Fauzan memastikan masukan yang dihimpun tidak berhenti hanya di forum. Ia berjanji akan menyampaikan hasil dialog kepada kepala daerah sebagai bahan pengambilan kebijakan. “Semua masukan dari masyarakat akan kita teruskan, agar kepala daerah bisa mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat,” tegasnya.

    Dialog ini diharapkan menjadi jembatan antara masyarakat dan wakil rakyat, sekaligus memperkuat komitmen PKB dalam memperjuangkan solusi nyata atas persoalan daerah. [ada/beq]

  • Kebohongan Terbesar CEO Dibongkar Pencipta AI, Karyawan Harus Waspada

    Kebohongan Terbesar CEO Dibongkar Pencipta AI, Karyawan Harus Waspada

    Jakarta, CNBC Indonesia – Geffrey Hinton, ilmuwan pemenang Nobel yang dikenal sebagai “bapak AI” memberikan peringatan keras. Teknologi kecerdasan buatan (AI), menurutnya, bakal menyebabkan PHK massal di seluruh dunia.

    Gelar godfather of AI diberikan kepada Hinton karena jasanya menciptakan teknologi jejaring saraf (neural network) yang menjadi fondasi pengembangan kemampuan AI.

    Namun, ia mengkritik keras para CEO perusahaan teknologi yang mengubar janji soal dampak positif AI untuk masa depan.

    “Apa yang akan terjadi adalah orang kaya menggunakan AI daripada membayar karyawan. Akan tercipta pengangguran besar-besaran dan profit perusahaan melonjak. Kekayaan beberapa orang bakal naik pesat, tetapi kebanyakan orang bakal makin miskin. Bukan salah AI. Ini akibat sistem kapitalis,” kata Hinton dalam wawancara dengan Financial Times yang dikutip oleh Futurism.

    Hinton adalah pemimpin tim Google Brain tetapi telah hengkang dari Google sejak 2023. 

    Menurut Futurism, dampak AI terhadap lapangan pekerjaan sudah tampak ditandai dengan langkah PHK massal di banyak perusahaan di dunia. Namun, dampaknya terhadap laba belum signifikan.

    Sam Altman, CEO perusahaan pencipta ChatGPT yaitu OpenAI, menyarankan penetapan upah minimum (universal basic income) untuk mengurangi dampak PHK akibat AI. Namun menurut Hinton, langkah tersebut tidak berpengaruh terhadap dampak AI terhadap martabat manusia yang kehilangan tujuan.

    Hinton memperkirakan AI bisa mencapai level kecerdasan super atau super intelligent yaitu melampaui kecerdasan manusia paling pintar paling lama 20 tahun lagi.

    “Kebanyakan ilmuwan sepakat antara 5 dan 20 tahun. Itu tebakan terbaik,” katanya.

    Pencapaian AI yang lebih cerdas dari manusia, menurutnya tak bisa dicegah. Ia meminta agar generasi mudah untuk mencari solusi dan tak usah berpura-pura semua baik-baiks aja.

    “Kenapa generasi mudah harus tetap bersikap positif. Mungkin mereka lebih berusaha jika mereka tidak hanya memandang semuanya positif. Jika ada alien yang diperkirakan tiba 10 tahun lagi, apakah semua akan bilang ‘mari tetap’ positif’, tidak. Jika tetap positif berarti berpura-pura tidak ada yang terjadi, saya rasa tidak benar jika ‘tetap positif,” kata Hinton.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bapak AI Ramal Terjadi Pengangguran Besar-besaran

    Bapak AI Ramal Terjadi Pengangguran Besar-besaran

    Jakarta

    Ilmuwan komputer yang sering disebut Bapak AI dan juga peraih Nobel, Geoffrey Hinton, punya beberapa prediksi suram tentang dampak besar dari perkembangan AI. Bahkan menurutnya, para CEO perusahaan teknologi yang mengkhotbahkan masa depan AI yang positif menipu diri sendiri dan orang lain.

    “Yang sebenarnya akan terjadi adalah orang kaya akan menggunakan AI untuk menggantikan pekerja,” kata Hinton kepada Financial Times.

