Kasus: pembunuhan

  • Heboh Kematian Misterius Influencer Menawan Taiwan di Malaysia

    Heboh Kematian Misterius Influencer Menawan Taiwan di Malaysia

    Jakarta

    Kematian seorang influencer populer asal Taiwan, Iris Hsieh, di Kuala Lumpur menghebohkan Malaysia. Insiden itu kini diklasifikasikan sebagai kasus pembunuhan, hampir dua minggu setelah ia ditemukan tak sadarkan diri di dalam bak mandi hotel di Kuala Lumpur. Awalnya, dia disebut kena serangan jantung.

    Kepala Polisi Kuala Lumpur, Fadil Marsus, mengatakan kasus tersebut diubah statusnya. “Jenazahnya ditemukan 22 Oktober. Awalnya kami mengklasifikasikannya sebagai kematian mendadak, namun kini dikategorikan ulang sebagai kasus pembunuhan,” ujarnya.

    Polisi Malaysia menahan rapper sekaligus pembuat film Namewee, yang menemukan Iris Hsieh. Namewee yang bernama asli Wee Meng Chee dan berusia 42 tahun, mengaku menemukan Hsieh tak sadar di kamar mandi dan sempat CPR sebelum menghubungi layanan darurat.

    Hsieh yang berusia 31 tahun, tiba di Malaysia 20 Oktober, dilaporkan untuk kolaborasi dengan Namewee dalam proyek video. Influencer bernama asli Hsieh Yu-hsin itu pernah tampil dalam video musik Namewee tahun 2020 berjudul China Reggaeton. Sebelum beralih ke dunia modeling dan content creator, ia telah memiliki lebih dari setengah juta follower di Instagram.

    Namewee dikenal lewat musik kontroversial. Ia belajar komunikasi massa di Universitas Ming Chuan, Taiwan, dan mulai merilis lagu di YouTube sejak 2007. Namanya melejit lewat parodi rap terhadap lagu kebangsaan Malaysia, Negarakuku, yang memicu kemarahan publik sekaligus perhatian aparat.

    Ia kerap menjadi sasaran kecaman, terutama setelah lagu Fragile (2021) yang menyindir nasionalisme China diblokir di negara tersebut. Di Malaysia, ia juga beberapa kali berurusan dengan hukum karena video yang dianggap menyinggung isu agama.

    Kepala Polisi Dang Wangi, Sazalee Adam, membenarkan Namewee ditahan hingga 10 November. Namewee mengunggah video di Instagram yang memperlihatkan dirinya di kantor polisi. “Aku akan sepenuhnya membantu penyelidikan polisi dan bertanggung jawab kepada publik serta keluarga almarhum,” katanya.

    Di hari kematian Hsieh, Namewee sempat ditangkap atas dugaan kepemilikan dan penggunaan narkoba setelah polisi menemukan pil yang diduga ekstasi di kamarnya. Tes urine menunjukkan hasil positif. Ia kemudian didakwa pada 24 Oktober dan dibebaskan dengan jaminan. Sidang lanjutan dijadwalkan pada 18 Desember.

    Namewee membantah menggunakan atau memiliki narkoba. “Aku tidak menggunakan narkoba, dan tidak memilikinya. Paling-paling aku hanya sedikit lebih sering minum akhir-akhir ini,” katanya.

    Ia juga menyangkal terlibat dalam kematian Hsieh dan mengeluh lambatnya respons darurat. “Ambulans butuh hampir satu jam untuk datang. Aku sungguh tidak mengerti apa gunanya menelepon 999. Ketika aku menelepon lagi untuk menanyakan, aku malah dimarahi,” kisahnya.

    Hasil autopsi dan uji toksikologi Hsieh belum dipublikasikan dan penyebab kematian masih diselidiki. Dikutip detikINET dari Independent, jenazahnya telah diserahkan ke keluarganya

    Kematian influencer tersebut memicu spekulasi luas di Taiwan dan Malaysia. Manajernya, Chris, menuduh Namewee memberikan keterangan tidak konsisten ke polisi.

    Di bawah hukum Malaysia, vonis bersalah atas kasus pembunuhan dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara hingga 40 tahun, ditambah sedikitnya 12 kali cambuk.
    Sementara untuk dakwaan narkoba, hukuman maksimalnya lima tahun dan sembilan kali cambuk.

    (fyk/afr)

  • Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan: Antara Jasa dan Luka Lama Bangsa

    Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan: Antara Jasa dan Luka Lama Bangsa

    Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan: Antara Jasa dan Luka Lama Bangsa
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, dinilai berisiko menghapus jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama masa Orde Baru.
    Aktivis
    Gen Z
    sekaligus mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
    Virdian Aurellio Hartono
    , menegaskan, penolakan terhadap wacana tersebut bukan sekadar persoalan masa lalu, tetapi menyangkut masa depan bangsa.
    Virdian menyoroti bahaya pengangkatan
    Soeharto
    sebagai pahlawan, yang menurutnya berpotensi menutupi berbagai pelanggaran HAM di masa pemerintahannya.
    Bahaya itu ia samakan dengan pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang sempat mengatakan bahwa peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan pada 1998 tidak pernah terjadi.
    Menurut Virdian, pandangan semacam itu bisa memperkuat upaya pengingkaran terhadap penderitaan korban.
    “Bayangkan kalau Soeharto jadi pahlawan, sepaket dengan ucapan Fadli Zon, pemerkosaan massal 98 bisa dianggap tidak pernah ada,” kata Virdian, dalam diskusi #SoehartoBukanPahlawan, di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Bagi Virdian, pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan dapat berdampak luas terhadap cara negara memandang kekerasan dan pelanggaran HAM, baik di masa kini maupun mendatang.
    “Kalau Soeharto pahlawan, korban bisa dianggap bohong. Besok-besok, kalau ada korban pembungkaman atau pembunuhan oleh negara, bisa saja dianggap tidak pernah ada,” ujar dia.
    Virdian menekankan bahwa penolakan terhadap Soeharto bukan semata membela korban masa lalu, melainkan juga merupakan bentuk kesadaran generasi muda untuk mencegah kembalinya kultur kekuasaan otoriter.
    “Menolak Soeharto punya relevansi terhadap kehidupan kita hari ini dan masa depan. Kita tidak bisa membiarkan kultur itu kembali,” tegas dia.
    Ia juga menyinggung hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya literasi sejarah di kalangan muda, sehingga banyak yang gagal memahami konteks kekuasaan Orde Baru.
    Kondisi ini, menurut dia, membuat sebagian masyarakat mudah menerima narasi romantisasi terhadap Soeharto dan masa pemerintahannya.
    Virdian mengingatkan, otoritarianisme tidak hadir secara tiba-tiba, tetapi muncul perlahan ketika publik tidak lagi kritis terhadap kekuasaan.
    “Otoritarian itu datang pelan-pelan, kita enggak sadar,” ucap dia.
    Ia mencontohkan sejumlah praktik pembatasan kebebasan yang masih terjadi hingga kini, termasuk ratusan aktivis yang diproses hukum karena aksi demonstrasi, serta jurnalis dan pegiat yang dikriminalisasi.
    “Kalau kita biarkan Soeharto jadi pahlawan, pelan-pelan semua itu akan dianggap hal yang normal,” kata dia.
    Selain itu, Virdian juga menyoroti pola pikir warisan Orde Baru yang masih bertahan hingga kini, seperti anggapan bahwa pembangunan merupakan hadiah dari negara dan politik hanya urusan elite.
    Menurut dia, generasi muda harus menolak upaya romantisasi terhadap Soeharto maupun nilai-nilai politik Orde Baru.
    “Jadi, bagi gue, enggak ada alasan untuk mengizinkan Soeharto jadi pahlawan, dan kita harus tolak Soeharto jadi pahlawan demi kehidupan kita hari ini dan masa depan kita semua,” imbuh dia.
    Di sisi lain, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon menyatakan, Soeharto memenuhi syarat mendapat gelar
    pahlawan nasional
    .
    Hal itu disampaikan usai Fadli melaporkan 49 nama calon pahlawan nasional kepada Presiden Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    “Tentu dari kami, dari tim GTK ini, telah melakukan juga kajian, penelitian, rapat ya, sidang terkait hal ini. Jadi, telah diseleksi tentu berdasarkan, kalau semuanya memenuhi syarat ya, jadi tidak ada yang tidak memenuhi syarat. Semua yang telah disampaikan ini memenuhi syarat,” kata Fadli.
    Ia menegaskan, Soeharto telah melalui seluruh tahapan penilaian, mulai dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota hingga pemerintah provinsi.
    “Dari TP2GP yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi, memenuhi syarat dari bawah,” ujar dia.
    Menurut Fadli, nama Soeharto bahkan telah diusulkan sebanyak tiga kali.
    “Nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” tutur dia.
    Fadli kemudian memerinci jasa Soeharto yang dinilai layak mendapat penghargaan negara, di antaranya kepemimpinan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
    “Serangan Umum 1 Maret itu salah satu yang menjadi tonggak Republik Indonesia itu bisa diakui oleh dunia, masih ada. Karena Belanda waktu itu mengatakan Republik Indonesia sudah
    cease to exist
    , sudah tidak ada lagi,” ujar dia.
    Selain itu, lanjut Fadli, Soeharto juga memiliki peran penting dalam operasi pembebasan Irian Barat dan berbagai operasi militer lainnya.
    “Pembebasan Irian Barat dan lain-lain. Jadi ada, ada rinciannya. Nanti rinciannya kalau mau lebih panjang nanti saya berikan,” ujar dia.
    Sebelumnya, pemerintah diketahui tengah menggodok 40 nama calon pahlawan nasional.
    Beberapa di antaranya adalah Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis buruh Marsinah.
    Namun, wacana pemberian gelar kepada Soeharto menuai penolakan dari berbagai pihak.
    Sebanyak 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana tersebut.
    Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDI-P Bonnie Triyana juga menyampaikan keberatannya.
    Di sisi lain, dukungan datang dari Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Ia menilai, jasa Soeharto sangat besar bagi bangsa dan negara.
    “Kami juga tadi melaporkan kepada Bapak Presiden selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya bilang, Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Bahlil, usai menemui Prabowo, di Istana Kepresidenan, Senin (3/11/2025).
    Menurut Bahlil, Soeharto adalah tokoh penting di balik kebangkitan ekonomi Indonesia dan dikenal sebagai “Macan Asia” pada masa Orde Baru.
    “Soeharto juga merupakan pendiri Partai Golkar dan sudah menjabat sebagai Presiden RI selama lebih dari 30 tahun,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ternyata Penjual Sate Jadi Provokator Penganiayaan di Masjid Sibolga, Tuduh Korban Mencuri dan Panggil Warga

    Ternyata Penjual Sate Jadi Provokator Penganiayaan di Masjid Sibolga, Tuduh Korban Mencuri dan Panggil Warga

    GELORA.CO  – Sebanyak lima tersangka kasus penganiayaan pria di Masjid Agung Sibolga, Sumatra Utara, telah ditangkap yakni ZPA (57), HBK (46) dan SSJ (40), REC (30), dan CLI (38).

    Korban penganiayaan merupakan warga asal Kabupaten Simeulue, Aceh bernama Arjuna Tamaraya (21) yang sedang beristirahat di masjid pada Jumat (31/10/2025) sekira pukul 03.30 WIB.

