Kasus: pengangguran

  • Ada Tambahan 20 Juta Lapangan Pekerjaan di RI pada 2045

    Ada Tambahan 20 Juta Lapangan Pekerjaan di RI pada 2045

    Bisnis.com, TANGERANG — Platform rekrutmen kerja daring, Jobstreet mengungkap Indonesia membutuhkan tambahan lebih dari 20 juta lapangan pekerjaan untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan bonus demografi.

    Business Development Manager of Jobstreet by Seek Dewi Clementine Kusherawati mengatakan, jika usia produktif pada 2045 hanya ingin bekerja sebagai karyawan, maka lapangan kerja akan terbatas. Untuk itu, dia menjelaskan bahwa peluang membuka usaha menjadi penting untuk menciptakan lapangan kerja baru.

    “Nah ketika kita sudah memasuki tahun 2045 nantinya sebetulnya diproyeksikan Indonesia itu akan membutuhkan banyak lapangan pekerjaan. Ada tambahan 20 juta lapangan pekerjaan di tahun 2045,” kata Dewi dalam acara Franchise & License Expo Indonesia (FLEI) Business Show di Nusantara International Convention Exhibition (NICE) PIK 2, Tangerang, Banten, Jumat (10/10/2025). 

    Pasalnya, Dewi menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat nantinya akan didorong oleh bonus demografi. Adapun pada 2023, Indonesia berada di peringkat ke-16 dalam hal produk domestik bruto (PDB) global. Namun, pada 2045, Indonesia diperkirakan naik ke peringkat ke-5, bersanding dengan ekonomi besar seperti Amerika Serikat (AS), China, dan India.

    Selain itu, lanjut dia, PDB per kapita Indonesia diproyeksikan melonjak dari US$5.000 pada 2023 menjadi US$30.000 pada 2045. Dia mengungkap, faktor utama dari pertumbuhan ini seiring bonus demografi yang diperkirakan akan mencapai 197 juta orang usia produktif pada 2045. 

    Di samping itu, Dewi menjelaskan dengan membuka usaha akan menekan angka pengangguran serta menggerakkan roda perekonomian negara.

    “At least teman-teman membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia, teman-teman ngebantuin membuka lapangan pekerjaan dan mengurangi angkat pengangguran Indonesia pastinya. Nah ini kontribusinya sangat besar banget untuk UMKM,” terangnya.

    Di sisi lain, Dewi menyampaikan bahwa saat ini, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional mencapai 61%, dengan jumlah unit usaha mencapai 66 juta. Selain itu, UMKM juga menyerap sekitar 119 juta tenaga kerja, atau sekitar 97% dari total lapangan kerja di Indonesia.

    Menurutnya, salah satu menciptakan lapangan pekerjaan adalah dengan membuka usaha melalui waralaba (franchise). Dia menjelaskan bahwa sistem waralaba memiliki modal bisnis yang terukur dan dapat diprediksi dengan risiko rendah—sedang.

    “Teman-teman nggak perlu mikirin logonya, nggak perlu mikirin warnanya, segala macam itu, itu nggak perlu karena memang sudah disediakan. Bahkan perhitungan profit and loss-nya berapa sih dana yang perlu dikeluarkan, biasanya itu juga udah ada hitungannya dari industri franchise tersebut yang menyediakan franchise,” tuturnya.

    Kendati demikian, Dewi menyebut bahwa pelaku UMKM juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal mempertahankan tenaga kerja. Dia mengungkap, sebanyak 91% UMKM di Indonesia mengalami ketidakstabilan dalam merekrut dan mempertahankan tenaga kerja.

    “Sebenarnya masalah utama yang dihadapi oleh pelaku usaha baru, sebetulnya 91% mereka itu mengalami turnoverkaryawan yang tinggi,” pungkasnya.

  • Toyota Setor Pajak Rp 23 Triliun/Tahun ke Indonesia

    Toyota Setor Pajak Rp 23 Triliun/Tahun ke Indonesia

    Jakarta

    Toyota punya andil besar dalam membangun ekonomi nasional. Karuan saja, selain menyerap ratusan ribu tenaga kerja lokal, mereka juga telah memberikan sumbangsih berupa setoran pajak Rp 23 triliun/tahun.

    Hal itu disampaikan langsung Menteri Koordinator atau Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Itulah mengapa, pihaknya menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya untuk perusahaan roda empat asal Jepang tersebut.

    “(Toyota) bayar pajaknya sekitar Rp 23 triliun per tahun. Ini Toyota Motor dan Toyota Astra kelihatannya, jadi cukup signifikan lah,” ujar Airlangga Hartarto saat menyampaikan materi di pabrik Toyota Karawang, Jawa Barat, Kamis (9/10).

    Menko Airlangga Hartarto. Foto: Taufiq Syarifudin/detikcom

    Airlangga kemudian mengurai kontribusi dan capaian Toyota di Indonesia. Menurutnya, Toyota telah memproduksi kendaraan 300 ribu unit/tahun dengan market share 32 persen. Selain itu, tenaga kerja yang berada di ekosistem perusahaan mencapai 360 ribu orang.