    “Ini akan menciptakan pengangguran besar-besaran dan peningkatan laba yang sangat besar. Ini akan membuat beberapa orang jauh lebih kaya dan kebanyakan orang jauh lebih miskin. Itu bukan salah AI. Itulah sistem kapitalis.” demikian ramalnya.

    Mantan pemimpin tim Google Brain itu tidak memberikan perkiraan tentang kapan hal itu akan terjadi. Namun saat ini pun, sudah ada beberapa kasus pegawai di perusahaan besar digantikan perannya oleh AI dan kena PHK.

    Meskipun CEO OpenAI Sam Altman dan orang-orang seperti dia menyarankan untuk memperkenalkan pendapatan dasar universal (UBI) untuk menangkal pengangguran yang disebabkan AI, Hinton mengklaim bahwa solusi sementara seperti itu takkan mengatasi hilangnya martabat manusia dan hilangnya tujuan karena PHK.

    Hinton juga memprediksi kapan kira-kira teknologi AI dapat menjadi superintelijen, mampu mengalahkan manusia terpintar sekalipun. “Banyak ilmuwan sepakat antara lima dan 20 tahun. Itu taruhan terbaik,” ujarnya.

    Ketika ditanya bagaimana generasi muda dapat tetap positif dalam menghadapi era AI, dia justru menyarankan agar mereka waspada. “Mengapa (anak muda) harus tetap positif? Mungkin mereka akan berbuat lebih banyak jika mereka tidak begitu positif,” katanya.

    “Misal ada invasi alien yang dapat Anda lihat dengan teleskop yang akan tiba dalam 10 tahun, apa Anda akan bertanya bagaimana kita bisa tetap positif? Tidak, Anda akan bertanya bagaimana kita akan menghadapi ini?’” lanjut Hinton.

    “Jika tetap positif berarti berpura-pura itu tidak akan terjadi, maka orang-orang seharusnya tidak tetap positif,” sebutnya yang dikutip detikINET dari Futurism.

    Hinton menyebut mungkin umurnya tidak sampai untuk menyaksikan dampak dahsyat AI. “Saya berusia 77 tahun, waktu akhir akan segera datang bagi saya,” ucapnya.

    (fyk/fay)

  • Pengangguran Meledak di Mana-mana, Bapak AI Kasih Peringatan Keras

    Pengangguran Meledak di Mana-mana, Bapak AI Kasih Peringatan Keras

    Jakarta, CNBC Indonesia – Geoffrey Hinton, ilmuwan peraih Nobel yang dijuluki “Bapak AI,” memberi peringatan keras soal dampak kecerdasan buatan (AI) terhadap masa depan pekerjaan.

    Menurutnya, perkembangan AI justru akan dimanfaatkan kelompok kaya untuk menggantikan tenaga kerja, memicu pengangguran besar-besaran, dan memperlebar jurang ketimpangan.

    “Apa yang sebenarnya akan terjadi adalah orang-orang kaya akan menggunakan AI untuk menggantikan pekerja,” ujar Hinton dalam wawancara dengan Financial Times, dikutip dari Futurism, Kamis (11/9/2025).

    “Ini akan menciptakan pengangguran besar-besaran dan lonjakan keuntungan. Beberapa orang akan menjadi jauh lebih kaya, sementara kebanyakan orang semakin miskin,” imbuhnya.

    Hinton menegaskan kondisi tersebut bukan kesalahan teknologi AI, melainkan sistem kapitalisme yang memungkinkan konsentrasi keuntungan pada segelintir pihak.

    Mantan pemimpin Google Brain itu meninggalkan perusahaan pada 2023 dan sejak itu rutin menyampaikan peringatan mengenai ancaman AI.

    Ia menilai, meskipun sejumlah tokoh teknologi seperti CEO OpenAI Sam Altman mendorong penerapan universal basic income (UBI) untuk mengatasi dampak AI, solusi tersebut tidak cukup untuk menjaga martabat dan tujuan hidup manusia tanpa pekerjaan.

    Selain ancaman pengangguran, Hinton juga menyoroti potensi revolusi berikutnya, yakni saat AI berkembang menjadi superintelligence, kecerdasan yang melampaui kemampuan otak manusia. Menurutnya, banyak ilmuwan memperkirakan hal itu bisa terjadi dalam kurun 5 hingga 20 tahun mendatang.