    Para tersangka melarang korban tidur di masjid dan menyeretnya hingga keluar.

    Warga menemukan korban dalam kondisi penuh luka di halaman masjid dan membawanya ke RSUD Kota Sibolga.

    Korban dinyatakan meninggal saat masih dirawat pada Sabtu (1/11/2025) sekitar pukul 05.50 WIB.

    Aksi penganiayaan di dalam masjid terekam kamera CCTV dan viral di media sosial.

    Masjid Agung Sibolga adalah masjid besar bersejarah yang menjadi pusat kegiatan sosial masyarakat muslim di Kota Sibolga.

    Ketua Badan Kenaziran Masjid (BKM) Agung Sibolga, Ibnu Tasnim Tampubolon, menegaskan kelima tersangka bukan pengurus masjid dan hanya warga sekitar.

    Ia bahkan tak pernah melihat para tersangka beribadah di dalam Masjid Agung Sibolga.

    Awalnya, penjual sate berinisial ZPA melihat korban tidur di masjid dan menegurnya.

    ZPA juga memfitnah korban mencuri kotak infak, lalu mengajak warga lain melakukan penganiayaan.

    “Kami tahu ZPA ini memang sering buat onar. Dialah yang memprovokasi warga dengan alasan korban mengambil uang di kotak infak,” tuturnya, dikutip dari TribunSumsel.com.

    Menurutnya, pengurus masjid mempersilahkan siapa saja dapat istirahat di masjid.

    “Sejak dulu, tidak pernah sekalipun kami melarang orang tidur di masjid. Kalau ada musafir datang malam hari, silakan saja beristirahat di sini,” katanya.

    Kasat Reskrim Polres Sibolga, AKP Rustam E. Silaban, membenarkan ZPA merupakan orang yang pertama kali melarang korban tidur di masjid.

    “Masing-masing tersangka memiliki peran berbeda dalam aksi keji tersebut,” bebernya.

    Para tersangka telah ditahan di Mapolres Sibolga dan dapat dijerat pasal 338 subsider Pasal 170 ayat (3) KUHP tentang pembunuhan atau kekerasan bersama yang mengakibatkan kematian.

    “Sementara itu tersangka SSJ dijerat dengan Pasal 365 ayat 3 subsider Pasal 338 subsider Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pembunuhan atau kekerasan bersama yang mengakibatkan kematian dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara,” pungkasnya.

    Kesaksian Keluarga Korban

    Paman korban, Kausar Amin, menerangkan Arjuna merupakan anak yatim dan ibunya menetap di Simeulue, Aceh.

    Korban anak kedua dari empat bersaudara dan menjadi satu-satunya laki-laki di keluarga.

    Selama ini korban dikenal sebagai pekerja keras serta santun.

    Pihak keluarga mengetahui kabar kematian Arjuna dari media sosial Facebook pada Sabtu (1/11/2025) pagi. 

    “Saya adik kandung dari ayah korban. Saat ini jenazah sudah kami semayamkan di Sibolga pada Sabtu kemarin.”

    “Keluarga dari Simeulue tidak ada yang berangkat ke Sibolga. Jenazah korban ditangani oleh keluarga yang di sini,” ungkapnya, dikutip dari TribunMedan.com.

    Ia sempat berkomunikasi dengan Arjuna yang hendak berangkat melaut.

    Sepulang dari melaut, Arjuna memberi kabar kepada adik perempuannya di Banda Aceh.

    Namun, setelah itu Arjuna tewas dianiaya di Sibolga saat istirahat.

    “Dia memang sudah lama di Sibolga. Korban sendiri sebelumnya baru saja kembali berangkat dari laut setelah dua bulan lamanya. Lalu dia rencananya akan kembali berangkat pada Sabtu paginya,” tuturnya.

    Kausar mewakili keluarga korban meminta kasus ini diusut tuntas dan para pelaku dihukum setimpal.

    “Kalau bisa hukuman mati. Kemarin juga kami baru kembali dari Polres setempat menanyakan kelanjutan kasus ini. Pihak polisi kini sudah ditangani dan sudah dibuat laporan,” jelasnya

  • Nessie Judge Pajang Foto Junko Furuta Picu Bentrokan Netizen RI vs Jepang

    Nessie Judge Pajang Foto Junko Furuta Picu Bentrokan Netizen RI vs Jepang

    Jakarta

    YouTuber Indonesia Nessie Judge tengah menjadi pusat sorotan setelah salah satu konten Halloween terbarunya dianggap tidak sensitif oleh warganet Jepang. Kontroversi ini mencuat karena dalam video kolaborasi dengan grup K-Pop NCT Dream dalam segmen #NERROR, Nessie menampilkan foto Junko Furuta sebagai bagian dari dekorasi latar.

    Penggunaan foto tersebut dianggap tidak etis dan menyinggung memori korban, sehingga memicu perdebatan sengit di platform X antara netizen Indonesia dan Jepang.

    Junko Furuta adalah korban kasus penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang terjadi pada 1988 di Jepang. Kasus ini dikenal sebagai salah satu tindak kekerasan paling brutal yang pernah terdokumentasi, dan hingga kini menjadi luka sosial yang sensitif di Jepang. Karena itu, banyak warganet Jepang menilai penggunaan foto Junko sebagai ornamen dekoratif dalam konten Halloween tidak dapat diterima.

    Menanggapi kritik yang semakin memanas, Nessie Judge awalnya memberikan klarifikasi bahwa penggunaan foto tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap narasumber kasus yang pernah dibahas sebelumnya di kanalnya.

    “Halo semuanya. Saya telah mendengarkan dan memahami kekhawatiran Anda terkait video yang diunggah sebelumnya. Apa yang kami anggap sebagai bentuk penghormatan, telah dikoreksi oleh semua orang sebagai tindakan yang kasar dan tidak peka. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kurangnya pertimbangan kami,” ujar Nessie di akun media sosialnya.