    “Kemudian dengan ekosistem supply chain di dalam negeri, termasuk industri kecil dan menengah, mulai dari tier 2 seperti pabrik baja, plastik, ban dan kaca ada 540 suppler di tier 2 dan 240 di tier 1. Jadi ini apresiasi,” ungkapnya.

    Di kesempatan yang sama, Airlangga juga menjelaskan situasi ekonomi Indonesia saat ini. Dia mengklaim, pertumbuhan ekonomi cukup menjanjikan dengan kenaikan lima persen dan inflasi terjaga di 2,5 persen. Kemudian defisit anggaran tiga persen, rasio hutang hanya 38,8 persen dan investasi tumbuh Rp 942 triliun di semester satu.

    “Neraca perdagangan positif, tingkat pengangguran terbuka turun sejak 1998. Jadi secara makro Indonesia aman, sehingga Toyota bisa investasi hingga 50 tahun ke depan,” kata dia.

    Kabar baiknya lagi, ekspor mobil buatan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) akhirnya tembus 3 juta unit. Seremoni acara digelar di Karawang, Jawa Barat, Kamis (9/10).

    Presiden Direktur Toyota Motor Corporation (TMC) Koji Sato mengaku bangga Toyota Indonesia mampu mencatatkan 3 juta ekspor kendaraan tahun ini. Catatan tersebut membuktikan, produk buatan Indonesia mendapat kepercayaan dari pasar global.

    “Mewakili Toyota Group, kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Indonesia atas bantuannya dan seluruh partner kami selama 50 tahun lebih,” kata Koji Sato.

    (sfn/dry)

  • Mentan Klaim Hilirisasi Pertanian Bakal Buka 1,6 Juta Lapangan Kerja

    Mentan Klaim Hilirisasi Pertanian Bakal Buka 1,6 Juta Lapangan Kerja

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah terus memperkuat agenda hilirisasi sektor pertanian sebagai langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah produk, membuka lapangan kerja, dan mempercepat pemerataan kesejahteraan rakyat.

    Hal tersebut disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman usai mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (9/10/2025).

    “Added value-nya harus ada di Indonesia. Nah, kalau ini kita lakukan terus-menerus, membuka lapangan kerja, menekan kemiskinan, kemudian meningkatkan kesejahteraan, kemudian mengurangi pengangguran,” ujar Amran dalam keterangannya.

    Amran mengungkapkan salah satu hilirisasi yang didorong pemerintah ialah pada komoditas kelapa. Dia menegaskan bahwa potensi ekonomi dari hilirisasi komoditas kelapa sangat besar. 

    “Kemudian kita hilirisasi nanti itu dari kelapa dalam menjadi coconut milk. Jadi ini VCO (Virgin Coconut Oil), harganya bisa naik 100 kali lipat. Kalau 100 kali lipat, kita hitungan rata-rata saja, itu bisa menghasilkan Rp2.400 triliun. Katakanlah separuh saja, kali lima puluh, itu menghasilkan Rp1.200 triliun, devisa. Itu baru kelapa,” imbuh Amran.

    Selain kelapa, pemerintah juga menyiapkan hilirisasi untuk komoditas gambir yang selama ini menyuplai 80 persen kebutuhan dunia. Produk turunannya dapat digunakan untuk bahan tinta pemilu hingga kebutuhan rumah tangga. Langkah serupa juga diterapkan pada komoditas sawit yang dikuasai pemerintah. Amran menyebut bahwa tandan buah segar (TBS) akan diolah menjadi biofuel, minyak goreng, margarin, hingga mentega.

    “Kami melakukan sekarang akselerasi hilirisasi kakao, mente, kelapa dalam, lada, dan lain-lain. Kita hilirisasi khususnya kelapa dalam, ini menarik. Ini bisa dilihat datanya 33 juta, tahun lalu hanya 29 juta ton,” imbuh Amran.

    Selain mempercepat hilirisasi, pemerintah juga tengah mengoptimalkan anggaran sebesar Rp9,95 triliun untuk mendukung program pengembangan perkebunan dan hortikultura. 

    “Kita akan berikan benih, bibit, pada seluruh petani Indonesia. Kakao, kopi, kelapa dalam, mente, pala, itu kurang lebih 800 ribu hektare seluruh Indonesia, dan itu gratis. Akan membuka lapangan kerja 1,6 juta orang dalam waktu paling lambat dua tahun,” pungkas Amran.

  • Bobby Nasution Optimis Serap 13.000 Pekerja Lokal di KEK Sei Mangkei

    Bobby Nasution Optimis Serap 13.000 Pekerja Lokal di KEK Sei Mangkei

    Bisnis.com, SIMALUNGUN – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) jalin kerja sama dengan PT Kawasan Industri Nusantara (Kinra) selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, dalam pengutamaan penerimaan pekerja lokal. Gubernur Sumut Bobby Nasution optimis kerja sama ini mampu menyerap 13.000 tenaga kerja dalam kurun waktu tahun 2025 hingga 2026.

    Hal tersebut disampaikan Bobby Nasution saat Kunjungan Kerja sekaligus Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Tentang Pengelolaan Tenaga Kerja di KEK Sei Mangkei, dan Penyerahan Kartu BPJS Ketenagakerjaan bagi Tenaga Kerja Rentan, di KEK Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Kamis (9/10/2025).