    “Jika tetap positif berarti berpura-pura itu tidak akan terjadi, maka orang sebaiknya tidak perlu positif,” ujarnya.

    Meski menggambarkan masa depan yang suram, Hinton mengaku dirinya sudah siap dengan kenyataan. “Saya berusia 77 tahun, dan akhir hidup saya akan segera tiba juga,” tutupnya.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • 7
                    
                        Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
                        Nasional

    7 Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah Nasional

    Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    PERISTIWA
    mengejutkan yang terjadi di Nepal tentu disebabkan oleh banyak faktor, tak berbeda dengan demonstrasi besar-besaran di Indonesia tempo hari.
    Namun, biasanya faktor-faktor tersebut membutuhkan pemicu. Dan di Nepal pemicunya adalah kebijakan pemerintahnya yang memberlakukan larangan terhadap sekitar 26 platform media sosial besar, termasuk Facebook, X (Twitter), YouTube, Instagram, WhatsApp, dan lainnya, pada awal September 2025.
    Media sosial adalah separuh dari kehidupan dari Gen Z. Sehingga cukup bisa dipahami mengapa kebijakan tersebut mendadak menjadi pemicu pecahnya amarah “Gen Z” di Nepal, lalu membuat mereka turun ke jalan, dan berakhir dengan pertunjukan kemarahan atau amuk massa yang jauh lebih masif dibanding Indonesia.
    Sebenarnya, kebijakan pelarangan sebagian besar platform media sosial di Nepal bukan karena pemerintahannya benar-benar ingin melarang.
    Jika kita dalami, penyebab utamanya adalah kegagalan, boleh jadi disengaja atau hanya kebetulan, dari platform-platform tersebut untuk mendaftarkan diri pada pemerintahan Nepal, sebagaimana telah diminta sebelumnya.
    Pemerintah Nepal terpantau telah memberikan tenggat selama tujuh hari sejak 28 Agustus 2025, bagi perusahaan media sosial untuk mendaftar kepada pemerintah dan telah menetapkan kantor di mana pendaftaran harus dilakukan beserta pejabat pengaduan yang bisa dihubungi.
    Namun platform-platform besar itu gagal mematuhi tenggat waktu tersebut, sehingga membuat pemerintah Nepal terpaksa harus memutuskan untuk memblokir akses terhadap platform-platform tersebut pada 4 September 2025.
    Di satu sisi, pemerintah Nepal memang gagal memberikan narasi yang memuaskan atas kebijakan pelarangan tersebut.
    Di sisi lain, pemerintah Nepal justru menyampaikan bahwa tujuan larangan adalah untuk menangani penyebaran misinformasi,
    hate speech,
    dan kehadiran platform-platform tanpa ikatan regulasi yang jelas.
    Walhasil, banyak pengamat dan kelompok hak asasi manusia akhirnya melihat narasi tersebut sebagai bentuk sensor dan upaya pembungkaman atas kebebasan berekspresi (
    freedom of speech
    ).
    Menanggapi itu, pada 8 September 2025, aksi unjuk rasa besar terjadi di Kathmandu, khususnya di sekitar Gedung Parlemen dan area Maitighar Mandala.
    Ribuan pemuda yang tergabung dalam gerakan “Protes Gen Z” turun ke jalan, menuntut pencabutan larangan terhadap media sosial sambil menyoroti isu korupsi dan pengangguran.
    Demonstrasi yang semula damai kemudian berubah menjadi perlawanan yang diiringi oleh kekerasan.
    Di sisi lain, Kepolisian mulai menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bahkan peluru tajam. Sehingga 19 orang setidaknya tercatat tewas dalam bentrokan tersebut, yang membuat perlawanan justru semakin menjadi-jadi.
    Larangan media sosial bukan hanya penyebab langsung demonstrasi, tetapi juga simbol atau semacam pemicu dari ketegangan, terutama antara generasi muda dan pemerintahan setempat.
    Ketegangan tersebut khususnya terkait masalah korupsi, kebebasan berpendapat, dan frustrasi terhadap masa depan para generasi muda, sebagaimana analisis saya terhadap perlawanan sosial di Indonesia tempo hari.
    Selama ini, platform-platform media sosial sudah lazim menjadi sarana utama bagi generasi muda Nepal untuk menyuarakan kritik, menyebarkan informasi, dan mengorganisir aksi.
    Ketika akses itu dicabut secara tiba-tiba, tidak pelak dianggap sebagai serangan langsung terhadap ruang digital yang mereka anggap milik bersama. Ekspresipun akhirnya berpindah ke dunia nyata.
    Dengan kata lain, demonstrasi yang berujung kerusuhan di Nepal mencerminkan akumulasi ketidakpuasan sosial-ekonomi yang sudah cukup dalam dan lama di satu sisi dan bersifat multidimensi di sisi lain.
    Krisis harga kebutuhan pokok, terutama bahan makanan dan energi, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat bak air bah berbondong-bondong turun ke jalan.