    “Kemarin, setelah saya menyadari seluruh masalah yang ada, saya langsung menghapus semuanya dan duduk bersama tim saya untuk merenungkan tindakan kami. Meskipun ini tentu saja tidak menghapus apa yang telah terjadi, ketahuilah bahwa kami belajar dari kesalahan kami dan berkomitmen untuk mengubah proses kami,” lanjutnya.

    “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada korban, keluarga korban, pemirsa dan kolaborator kami, dan semua orang. Meskipun kami tidak pernah berniat untuk menyakiti, saya mengerti bahwa dampak dari tindakan kami jauh lebih penting. Terima kasih telah mengingatkan kami dan meminta pertanggungjawaban kami,” tandas Nessie.

    Bentrokan Netizen RI vs Jepang Soal Sejarah

    Ilustrasi Foto: Getty Images/helenaak

    Pun permintaan maaf telah disampaikan Nessie, kasus ini meluas menjadi perdebatan antara netizen Jepang dan Indonesia. Beberapa netizen Negeri Matahari Terbit memanfaatkan momen ini untuk menyentil isu sejarah bilateral Indonesia-Jepang.

    Misalnya akun @sara_sachiko. dia berkomentar bahwa kontribusi tentara Jepang di Indonesia pasca-Perang Dunia II untuk melawan penjajahan Belanda.

    “Demi membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda, 2.000 tentara Jepang tetap berada di Indonesia dan bertempur selama empat tahun setelah Perang Dunia II. Menggunakan para korban sebagai alat peraga sama sekali tidak dapat diterima. Apalagi jika kita mengetahui latar belakang pelakunya,” ujarnya.

    Hal ini memicu reaksi balik dari warganet Indonesia, yang merasa komentar tersebut tidak relevan dan justru merendahkan bangsa.

    “Keenakan ya lu nippon jadiin kasus Nessie sebagai kesempatan untuk ngerendahin Indonesia, minimal suruh negara lu minta maaf sama negara-negara Asia Tenggara dan Timur,” ujar @pengguna0abc1230.

    “Membantu membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda? Lol, Bung. Negaramu melakukan hal yang sama seperti Belanda. Melakukan kejahatan yang sedikit lebih parah daripada yang dilakukan Belanda,” balas @RayhanJAgst.

    “Maaf, apa? Aku tahu apa yang dilakukan Nessie itu salah, tapi mengatakan kalian datang untuk membebaskan Indonesia dari Belanda itu benar-benar delusi. Kalian penjajah kami dulu, sama seperti Belanda, bahkan mungkin lebih buruk. Negara kalian benar-benar melakukan kejahatan perang di seluruh Asia,” kata @pyrooolaf.

    “Nessie salah & Anda bisa menunjukkannya. Tapi soal sejarah, kita punya istilah di sini, “3 tahun pemerintahan Jepang menandai trauma yang lebih parah daripada 300 tahun pemerintahan Belanda.” Jepang itu menyiksa, sadis, dan membuat kita sangat miskin. Contohnya romusha (kerja paksa) & jugun ianfu (budak seks). @cutiecatjm.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: YouTuber Nessie Judge Dihujat Netizen Jepang, Ada Apa?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (afr/afr)

  • Bunuh Bibi Sendiri, Keponakan di Jombang Terancam Hukuman Seumur Hidup

    Bunuh Bibi Sendiri, Keponakan di Jombang Terancam Hukuman Seumur Hidup

    Jombang (beritajatim.com) – Suwarno (45), seorang pria asal Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, terancam hukuman penjara seumur hidup karena membunuh bibinya, Mutmainah (74), warga Dusun Medeleg, Desa Tampingmojo, Kecamatan Tembelang.

    Peristiwa ini terjadi setelah Suwarno melakukan tindakan brutal terhadap korban yang tidak lain adalah anggota keluarganya sendiri. Polisi telah menetapkan Suwarno sebagai tersangka dengan dakwaan Pasal 339 KUHP tentang tindak pidana pembunuhan.

    Kasatreskrim Polres Jombang AKP Margono Suhendra mengungkapkan, “Suwarno sudah kita tetapkan sebagai tersangka. Dia dijerat pasal 339 KUHP dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun,” dalam keterangan resminya yang disampaikan pada Rabu (5/11/2025).

    Kronologi peristiwa ini bermula pada Minggu malam (2/11/2025) setelah korban selesai melaksanakan salat isyak. Suwarno, yang kini ditahan pihak kepolisian, diduga membekap bibinya dengan sebuah bantal hingga korban lemas.

    Tidak berhenti di situ, ia menyeret tubuh korban dari tempat tidur hingga terjatuh di lantai. Benturan kepala yang dialami korban menyebabkan pendarahan.

    Setelah melaksanakan aksi kejinya, Suwarno berupaya menghilangkan jejak dengan membuang jasad korban di tepi hutan Desa Lawak, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan. Tidak puas dengan itu, Suwarno kemudian membakar tubuh korban untuk menghilangkan bukti.

    Untuk menutupi jejak lainnya, ia juga memendam perhiasan dan uang milik korban di tengah sawah kawasan Tembelang. Mobil korban yang hilang akhirnya ditemukan di Kecamatan Jogoroto.

    Peristiwa pembunuhan ini terungkap setelah anak korban melaporkan hilangnya ibunya pada Senin pagi (3/11/2025). Saat keluarga tiba di rumah korban, mereka menemukan sejumlah tanda mencurigakan, seperti mobil korban yang hilang dan sarung bantal yang terdapat bercak darah.