    Dalam sambutannya, Bobby Nasution menyampaikan, berdasarkan data yang ada, sejak berdiri tahun 2012 silam, keberadaan KEK Sei Mangkei telah menampung sekitar 13.000 tenaga kerja. Angka itu diperkirakan akan terus bertambah dua kali lipat dalam 15 bulan ke depan, terhitung mulai triwulan tiga 2025 hingga sepanjang 2026 mendatang.

    “Berarti dalam dua tahun ini akan ada penambahan pekerja yang jumlahnya sama dengan kurun waktu 13 tahun. Dari data yang saya terima, jumlah angkatan kerja kita di Sumatera Utara ada 8,11 Juta, dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 409 ribu. Jadi kalau sekarang ini ada 3 ribu (penerimaan), tahun depan ada 10 ribu, maka dalam dua tahun ada 13 ribu tenaga kerja yang terserap di KEK Sei Mangkei,” ujar Bobby, didampingi Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumut Yuliani Siregar.

    Karena itu, Bobby menyampaikan komitmen kepada PT Kinra selaku perusahaan pengelola KEK Sei Mangkei, bahwa Pemprov Sumut akan mendukung dan membantu apa yang dibutuhkan, sesuai kewenangan di Pemerintah Provinsi. Termasuk dukungan tempat tinggal bagi pekerja yang berasal dari luar Kabupaten Simalungun, atau yang jaraknya jauh dari kawasan tersebut.

    “Misalnya untuk tenaga kerja di Sei Mangkei, industri apa saja yang sudah ada dan apa saja yang akan masuk. Karena kita punya Balai Latihan Kerja yang bisa mempersiapkan tenaga kerja, dan prioritasnya untuk masuk ke sini,” jelas Bobby.

    Selain itu, Bobby juga menegaskan bahwa Pemprov Sumut memberikan bantuan jaminan ketenagakerjaan kepada seribuan pekerja rentan untuk Kota Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun dan Batubara. Fokusnya adalah mereka yang bekerja di perkebunan sawit, namun belum terlindungi jaminan sosial oleh BPJS Ketenagakerjaan.

    “Jadi ini yang tidak ter-cover (JKK, JKM) kita bayarkan. Karena mungkin gajinya tidak tinggi dan risikonya tinggi juga,” sebut Bobby, yang juga mempertanyakan standar gaji karyawan perusahaan di KEK Sei Mangkei telah sesuai standar upah minimum regional/provinsi/kabupaten (UMR/UMP/UMK).

    Sementara itu, Direktur PT Kinra Arif Budiman mengapresiasi komitmen Gubernur Bobby Nasution, dalam mendukung pengembangan KEK Sei Mangkei, terutama terkait penyediaan tenaga kerja dalam provinsi. Dengan demikian, proses rekrutmen akan sangat terbantu dengan adanya dukungan tersebut.

    Hadir dalam kegiatan tersebut Bupati Batubara Baharuddin Siagian, Wakil Bupati Simalungun Benny Sinaga, Wakil Bupati Madina Atikah Utammi Nasution, Kepala Administrator KEK Sei Mangkei Elfi Haris. Hadir juga Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Sumut Erwin Hotmansah Harahap, Kepala Bapelitbang Diki Anugerah Panjaitan, dan pejabat lainnya.

  • PDIP perkuat kapasitas kader beri pendampingan bagi pekerja migran

    PDIP perkuat kapasitas kader beri pendampingan bagi pekerja migran

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Mercy Barends mengatakan PDIP telah menyusun sejumlah rekomendasi dan akan pembekalan kepada kadernya dalam memberikan perlindungan kepada pekerja Indonesia baik domestik maupun migran.

    Mercy menyebut PDIP perlu menegaskan posisi ideologinya dan hadir sebagai partai pro-pekerja serta menyiapkan Sistem Manajemen Kasus Tenaga Kerja dan Perlindungan Migran Indonesia (TKP2MI) terpadu berbasis struktural partai dengan membentuk sayap partai.

    “Melakukan penguatan kapasitas kader dan relawan partai sebagai pendamping dan paralegal TKP2MI serta melakukan fungsi integrasi secara secara kolaboratif lintas multi-pihak untuk fungsi advokasi, pendampingan dan pemulihan fisik, psikososial, hukum, pemberdayaan ekonomi dan administrasi secara holistik dan terpadu,” kata Mercy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Hal itu disampaikan Mercy dalam lokakarya bertajuk Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Sekolah Partai Lenteng Agung.

    Dalam kesempatan itu Mercy juga mendorong kampanye publik dan reformasi kebijakan yang pro pekerja.

    Oleh karena itu, dia menambahkan kerja sama multi pihak sangat diharapkan dalam perlindungan pekerja, antara lain pemerintah, dunia usaha, serikat buruh termasuk partai politik.

    Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana memaparkan sejumlah tantangan utama dalam ketenagakerjaan domestik.

    Dimana, ada soal pengangguran dan mismatch pendidikan-industri; dominasi sektor informal dan lemahnya jaminan sosial serta belum adanya UU khusus pekerja domestik karena RUU Pekerja Rumah Tangga belum disahkan, akibatnya perlindungan melemah.