    Lonjakan inflasi yang tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan rumah tangga membuat kelompok kelas menengah ke bawah dan masyarakat miskin semakin terdesak secara sosial dan ekonomi.
    Selain faktor ekonomi, ada dimensi struktural di dalam masyarakat Nepal yang memperburuk situasi.
    Sistem politik yang masih rapuh pasca-transformasi republik sering kali gagal memberikan respons cepat terhadap kebutuhan rakyat.
    Elite politik kerap terjebak dalam persaingan kekuasaan yang dangkal, sementara kebijakan publik yang pro-rakyat gagal dihadirkan.
    Ketidakpuasan publik terhadap korupsi, birokrasi yang lamban, dan kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan turut menambah rasa frustrasi generasi muda.
    Kombinasi ini melahirkan persepsi bahwa negara tidak hadir untuk melindungi dan bekerja demi rakyatnya di dalam masa krisis.
    Kerusuhan yang terjadi juga mengindikasikan adanya ketegangan antara generasi muda dengan struktur sosial lama.
    Anak muda Nepal yang sudah lama berhadapan dengan tingkat pengangguran tinggi merasa tidak memiliki masa depan yang pasti di dalam negeri mereka sendiri.
    Banyak dari generasi muda Nepal ini, terutama Gen Z, bermigrasi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah atau India, untuk mencari penghidupan.
    Ketika peluang domestik semakin sempit dari hari ke hari, frustrasi mereka menjadi semakin mudah bertransformasi menjadi aksi-aksi massif yang frontal.
    Demonstrasi pun akhirnya menjadi wadah ekspresi politik sekaligus pelarian emosional atas kekecewaan yang sudah menumpuk bertahun-tahun.
    Masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat Nepal tersebut berpadu dengan lemahnya kapasitas negara dalam mengelola demonstrasi.
    Aparat keamanan sering kali bertindak represif, mirip dengan di Indonesia, yang justru memperburuk ketegangan dan memicu eskalasi kerusuhan.
    Bukannya menjadi sarana mediasi, intervensi aparat malah memperlihatkan wajah negara yang cenderung mengutamakan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.
    Hal tersebut tak pelak memperkuat narasi oposisi bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat, melainkan hanya menjaga status quo bagi elite politik dan ekonomi yang sudah sedari dulu hidup dalam kemewahan.
    Pun tak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, sebagaimana sempat saya bahas dalam beberapa tulisan terdahulu, dari perspektif sosial-ekonomi, demonstrasi masif di Nepal merepresentasikan jurang ketidaksetaraan yang makin menganga.
    Pertumbuhan ekonomi Nepal memang lebih banyak dinikmati oleh kalangan terbatas di perkotaan. Sementara sebagian besar masyarakat kelas bawah dan pedesaan justru masih hidup dengan keterbatasan infrastruktur, layanan kesehatan, akses pendidikan bahkan pangan.
    Ketimpangan ini menciptakan persepsi dan rasa ketidakadilan sosial di tengah-tengah generasi muda Nepal, yang hanya membutuhkan satu trigger untuk berubah menjadi ledakan sosial berupa protes masal.
    Walhasil, kerusuhan pada akhirnya bukan lagi tentang harga barang atau kebijakan jangka pendek, tetapi berubah menjadi isu kegagalan sistemik dalam mendistribusikan kesejahteraan secara adil kepada masyarakat Nepal.
    Tak pula bisa dipungkiri ada
    effect domino
    dari gerakan demonstrasi masif yang terjadi di Indonesia jelang akhir Agustus lalu.
    Jika diperhatikan secara komparatif di media-media sosial, terutama di Asia dan Asia Tenggara,
    effect domino
    dari Indonesia memang terjadi, terutama di negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan tentunya Nepal ini.
    Effect domino
    terjadi di negara-negara yang pemerintahannya dianggap cenderung korup, oligarkinya kuat, atau politik dinastinya menonjol, pun negara yang masih mempertahankan sistem tradisional seperti di Nepal, tapi kinerja penguasanya cenderung dianggap sangat tidak memuaskan.
    Namun, negara-negara yang memiliki sistem pemerintahan yang kuat, tingkat konsolidasi elitenya juga sangat tinggi, sekalipun tidak terlalu demokratis, tapi berkinerja baik, seperti Singapura, banyak sedikitnya juga Malaysia,
    effect domino-
    nya sangat mudah ternetralisasi oleh publik negara itu sendiri.
    Sementara negara-negara yang memang sudah didominasi oleh elite politik dan militer, hampir bisa dipastikan sulit untuk terimbas efek domino, karena ruang publiknya cenderung dikontrol secara ketat.
    Salah satu indikasi
    effect domino
    tersebut di Nepal adalah bendera
    One Piece
    yang juga digunakan di Nepal dan cukup masif beredar di media sosial Filipina dan Thailand.