    Laporan tersebut kemudian diterima Polsek Tembelang yang langsung melakukan penyelidikan. Pencarian polisi membawa mereka hingga ke wilayah Kabupaten Lamongan, tempat jasad korban ditemukan dalam kondisi terbakar.

    Polisi melakukan autopsi terhadap jenazah yang telah terbakar, dan hasilnya menunjukkan adanya pendarahan di kepala korban yang diduga terjadi sebelum kematian. Selain itu, sejumlah barang milik korban, termasuk mobil, uang, dan perhiasan yang dicuri oleh tersangka, telah ditemukan.

    Dalam rilis kasus tersebut, Suwarno yang tampak mengenakan kaus tahanan oranye lebih banyak menunduk dan berusaha menghindari sorotan kamera wartawan. Ia menundukkan wajahnya saat digiring menuju ruang tahanan. [suf]

  • Perawat di Jerman Divonis Penjara Seumur Hidup Usai Bunuh 10 Pasien

    Perawat di Jerman Divonis Penjara Seumur Hidup Usai Bunuh 10 Pasien

    Jakarta

    Pengadilan Jerman menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada seorang perawat paliatif. Terdakwa seorang pria yang belum diungkap identitasnya ini divonis bersalah atas pembunuhan terhadap 10 pasien dan percobaan pembunuhan 27 pasien lainnya dengan suntikan mematikan.

    Dilansir AFP, Kamis (6/11/2025), sidang putusan itu diputus oleh pengadilan di kota Aachen, Jerman, pada Rabu (5/11). Terdakwa yang berusia 44 tahun itu bersalah atas pelanggaran yang dilakukan antara Desember 2023 dan Mei 2204 di sebuah rumah sakit di Wuerselen, Jerman.

    Jaksa penuntut mengatakan pelaku menyuntikkan obat penenang atau pereda nyeri dosis besar kepada pasien yang sebagian besar lanjut usia. Tindakan itu dilakukan dengan tujuan sederhana untuk mengurangi beban kerjanya selama shift malam.

    Mereka mengatakan kepada pengadilan bahwa pria tersebut menderita gangguan kepribadian, tidak pernah menunjukkan belas kasihan kepada pasien, dan tidak menunjukkan penyesalan selama persidangan.

    Pengadilan diberitahu bahwa perawat tersebut menggunakan morfin dan midazolam, obat pelemas otot yang terkadang digunakan untuk eksekusi di Amerika Serikat.

    Pelaku menyelesaikan pelatihannya sebagai perawat profesional pada tahun 2007 dan kemudian bekerja untuk berbagai perusahaan, termasuk di Cologne.

    Jaksa mengatakan kepada AFP bahwa penggalian makam telah dilakukan untuk mengidentifikasi korban lainnya dan bahwa pria tersebut mungkin akan diadili kembali.

    (ygs/ygs)

  • Perang Saudara Sudah Tak Terkendali bak Genosida, PBB Teriak

    Perang Saudara Sudah Tak Terkendali bak Genosida, PBB Teriak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan bahwa perang saudara di Sudan telah mencapai titik “tak terkendali”. Ia menyerukan agar kedua pihak yang bertikai segera menghentikan kekerasan dan kembali ke meja perundingan.

    “Krisis mengerikan di Sudan semakin tak terkendali,” ujar Guterres di sela KTT Dunia untuk Pembangunan Sosial di Qatar, dikutip The Guardian, Rabu (5/11/2025).

    “El-Fasher dan wilayah sekitarnya di Darfur Utara telah menjadi pusat penderitaan, kelaparan, kekerasan, dan pengungsian. Ratusan ribu warga sipil terjebak dalam pengepungan, banyak yang sekarat karena kekurangan gizi, penyakit, dan kekerasan,” lanjutnya.

    Peringatan keras ini muncul setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF), yang dilaporkan mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab (UEA), merebut kota el-Fasher pekan lalu usai pengepungan selama hampir 18 bulan. Sejumlah video yang beredar menunjukkan tindakan brutal pasukan RSF terhadap warga sipil, termasuk di rumah sakit bersalin.

    Perang dua tahun antara angkatan bersenjata Sudan (SAF) dan RSF telah menimbulkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk abad ini. Data PBB menyebut lebih dari 150.000 orang tewas dan 14 juta warga mengungsi dari rumah mereka. Jaksa Pengadilan Pidana Internasional kini tengah mengumpulkan bukti dugaan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kejahatan lainnya di el-Fasher.

    Di sisi lain, pemerintah Sudan yang berbasis di Port Sudan masih mempertimbangkan usulan gencatan senjata dari Amerika Serikat (AS). Proposal itu mencakup jeda kemanusiaan tiga bulan sebelum menuju gencatan senjata permanen dan transisi sembilan bulan ke pemerintahan sipil.

    Namun, SAF menegaskan bahwa gencatan hanya bisa dilakukan jika RSF menarik pasukannya dari kota-kota besar, termasuk el-Fasher.

    Jatuhnya el-Fasher memberi RSF kendali atas lima ibu kota negara bagian di Darfur, memunculkan kekhawatiran Sudan akan terbelah antara timur dan barat. Meski demikian, Duta Besar Sudan untuk Inggris Babikir Elamin menegaskan bahwa pemisahan bukan solusi.

    “Prioritas kami bukan gencatan senjata, tapi menghentikan pembantaian di el-Fasher,” kata Elamin di London. Ia juga mendesak Washington untuk menetapkan RSF sebagai organisasi teroris dan melarang semua penjualan senjata ke UEA.

    “RSF sekarang secara terbuka bersumpah melakukan kejahatan lebih lanjut. Mereka dengan bangga merekam diri mereka membunuh warga sipil tak berdosa,” ungkapnya.