    Tak hanya itu, dampak otomasi dan digitalisasi dunia kerja yang membuat kebutuhan tenaga kerja menjadi berkurang.

    “Layanan publik ketenagakerjaan dan mekanisme pengaduan belum optimal, sistem layanan belum terintegrasi untuk sektor informal,” ujarnya.

    Tak sampai di situ, Eva juga mengungkapkan arah transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional. Salah satunya, reformasi regulasi dan perlindungan pekerja domestik mulai dari penyusunan regulasi, perluasan jaminan sosial dan layanan publik ketenagakerjaan.

    “Peningkatan kualitas, keterampilan, dan martabat pekerja domestik,” jelasnya.

    Dalam menjawab tantangan pekerja domestik, Eva mengatakan strategi dan kolaborasi yang harus dilakukan baik pemerintah dan masyarakat diantaranya koordinasi lintas sektor dan pemerintahan daerah; partisipasi organisasi pekerja domestik dan LSM; integrasi data dan digitalisasi layanan dan tentunya peningkatan kapasitas fungsional pengantar kerja, pengawas dan mediator.

    Maka dari itu, dalam menjawab permasalahan pekerja domestik diperlukan transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional adalah langkah menuju keadilan sosial.

    “Kemnaker berkomitmen menyediakan pekerjaan layak, menjamin perlindungan sosial, dan meningkatkan martabat serta kesejahteraan tenaga kerja domestik,” kata Eva.

    Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayat mengatakan bahwa hak setiap orang dengan bebas dan tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan yang menghormati hak fundamental dan martabat sebagai manusia.

    Serta, memberi pemasukan yang layak untuk diri dan keluarga, serta menjamin keamanan, kesehatan fisik dan mental, dan keselamatan.

    “Termasuk di dalamnya hak kolektif untuk berserikat, berunding, dan mendorong perlindungan sosial,” jelas Anis.

    Turut hadir dalam acara ini, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto yang memberi sambutan serta anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Risalah Rapat The Fed: Mayoritas Dukung Pemangkasan Suku Bunga – Page 3

    Risalah Rapat The Fed: Mayoritas Dukung Pemangkasan Suku Bunga – Page 3

    Tarif perdagangan juga menjadi poin penting dalam diskusi, dengan sebagian besar peserta menilai kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump, tidak akan menjadi sumber utama inflasi jangka panjang, meskipun telah mendorong kenaikan harga tahun ini.

    Sentimen komite terhadap arah suku bunga juga sejalan dengan survei yang dikirim The Fed kepada pelaku pasar keuangan utama.

    “Hampir semua responden memperkirakan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada rapat ini, dan sekitar setengahnya memperkirakan satu penurunan tambahan pada rapat Oktober,” tulis risalah.

    “Sebagian besar responden memperkirakan akan ada setidaknya dua kali pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin sebelum akhir tahun, dan sekitar setengahnya memperkirakan tiga kali penurunan dalam periode tersebut.”

    Sebagai catatan, satu basis poin setara dengan 0,01 persen, sehingga 25 basis poin berarti seperempat poin persentase.

    Selain perbedaan pandangan yang tidak biasa, The Fed kini menghadapi dampak dari shutdown (penutupan sementara operasional) pemerintah. Beberapa lembaga penting seperti Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Perdagangan menutup operasi mereka akibat kebuntuan politik, sehingga tidak lagi mengumpulkan atau merilis data ekonomi.

    Jika shutdown belum berakhir sebelum rapat FOMC berikutnya pada 28–29 Oktober, para pembuat kebijakan akan kehilangan akses pada data utama, seperti inflasi, pengangguran, dan belanja konsumen.

    Pasar saat ini memperkirakan hampir pasti akan ada dua pemangkasan tambahan, satu pada rapat Oktober dan satu lagi pada Desember. Namun, keputusan tersebut bisa dipengaruhi oleh kurangnya data ekonomi.

     

     

  • Bukan Booming Pekerja Informal, Kemenkeu Ungkap Masalah Utama RI

    Bukan Booming Pekerja Informal, Kemenkeu Ungkap Masalah Utama RI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Keuangan merespons laporan Bank Dunia atau World Bank soal maraknya pekerja sektor informal di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Menurut Bank Dunia, banjir pekerja informal ini dapat menekan produktivitas ekonomi suatu negara.

    Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF), Kementerian Keuangan Febrio N. Kacaribu mengakui adanya permasalahan ini. Namun, dia melihat sektor informal tidak selalu buruk.

    Gig economy yang arahnya cenderung informal memang lebih banyak memberi penghasilan menarik bagi teman-teman Gen Z. Saat ini, katanya, permasalahan yang serius di Tanah Air adalah tingkat pengangguran usia muda.

    “Tingkat pengangguran di umur muda lebih tinggi sekitar 15% lebih ya,” katanya saat media gathering Kementerian Keuangan, Kamis (9/10/2025).

    Menghadapi masalah ini, pemerintah tengah mendorong terobosan baru untuk mendorong anak muda segera masuk lapangan kerja dan tidak menunda kerjanya. Hal ini dimaksudkan untuk mengejar produktivitas.

    “Kita harap dia lebih cepat masuk lapangan kerja daripada ditunda sehingga usia prime-nya bisa lebih dimanfaatkan,” ujar Febrio.