    Di Nepal, memang banyak demonstran muda mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami alias ikon Straw Hat Pirates dari manga/anime
    One Piece
    yang digadang-gadang sebagai simbol perlawanan terhadap sensor dan korupsi pemerintah.
    Lantas pertanyaannya, mengapa Gen Z?
    Tentu tidak berbeda dengan Indonesia tempo hari. Gen Z di Nepal jumlahnya juga sangat besar. Di Indonesia, Gen Z menjadi generasi terbesar, sekitar 26 persen dari total penduduk berdasarkan data Pemilu 2024 lalu.
    Apalagi jika memakai kacamata sosiolog Hungaria Karl Mannheim, misalnya, generasi bukan hanya soal usia biologis, melainkan juga kesadaran kolektif yang terbentuk melalui pengalaman historis bersama.
    Gen Z dan Gen Milenial sudah sulit dipisahkan jika keduanya berada pada isu yang sama.
    Gen Z di Nepal tak berbeda dengan Gen Z di belahan dunia lainnya. Mereka tumbuh di era digitalisasi global, keterhubungan yang intens melalui media sosial, serta ekspektasi pada mobilitas sosial yang lebih baik.
    Namun, ketika harapan tersebut berbenturan dengan realitas struktural berupa pengangguran, ketimpangan, dan yang aktual kini sensor digital, misalnya, maka otomatis terbentuklah kesadaran kolektif untuk melawan.
    Demonstrasi pun menjadi ekspresi politis dari “unit generasional” yang merasa hak-hak fundamental mereka telah diabaikan. Dan ekspresi tersebut ternyata merepresentasikan perasaan publik secara umum. Klop sudah.
    Dari perspektif teori ruang publik Jürgen Habermas, misalnya, media sosial berfungsi sebagai arena deliberasi dan artikulasi kepentingan publik.
    Bagi Gen Z, tak terkecuali di Nepal, platform digital seperti Facebook, Instagram, dan X bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang politik yang memungkinkan mereka membangun identitas, solidaritas, dan narasi tandingan terhadap negara.
    Sehingga larangan media sosial yang diberlakukan pemerintah akan serta-merta dilihat sebagai upaya menutup ruang publik digital, yang justru mempercepat mobilisasi berpindah ke jalanan.
    Dengan kata lain, ketika ruang komunikasi formal dibatasi, generasi muda akan mencari kanal ekspresi alternatif melalui aksi kolektif, yang berpotensi berujung kerusuhan jika keresahan sudah mencapai titik “kemuakan kelas dewa”.
    Laurie Rice dan Kenneth Moffett di dalam buku mereka, “The Political Voices of Generation Z”(2021), mengafirmasi mengapa Gen Z cenderung tidak sama dengan generasi sebelumnya di dalam berekspresi, karena mereka lebih progresif dan berani.
    Gen Z, kata Rice dan Moffett, memiliki orientasi politik yang cenderung lebih progresif dibandingkan generasi Milenial maupun generasi X.
    Dari sisi pandangan, gen Z lebih terbuka terhadap keberagaman, lebih peduli pada inklusivitas, dan lebih getol menuntut transparansi dari institusi politik.
    Bahkan kedua penulis ini menemukan bahwa tingkat kepercayaan Gen Z terhadap institusi tradisional, seperti partai politik dan lembaga pemerintah, cenderung rendah.
    Hal ini menimbulkan pola partisipasi yang lebih banyak bergerak di luar sistem formal, misalnya melalui gerakan sosial atau kampanye digital.
    Kendati demikian, dalam hemat saya, pola tersebut berlangsung dalam kondisi normal. Jika titik didihnya sudah tercapai, pemicunya tepat, maka pembakaran dan perlawanan masif akan menjadi model partisipasi yang masuk akal.
    Dengan kata lain, toh Gen Z memang sudah kurang percaya pada institusi elite dan pemerintahan.
    Lalu, saat institusi-institusi ini melakukan hal-hal di luar etika dan kewajaran, bahkan terkesan meremehkan masyarakat banyak, termasuk generasi muda, apalagi sampai membatasi ruang gerak generasi muda, maka hal-hal di luar nalar dan perkiraan pun akhirnya bisa masuk akal di mata para Gen Z.
    Singkat kata, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin berpesan kepada pemerintah bahwa diakui atau tidak, pemerintahan hari ini di sini dimenangkan oleh Generasi Z. Bahkan suara generasi yang satu ini menjadi penentu pemilihan tempo hari.
    Di permukaan, Gen Z memang mudah terpukau populisme, bahkan hanya dengan tarian dan jogetan ala kadarnya.
    Namun, dalam hemat saya, hal itu baru sekedar gambaran preferensi dan kesukaan politik semata, belum menjadi gambaran kepercayaan penuh.
    Maka raihlah kepercayaan penuh dari generasi ini, dengan perbaikan yang berarti di segala lini sekaligus benar-benar menyentuh akar persoalan, jika tak ingin “grievances” dari Gen Z kita berubah menjadi “Revenge”.
    Gen Z memang mudah terpukau, tapi tidak berarti mereka tak kritis dan tak bernyali seperti yang terjadi di Nepal itu. Mohon dicatat!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps

    3 Faktor Penyebab Demo Chaos Nepal yang Buat Pemerintahan Kolaps

    Jakarta, CNBC Indonesia– Demonstrasi berujung aksi kekerasan dan anarkisme pecah di Nepal. Sejak Senin, negeri itu dilanda kekacauan, yang membuat pemerintahan kolaps.

    Pada awalnya, pemuda Nepal yang sangat melek digital, harus menerima kenyataan pahit bagaimana pemerintah yang dikuasai Partai Komunis mencoba mengekang akses ke 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan X. Keputusan yang dibuat pemerintah sejak Kamis pekan lalu itu, menjadi trigger awal kemarahan warga, yang didominasi Generasi Z.

    Belum lagi banyaknya pengangguran dan terbatasnya kesempatan kerja. Ketidakstabilan politik, korupsi dan lambatnya pembangunan ekonomi negeri Himalaya itu jadi soal lain.

    Sayangnya di tengah situasi sulit, pejabat dan keluarganya tak bisa berempati. Flexing kekayaan baik di muka umum atau media sosial menjadi masalah lain yang memicu warga semakin marah.

    Berikut penjelasan lengkap faktor penyebab demo chaos di Nepal membuat pemerintahannya kini runtuh, dirangkum CNBC Indonesia Kamis (11/9/2025).

    Kesulitan Ekonomi

    Sebenarnya Nepal adalah negara yang sakit secara ekonomi. Ini terlihat dari beberapa indikator.

    World Bank (Bank Dunia) mengatakan bahwa 82% tenaga kerja Nepal ternyata berada di sektor informal.
    Data ini mengejutkan sebagai sebuah negara, di mana data pekerja informal tersebut jauh lebih tinggi daripada rata-rata global dan regional.