    Elamin kemudian menuding RSF terus melakukan kekejaman meski perundingan damai tengah dijajaki. “Apa gunanya berbicara damai sementara mereka masih menembaki rakyat?” ujarnya. “Komunitas internasional harus bertindak menghentikan kekejaman dan genosida ini sekarang.”

     

    (luc/șef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Aktivis Tapol Napol Jawa Timur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Nilai Soemitro Lebih Layak

    Aktivis Tapol Napol Jawa Timur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto, Nilai Soemitro Lebih Layak

    Surabaya (beritajatim.com) — Polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali mencuat dan menuai penolakan dari sejumlah kalangan.

    Pemerintah melalui Menteri Sosial Saifullah Yusuf sebelumnya menyebut bahwa Soeharto berpeluang mendapat gelar tersebut sebagai bentuk pengakuan atas jasa-jasanya dalam pembangunan bangsa.

    Namun rencana ini langsung mendapatkan kritik keras, khususnya dari mantan tahanan politik era Orde Baru.

    Ketua Forum Tapol Napol Jawa Timur, Trio Marpaung, menegaskan bahwa Soeharto justru merupakan sosok yang tidak layak diberikan gelar kehormatan negara.

    “Mantan Presiden Soeharto tidak layak mendapat gelar Pahlawan Nasional. Ada banyak pelanggaran HAM di era Orba. Dengan dalih pembangunan dan stabilitas politik, pemerintah Soeharto selalu melakukan kekerasan, mulai penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan terhadap para pengkritiknya,” ujar Trio di Surabaya, Rabu (5/11/2025).

    Trio menilai pemberian gelar tersebut justru akan menjadi preseden buruk bagi sejarah bangsa dan memunculkan upaya pemutihan sejarah Orde Baru.

    “Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan mengkhianati keadilan dan semangat rekonsiliasi masa lalu. Ada upaya glorifikasi yang dilakukan beberapa pihak untuk memutihkan sejarah kekerasan Orde Baru,” ujarnya.

    Usulkan Soemitro sebagai Calon

    Di tengah perdebatan tersebut, Trio Marpaung justru mengusulkan tokoh nasional lain yang dianggap lebih layak mendapat gelar Pahlawan Nasional, yakni ekonom terkemuka Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

    “Saya melihat, jika pemerintah ingin memberikan gelar Pahlawan Nasional, maka Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo jauh lebih pantas. Beliau adalah Begawan Ekonomi Indonesia yang memajukan perekonomian bangsa,” tegas Trio.

    Trio Marpaung Aktivis 98 Jawa Timur

    Trio menyebut integritas moral Soemitro tidak diragukan dan jauh berbeda dibanding Soeharto.

    “Secara integritas moral, Soemitro tidak pernah melakukan KKN dan dugaan pelanggaran HAM berat. Berbeda jauh dengan Soeharto,” lanjut Aktivis ‘98 tersebut.

    Jasa Soemitro dalam Ekonomi Nasional

    Soemitro dikenal sebagai salah satu arsitek ekonomi Indonesia yang melahirkan sejumlah kebijakan fundamental di awal sejarah republik, antara lain:

    Pencetus Program Benteng (1950) untuk mendorong industrialisasi dan pemberdayaan pengusaha pribumi.
    Menjadi perumus fondasi ekonomi nasional yang menjadi arah pembangunan bangsa.
    Kontribusi Intelektual: Menulis sekitar 130 buku dan makalah, serta menjadi Pendiri Fakultas Ekonomi UI yang hingga kini menjadi salah satu pusat pendidikan ekonomi nasional.

    “Soemitro memenuhi syarat integritas moral yang ketat bagi seorang Pahlawan Nasional dan berkontribusi intelektual secara fundamental bagi ekonomi Indonesia di rezim manapun,” imbuh Trio.

    Trio juga menanggapi isu keterlibatan Soemitro dalam PRRI di Sumatera. Menurutnya, Soemitro telah mendapat amnesti dan kembali diangkat dalam jabatan pemerintahan.

    “Jika ada yang mempertanyakan tentang keterlibatan Soemitro dalam PRRI di Sumatera, maka kita wajib jujur bahwa beliau telah mendapat amnesti dan kembali aktif di pemerintahan. Pemberian amnesti ini menghapus konsekuensi pidana, sehingga integritas moralnya tetap terjaga,” pungkasnya. (ted)

  • Akademisi FH Untag Nilai Putusan MKD atas Adies Kadir Sudah Tepat dan Proporsional

    Akademisi FH Untag Nilai Putusan MKD atas Adies Kadir Sudah Tepat dan Proporsional

    Surabaya (beritajatim.com) – Pengamat hukum politik dari Fakultas Hukum (FH) Untag Surabaya, Sultoni Fikri, menilai putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI yang menyatakan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir, tidak bersalah, sudah tepat dan proporsional.

    Menurutnya, pernyataan yang sempat menimbulkan perdebatan publik itu masuk dalam kategori slip of the tongue atau kekeliruan berbicara yang bersifat spontan.

    “Yang terjadi pada Bapak Adies Kadir jelas dapat dikategorikan sebagai slip of the tongue, bukan pelanggaran etik. Slip of the tongue adalah kekeliruan berbicara yang spontan, tanpa niat, dan tidak mengandung unsur kesengajaan untuk menyinggung atau merendahkan pihak lain,” ujar Sultoni di Surabaya, Rabu (5/11/2025).

    Ia menjelaskan, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015, pelanggaran etik hanya dapat dinilai jika terdapat unsur pelanggaran hukum, pelanggaran tata tertib rapat, atau tindakan yang menurunkan martabat lembaga secara substansial. Karena pernyataan tersebut sudah diklarifikasi secara terbuka dan tidak menimbulkan akibat hukum, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik.