    Saat ini, dia mengatakan seri stimulus pemerintah berfokus pada penciptaan lapangan kerja. Lulusan perguruan tinggi disiapkan untuk ikut program magang. Program ini dibuka untuk 20.000 lulusan perguruan tinggi. Inilah yang menjadi fokus pemerintah.

    Kepala Ekonom Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo mengatakan, dalam satu dekade terakhir negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik tengah mengalami pola pergeseran struktural ketenagakerjaan, dari sektor lapangan pekerjaan produktif ke sektor informal.

    “Banyak orang meninggalkan sektor pertanian berproduktivitas rendah, bukan menuju industri berproduktivitas tinggi, melainkan ke pekerjaan berproduktivitas rendah di sektor jasa, termasuk di dalamnya pekerjaan gig economy,” kata Aaditya Matto saat konferensi pers World Bank East Asia and the Pacific Economic Update edisi Oktober 2025, dikutip Rabu (7/10/2025).

    Aaditya mengatakan, salah satu fenomena peralihan tenaga kerja dari sektor industri berproduktivitas tinggi seperti manufaktur, ke sektor informal itu terutama terjadi di Indonesia. “Contohnya di Indonesia, kita melihat peningkatan besar tenaga kerja informal di sektor jasa,” tuturnya.

    Risiko terbesar dari maraknya tenaga kerja di sektor informal pada sebuah negara, menurut Bank Dunia dapat memicu masyarakat kelas menengah menjadi rentan miskin, menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

    “Banyaknya individu di kawasan ini bekerja di sektor informal atau dengan produktivitas rendah. Kelompok masyarakat yang rentan jatuh miskin kini lebih besar daripada kelas menengah di sebagian besar negara,” dikutip dari laporan Bank Dunia.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Politik Anti-Imigran Dorong Meningkatnya Rasisme di Jerman

    Politik Anti-Imigran Dorong Meningkatnya Rasisme di Jerman

    Jakarta

    Meningkatnya dukungan terhadap kelompok sayap kanan, ekonomi yang mandek, dan fokus politik yang terus mengarah pada isu migrasi menjadi faktor utama yang memperburuk diskriminasi rasial di negara-negara Eropa, seperti Jerman.

    Tahir Della dari organisasi Initiative of Black People in Germany mengatakan kepada DW bahwa fokus politik yang berlebihan pada migrasi dikhawatirkan menimbulkan efek domino. Kemajuan yang telah dicapai Jerman selama puluhan tahun untuk menjadi negara yang lebih inklusif terhadap orang kulit hitam bisa terancam mundur.

    “Kami sudah mulai merasakannya. Setiap kali muncul perdebatan soal migrasi, keberadaan orang kulit hitam dan keturunan Afrika di Jerman sering dipertanyakan,” ujar Della.

    Menurut laporan “Being Black in the EU 2023” dari Badan Hak Asasi Manusia Uni Eropa (EU Agency for Fundamental Rights/ EUFRA), Jerman sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di Uni Eropa, mencatat peningkatan tertinggi dalam diskriminasi terhadap orang kulit hitam.

    Sejak laporan itu keluar, situasi politik Jerman berubah. Setelah pemilu federal 2025, partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (Alternative for Germany/AfD) yang dikenal dengan pandangan anti-imigrannya, menjadi partai dengan suara terbanyak kedua.

    Ekonomi Jerman, yang selama ini menjadi mesin industri Eropa, belum pulih sejak pandemi COVID-19. Dalam dua tahun terakhir, Jerman menjadi satu-satunya negara di kelompok G7 yang tidak tumbuh, dan diperkirakan kembali stagnan pada 2025. Kondisi ini bisa berdampak besar terhadap kehidupan warga kulit hitam.

    Apakah Jerman gagal mendukung imigran?

    Dari sisi ekonomi, imigran asal Afrika sub-Sahara yang sebagian besar menjadi responden kulit hitam dalam survei EUFRA, hidup dalam kondisi yang lebih sulit dibanding kelompok lain di Jerman. Tingkat pengangguran mereka mencapai lebih dari 16%, lebih dari tiga kali lipat warga negara Jerman, dan dua poin lebih tinggi dari rata-rata imigran. Pendapatan mereka juga cenderung lebih rendah.

    De Souza bercerita kepada DW bahwa ada pasien yang menolak dirawat oleh tenaga medis kulit hitam. Menurut laporan tahun 2024 dari Kantor Federal Anti-Diskriminasi Jerman, diskriminasi rasial memang masih marak di sektor kesehatan.

    Bagi de Souza, bekerja dan tinggal di Berlin terasa lebih aman dibanding pindah ke daerah lain seperti Brandenburg, meski biaya hidup di ibu kota jauh lebih tinggi.

    “Dalam dunia kesehatan, tim kerja itu sangat penting,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa banyak rekan asal Afrika yang bekerja di luar Berlin menghadapi situasi yang jauh lebih berat.

    Namun, keputusan tinggal di kota yang lebih mahal karena takut diskriminasi juga bisa berarti sebagian besar penghasilannya habis untuk membayar sewa.