    Sulitnya pekerjaan ini pun menjadi jawaban mengapa remitansi sangat penting bagi perekonomian Nepal, setara dengan sepertiga PDB negara itu tahun lalu dan merupakan tingkat tertinggi keempat di dunia. Remitansi sendiri adalah transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke penerima di negara asalnya.

    Media sosial, yang coba dikekang pemerintah, adalah alat utama untuk tetap berhubungan dengan kerabat di luar negeri itu. Sehingga kekhawatiran berlebih muncul saat pemerintah memberlakukan kebijakan yang kontra media sosial.

    “Ketergantungan Nepal pada remitansi… telah menjadi pusat pertumbuhan negara tetapi belum menghasilkan lapangan kerja berkualitas di dalam negeri, yang memperkuat siklus hilangnya kesempatan dan berlanjutnya kepergian banyak warga Nepal ke luar negeri untuk mencari pekerjaan,” kata Bank Dunia dalam laporan negara terbarunya.

    Sebenarnya merujuk data paruh pertama 2025, perekonomian Nepal cenderung membaik. PDB riil tumbuh 4,9% dari 4,3% di periode yang sama 2024.

    Dua sektor menjadi pendorong utama. Yakni pertanian dan perindustrian.

    Namun, perlu diketahui Nepal menggelompokkan kaum mudanya pada mereka yang berusia 16-40 tahun. Mereka mencapai 43% dari populasi atau 12 juta orang.

    “Dengan sekitar 500.000 kaum muda memasuki dunia kerja setiap tahun di Nepal, urgensi untuk menciptakan lapangan kerja yang mengangkat keluarga keluar dari kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan menjadi semakin penting,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Selatan, Johannes Zutt.

    Foto: REUTERS/Stringer
    Sejumlah pendemo di Nepal berhasil merampas senjata laras panjang milik aparat kepolisian dan militer saat demonstrasi yang berujung kerciuhan. (REUTERS/Bikram Rai)

    Foto: Seorang tentara Nepal berjaga-jaga saat tim tentara mencoba memadamkan api di gedung Parlemen, menyusul tewasnya 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, di Kathmandu, Nepal, 10 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)

    Korupsi

    Mengutip AFP, korupsi juga jadi hal lain yang membuat demonstrasi besar-besaran. Kelompok hak asasi manusia (HAM) Transparency International menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara.

    Ini dibuktikan dengan vitalnya video yang yang membandingkan perjuangan rakyat biasa Nepal dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah dan liburan mahal telah menjadi viral di TikTok. Salah seorang warga bernama Puja Manni (23), yang pernah bekerja di luar negeri mengatakan ekses elit penguasa telah “terungkap melalui media sosial”.

    Ini pun juga menjadi hal lain yang memicu ketidakpuasan anak muda pada para pemimpin yang telah berkuasa puluhan tahun. Perlu diketahui, negara ini menjadi republik federal pada tahun 2008 setelah perang saudara selama satu dekade dan kesepakatan damai yang membawa kaum Maois ke dalam pemerintahan dan menghapuskan monarki.

    Sejak saat itu, pergantian perdana menteri (PM) yang menua menjadi budaya tawar-menawar antar elit. Ini telah memicu persepsi publik bahwa pemerintah tidak peka pada warga.

    Foto: Asap mengepul setelah demonstran membakar gerbang utama Parlemen, selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)

    Ketakutan akan Hilangnya Hak

    Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nepal memperingatkan bahwa larangan media sosial merusak semangat pemerintahan demokratis. Hal ini setidaknya dikatakan Santosh Sigdel, dari Digital Rights Nepal.

    “Ini jalan yang licin,” ujarnya memberi kiasan.

    Sementara Kathmandu Post mengatakan larangan tersebut menyentuh “saraf yang sensitif” terutama di “kalangan pemuda yang marah”.

    “Mereka menggunakan platform ini untuk melampiaskan rasa frustrasi yang terpendam, terhubung dengan teman, dan tetap terhubung dengan dunia,” tulis surat kabar tersebut, yang kantornya dibakar massa pada hari Selasa.

    “Mereka sudah gelisah, muak dengan sistem kesehatan dan pendidikan negara yang menyedihkan, serta korupsi dan nepotisme yang merajalela, sedemikian rupa sehingga banyak dari mereka tidak melihat masa depan di negara ini.”

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]