    “Pernyataan beliau lebih tepat dipahami sebagai slip of the tongue yang telah terkoreksi secara etis dan komunikatif,” lanjut peneliti di Nusantara Center for Social Research ini.

    Sultoni juga menilai langkah cepat Adies yang langsung memberikan klarifikasi keesokan harinya sebagai bentuk tanggung jawab moral. Menurut dia, sikap tersebut menunjukkan kedewasaan etik pejabat publik dalam menjaga kepercayaan masyarakat.

    “Respons cepat terhadap kesalahan komunikatif menunjukkan adanya kesadaran moral dan tanggung jawab institusional. Itu sejalan dengan prinsip responsible speech dalam ruang demokrasi,” tutur alumnus Ilmu Politik Universitas Airlangga ini.

    Dia menambahkan, jika merujuk pada UU MD3 serta Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015, tidak ada unsur pelanggaran substansial dalam kasus tersebut. Menurutnya, persepsi publik yang muncul lebih disebabkan penyebaran potongan video tanpa konteks penuh di media sosial.

    “Yang dinilai dalam pelanggaran etik adalah niat dan akibat hukum. Karena MKD telah memeriksa secara objektif dan menyatakan beliau tidak bersalah, maka persoalan ini selesai secara hukum dan etik,” kata Sultoni.

    Ia menilai MKD telah menggunakan pendekatan yang edukatif dan proporsional dalam menangani perkara tersebut. Pendekatan semacam ini, lanjut dia, penting agar penegakan etik tidak berubah menjadi alat politik atau pembunuhan karakter.

    “Keputusan MKD yang menyatakan Adies Kadir tidak bersalah adalah penerapan prinsip fair trial dalam ranah etik parlemen,” tegasnya.

    Sultoni menyimpulkan bahwa sikap klarifikasi cepat yang ditunjukkan Adies dapat menjadi contoh budaya akuntabilitas bagi pejabat publik. Ia menyebut, pejabat yang berani mengakui dan memperbaiki kekeliruan menunjukkan integritas yang patut dihargai.

    “Beliau telah menunjukkan bahwa pejabat publik yang berani mengakui kekeliruan dan segera memperbaikinya adalah pejabat yang memahami makna akuntabilitas. Itu contoh bahwa tanggung jawab moral adalah fondasi utama etika pejabat negara,” pungkas Sultoni. [asg/kun]

  • Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Liputan6.com, Jakarta Aku bertemu dengan “Puisi Tak Terkuburkan” di ruang tengah sebuah rumah kayu yang terwalak di siku jalan Desa Kemili, menyambut Asar. Rumah ini membawaku pada ingatan beberapa tahun lalu saat sebuah berita membentangkan paragrafnya pertamanya dengan kalimat, “dunia seni, budaya, dan sastra Gayo, Aceh Tengah berduka”.

    Suara laki-laki tua dari seberang telepon yang menyambut saat itu masih terngiang. Tak salah lagi, ini adalah orang yang sama, aku dapat melihat namanya pada sebuah papan kayu kira-kira sepanjang 30 sentimeter yang tertempel di atas pintu depan rumah tersebut.

    Ibrahim Kadir. Demikian huruf-huruf timbul tersebut tersusun dalam warna kecoklatan dipenuhi debu.

    Membubuhi nama pemilik rumah di depan pintu seperti itu sempat tren pada tahuan 90-an. Aku bahkan masih bisa menemukan sejumlah rumah di kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah yang di pintunya tertempel nama sang pemilik.

    Namun, di rumah itu tak ada lagi Ibrahim Kadir –ia berpulang pada 1 September 2020 silam— kecuali segenap poster penuh kebanggaan saat peluncuran film “Puisi Tak Terkuburkan,” serta riwayat kekerasan 1965 yang tersimpan di dalam kliping koran serta majalah di sekeliling dinding rumah tua itu.

    Salah satu pigura berisi tempelan judul berita koran dalam bahasa Belanda: Het doden van de geschiedenis, Er werd veel gehuild op de set, Het gekrijs van een aap in het bos. Demikian judul-judul itu ditempel secara acak.

    Semua potongan judul serta klipingan berita tersebut merupakan bagian dari pemberitaan tentang proses pembuatan sebuah film yang pernah dilakoni oleh Ibrahim Kadir. Di dalam film berjudul Puisi Tak Terkuburkan itu, Ibrahim Kadir jadi dirinya sendiri, sebagai salah satu saksi sejarah dari “dinginnya” pembunuhan massal 1965 yang berlangsung di dataran tinggi Gayo.

    Jauh sebelum itu, pria kelahiran 31 Desember 1942 juga sempat terlibat dengan film epos biografi yang disutradarai oleh Eros Djarot yaitu Tjoet Nja’ Dhien rilisan Desember 1988. Namun, Puisi Tak Terkuburkan (2000) adalah “sesuatu” yang membuat nama Ibrahim Kadir patut diletakkan pada makam tersendiri.

    Bukan hanya sebagai seniman, Puisi Tak Terkuburkan merupakan manifesto, dari jalan seni yang kelak akan diambil oleh seorang Ibrahim Kadir. Ia adalah saksi sejarah yang berani “bicara”, saat narasi terkait kekerasan 1965 masih didominasi jika tidak disebut dibungkam oleh narasi Orde Baru.

    Di dalam Puisi Tak Terkuburkan, senyap memuai di udara, sinopsis muncul disertai derit pintu serta engsel yang telah karatan. Perlahan terdengar syair didong didendangkan oleh sejumlah pria di dalam sebuah ruangan seolah tengah berlangsung perjamuan besar.

    “… Kemudian, saya lihat… kakinya yang menggelepar.”

    Visual kemudian mulai menampilkan tangan dan kaki manusia yang saling bertindihan. Tampak pula wajah-wajah para pemiliknya yang saling menggigil ketakutan.