    Peneliti yang meneliti kesenjangan gaji antara imigran dan warga lokal menyebut fenomena ini sebagai “sorting”, yaitu imigran cenderung terkumpul di pekerjaan dengan bayaran rendah. Di Jerman, warga keturunan Afrika banyak bekerja di sektor kebersihan dan pekerjaan kasar lainnya. Negara ini juga termasuk yang paling buruk di Eropa dalam hal kesenjangan pendapatan bagi imigran asal Afrika sub-Sahara.

    Perbedaan penghasilan juga bisa disebabkan oleh sulitnya pengakuan terhadap ijazah dan pengalaman kerja dari luar negeri. Selain itu, kebijakan imigrasi turut mempengaruhi siapa yang diizinkan masuk dan seberapa besar peluang mereka untuk berhasil di pasar kerja.

    Diskriminasi dalam perekrutan kerja

    Meskipun kesenjangan upah mulai menyempit di generasi berikutnya, termasuk bagi keturunan Afrika sub-Sahara, diskriminasi dalam proses perekrutan masih banyak terjadi di Jerman.

    Menurut riset Universitas Siegen, antara 2023 hingga awal 2025, pelamar dengan nama bernuansa Afrika atau Arab menjadi yang paling jarang mendapat panggilan wawancara untuk pelatihan vokasi. Ironisnya, ini terjadi di tengah kekurangan tenaga magang di banyak perusahaan Jerman.

    Diskursus publik juga bisa memperburuk diskriminasi dalam perekrutan, kata sosiolog Malte Reichelt dari Lembaga Riset Ketenagakerjaan (Institute for Employment Research) Jerman, yang ikut meneliti kesenjangan upah antara imigran dan warga lokal. “Kategori ras tertentu menjadi lebih menonjol dalam perdebatan publik, dan itu terbawa ke proses perekrutan,” ujarnya.

    Fenomena ini bukan hanya terjadi di Jerman. Di seluruh Uni Eropa, orang kulit hitam merupakan kelompok yang paling sering melaporkan diskriminasi ketika mencari pekerjaan dan Jerman kembali menempati posisi kedua terburuk.

    Meski laporan seperti ini bisa memberi gambaran, data tersebut belum sepenuhnya mencerminkan pengalaman nyata orang-orang yang mengalaminya.

    Luksemburg jadi contoh kecil yang bisa ditiru

    Setelah mendapat peringkat buruk dalam laporan Being Black in the EU tahun 2017, Luksemburg, sebuah negara kecil namun makmur, tempat lebih dari 10% penduduknya lahir di luar Uni Eropa, mengambil langkah maju dengan melakukan survei nasional soal persepsi publik terhadap diskriminasi rasial dan etnis. Hasilnya dipublikasikan pada 2022, dan kini negara itu tengah menyusun rencana aksi nasional melawan rasisme.

    “Rencana ini bertujuan mengambil langkah konkret untuk memerangi semua bentuk rasisme dan diskriminasi melalui penelitian, pelatihan, dan kampanye kesadaran publik,” ujar Frederic Docquier, ekonom asal Belgia sekaligus wakil direktur Lembaga Riset Sosioekonomi (Luxembourg Institute of Socio-Economic Research/LISER).

    “Kita perlu memastikan bahwa diskriminasi itu nyata, bukan sekadar persepsi,” tambahnya.

    Menurut Docquier, diskriminasi juga punya dampak ekonomi. “Kelompok yang terdiskriminasi membayar pajak lebih sedikit dibanding potensi mereka dan jika mereka kesulitan mendapat pekerjaan, mereka akan bergantung pada tunjangan pengangguran yang tentu membebani negara.”

    Sementara itu, Tahir Della berharap Jerman bisa melakukan penelitian dan pengumpulan data yang lebih menyeluruh, bukan hanya menggambarkan kondisi saat ini, tetapi juga perjalanan hidup orang-orang yang mengalami diskriminasi.

    “Kita perlu tahu seperti apa rasanya tumbuh dan hidup di sini, serta pengalaman yang mereka alami setiap hari,” ujarnya.

    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • Ironi Warga RI: Lapangan Kerja Terbatas, PHK Datang Silih Berganti

    Ironi Warga RI: Lapangan Kerja Terbatas, PHK Datang Silih Berganti

    Bisnis.com, JAKARTA – Survei Bank Indonesia (BI) mencatat indeks keyakinan konsumen terendah sejak 3 tahun terakhir. Rendahnya keyakinan konsumen itu terjadi karena masyakarat mulai pesimistis terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan.

    Indeks ketersediaan lapangan kerja menjadi satu-satunya indikator yang berada di zona pesimis atau di bawah nilai acuan di level 92.

    Sementara itu, investasi yang digembar-gemborkan naik ternyata cukup lamban dalam menyerap tenaga kerja. Padahal, kalau merujuk kepada pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli belum lama ini, ada sekitar 7 juta warga negara Indonesia yang menganggur, belum lagi hingga Agustus 2025 lalu sekitar 44.333 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja PHK.

    Di sisi lain, alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, pemerintah justru hanya menyediakan program magang bukan kepada mahasiswa tetapi kepada lulusan fresh graduate. Berbagai program deregulasi yang dimulai dari pemberlakukan Online Single Submission (OSS), implementasi Undang-undang Cipta Kerja, hingga berbagai kemudahan dari aspek fiskal, tidak mampu sepenuhnya menyerap angkatan kerja yang tersedia.

    Ironisnya, dari sekitar 7 jutaan pengangguran, kalau merunut pernyataan Menaker Yassierli, 1 juta di antaranya berstatus sebagai sarjana.

    Persoalan semakin pelik kalau melihat struktur tenaga kerja setidaknya sampai Februari 2025 lalu. Pekerja informal tetap mendominasi angkatan kerja Indonesia. Masih merujuk data BPS, statistik juga menunjukkan bahwa sebanyak 86,58 juta orang bekerja di sektor informal dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang. Itu artinya, hampir 60% orang bekerja di Indonesia berada di sektor informal.

    Sebaliknya, pada periode tersebut juga, hanya 59,19 juta orang yang bekerja di sektor formal atau sebesar 40,60% dari total angkatan kerja. 

    Besaran persentase pekerja sektor informal pun naik dari periode Februari 2024 atau setahun sebelumnya, yakni dari 59,17%. Bahkan, pada Februari 2023 sempat menyentuh 60,12%. 

    Adapun kalau melihat data secara lebih rinci, jika dibandingkan dengan Februari 2024, jumlah pekerja yang berstatus sebagai buruh, pegawai atau karyawan juga mengalami penurunan secara persentase. Sekadar contoh, pada Februari 2025 lalu jumlah penduduk yang berstatus sebagai buruh, pegawai dan karyawan hanya sebesar 37,08%, turun dibandingkan Febuari 2024 yang tercatat sebesar 37,31%.

    1 dari 7 Anak Muda Menganggur

    Sementara itu, laporan Bank Dunia (World Bank) menyebut generasi muda Asia kesulitan mendapatkan pekerjaan layak termasuk di Indonesia, dengan banyak yang terjebak di sektor informal berproduktivitas rendah. 

    Dalam laporan pembaruan ekonomi regional yang dirilis Selasa (7/10/2025), Bank Dunia mencatat adanya kesenjangan signifikan antara pekerja muda dan berpengalaman di sejumlah negara Asia. 

    Laporan tersebut memaparkan, di China dan Indonesia, satu dari tujuh anak muda masih menganggur. Lembaga tersebut juga memperingatkan bahwa jumlah penduduk yang rentan jatuh ke jurang kemiskinan kini lebih besar dibandingkan kelas menengah di sebagian besar negara.

    “Secara umum tingkat ketenagakerjaan tinggi, tetapi anak muda kesulitan menemukan pekerjaan. Sebagian besar masyarakat di Asia yang mencari kerja memang mendapatkannya, namun banyak yang terjebak di sektor informal atau berproduktivitas rendah,” tulis Bank Dunia.

    Partisipasi angkatan kerja juga masih rendah di negara-negara Pasifik dan di kalangan perempuan. 

    Data yang dipaparkan oleh Bank Dunia itu juga sejalan dengan data BPS, bahwa jumlah penduduk di usaia produktif misalnya 15 -59 tahun mewakili 19,2% dari total tingkat pengangguran terbuka.

    Apa Kata Pengamat?

    Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengaku tidak heran dengan perkembangan turunnya keyakinan konsumen yang salah satunya dipicu oleh pesimisme terhadap ketersediaan lapangan kerja. 

    “IKK jatuh ke kisaran 115 karena mesin ekspektasi rumah tangga tertekan dari tiga sisi sekaligus: harga pangan merangkak, pasar kerja terasa sepi, dan porsi cicilan menyita pendapatan,” ujar Syafruddin kepada Bisnis, Rabu (8/10).

    Dia menjelaskan banyak laporan terdahulu yang sudah menunjukkan sinyal pelemahan ekonomi. Contohnya, IKK Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merosot ke 90,5 pada September 2025 dengan alasan “harga sembako naik” dan “kondisi kerja sulit”.

    Selain itu, Bank Indonesia sudah memberi peringatan sejak Agustus: IKK turun ke 117,2, sedangkan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) berada di zona pesimis di sekitar 93, yang menandai persepsi bahwa lowongan menyempit.

    Pada saat yang sama, sambungnya, porsi pendapatan yang tersedot cicilan meningkat, sehingga rumah tangga menahan belanja besar. “Kombinasi tekanan biaya hidup, akses kerja yang dirasa makin sulit, dan ruang belanja yang mengecil mendorong konsumen menilai masa kini berat dan masa depan belum meyakinkan—cukup untuk menyeret IKK ke titik terendah dalam sekitar 3,5 tahun,” jelas Syafruddin.

    Dalam IKK, salah satu komponen yang dinilai adalah ekspektasi ketersediaan lapangan kerja. Sejak Mei 2025, indeks ketersediaan lapangan kerja (IKLK) terus berada di zona pesimis atau di bawah nilai acuan.

    IKLK berada di level 92 pada September 2025. Angka itu turun dari bulan sebelumnya atau Agustus 2025, yang berada di level 93,2. Padahal, pemerintah telah meluncurkan berbagai program stimulus untuk menjaga daya beli dan menciptakan lapangan kerja, seperti program magang fresh graduate, pajak penghasilan karyawan ditanggung pemerintah (PPh 21 DTP) untuk sektor pariwisata dan padat karya, iuran JKK dan JKM untuk lepas, hingga Padat Karya Tunai.