    Roman melankolis pada wajah-wajah putus asa tersebut kian sarat berkat iringan biola yang mengalun di antara suara gonggongan anjing dan suara batukan. Kumpulan manusia yang terlihat kepayahan itu semakin risau tatkala pintu kerangkeng dibuka.

    “Krieeet….”

    Seorang pria berseragam muncul dari balik pintu. Bersamanya ikut lima orang lelaki berwajah masai yang berjalan memasuki ruangan dengan langkah gontai.

    Salah seorang di antara lelaki itu menatap ke arah sipir agak lama, sebelum sang sipir menutup pintu lalu menghilang bersama deru mobil truk. Ia adalah Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir saat itu seorang seniman didong cum guru dijemput di sekolah tempatnya mengajar karena tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Selasa, 12 Oktober 1965. Ia diseret ke sebuah ruangan di mana banyak tahanan lain yang dituduh terlibat PKI ditempatkan.

    Selama ditahan, dirinya dipaksa untuk menemani para penjagal saat melakukan eksekusi. Ibrahim Kadir kelak dibebaskan karena bantuan seorang pejabat Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kebetulan mendengarkan senandung didongnya, tetapi ingatan yang diakibatkan oleh kenangan selama 22 hari berada di dalam tahanan, sesungguhnya tidak pernah bebas dari benak.

    Ibrahim Kadir menyaksikan seratusan orang lebih dijagal silih berganti setiap malam. Ia hampir gila, teriakan-teriakan di tengah dinginnya malam sulit untuk dilupakan.

    Orang-orang yang kepalanya dibungkus karung, dipukul hingga meregang nyawa; wanita-wanita tak bersalah disembelih; para tahanan dipaksa saling bunuh; seorang ibu dieksekusi bersama bayinya. Semua tindakan tak berperikemanusiaan yang dapat dibayangkan oleh manusia berlangsung di depan mata Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir mencurahkan pengalamannya tadi ke dalam 23 bait 92 baris syair berbahasa Gayo berjudul, “Sebuku” atau ratapan. Namun, Puisi yang tak Terkuburkan sebenarnya hanya satu kepingan tipis dari serakan kaca getirnya pembunuhan massal yang menyelimuti dataran tinggi Gayo.

    Di balik bentang alamnya yang indah, pegunungan berkabut, danau Lut Tawar, dan kopinya yang mendunia, dataran tinggi Gayo menyimpan “kepedihannya” sendiri. Tanahnya yang subur menyimpan riwayat yang anyir, berasal dari tumpahan darah dengan kengerian yang tak tepermanai.

    “Sedikitnya 2.500 orang (khusus di tanah Gayo, red) yang dibantai. Hampir di setiap kampung terjadi pembunuhan terhadap orang yang di-PKI-kan,” ungkap mantan aktivis KontraS (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh, Mustawalad kepada Liputan6.com.

    Sejumlah titik kuburan massal di antara lain ada di Redelong, Kubangan Gajah, Totor Besi, dan Bur Lintang. Kuburan-kuburan ini sudah tidak ada lagi karena kerangka para korban telah dipindahkan oleh keluarga ke pemakaman umum dan biasanya sedapat mungkin dirahasiakan.

    Riset berbasis sejarah oleh Jess Melvin berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018) dapat menjadi acuan dari peristiwa kekerasan ini. Buku ini telah terbit dalam versi terjemahan berjudul Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966.

    Buku setebal 322 halaman terbitan Routledge tahun 2018 tersebut meruntuhkan apa yang disebut Jess Melvin sebagai sebuah ‘propaganda’ setengah abad lebih. Gerakan penumpasan semua yang terlibat PKI selama ini disebut-sebut sebagai perlawanan spontanitas masyarakat.

    Namun, berkas yang ditemukan oleh Melvin mengungkap fakta lain. Ia menyebut, sesungguhnya kekerasan yang berlangsung pada saat itu itu merupakan rangkaian pembunuhan terkoordinasi yang tersambung hingga ke Mayor Jenderal Soeharto.

    Berdasarkan dokumen yang ditemukan oleh Jess Melvin, operasi pengganyangan semua yang dianggap terlibat PKI di Aceh telah dimulai pada 4 Oktober. Program ini diterapkan berdasarkan rantai komando secara teritorial dan struktural, di mana warga sipil berada di barisan front.

    Adapun rangkaian pembunuhan mulai berlaku serentak di seantero Aceh sejak 7-13 Oktober 1965. Saat itu, kekuatan berbasis paramiliter mendapat perintah untuk memusnahkan seluruh anggota PKI beserta simpatisannya tanpa pandang bulu.

    Temuan sejarah seperti ini jadi torehan yang cukup gelap bagi lini masa narasi sejarah. Selama ini, sejarah Aceh kerap disajikan dalam pelbagai narasi yang epos dan apologia, berkutat soal kejayaan masa kesultanan, perang melawan penjajah, fase kemerdekaan, hingga niat ingin memisahkan diri, tetapi sedikit yang menyentuh pembantaian massal yang terjadi pada 1965-1966.

    Pada hari-hari terakhir Ibrahim Kadir ditahan, mereka masih menugaskannya mengikat serta mengarungi kepala para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Suatu malam, seorang tahanan perempuan terlihat enggan melepas bayi yang ada di dalam gendongannya.

    Namun, suara desing peluru mengakhiri perlawanan kecil perempuan tersebut. Di bawah terang bulan, malam itu seorang ibu dan bayinya rubuh bersama hati Ibrahim Kadir yang hancur.

    Bintang bulan cengang menjerit/Memandang tubuh yang terpaku/Ibarat patung tak berkutik/Risau rindu tak berulang (salah satu kutipan syair berjudul ‘Sebuku’ milik Ibrahim Kadir).