    Syafruddin menilai program-program tersebut belum mengangkat ekspektasi ketersediaan kerja secara signifikan karena sebagian besar stimulus masih bersifat mereduksi biaya dan menyerap tenaga kerja sementara, bukan menambah pesanan produksi yang memicu perekrutan permanen.

    Dia mencontohkan, program Padat Karya Tunai memang membantu masyarakat berpendapatan rendah, tetapi bersifat harian dan jangka pendek sehingga tidak cukup kuat untuk mengubah persepsi peluang kerja di masyarakat. Begitu pula insentif PPh 21 DTP dan diskon iuran JKK/JKM yang menurunkan beban perusahaan dan pekerja, namun dinilai tidak otomatis mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja.

    “Tanpa lonjakan order yang jelas—entah dari ekspor, pariwisata, pengadaan pemerintah yang membeli output UKM, atau proyek bernilai tambah—perusahaan cenderung menunda kontrak baru. Hasilnya, publik masih membaca sinyal pasar kerja sebagai ‘ketat,’ dan IKLK bertahan di bawah 100 walau stimulus diumumkan,” tutup Syafruddin.

  • Rakyat Makin Pesimistis soal Lapangan Kerja Meski Ada Stimulus Ekonomi, Kenapa?

    Rakyat Makin Pesimistis soal Lapangan Kerja Meski Ada Stimulus Ekonomi, Kenapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Laporan Bank Indonesia menunjukkan bahwa indeks ketersediaan lapangan kerja (IKLK) masih berada di zona pesimis, bahkan terus memburuk.

    Sejak Mei 2025, IKLK memang terus berada di zona pesimis atau di bawah nilai acuan 100. IKLK berada di level 92 pada September 2025 atau turun dari bulan sebelumnya di level 93,2.

    Padahal, pemerintah sudah mengumumkan sejumlah insentif ekonomi untuk mendukung industri hingga penciptaan lapangan kerja. Misalnya paket stimulus akhir 2025 seperti Program Magang Lulusan Perguruan Tinggi (maksimal fresh graduate satu tahun) untuk minimal 20.000 penerima manfaat.

    Kemudian perluasan Pajak Penghasilan (PPh) 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor terkait pariwisata sebanyak 552.000 pekerja. 

    Tak hanya itu, bantuan Iuran JKK dan JKM bagi pekerja bukan penerima upah (BPU) yang meliputi mitra pengemudi transportasi online/ojek daring, ojek pangkalan, sopir, kurir, logistik untuk 731.361 orang.

    Lalu program Padat Karya Tunai (cash for work) Kemenhub dan Kemen PU untuk 609.465 orang, hingga percepatan deregulasi lewat PP 28/2025 (Integrasi sistem kementerian/lembaga dan RDTR digital ke OSS) pada 50 daerah pada 2025 dan lanjut menjadi 300 daerah pada 2026.

    Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengaku tidak heran berbagai program tersebut belum mengangkat ekspektasi ketersediaan kerja secara signifikan.

    Bagaimanapun, sambungnya, sebagian besar masih bersifat mereduksi biaya dan menyerap tenaga kerja sementara, bukan menambah pesanan produksi yang memicu perekrutan permanen.

    Dia mencontohkan, program Padat Karya Tunai memang membantu masyarakat berpendapatan rendah, tetapi bersifat harian dan jangka pendek sehingga tidak cukup kuat untuk mengubah persepsi peluang kerja di masyarakat.

    Begitu pula insentif PPh 21 DTP dan diskon iuran JKK/JKM yang menurunkan beban perusahaan dan pekerja, namun dinilai tidak otomatis mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja.

    “Tanpa lonjakan order yang jelas—entah dari ekspor, pariwisata, pengadaan pemerintah yang membeli output UKM, atau proyek bernilai tambah—perusahaan cenderung menunda kontrak baru. Hasilnya, publik masih membaca sinyal pasar kerja sebagai ‘ketat,’ dan IKLK bertahan di bawah 100 walau stimulus diumumkan,” jelas Syafruddin kepada Bisnis, Rabu (8/10/2025).

    Senada, Peneliti Center of Reform on Economics (Core Indonesia) Yusuf Rendy Manilet menilai sejumlah stimulus ekonomi itu memang akan berpengaruh secara signifikan ke persepsi masyarakat.

    Dia menjelaskan, tantangan utama kebijakan stimulus kali ini terletak pada aspek cakupan. Skala program magang dan padat karya dinilai masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran nasional.

    Akibatnya, stimulus hanya memberikan efek jangka pendek pada sebagian masyarakat penerima, tanpa mampu mengubah secara signifikan ekspektasi pasar kerja secara luas.

    “Program-program itu bisa memberi dorongan sementara terhadap konsumsi, terutama bagi penerima langsung, tetapi dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan kemungkinan tetap terbatas,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Rabu (8/10/2025).

    Dengan tekanan pendapatan yang berlanjut dan cakupan stimulus yang belum memadai, dia meyakini pemulihan optimisme konsumen, khususnya di kelas menengah, masih memerlukan waktu dan dukungan kebijakan yang lebih terarah.